Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Fade into Always - 9

$
0
0

Cerita Remaja | Fade into Always | Serial Fade by Kate Dawes | Fade into Always | Cersil Sakti | Fade into Always pdf

Cinta Seorang Copellia - Lisa Andriyana Masa Yang Hilang - Marisa Agustina Marissa - Shanty Dwiana Percy Jackson and the Olympians - Pertempuran Labirin The Iron Fey 1 - The Iron King - Julie Kagawa

a?"
  "Aku akan baik-baik saja. Pastikan kau memberitahu mereka juga."
  Kadang-kadang aku harus menjadi lebih terkendali, orang yang lebih dewasa di antara kami.
  Sementara kami menunggu mereka untuk datang, aku memberikan pernyataan kepada polisi. Aku merasa gugup pada awalnya, tapi obat penghilang rasa sakit benar-benar mulai bekerja. Plus, petugas yang mewawancaraiku tampaknya benar-benar bersimpati pada apa yang telah terjadi padaku.
  "Apa ada kontak seksual dengan si penyerang?" Tanya petugas.
  Max menatapku dan menunduk, menatap lantai. Dia tidak menanyaiku tentang itu, dan kurasa dia merasa bersalah memiliki pikiran itu. Aku mengulurkan tangan dan meraih pergelangan tangannya.
  "Tidak."
  Max mendesah berat dan balas meremas tanganku.
  "Kupikir kami memiliki semua yang kami butuhkan untuk saat ini," kata polisi itu. "Apa anda punya pertanyaan untuk saya?"
  Max berseru: "Dimana dia?"
  "Dirawat sebaik mungkin di sini. Lalu dia masuk penjara. Akan ada dakwaan Senin pagi, yang paling mungkin."
  Aku berkata, "Apa aku harus berada di sana?"
  "Tidak, Ma'am."
  Aku berpikir sejenak. "Apa yang akan terjadi padanya?"
  "Yah," kata petugas itu, meletakkan penanya kembali ke saku kemejanya, "serangan terhadap anda akan membuatnya masuk penjara lumayan lama. Tapi yang utama adalah penculikan."
  "Penculikan?"
  "Ya, Ma'am. Ketika ia membawa teman sekamar anda siapa kau namanya...Ms. Sherman?"
  Aku mengangguk.
  "Itu penculikan," kata petugas itu. "Dan itu bisa membawanya masuk penjara sangat lama. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum ia bisa melihat pemandangan luar penjara lagi."
  "Bagus," kata Max.
  Dan kemudian saat yang canggung terjadi. Polisi mengenali Max dan menumpahkan pujian atas film-filmnya. Max dengan ramah menanggapinya, dan polisi tidak melanjutkannya terlalu lama, atau meminta tanda tangan atau yang lainnya. Dia hanya menjabat tangan Max dan berkata, "Jika ada sesuatu yang anda atau pacar anda butuhkan, telepon saya." Dia memberi kartu namanya Max, Max mengucapkan terima kasih, dan polisi itu pergi.
  ***
  Itu adalah kekacauan ketika orang tuaku sampai di sana. Dalam pikiran mereka, mimpi terburuk mereka telah menjadi kenyataan dan rasa curiga dan ketakutan mereka tentang LA telah terbukti.
  Ibuku berlari untuk mencoba memelukku, tapi aku harus mencegahnya karena pasti nanti akan membuatku kesakitan. Ayah mencium keningku. Grace menangis dan memeluk kakiku.
  "Ceritakan apa yang terjadi," kata Dad.
  Aku menceritakan seluruh kisahnya kepada mereka, dan mereka berdiri di sana dengan syok. Ya Tuhan? Orang yang mereka pikir akan dan seharusnya menjadi calon suamiku yang melakukan ini?
  Kenapa, ya. Ya, dia yang melakukannya.
  "Ini salahku," Grace terus mengatakan itu.
  Seluruh cerita kotor keluar. Dan aku memberitahu orang tuaku semuanya.
  Aku juga mengatakan pada mereka tentang Max, yang telah menawarkan diri meninggalkan ruangan untuk sementara waktu sehingga aku bisa bertemu keluargaku tanpa harus menjelaskan segera siapa dia. Max mengatakan dia akan pergi di kantin rumah sakit dan memintaku untuk mengirim sms ke dia jika aku ingin dia kembali.
  "Olivia," kata Mom, "kenapa kau tak pernah jujur dengan kami?"
  Aku memutar mataku. "Kau tahu kenapa. Sembilan puluh persen dari percakapan kita membahas bagaimana aku telah membuat keputusan yang salah. Tentang jurusan yang aku ambil di perguruan tinggi, tentang pindah ke LA, semuanya."
  Dia akan mengatakan sesuatu.
  Aku menghentikannya. "Biar kuselesaikan. Kumohon. Untuk sekali saja. Dengar, aku mengerti mengapa kalian meragukan apa yang kulakukan. Aku mengerti. Kalian peduli padaku. Tapi itu berlebihan. Terlalu berlebihan. Dan selama ini yang kalian khawatirkan adalah tentang sesuatu yang terjadi padaku di sini, satu-satunya kekhawatiranku adalah ketika seseorang dari kampung halamanku datang jauh-jauh ke sini, seperti orang gila, untuk menyakitiku."
  Aku menatap mereka dan membiarkan mereka memahaminya.
  Untungnya, dokter datang ke ruangan pada saat itu.
  "Well, saya melihat seluruh keluarga telah berkumpul di sini." Kata dia sedikit riang, yang sedikit membuatku senang. Tidak ada yang lebih buruk daripada seorang dokter yang menangani pasiennya dengan cemberut.
  Dokter memperkenalkan diri pada orang tuaku dan kemudian bertanya apakah aku ingin melihat hasil rontgennya sendirian.
  "Kami orang tuanya," kata ayahku.
  "Ya, tapi dia sudah dewasa. Saya tidak bisa membahas masalah medisnya bersama orang lain tanpa izin."
  "Tidak apa-apa," kataku. Aku benar-benar hanya ingin agar ini cepat selesai dan keluar dari sana.
  Dokter menegaskan bahwa aku mengalami satu patah tulang rusuk.
  "Tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk itu. Hanya istirahat dan minum beberapa obat penghilang nyeri."
  Semua orang tampak lega.
  Dokter melanjutkan: "Apa anda tinggal bersama orang tua anda?"
  "Tidak."
  "Sendiri?"
  "Tidak. Well, saya punya teman seapartemen, tapi "
  "Saya mengerti," kata dokter. "Maaf, saya sedikit lupa. Malam ini menjadi sedikit kacau di sini. Ini mungkin ide yang bagus jika anda tinggal dengan orangtua anda." Dia memandang mereka. "Hanya untuk memastikan dia baik-baik saja selama beberapa hari. Tidak ada yang penting."
  "Kami tidak tinggal di sini," kata Dad. Aku melihat suaranya lembut. Dia terdengar seolah-olah ia telah menyerah atas gagasan bahwa aku hidup sendirian saja.
  "Dan kami seharusnya pergi untuk pulang hari ini," kata Mom.
  Grace menggendong bayinya yang sedang tidur, dan berbisik, "Mungkin kita harus menginap."
  "Tidak apa-apa," kataku. "Aku tahu apa yang bisa kulakukan."
  ***
  Fade Into Always Bab 14
 
  Max masuk ke kamar rumah sakit beberapa menit setelah aku mengirim sms padanya.
  Dia bersikap gentleman, memanggil orang tuaku sebagai Mrs. Rowland dan Mr. Rowland, dan mengatakan pada Grace dia senang bertemu dengannya. Max mengacungkan jarinya seolah-olah akan mencolek keponakanku yang masih bayi tapi jarinya malah digenggam oleh keponakanku.
  Kupikir setelah memberitahu orang tuaku tentang Max mereka memiliki gagasan siapa Max dan ketika dia sampai ke kamar, dia berjalan dengan diikuti rombongan paparazi memotret fotonya. Aku cukup yakin mereka mengharapkan Max masuk dan terlihat menyolok, bersikap sombong, menjaga jarak, dan semua sikap klise lainnya yang orang asosiasikan dengan Hollywood.
  Tapi Max, seperti biasa, tidak mungkin lebih bersahaja lagi, dan kupikir itu mengejutkan mereka semua.
  "Maaf, saya tidak bisa sampai di sana lebih cepat setelah Olivia menelpon," katanya pada keluargaku.
  Sebelum orang lain bisa menjawab aku berkata, "Kau bukan Batman, tahu."
  Dia tersenyum sekilas padaku.
  Orang tuaku tertawa untuk pertama kalinya dalam...well, selama yang aku bisa ingat.
  Dia baru di sini beberapa menit sebelum ayahku berkata, "Keberatan kalau kita bicara di lorong?"
  Max tidak ragu-ragu. "Tidak sama sekali."
  Saat duanya meninggalkan ruangan, aku berpikir: Oh, tidak. Ayahku akan mendesaknya. Mungkin mencoba untuk membujuk Max agar berpihak pada mereka dalam perdebatan tentang apa aku harus pulang kembali ke Ohio atau tidak.
  Tapi Max tidak akan melakukan itu, aku tahu. Namun, percakapan itu mungkin akan menjadi tidak nyaman baginya, dan aku benci pikiran itu.
  Grace berkata, "Wow. Hanya...wow."
  Ibuku menatapnya. "Apanya yang wow?"
  Mulut Grace ternganga. "Eh, halo, mom? Apa kau tidak melihat bagaimana tampannya pacar Olivia itu?"
  Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat raut wajah ibuku yang menyatakan bahwa ia mungkin berharap putrinya tidak pernah melihat ekspresinya. Itu hanya mengangkat sedikit alis, dan sudut mulutnya sedikit ditarik.
  "Penampilan luar tidak sepenting apa yang ada di dalam," kata ibuku. Tatapnya tertuju kearahku.
  Grace menatapku, menungguku untuk membela Max, mungkin mengharapkanku untuk mengeluarkan semua daftar sifat baiknya.
  Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya berkata, "Aku mencintainya. Sungguh. Aku benar-benar mencintainya."
  Aku mulai menangis. Ibuku mendekat ke tempat tidur dan meletakkan tangannya di atas tanganku dan hanya tersenyum.
  ***
  Orang tuaku bertemu lagi dengan dokter yang merawatku dan dia meyakinkan mereka bahwa cederaku ringan, dan bahwa aku akan baik-baik saja.
  Sementara mereka bicara dengan dokter di lorong, Grace mengatakan ia akan mengganti popok bayinya di suatu tempat. Max dan aku punya waktu berduaan beberapa saat.
  "Apa yang kau dan ayahku bicarakan?"
  Dia mengusap lenganku. "Sebagian besar football. Dia ingin tahu tim mana yang aku dukung di Super Bowl."
  "Diam."
  Max tersenyum. "Tidak. Sungguh, itu adalah pembicaraan yang baik. Dia bilang dia tidak senang kau berada di sini, tapi ia tahu kau akan melakukan apa yang kau inginkan."
  "Aku berharap dia akan mengakuinya dihadapanku."
  "Ya," Max berkata, "well, ambil apa yang kau dapatkan. Dia bertanya dari mana aku berasal, hal-hal semacam itu. Kupikir dia menyukai kenyataan bahwa aku berasal dari Midwestern."
  Aku memutar mataku. "Dia bisa menjadi teritorial semacam itu."
  "Apa kau memberitahu mereka tentang rencanamu meninggalkan agensi?"
  Aku menggeleng.
  "Kupikir tidak," katanya. "Karena ayahmu tampaknya agak terkejut ketika aku mengatakan padanya kau akan menjadi asisten dan editorku."
  Aku langsung mengangkat Alis. "Editor?"
  "Well, yeah. Pertama jadi pembaca, penjaga pintu. Jujur padaku ketika aku menulis sesuatu menyebalkan."
  Aku hanya tersenyum. Ini akan menjadi sangat bagus.
  "Dia juga bertanya apa sebenarnya niatanku terhadapmu."
  Aku tertawa dan menutup mulut dengan tanganku.
  "Tidak seperti itu," katanya. "Tapi jangan kau berpikir sedetik pun bahwa itu pernah meninggalkan pikiranku."
  "Bahkan ketika aku sedang dalam keadaan seperti ini? Begitu kacau?"
  Dia menggeleng. "Kau selalu cantik."
  "Jadi aku bisa pulang denganmu?"
  "Itu hal lain yang ayahmu ingin tahu. Bahwa aku akan mengurusmu. Aku bilang ya, dan bukan hanya sampai kau sembuh."
  Emosiku langsung memuncak. Aku tak bisa mengendalikannya. Aku harus mengatakan padanya bagaimana perasaanku. Aku ingin melihat ekspresi wajahnya ketika aku mengatakan itu padanya. Dan aku perlu melakukannya sebelum dia menjelaskan semua janji-janji yang diucapkannya pada ayahku.
  "Aku mencintaimu."
  Tiga kata. Tiga kata yang sangat ampuh. Tiga kata yang ingin kukatakan padanya. Tapi itu tidak keluar dari mulutku. Kata-kata itu datang darinya. Tiba-tiba. Tanpa peringatan. Tepat pada saat aku akan mengatakan itu padanya. Sekali lagi, dia seperti bisa membaca pikiranku.
  "Mendekatlah dan cium aku," kataku.
  Max membungkuk dan menempelkan bibirnya dengan lembut di bibirku.
  Disela-sela ciuman kami aku berkata dengan agak teredam, "Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu untuk sementara waktu sekarang."
  Kami mendengar pegangan pintu berbunyi klik dan Max menarik diri.
  ***
  Fade Into Always Bab 15
 
  Dua minggu kemudian, pada hari Sabtu sore, aku terbangun dari tidur siang mendengar suara dering teleponku. Itu orang tuaku yang memeriksa keadaanku. Mereka menelepon setiap hari selama dua minggu terakhir.
  Percakapan dengan orang tuaku telah berubah menjadi lebih baik. Tidak berdebat. Tidak ada pertengkaran. Tidak menggangguku atas pilihan hidupku. Mereka bahkan bicara dengan Max beberapa kali. Percakapan singkat, dan dari apa yang aku bisa mendengar di ujung sana, mereka kebanyakan mencoba untuk mendapat konfirmasi darinya tentang kemajuan kesehatanku.
  Aku belum seratus persen sembuh, tapi aku merasa jauh lebih baik. Obat penghilang rasa sakit juga memainkan peran besar dalam hal ini.
  Ketika aku bicara dengan Grace, dia bertanya tentang Krystal.
  "Dia sudah di rehab selama dua minggu. Aku belum pergi mengunjunginya dan dia tidak diizinkan untuk memiliki ponsel sendiri, tapi dia menelepon beberapa hari lalu dan terdengar benar-benar baik."
  "Aku mendengar orang tuanya berada di sana."
  "Ya, dia mengatakan itu. Mereka mencoba untuk mentransfer dia tapi dia tidak dilindungi oleh asuransi, jadi dia tinggal di sini."
  Grace bertanya, "Max membayar untuk itu semua?"
  "Ya."
  "Sebaiknya kau jangan membiarkan dia lolos."
  Max telah berbaring denganku, tapi ia tidak lagi di tempat tidur. Kurasa mungkin dia pergi untuk lari.
  Aku berjalan dari kamar tidurnya kamar tidur kami, sekarang aku tinggal bersamanya secara permanen berjalan menuruni tangga dan masuk ke ruang terbuka yang besar. Pemandangan diluar sangat cantik. Cerah,


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>