Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Fade into Always - 8

$
0
0

Cerita Remaja | Fade into Always | Serial Fade by Kate Dawes | Fade into Always | Cersil Sakti | Fade into Always pdf

Kemurungan Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Dara Getting Married - Citra Rizcha Maya Keluh-kesah Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru The Bridesmaid’s Story - Irena Tjiunata Mencari Seikat Seruni - Leila S. Chudori

lama bahkan baru lima menit sebelum ada yang mengetuk pintu. Ada dua orang, seorang pria dan seorang gadis, yang mengatakan mereka teman Krystal -aku pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Dan mereka mengatakan dia tidak muncul untuk makan malam dan Film itu segera dimulai, dan apakah aku tahu di mana dia?
  "Tidak. Dia bilang dia pergi keluar. Apa kau sudah menelepon atau mengirim sms padanya?"
  Pria itu mengangguk.
  Gadis itu berkata, "Dia tidak menjawab."
  Di wajah mereka jelas terlihat rasa khawatir yang kurasa mungkin cocok dengan penampilanku.
  "Apakah semuanya baik-baik saja?" Ibu berteriak dari ruang baca.
  "Ya, sebentar saja."
  Aku melangkah keluar dan menutup pintu di belakangku.
  "Kalian tahu dia terjerumus dalam sesuatu yang buruk, kan?"
  "Ya. Dia mengatakan pada kami semuanya," kata gadis itu. "Kami bukan bagian dari kelompok yang sama."
  "Oke, bagus. Tapi aku yakin dia bersama siapa."
  "Kami akan pergi mencarinya di sekitar tempat biasanya," kata pria itu.
  Gadis itu memberitahuku, namanya Molly, pria itu Kevin. Aku sangat benci bahkan hanya mendengar nama itu sekarang.
  Aku berkata, "Aku ingin pergi dengan kalian, tapi keluargaku di sini sedang berkunjung. Jika kalian menemukannya, tolong beritahu aku."
  Kami bertukar nomor telepon, dan mereka pergi mencari Krystal.
  Orang tuaku dan Grace tinggal sekitar satu jam atau lebih. Sebagian besar waktunya habis terfokus pada bayi Grace, dan hebatnya lagi dengan berbagai cara, hal ini tidak sedikitpun menutupi kemungkinan orang tuaku mencari banyak kesempatan untuk melanjutkan kembali kampanye mereka untuk membawaku pulang ke rumah.
  Meskipun, ibuku mencoba dengan caranya sendiri yang tidak terlalu halus. Dia menceritakan sesuatu tentang masa kanak-kanak yang dia pikir akan membuatku kangen akan rumah. Setiap kalinya, Ayahku selalu mengatakan sesuatu seperti, "Tapi kau akan tahu jika kau masih berada di rumah."
  Aku merasa sangat frustrasi dengan hal ini. Begitu bertubi-tubi hingga aku tidak bisa menampungnya lagi.
  "Ini rumahku. Kalian melihatnya."
  Mereka tampak terkejut.
  "Olivia..." Grace berkata dengan nada memohon, nada suaranya melemah.
  "Apa, Grace?" Bentakku, kemudian kembali menatap ke orang tuaku. "Aku tinggal di sini sekarang. Aku sudah memulai kehidupanku. Aku bahagia, oke? Benar-benar bahagia. Dan seharusnya kalian turut berbahagia untukku."
  "Kau benar," kata ibuku dengan ekspresi di wajahnya yang mengatakan dia berusaha untuk mengakhiri sedikit pertengkaran ini.
  Untuk sekali ini, Ayahku tidak mengatakan apa-apa.
  Bayi itu mulai menangis. Grace mengangkatnya dan memeriksa popoknya.
  Ibuku berkata, "Apakah perlu ganti?"
  "Tidak," kata Grace. "Kupikir dia membutuhkan istirahat. Bisakah kita pergi sekarang?"
  Ketegangan semakin berat. Aku benci akan hal itu. Membenci setiap detiknya. Apa yang pada awalnya merupakan akhir pekan yang relatif menyenangkan berubah persis seperti yang kutakutkan. Pertengkaran, berpura-pura semuanya baik-baik saja, mengontrol semuanya, semua yang telah aku tinggalkan di belakang di Ohio-sekarang ada di ruangan baca di rumah baruku.
  Aku hanya ingin mereka pergi.
  Dan sepertinya mereka melakukannya, kami membuat rencana sarapan besok dengan setengah hati sebelum mereka berangkat pulang keesokan harinya.
  ***
  Aku mencoba menelepon Krystal ketika mereka pergi. Tidak ada jawaban. Aku meninggalkan pesan suara, kemudian mengirim sms padanya. Aku menjadi semakin yakin bahwa ia pergi dengan "teman-temannya" yang memiliki kokain.
  Aku menelepon Max.
  "Halo, gadis impian," jawabnya.
  "Bisakah kau datang?"
  "Apa ada yang salah? Dimana keluargamu?"
  Aku merasakan ada sengatan di belakang tenggorokanku sebelum aku menangis. Tapi aku melawannya. "Keluargaku sudah kembali ke Hotel mereka, dan ada perbedaan pendapat dengan mereka."
  "Oh tidak. Maafkan aku."
  "Bisakah kau datang kemari, please? Aku membutuhkanmu."
  "Beri aku waktu tiga puluh menit."
  ***
  Teleponku menjadi sangat berguna, bisa digunakan untuk menghabiskan waktu luangku sambil menunggu kedatangan Max. Aku memeriksa Twitter untuk melihat apa yang sedang terjadi dengan orang-orang yang aku jadikan teman, dan melihat topik yang sedang ngetrend. Tidak banyak yang menarik bagiku. Jadi aku membuka browser dan melihat majalah People, di mana mereka memiliki foto dari red carpet pada penghargaan Emmy.
  Aku mengingat kembali tentang malam itu ketika Max membawaku ke acara pemutaran film perdana di New York City. Pengalaman pertamaku berjalan diatas red carpet. Mungkin juga yang terakhir. Tapi aku tak peduli. Melihat bagaimana luar biasa glamor penampilan para wanita yang membuatku merasa seperti seseorang yang berpura-pura menjadi bagian dari mereka. Aku tidak ada urusan bahkan berpikir aku bisa melepaskan diri.
  Aku tersentak dari serangkaian lamunanku ketika mendengar suara kunci di pintu. Mungkin itu Krystal, atau bisa juga Max, yang memiliki kunciku, tapi masih terlalu dini dia datang. Ia mengatakan untuk memberinya waktu tiga puluh menit.
  Aku tetap duduk di sofa tapi melihat kearah pintu saat knop berputar perlahan-lahan. Aku berpikir Krystal akan menyelinap masuk.
  Lalu aku membeku. Mulutku menjadi kering. Mataku melebar dan dia terpaku disana.
  Astaga. Chris....
  ***
  Fade Into Always Bab 12
 
  Aku duduk dengan syok di sofa saat ia melewati ambang pintu apartemenku.
  Dia mengangkat satu tangannya. "Tidak apa-apa," katanya dengan suara tenang.
  Aku langsung berdiri. "Keluar!"
  Dia menutup pintu dan menguncinya tanpa berbalik. Dia terus menghadap kearahku. Ekspresinya serius, intens, gila...
  Untungnya aku memegang telepon di tanganku. Aku mengangkatnya untuk menghubungi 911.
  Chris bergegas kearahku. Aku tak punya waktu untuk menghindari gerakannya yang cepat. Lengannya melingkari tubuhku, memelukku dengan erat dari samping, hampir meremukkanku. Dengan satu tangan, ia mencoba merebut telepon dariku, tapi aku mencengkeramnya seperti hidupku tergantung pada telepon itu karena mungkin memang benar.
  Dia terengah-engah dengan gigi terkatup, dan aku merasakan air liurnya menyemprot pipiku ketika ia menghela napas.
  "Tolong! Menyingkirlah dariku! Tolong!"
  "Menyerahlah."
  "Lepaskan aku! Tolong aku!"
  Dia mencengkeram tubuhku dengan erat, aku hampir tak bisa bernapas, dan berkata, "Apa kau menyukai bungaku, sayang?"
  Astaga, sialan sialan sialan!
  Dia sudah masuk kedalam rumahku. Bagaimana caranya? Darimana dia mendapatkan kuncinya?
  Aku butuh bernapas. Wajahku bergidik dan aku bisa mendengar debar jantungku di telingaku. Dia masih mencengkeram tubuhku dari samping, jadi sebisa mungkin aku mengumpulkan semua kekuatan didalam tubuhku dan memaksa kakiku ke atas dan ke samping, menendangnya tepat ke bolanya.
  Dia mengeluarkan suara seperti "Ooomph" dan melepaskanku. Dia terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang, membungkuk, tangannya berada diantara kedua kakinya.
  Aku belum pernah mengambil kursus bela diri sebelumnya, dan aku bahkan tak pernah berpikir tentang apa yang mungkin kulakukan dalam situasi seperti ini. Jadi mungkin apa yang kulakukan berikutnya hanya datang secara alami. Atau mungkin tanpa sadar mencontoh dari film.
  Aku menendang wajahnya. Bagian bawah sepatuku mengenai dahinya dan haknya yang pendek tapi tebal mengenai dagunya. Aku mendengar rahangnya terkatup dan mengeluarkan suara keras yang memuakkan.
  Dia mencoba untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa. Darah menyembur keluar dari mulutnya. Dia membuka mulutnya saat aku berdiri di atasnya, sekali lagi mencoba untuk mengatakan sesuatu. Mulutnya menganga, di dalamnya ada darah merah tua, tapi aku bisa melihat dua gigi depannya tanggal.
  Adrenalin mengalir intens melalui diriku. Aku bisa membunuhnya. Begitu mudah.
  Aku bergerak mendekatinya, dan ia membuat satu usaha lagi untuk melawan, menyambar pergelangan kakiku.
  Aku mengangkat kakiku yang lain dan menempatkan kakiku kebawah. Sebuah tendangan yang keras, hentakan yang bisa meremukkan selangkangannya.
  Chris terbaring miring, meringkuk dalam posisi tertelungkup.
  Darah menyembur dari mulutnya dan mulai membentuk genangan di karpet.
  Seperti mendapat mukjizat aku masih menggenggam teleponku. Aku menggeser kunci di layar, menyentuh tombol nomor, kemudian ikon Emergency di bagian atas.
  Chris tidak akan kemana-mana.
  Operator 911 menjawab dan aku menyemburkan serangkaian kata-kata yang hampir tak dapat dipahami.
  "Ma'am, pelan-pelan. Harap tenang. Apakah anda membutuhkan Polisi?"
  "Yayayaya...."
  ***
  Polisi tiba dengan cepat. Hanya empat atau lima menit. Selama itu aku sudah membuka pintu, dan aku juga memindahkan salah satu kursi lebih dekat dengan Chris, dimana aku berdiri di atasnya, memerangkap ka kinya di bawahnya.
  Ketika aku melihat petugas pertama datang melewati pintu, aku melompat dari kursi dan ambruk di atas sofa. Adrenalin segera mereda dan aku hanya merasa seperti ingin tidur. Selamanya.
  Aku menelepon Max. "Dimana kau?"
  "Lima menit lagi. Kenapa? Apa ada yang salah?"
  Aku menangis lagi.
  "Olivia," katanya, tegas. "Ada apa?"
  "C-c-cepatlah datang kemari."
  Dia tidak membutuhkan waktu lima menit. Mungkin lebih mendekati tiga menit. Aku sedang duduk di bagian belakang ambulans ketika aku melihat dia berhenti. Mereka sedang memeriksaku karena pinggang sebelah kiriku sakit sekali.
  Mereka membawa Chris ke ambulans lain.
  "Max!" Aku berteriak, yang membuatku terasa lebih sakit lagi.
  Dia berbalik, melihatku, dan bergegas melewati kerlipan lampu biru, putih dan merah.
  "Tolong berdiri di belakang, sir," kata salah seorang petugas paramedis.
  "Dia pacarku. Apa yang terjadi Olivia?"
  Paramedis yang memeriksaku menyela. "Kami akan membawa anda ke rumah sakit. Tulang rusuk anda perlu di ronsen."
  "Ya Tuhan, Olivia. Adakah seseorang yang bisa menceritakan padaku apa yang terjadi?"
  Di seberang tempat parkir, kami mendengar suara orang berteriak dan diikuti banyak gerakan. Aku menonton dan melihat mereka telah menemukan mobil Chris.
  Hanya kata-kata yang aku dengar adalah "kunci" dan "linggis."
  Kemudian banyak kegaduhan.
  Max dan aku menonton dengan perasaan ngeri saat polisi muncul membuka bagasi mobil Chris dan menarik Krystal keluar dari situ.
  Lakban melilit di kepalanya, menutupi mulutnya, tapi hidungnya tidak. Rambutnya berantakan dan ketika cahaya putih menyinari dirinya, aku bisa melihat bilur di sisi wajahnya.
  Aku ingin pingsan. Mungkin mati seketika.
  "Mari kita pergi," kata petugas paramedis, dan Max melompat di belakang ambulans.
  "Aku ikut dengannya."
  "Tunggu. Aku ingin melihat Krystal. "
  Petugas paramedis menutup pintu belakang ambulans. "Kami akan mencari tahu bagaimana keadaannya, ma'am."
  "Olivia," kata Max tegas, "sebenarnya apa yang terjadi?"
  Aku menceritakan padanya dalam perjalanan menuju rumah sakit.
  ***
  Fade Into Always Bab 13
 
  Aku berada di ruang pemeriksaan UGD, menunggu mereka untuk melihat hasil ronsenku. Dokter cukup yakin bahwa aku setidaknya mengalami satu patah tulang rusuk, tapi dia ingin memeriksa dan melihat seberapa parah keadaannya.
  Max pergi untuk mendapatkan berita terbaru dari Krystal dan kembali sekitar lima belas menit kemudian dengan berita bahwa selain memar di pipinya, ia akan baik-baik saja. Setidaknya menurut cedera yang dialaminya. Dia diperbolehkan keluar malam ini, dan Max telah berjanji pada dokter dia akan langsung masuk ke pusat rehabilitasi di Beverly Hills. Dia mengatakan bahwa dokter langsung tahu bahwa dia punya masalah. Dia sudah menunjukkan gejala awal orang yang sakau.
  Hal berikutnya yang perlu dikhawatirkan: orang tuaku. Menelpon mereka langsung? Tunggu sampai pagi?
  Max bilang untuk menunggu sampai pagi. "Mereka akan berangkat besok. Biarkan mereka tidur."
  "Mereka akan marah."
  "Apa kau pikir mereka akan mau menunggu lebih lama sekarang?"
  Aku menghela napas. "Aku tak tahu. Aku tak ingin mereka harus melakukan itu. Oh, Tuhan. Kami bertengkar tadi malam." Aku menceritakan pada Max semuanya.
  Ketika aku selesai menceritakan padanya, dia berkata, "Telpon mereka."
  Dia benar. Itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.
  Dia menyerahkan teleponku dan aku menelpon Grace.
  "Ya Tuhan!" Teriaknya, ketika aku mengatakan padanya di mana aku berada dan mengapa.
  "Grace. Tenanglah. Aku akan baik-baik saja. Aku hanya ingin kau membangunkan Mom dan Dad. Kalian bisa datang ke sini."
  "Oke. Oke." Dia hampir kehabisan napas.
  "Grace?"
  "Y


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>