Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

The Iron Fey 1 - The Iron King - 9

$
0
0

Cerita Fantasi | The Iron King | Serial The Iron Fey | The Iron King | by Julie Kagawa | The Iron King pdf

Kemurungan Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Dara Getting Married - Citra Rizcha Maya Keluh-kesah Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru The Bridesmaid’s Story - Irena Tjiunata Mencari Seikat Seruni - Leila S. Chudori

Kau masih ingin pergi? Tawaranku tadi masih berlaku.


  Aku masih ingat rasa anggur-kabut, keinginan untuk meminumnya lebih banyak lagi, dan bergidik. Tidak, jawabku cepat. Aku takkan biarkan Ethan bersama gerombolan monster. Aku sudah kehilangan ayah aku tak mau kehilangan adikku.
  Lalu aku menyadari satu hal, sesuatu yang membuatku tak bisa bernapas, heran kenapa tak terpikir olehku sejak tadi. Dad. Jantungku berdebar, mengingat mimpi-mimpi yang tak begitu jelas, ketika ayahku lenyap di kolam dan tak muncul lagi. Bagaiman a jika dia juga diculik faery? Aku bisa menemukan Etha n dan ayahku, dan membawa pulang mereka berdua!
  Ayo, ajakku, menatap mata Robbie. Cepat, kita sudah membuang-buang waktu di sini. Jika kita akan melakukannya, ayo selesaikan saja.
  Rob mengerjap, ekspresi aneh melintas di wajahnya. Sesaat dia seperti ingin mengucapkan sesuatu. Tapi kemudian dia mengguncangkan tubuh, seperti baru sadar dari trance, dan momen itu pun leny ap.
  Baiklah. Jangan bilang aku tak memperingatkanmu. Dia tersenyum dan kilauan di matanya semakin cemerlang. Satu demi satu dulu. Kita harus menemukan pintu masuk ke Nevernever, itu tempat yang kau sebut Faeryland. Kau tidak bisa masuk begitu saja, pintunya selalu tersembunyi. Untungnya aku punya ide di mana kira-kira pintunya berada. Dia tersenyum lebar lalu mengetuk pintu kamar Ethan. Tok, tok! serunya dengan suara nyaring dan monoton.
  Hening sesaat. Lalu terdengar bunyi benturan dan barang pecah, seperti ada sesuatu yang berat dilempar ke pintu. Pergi! Terdengar geraman dari dalam.
  Ah, tidak. Bukan begitu cara bermainnya, balas Rob. Aku bilang tok, tok, dan kau harus menjawab siapa di luar?
  Enyah kau, bangsat!
  Bukan, masih tetap salah. Robbie tetap tenang. Sementara aku ngeri mendengar makian Ethan, meskipun aku tahu itu bukan dirinya. Begini, lanjut Rob dengan ramah, Aku akan ulang dari awal, jadi kau sudah tahu harus bagaimana. Dia berdeham dan mengetuk pintu lagi. Tok, tok! serunya. Siapa di luar? Puck! Puck siapa? Puck yang akan mengubahmu menjadi babi yang menguik-nguik dan menjejalkanmu ke dalam oven kalau kau tidak menyingkir dari situ? Dan Rob mendobrak pintu sampai terbuka.
  Makhluk yang mirip Ethan itu berdiri di tempat tidur, ada buku di kedua tangannya. Sambil mendesis dia melemparnya ke ambang pintu. Robbie menunduk, tapi salah satu buku mengenai perutku dan aku mengaduh.
  Astaga, aku mendengar Robbie menggumam, lalu ada getaran merambat di udara. Tiba-tiba semua buku di kamar mengepak-ngepakkan sampul, melayang dari lantai dan rak, lalu mulai menukik ke arah Ethan seperti segerombolan burung camar yang mengamuk. Aku hanya bisa terkesima, merasakan hidupku semakin terasa tidak nyata saja. Ethan palsu mendesis dan menggeram, menepis buku-buku yang mengelilinginya, sampai salah satunya menghantam wajahnya dan membuat terjatuh dari tempat tidur. Meludah marah, dia melesat ke bawah kasur. Aku mendengar cakarnya menggores lantai kayu ketika kakinya lenyap dalam relung sempit itu. Makian dan geraman terdengar dari kegelapan.
  Robbie menggeleng. Dasar amatir. Dia mendesah sementara buku-buku yang beterbangan berhenti mendadak dan berjatuhan di lantai dengan bunyi nyaring. Ayo, Putri.
 
  * * *
 
  AKU tersadar dan melangkah dengan hati-hati di antara buku-buku yang berjatuhan, bergabung dengan Robbie di tengah ruangan. Jadi, kataku, berusaha terdengar santai, seakan buku terbang dan faery adalah hal yang sering kulihat. Di mana jalan masuk ke Faeryland? Apa kau harus menggunakan cincin ajaib atau merapal mantra atau apa?
  Rob menyeringai. Tidak seperti itu, Putri. Kau membayangkannya terlalu rumit. Pintu masuk ke Nevernever biasanya berada di tempat yang dipenuhi keyakinan, kreativitas, atau imajinasi. Kau sering menemukannya di lemari atau di bawah tempat tidur dalam kamar anak-anak.
  Floppy takut pada laki-laki di dalam lemari. Aku merinding, meminta maaf dalam hati pada adikku. Jika bertemu dengannya lagi, aku akan bilang kalau aku juga percaya pada monster.
  Lemari kalau begitu, gumamku, melangkahi buku-buku dan mainan untuk menghampiri lemari. Tanganku agak bergetar ketika meraih gagangnya. Tak bisa mundur lagi sekarang, kataku pada diri sendiri lalu membuka pintunya.
  Sesosok tubuh kurus tinggi dengan wajah sempit dan mata cekung menatapku ketika pintu terbuka. Setelan jas hitam menggantung di tubuhnya yang kurus, dan topi bowler bertengger di kepalanya yang panjang. Makhluk itu membelalak, menatapku, bibir pucatnya tertarik membentuk seringai, memamerkan gigi-gigi kecil dan runcing. Aku melompat mundur sambil menjerit.
  Lemariku! desisnya. Tangan yang mirip laba-laba muncul lalu mencengkeram gagang pintu. Lemariku! Milikku! Dan makhluk itu membanting pintu dengan keras.
  Robbie menghela napas kesal ketika aku lari bersembunyi ke balik tubuhnya, jantungku menghantam tulang rusuk seperti tongkat bisbol. Dasar bogey, gumamnya, menggelengkan kepala. Dia melangkah ke lemari, mengetuknya tiga kali dan membukanya.
  Kali ini, lemari itu kosong, kecuali pakaian yang tergantung, tumpukan kotak, dan selazimnya isi lemari. Robbie menggeser baju-baju ke samping, berkelit di antara kotak-kotak, dan meletakkan tangan di belakang lemari, jarinya menyusuri dinding lemari. Penasaran, aku mendekat.
  Di mana kau? gumamnya, meraba-raba dinding lemari. Aku menghampiri pintu dan mengintip dari balik bahunya. Aku tahu kau di sini. Di mana &aha.
  Membungkuk, Robbie menghela napas dan meniup dinding. Debu beterbangan, mengepul di sekitarnya seperti serbuk oranye yang berkilauan.
  Ketika dia menegakkan badan, aku melihat gagang pintu berwarna emas di dinding belakang lemari, dan garis samar berbentuk pintu, cahaya pucat menerobos dari celah di bawahnya.
  Ayo, Putri, Rob berbalik menyuruhku maju. Matanya bersinar hijau dalam kegelapan. Ini kendaraan kita. Tiket satu kali jalan ke Nevernever.
  Aku bimbang, menunggu detak jantungku kembali normal. Tapi tidak bisa. Ini semua gila, bagian diriku yang ketakutan berbisik. Siapa yang bisa menduga apa yang menunggu di balik pintu itu, kengerian apa yang bersembunyi dalam bayangan? Aku mungkin tak bisa pulang. Ini kesempatan terakhirku untuk mundur.
  Tidak, kataku pada diri sendiri. Aku tidak boleh mundur. Ethan ada di luar sana, di suatu tempat. Ethan mengandalkanku. Aku menghela napas dalam-dalam dan maju selangkah.
  Satu tangan keriput muncul dari bawah tempat tidur, memegang pergelangan kakiku. Tangan itu menarik kakiku dengan kuat hingga aku nyaris terjatuh bersamaan dengan suara geraman menggema dari dalam relung gelap itu. Sambil menjerit, aku menendang lepas cakar yang menggapai-gapai itu, berlari cepat ke dalam lemari, dan membanting pintu di belakangku.
  BAB LIMA
  Nevernever
 
  Dalam kegelapan lembap di dalam lemari Ethan, aku meletakkan tangan di dada, sekali lagi menunggu jantungku kembali normal. Kegelapan menyelimutiku, hanya ada cahaya samar berbentuk persegi yang berasal dari dinding belakang lemari. Aku tak bisa melihat Robbie, tapi aku bisa merasakan tubuhnya di dekatku, mendengar tarikan napasnya di telingaku.
  Siap? bisiknya, napasnya terasa hangat di kulitku. Sebelum aku menjawab, dia membuka pintu, memperlihatkan Nevernever.
  Cahaya pucat keperakan membanjiri ruangan. Padang luas di balik pintu dikelilingi pepohonan yang begitu besar dan rimbun sehingga aku tak dapat melihat langit melalui ranting-rantingnya. Kabut bergulung-gulung merayap di tanah, tempat itu gelap dan sepi, seakan hutan itu terperangkap dalam senja abadi. Di sana sini ada secercah warna terang yang menonjol di antara suasana serba kelabu. Serumpun bunga, kelopaknya yang berwarna biru elektrik, berayun pelan di antara kabut. Sulur-sulur pohon anggur melilit pohon ek yang sekarat, duri merahnya yang panjang sangat kontras dengan pohon yang dibunuhnya.
  Udara hangat berembus ke dalam lemari, membawa serta aroma yang seharusnya tidak bercampur di satu tempat. Dedaunan remuk dan kayu manis, asap dan apel, tanah, lavender, samar-samar ada bau memualkan dari sesuatu yang membusuk. Sekilas tercium aroma tajam logam dan tembaga, menyelubungi bau busuk itu, tapi aroma itu lenyap dalam satu tarikan napas berikutnya. Serangga beterbangan, dan jika memasang telinga baik-baik, aku hampir bisa mendengar nyanyian. Awalnya hutan itu tampak sepi, tapi kemudian aku melihat ada yang bergerak jauh di dalamnya, dan mendengar gemeresik dedaunan di sekitar kami. Mata yang tak tampak seolah sedang mengawasi dari segala penjuru, terasa menusuk-nusuk kulitku.
  Robbie, yang rambutnya sewarna nyala api, melihat sekeliling dan tertawa. Rumah, dia mendesah, merentangkan tangan seperti ingin memeluk tempat itu. Akhirnya aku pulang. Dia berputar-putar, dan sambil tertawa menjatuhkan diri dalam kabut, seperti ingin membuat malaikat salju, lalu lenyap.
  Aku menelan ludah, dan melangkah dengan hati-hati. Kabut menyelimuti pergelangan kakiku, seperti makhluk hidup, membelai kulitku dengan jari-jari lembapnya. Rob?
  Keheningan mengejekku. Di sudut mataku, sesuatu yang besar dan putih mirip sosok quicksilver dalam komik melesat di sela pepohonan. Rob? seruku lagi. Di mana kau? Robbie?
  Boo. Robbie muncul di belakangku, bangkit dari kabut seperti vampir keluar dari peti mati. Mengatakan bahwa aku berteriak ketakutan sama sekali tidak melebih-lebihkan.
  Gampang gugup hari ini, ya? Robbie tergelak dan mengelak dengan cepat sebelum aku bisa membunuhnya. Sebaiknya kau minum kopi tanpa kafein saja, Putri. Jika kau menjerit setiap kali ada bogey yang muncul dan berkata boo, kau akan kehabisan tenaga sebelum kita sampai di tepi hutan.
  Dia telah bertukar pakaian. Celana hijau-pemburu dan baju cokelat bertudung tebal menggantikan celana jins dan kaus kumalnya. Aku tak bisa melihat kakinya karena kabut, tapi sepertinya dia juga telah menukar sepatu ketsnya dengan sepatu bot kulit. Wajahnya tampak lebih tirus, lebih keras dengan garis-garis tajam dan tegas. Dikombinasikan dengan rambut merah dan mata hijau, dia mengingatkanku pada rubah yang menyeringai.
  Tapi perbedaan paling mencolok adalah telinganya. Panjang dan lurus, mencuat di kedua sisi kepalanya, seperti &yah, elf. Dan semua ciri-ciri Robbie Goodfell lenyap. Anak laki-laki yang aku kenal hampir seumur hidupku telah hilang, seperti tidak pernah ada, dan yang tertinggal hanyalah Puck.
  Ada apa, Putri? Puck menguap, meregangkan lengan panjangnya. Apakah hanya imajinasiku ataukah dia memang menjadi lebih tinggi? Kau seperti kehilangan sahabatmu.
  Aku mengabaikan pertanyaannya, tak ingin membahasnya. Bagaimana kau melakukan itu? tanyaku, mengalihkan pembicaraan. Bajumu, maksudku. Berbeda. Dan caramu membuat buku beterbangan di kamar. Apakah itu sihir?
  Puck menyeringai. Glamour, jawabnya seakan aku memahami ucapannya. Aku mengernyit, dan dia mendesah. Aku tak sempat ganti baju sebelum ke sini, dan tuanku Raja Oberon tidak suka melihat pakaian mortal di istananya. Jadi aku menggunakan glamour untuk membuat diriku berpenampilan pantas. Sama seperti aku memakai glamour untuk membuat diriku tampak seperti manusia.
  Tunggu sebentar. Aku teringat percakapan antara Robbie dan perawat yang kukira hanya mimpi. Apa ada faery lain seperti &dirimu, berkeliaran di dunia kami? Tepat di depan mata kami?


  Senyum Puck membuatku merinding. Kami ada di mana-mana, Putri, katanya tegas. Di bawah tempat tidurmu, di lotengmu, berpapasan denganmu di jalan. Senyumnya melebar, semakin mirip serigala. Glamour mendapat energi dari mimpi dan imajinasi para mortal. Penulis, seniman, anak kecil yang suka berpura-pura menjadi jagoan para fey tertarik pada mereka seperti laron tertarik pada cahaya. Menurutmu kenapa banyak anak kecil memiliki teman khayalan? Bahkan adikmu pun punya. Adikmu menamainya Floppy, meskipun itu bukan nama aslinya. Sayang sekali changeling membunuhnya.
  Perutku menegang. Dan &tidak ada yang bisa melihat kalian?
  Kami tidak tampak, atau kami memakai glamour untuk menyembunyikan wujud asli kami. Puck bersandar di pohon, meletakkan tangan di belakang kepala, seperti kebiasaan Robbie. Jangan kaget begitu, Putri. Mortal telah menyempurnakan keahlian tidak melihat apa yang tidak ingin mereka lihat. Meskipun, ada manusia langka yang bisa melihat menembus Kabut dan glamour. Biasanya mereka individu yang istimewa tak berdosa, pemimpi dan para f


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>