Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Fade into You - 6

$
0
0

Cerita Remaja | Fade into You | Serial Fade by Kate Dawes | Fade into You | Cersil Sakti | Fade into You pdf

Kemurungan Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Dara Getting Married - Citra Rizcha Maya Keluh-kesah Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru The Bridesmaid’s Story - Irena Tjiunata Mencari Seikat Seruni - Leila S. Chudori

agi?"
  Max mengerutkan dahi. "Aku tak melihat adanya kebutuhan punya dua penthouse di Vegas."
  "Pemikiran yang bagus."
  "Terima kasih." Dia menyeringai dan meneguk minumannya. "Mari kita kembali ke casting couch..."
  "Jangan. Aku ingin kembali membahas pekerjaan saja."
  Ini akan menjadi waktu yang tepat untuk berdiri, meminta kontrak, dan kembali pulang. Tapi tangan Max tiba-tiba bertumpu pada kakiku. Aku menunduk dan melihat dia menggerakkan tangannya, dan telapak tangannya mengusap lututku dengan punggung jari telunjuknya.
  Aku melihat dia melakukan itu selama beberapa detik, mengagumi bagaimana sedikit sentuhan mengirimkan kejutan rangsangan dikakiku. Dadaku terasa berat, dan aku merasa putingku mengeras.
  "Kau menginginkan ini seperti aku menginginkannya," katanya. "Aku melihatnya dalam caramu melihatku."
  Aku menoleh untuk menatapnya dan dalam sekejap wajahnya bertemu dengan tatapanku, bibirnya meny entuh bibirku. Mulutku terbuka dan lidahnya masuk me ngikuti undanganku tanpa ragu-ragu. Tak ada yang bisa menghentikannya, dan pada saat itu, aku tak lagi me miliki keinginan untuk menghentikan apa yang dia laku kan.
  Dia mengendalikan ciuman itu, panas dan licin, mendominasi dengan menjilat secara sensual sepanjang lidahku.
  Max menjauh dari wajahku sejenak. "Kau tidak mengatakan tidak."
  "Aku juga tidak mengatakan ya."
  "Biarkan aku mencoba untuk membuatmu mengatakannya."
  Mulutnya menguasai mulutku lagi.
  Tangan Max meluncur kepahaku perlahan. Denyut jantungku meningkat dalam mengantisipasi. Satu jari menggelincir kelubang kaki celana dalamku, dan aku merasa ujung jarinya membelai lipatanku yang basah.
  "Oh, Tuhan," kataku didalam mulutnya.
  "Itu hampir disebut ya."
  Dia terus menggodaku dengan ujung jarinya, lembut sedikit lebih jauh setiap kali, tetapi tidak dekat dengan klitku.
  Aku mengambil segenggam rambut dan meremas. Itu tebal, namun lembut, dan genggamanku tampaknya semakin membangkitkan gairah lebih dalam dari dirinya.
  "Kita tak perlu melepaskan ini," katanya, sambil menarik bajuku. "Tapi aku harus melihatnya."
  Max melepaskan kait braku, mendorong ke samping, memperlihatkan payudaraku.
  "Ya Tuhan, Olivia..." Suaranya menghilang saat dia menundukkan kepala dan menutup bibirnya disekitar putingku. Aku melihat ujung lidahnya menjilati putingku, sementara tangannya meremas payudaraku yang lain.
  Mulutnya beralih ke putingku yang lain. Mereka semakin ketat saat ini, karena perhatiannya, dan juga karena udara dingin yang bergegas melintasi jejak basah yang ditinggalkannya.
  Rokku naik sampai pinggul. Ibu jari Max meraih celana dalamku dan mulai menariknya turun kakiku.
  Aku menunduk dan melihat bahwa itu akan lepas dari satu kaki, tapi kini celana tersebut tergantung dipergelangan kakiku yang lain. Max meletakkan satu kakiku ke lengan sofa, menarik kakiku yang lain kepangkuannya, dan itu membuatku sangat terbuka untuknya.
  Aku tak pernah merasa begitu rentan terhadap seorang pria sebelumnya. Tapi aku juga belum pernah dikendalikan oleh seorang pria seperti ini.
  "Kau belum mengatakan ya, Olivia."
  "Bukankah posisi ini sudah cukup menjawab?"
  Dia menyeringai. "Katakan saja."
  Tangannya telah merayap kembali pahaku. Jari-jarinya melingkar di bagian bawah, meninggalkan ibu jarinya melayang kearahku.
  Aku menatapnya. "Ya."
  Aku memiringkan kepalaku kembali ke sofa sebagai reaksi ketika ibu jarinya bersentuhan dengan clitku. Dia memijat pelan membentuk lingkaran, memberikan lebih banyak tekanan, kemudian berkurang, kemudian lebih lagi.
  Aku menatap lurus ke langit-langit ketika aku merasa mulutnya di leherku. Lidahnya menelusuri lingkaran kecil, dan kemudian ia sedikit menghisap.
  Cara dia memperlakukan clitku sangat sempurna, dan aku bisa klimaks hanya dengan cara itu saja, tapi itu tidak cukup untuk Max. Tangannya pindah dan menyelipkan satu jarinya di dalam diriku, mengubahnya karena ia membiarkannya meluncur masuk dan keluar dalam satu belaian pendek.
  "Kau begitu terbuka untukku," katanya.
  Suaranya sudah cukup untuk membuatku basah tadi, tapi efeknya adalah menjadi seribu kali lipat dengan jari-jarinya membelai tubuhku, dan memasukiku.
  "Ya Tuhan, Olivia, kau lebih dari yang aku harapkan."
  Aku memikirkan hal yang sama tentang dirinya. Pikiranku pun fokus pada tangannya, karena ia menyelipkan masuk kedua jarinya.
  "Oh, ya, please," kataku.
  "Katakan apa yang kau suka."
  "Itu. Tepat .. te ...te..tepat.. disana. oh, Tuhan.... "
  Dengan kakiku di atas pangkuannya, aku bisa merasakan kejantanannya keras melalui celananya. Aku ingin menyentuhnya. Aku ingin membuatnya merasa puas, sebaik dia melakukannya padaku.
  Pinggulku melawan untuk memenuhi jari-jarinya yang membelai. Aku tidak menahan apapun.
  Aku menatap Max. Dia menatap ke bawah diantara kedua kakiku, akupun melihat ke bawah juga. Jika kakiku telah terbuka lebih lebar, kakiku pasti akan menjadi kram. Tapi tak ada rasa sakit. Kenikmatan itu semuanya berasal dari tangan terampil milik Max.
  Cara dia merabaku adalah lebih baik daripada seks yang pernah aku alami.
  Napasku tercekat di tenggorokan dan aku tersentak.
  Aku bertanya-tanya apakah pintu terkunci, dan kemudian berpikir bahwa jika seseorang masuk aku bahkan tidak akan peduli. Ini terlalu nikmat.
  Aku mulai menggerakkan kakiku yang menutupi pangkuannya. Kejantanan Max tegang dibawah celana jinsnya. Aku tak tahu bagaimana dia mempertahankan kontrol diri padahal dia bisa menurunkan celananya dalam hitungan detik dan bercinta denganku.
  "Aku akan membuatmu orgasme, Olivia. Ini semuanya tentang kamu."
  Itu adalah jawaban mengapa ia terus memakai celananya. Ini semuanya tentang kamu. Tak pernah seorang pria mengatakan itu padaku. Ide seperti itu tak mungkin pernah terlintas pikiran orang-orang yang pernah bersamaku.
  "Apakah kau siap klimaks untukku?"
  "Ya. Ya."
  Mulutnya menekan mulutku, nikmat, kuat dan posesif. Dia menundukkan kepala dan lidahnya membelai putingku, kombinasi antara gigi atas dan lidah memberikan sensasi yang sedikit tajam namun lembut.
  Usapan menjadi cepat, dan telapak telapak tangannya menempel clitku. Sempurna.
  Max berkata, "Kau lihat bagaimana panasnya ini nantinya? Kau dan aku?"
  Aku berada di titik di mana aku hampir tak bisa berkata-kata. Aku membuat beberapa jenis suara yang hamper berdecit. Darimana itu berasal? Max telah menariknya keluar dariku, entah bagaimana.
  "Seks kita akan begitu nikmat. Aku bisa membuatmu orgasme dengan seratus cara yang berbeda."
  Setelah kejadian ini - Atau audisi ini? Aku tak ragu bahwa dia bisa.
  "Aku ingin melihat matamu ketika kau orgasme, Olivia."
  Kepalaku menghadapnya, dan ketika aku menatapnya menatapnya, mulutnya sedikit terbuka.
  "Kau merasakan seberapa keras aku terhadapmu?"
  Aku mengangguk, menekan kakiku turun dan merasakan ereksinya. Aku membayangkan bagaimana miliknya merobek celana jinsnya.
  "Ini akan berada di dalammu segera, dan kau akan kembali merasakan kenikmatan seperti yang aku berikan sekarang."
  "Max. Kumohon...aku mau..."
  "Mau apa? Mau orgasme? Ingin aku membuatmu orgasme?"
  "Semua - semuanya," kataku terbata-bata.
  Senyum jahat muncul di sudut mulutnya. "Belum. Tidak semudah itu. Ini semuanya tentang kamu sekarang."
  "Oh, Tuhan, ya. Aku akan..."
  Kata-kataku terhenti saat ia membawaku menuju orgasme. Pinggulku mendorong melawan tangannya. Dua jarinya tepat berada di tempat yang selalu aku temukan dengan jari-jariku sendiri. Sebuah tempat kebanyakan orang tidak pernah temukan, namun Max telah memusatkan perhatian pada hal itu dengan mudahnya.
  "Lihatlah aku," katanya.
  Aku melakukan apa yang dia katakan, dan matanya memiliki tampilan seseorang yang baru saja menyelesaikan penaklukan besar.
  Dia tahu dia memilikku. Dia tahu aku telah menyerah. Dan aku tak pernah menahannya sedikitpun. Ada intensitas untuk membuat diriku rentan kepadanya dan itu tak kuharapkan. Akan lebih mudah daripada yang aku pikir itu akan terjadi, dan imbalannya adalah di luar harapan terliarku.
  Wajah Max dekat dengan wajahku, begitu dekat sehingga dahi kami bersentuhan. Dia menatap jauh ke dalam mataku saat kabut orgasme yang terangkat dariku dan perlahan-lahan memudar kembali ke dunia nyata.
  Max mengaitkan braku lagi, dan menarik bajuku kembali untuk menutupiku. Dia pindah dari sofa dan berlutut di lantai, mengangkat pergelangan kaki yang masih memegang celanaku, dan memasangkan kembali satu kakiku yang lain. Aku menggerakkan pinggulku untuk membantunya menarik celana dari kaki ke pinggangku. Setelah merapikan rokku, dia duduk di sampingku sekali lagi.
  Aku berpikir betapa uniknya bahwa ia memastikan aku berpakaian lagi, tertutup, dan tidak harus merasa tidak nyaman setelah masa-masa kerentanan telah berlalu.
  "Terima kasih," kataku.
  Dia mencium keningku dan kemudian memberiku sebuah ciuman panjang, pelan dan manis di bibirku.
  Aku ingin tinggal, tapi aku harus pergi. "Aku harus kembali bekerja."
  "Ya. Aku tak ingin Kevin bertanya-tanya apa yang terjadi." Dia tersenyum. "Aku akan mengambil kontraknya."
  Aku pergi dan berdiri di pintu kantornya sementara ia mengambil amplop itu. Ketika ia menyerahkannya padaku, aku mengambilnya, tapi ia menahannya dan menarik kembali.
  Aku menatapnya. Dia memiliki senyum yang menyenangkan di wajahnya.
  "Terima kasih sudah datang, Ms Rowland."
  "Senang berjumpa dengan anda lagi, Mr Dalton."
  Dia menyerahkan amplop besar. Aku memegangnya dekat dengan dadaku. Aku sedang menunggu untuk ucapan selamat tinggal mungkin sedikit kecupan di pipi. Sebaliknya, dia bersandar kemudian mencium telingaku dan berkata, "Lain kali kita tidak akan terburu-buru, dan aku akan menghabiskan waktuku untuk bercinta denganmu."
  Aku menelan ludah. Keterusterangan dalam nadanya mengejutkan, dan hampir pasti akan membuatku tertawa jika itu keluar dari mulut laki-laki lain itu. Tapi sebenarnya adalah, aku terangsang oleh kata-katanya.
  Dia meraih pegangan pintu, tapi sebelum ia membuka itu aku berkata, "Kapan tepatnya waktu berikutnya itu?"
  Sialan. Ada nada keputus-asaan dalam pertanyaanku aku tidak bermaksud untuk itu.
  Dia mendongak seolah-olah dia sedang berusaha untuk menemukan jawabannya. "Aku pikir biarkanlah itu menjadi kejutan."
  ***
  *hubungan seks yg dilakukan artis agar mendapat peran dlm suatu film.
  Fade Into You Bab 6
  "Itu pasti membutuhkan waktu lama," kata Kevin saat aku berjalan ke kantor.
  "Maaf."
  Aku mencoba untuk tidak membuat kontak mata dengan dia, meskipun aku tahu itu hanya akan membuatnya semakin tampak bahwa aku sepertinya menyembunyikan sesuatu.
  "Yah?" Katanya. "Apa yang terjadi?"
  "Dengan apa?"
  "Apa kau baik-baik saja?"
  "Aku baik-baik saja. Kenapa?"
  Dia menyipitkan mata sedikit dan menatapku samping. "Kau tidak terlihat baik-baik saja. Kau tampak...berbeda. Apakah ada yang salah?"
  Aku pernah mendengar istilah "rambut kusut sehabis bercinta" sebelumnya, tapi adakah istilah "rambut kusut sehabis bercinta dg jari"? Apakah itu yang dia maksud? Atau mungkin aku hanya begitu gugup yang terlihat jelas wajahku. Lagipula, aku tak ingin dia memperjelasnya.
  "Semuanya baik-baik saja, Kevin. Aku sudah punya kontraknya." Aku merogoh tasku untuk mengambil amplop. "Dan kemudian setelah aku pergi, aku harus berhenti di suatu tempat dan mengurus sesuatu."
  Tampaknya dia tidak percaya padaku.
  Aku merendahkan suaraku dan menambahkan, "urusan pribadi." Aku membuat semacam wajah yang tampak malu untuk memperkuat ceritaku, dan tampaknya dia percaya.
  "Ah, maaf," katanya.
  Aku menggeleng. "Jangan khawatir." Aku menyerahkan amplop ke Kevin.
  Dia membukanya, mengeluarkan kontrak dan dengan cepat melihatnya. "Apakah kau tahu apa artinya kertas ini ? Ini sangat besar artinya bagiku." Dia menatap lagi dengan kebanggaan yang ekstrim di wajahnya.
  "Aku ikut senang mendengarnya."
  Dia mendongak dari kertas. "Senang bagi kita semua. Kau bagian dari tim di sini. Aku tidak bisa melakukan ini tanpa bantuanmu."
  Ini membuatku sedih mendengarnya. Untuk satu hal, itu adalah hal yang sederhana baginya, dan itu bukan sesuatu yang sering datang di Hollywood. Dan yang kedua ketika aku tahu itu benar bahwa aku telah melakukan banyak hal untuk membantu dia mendapatkan peran untuk Jacqueline, dan aku juga melakukan banyak hal untuk menempatkan bisnis Kevin ke dalam bahaya.
  Semua itu akan menjadi salah satu rumor tentang Kevin yang menggunakan asisten muda untuk membujuk eksekutif st


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>