Cerita Remaja | Dibakar Malu Dan Rindu | by Marga T | Dibakar Malu Dan Rindu | Cersil Sakti | Dibakar Malu Dan Rindu pdf
Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes
tercinta. Aku sudah enggak diberi kesempatan oleh nasib untuk mencintai anakku, biarlah cinta itu sekarang aku alihkan pada cucuku.
Yustina memperlihatkan surat kawin serta sebuah album yang penuh dengan foto-foto Arman bersama istri dan kawan-kawan. Tampaknya Arman berperangai riang, tubuhnya tegap, wajahnya ganteng, eh mirip-mirip Luki!
"Boleh aku pinjam album ini untuk sementara?"
"Lebih baik jangan dulu, supaya Edo jangan belum apa-apa sudah tahu siapa yang mendala ngi perubahan situasi ini," saran Niko. "Kita harus menja ga keselamatan Kareem dan ibunya."
Ada benarnya juga. Kalau mereka dianggap sebagai penghalang, bisa-bisa mereka juga akan menemui nasib serupa dengan Arman. Saat itu menyelip dalam benakku sebuah pikiran: mungkinkah Jonas juga dibunuh, karena menghalangi jalan untuk merebut hati keponakanku yang notabene nilainya sekian miliar rupiah dalam bentuk saham, rumah-rumah, dan uang tunai?!
Setelah mereka berlalu (Niko resah, ingin cepat-cepat berlalu, supaya jangan sampai kepergok musuh. Sudah kuberitahu orang itu sedang kencan bersama keponakanku dan akan kembali sekitar jam sekian-sekian), aku enggak sabar lagi menunggu keponakanku dengan tunangannya itu pulang. Hm. Tunangan gadungan!
Katarina membalik sisa halaman buku itu, tapi tak ada tulisan apa-apa lagi. Rupanya memang cuma sampai di situ. Tentu saja hatinya tidak puas. Bahwa Arman itu sebenarnya Niko, dia sudah menduga, karena sudah tahu dari Kareem, ayahnya telah meninggal ketika dia masih kecil, kecelakaan mobil. Tapi tidak mungkin kisah itu cuma sampai sekian. Pasti harus ada lanjutannya. Mana???!
Saat itu mereka sudah kembali ke Melbourne. Minggu depan dia akan terbang ke Jakarta, goodbye untuk sementara. Sampai jumpa lagi tahun depan atau lebih cepat.... Menjadi Nyonya Dokter Kareem Rejana?! Uh, gagah kedengarannya. Atau sebagai Katarina Rejana? Rasanya lebih keren daripada sekarang, Katarina Kiripan.
Kalau bisa, dia kepingin diresmikan secepatnya. Alasannya, haidnya sudah terlambat dua belas hari!!! Ibunya pernah bilang, kalau stres memang bisa telat. Masak gara-gara tur? Turnya enggak stres kok, tapi malah menyenangkan. Atau karena dia merasa bersalah sudah melakukan yang tidak... lumrah? Rasa bersalah kan memang merupakan stres.
Tidak, dia sama sekali tidak merasa bersalah atau menyesal. Hatinya yakin apa yang mereka lakukan bukanlah pelanggaran norma, akan tetapi sungguh-sungguh luapan cinta sejati. Anggap saja kami ini masih hidup di zaman batu, di mana belum ada surat kawin dan undang-undang. Aku bukanlah main dengan sembarang orang, dan juga bukan direncanakan. Semua terjadi dengan polos. Dan kami memang sudah berniat hidup bersama. Kecelakaan yang telah terjadi terpaksa dimaafkan saja oleh Papi-Mami. Maklum, kami ini manusia lemah.
Masalahnya sekarang, dia harus memberitahu Kareem sebelum balik ke Jakarta. Berarti rencana kawin tahun depan terpaksa dimajukan. Yang harus dilakukannya adalah melakukan tes supaya terbukti positif atau... negatif.
Rencananya besok dia akan ke apotek membeli tes tersebut. Tapi malam ini dia mau santai, ogah mengingat-ingat apa yang masih belum pasti. Sehabis makan biasanya mereka duduk di depan TV mendengarkan warta berita atau kemudian menonton film.
Katarina teringat bacaannya. Langsung ditanyakannya pada Kareem mana lanjutannya. "Oh, buku itu memang cuma sampai situ." "Kenapa?" tanyanya heran banget. "Karena malam itu juga nenekku meninggal." "Hah?! Sakit apa?"
"Dibunuh! Bibiku juga hampir tewas."
Katarina menyandarkan diri ke punggung sofa, memeluk bantal kursi dan mencoba menenangkan diri. Napasnya terasa memburu seakan baru habis lari setengah maraton, hidungnya mengembang, matanya melotot heran bercampur ngeri, bibirnya menganga sedikit.
Tak pernah terpikir olehnya nenek Kareem dibunuh orang! Dan selama sebulan lebih dia menikmati buku tersebut, dia sudah merasa dekat dengan Nenek Karla, seolah dikenalnya perempuan itu. Mengetahui akhir hidupnya demikian tragis membuatnya sesaat tak sanggup membuka mulut.
Kareem melihat keadaannya. Dia bangkit dan mengambilkan teh hangat yang dituangnya pelan-pelan ke celah bibir yang menjadi pucat itu. Bibir cantik yang biasa merah merona itu tampak seperti daging yang sudah kelamaan dalam kulkas, serinya sudah lenyap.
Setelah minum beberapa teguk, Katarina mengedip, mengejapkan mata, dan menggigit bibirnya. Kareem meletakkan cangkir ke atas meja di depan mereka, lalu duduk merangkul bahu gadisnya, merebahkan kepalanya yang harum ke dadanya. Dia menunduk dan mengecup sejenak bibir yang saat itu tampak kuyu. Namun lambat laun warna merah yang biasa menantang itu muncul lagi. Kareem pun diam-diam menarik napas lega.
Katarina merasa baikan, gemuruh dadanya sudah reda, pelan-pelan diangkatnya kepalanya dan duduk tegak bersandar ke sofa. Kareem masih merangkul bahunya tapi tidak lagi memeluknya.
"Kau kaget?" bisiknya.
Katarina mengangguk. "Aku sudah merasa Karla seperti nenekku sendiri, enggak sangka nasibnya begitu jelek."
Kareem menunduk sambil manggut-manggut.
"Pembunuhnya ketangkap?"
Kareem mengangguk dengan bibir terkancing.
"Motifnya apa? Perampokan?"
Kareem menggeleng pelan, menghela napas, menarik lengannya dari bahu gadis itu, lalu mengatupkan kedua tangan di atas pangkuan. "Memang soal duit, tapi bukan mau merampok."
"Siapa orangnya?"
"Yang membunuh? Edo."
"Coba ceritakan. Kau tahu kan kisahnya?"
"Bibiku yang ngasi tahu. Malam itu dia pulang bersama Edo, langsung ke kamar mandi. Rupanya nenekku konfrontasi langsung, menuduh Edo telah membunuh anaknya, yaitu ayahku. Paginya dia ditemukan tewas. Rupanya Edo masuk dari pintu teras yang terbuka ke halaman samping. Halaman itu bersatu dengan hutan. Namanya kan daerah pegunungan, mereka enggak pasang pagar, cukup batang-batang pohon cemara saja. Memang juga lebih asri."
Kareem menarik napas sedih.
"Dan bibimu?! Katamu, dia juga hampir tewas...."
"Memang." Kareem mengangguk. "Dia dia ngkut oleh tunangannya, Edo, ke bangsal, dimasukkan ke kamar isolasi. Di sana mau disuntik mati. Untung pa da saat terakhir muncul Niko yang menyelamatkannya.. . happy end!" Kareem mencoba tersenyum kecil, namun tidak mendapat tanggapan dari Katarina.
Gadis itu kelihatan tegang, bibirnya digigit-gigit-nya, matanya setengah jelilatan seakan mencari sesuatu. Akhirnya tercetus juga sepotong kalimat dengan suara serak, "Apa sih motifnya?"
"Sudah aku bilang, duit! Bangsat itu punya anak cacat. Rupanya dia perlu duit banyak untuk menolongnya. Dia sedang melakukan riset yang makan duit. Dia juga membunuh pacar bibiku yang kebetulan nginap di tempat Nenek. Bibi tinggal bersama Nenek setelah ayahnya meninggal. Setahun sebelumnya dia telah membunuh ayahku, saudara tirinya."
"Sau-da-ra... ti-ri-nya?!" bisiknya gagap.
"Ya." Kareem mengangguk tegas. "Ayah mereka itu sama. Dokter Lukito Sabara."
"Sa-ba-ra???!" Suaranya semakin kecil, nyaris kayak orang tercekik. Bibirnya semakin keras digigitnya.
"Betul. Luki Sabara, kakekku, punya anak tunggal, Edo. Tapi dia pacaran dengan nenekku, lalu tanpa setahu Kakek, Nenek melahirkan ayahku, Arman. Kau kan sudah tahu kisahnya. Kakek tewas terjungkal ke jurang. Ayahku diangkat anak oleh abang Nenek yang cuma punya seorang anak, bibiku. Karena itu namanya Rejana, bukan Sabara."
Katarina menggigil dalam hati, tapi masih berusaha menghibur diri. Orang yang namanya Sabara kan banyak! Kakekku juga dokter, tapi namanya Ogus, bukan Lukito. Cuma... kok nama anaknya bisa kebetulan sama dengan ayahku? Edo Sabara!
"Kau punya foto-foto mereka? Nenekmu Karla, dan kakekmu Ogus... oh, maaf, maksudku Luki." Tangannya meremas-remas ujung bantal saking senewen.
Kareem sedang menunduk memandangi lantai, tangannya terkatup di antara lututnya yang terbuka, dia tidak melihat betapa gundahnya gadis itu. Dengan tenang dia manggut tanpa mengangkat muka, "Kakekku memang punya dua nama. Lukito Ogus Sabara! Enggak, aku enggak nyimpan foto mereka, tapi Bibi Tania kalau enggak salah, punya satu."
Katarina merasakan tenggoroknya tersekat. Ada lima menit dia termangu, lemas. Ketika Kareem bangkit, mungkin mau ke WC, dipaksanya bertanya, "Betulkah nenek dan ayahmu dibunuh oleh...?" Ternyata dia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya, tak kuasa menyebut nama sang pembunuh.
Kareem berdiri, jangkung bagaikan menara, di hadapannya, bahunya terangkat, bibirnya sedikit mencibir. "Edo Sabara sudah mengakuinya." Tanpa menunggu reaksi Katarina, dilangkahkannya kakinya ke dalam, memang mau ke WC.
Ditinggal sendiri, Katarina bengong menatap ke arah TV tapi tidak melihat apa yang disuguhkan. Tanpa disadarinya tangannya meremas-remas bantal di pangkuannya, lalu menggigiti ujung bantal seperti perangainya dulu semasa kecil. Ketika didengarnya suara WC dibasuh, dia terenyak seolah kaget. Bergegas dia berdiri dan sebelum Kareem kembali ke ruang duduk, dia sudah menghilang ke dalam kamarnya.
Kesulitannya sekarang, kamarnya tidak lagi merupakan benteng baginya. Kareem juga sudah biasa masuk, cukup mengetuk saja sekali. Dan fatalnya, pintu kamar tidur di sini tidak punya kunci.
"Hai, Rina, di mana kau?" terdengar suara Kareem dari arah ruang duduk.
Katarina menggigit bibir, menelan ludah, dan menjawab dengan suara yang dipaksanya agar kedengaran biasa, "Aku ngantuk, good night deh."
"Oh, oke, oke. Selamat mimpi!"
Katarina tidak berani tersedu-sedan, kawatir terdengar ke luar. Namun demikian dia tak kuasa membendung air matanya yang mengalir terus sepanjang malam. Sarung bantal sengaja ditatakinya dengan sehelai handuk kecil yang biasa digunakan untuk melap muka agar tidak kena bercak air mata.
Sekarang dia tahu siapa Kareem sebenarnya. Takkan mungkin baginya berterus terang soal keterlambatan haid. Tes itu pun tidak penting lagi. Positif atau negatif, sama saja. Dia tidak bisa memberitahu Kareem. Keponakan Tania. Tania yang membiayai pengobatannya selama ini, sehingga pendengarannya dapat bekerja lagi. Tania yang hampir tewas disuntik ayahnya, tapi membalasnya dengan kebaikan.
Apakah sekarang dia akan menusuk hati emas itu dengan melakukan hal yang memalukan, mencoreng aib ke mukanya? Apakah dia tetap berteka d mau menjadi istri Kareem?
Walaupun sekarang sudah zaman gila-gilaan, rasanya dia tidak sanggup menikah dengan saudara sendiri. Ayah-ayah mereka ternyata abang-adik, cuma lain ibu! Oh, kenapa nasibku begini malang?! Untung empat hari lagi aku sudah bisa pulang. Aku enggak tahan berduaan terus dengan orang yang terlarang bagiku, karena aku sangat mencintainya. Dia juga sangat mencintaiku. Pasti bisa tepercik lelatu yang akan berkobar jadi bara panas, dan itu enggak boleh terjadi lagi. Ah, seandainya aku bisa terbang besok!
Bab 29
Sudah tiga bulan Katarina balik ke Jakarta. Berarti sudah tiga bulan juga usia kandungannya. Dia sering bermimpi mengenai tes yang dilakukannya diam-diam sewaktu Kareem sedang dinas. Tentu saja peralatan tes langsung dibuangnya ke tempat sampah di halaman agar jangan sampai dipergoki oleh Kareem. Dia merasa tragis karena tak mampu meloncat gembira ke dalam pelukannya seperti yang selama itu diharapkannya. Biasanya seorang perempuan akan tersenyum bahagia bila tes positif. Akan tetapi dia justru meneteskan air mata. Sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi dengan anaknya kelak. Tidak punya ayah!
Karena tubuhnya cukup gempal, sama sekali tak kelihatan tanda yang mencurigakan. Pinggulnya memang sejak dulu sudah membulat, namun perutnya masih serata papan cucian ketika dia balik ke Jakarta.
ibunya sudah dikasi tahu, tapi dia menolak mengatakan siapa nama sang ayah. Untuk menghindari tanya-jawab yang terlalu menjelimet, Katarina cepat-cepat meninggalkan Jakarta, kembali ke asrama di RS Sabara-Birka meneruskan tugasnya.
Dia disambut dengan meriah. Dokter Ishtar mengadakan jamuan makan siang di kantin, dihadiri semua dokter dan perawat. Ibu Tania spesial muncul dengan seloyang besar roti kukus berisi ikan tuna kesukaan Katarina. Tania sekarang mengepalai dapur rumah sakit. Dia masih terlibat dengan sekolah yang pernah didirikannya, tapi hanya sebagai ketua yayasan, tidak lagi mengajar di depan kelas.
Semua berjalan mulus sejauh itu menyangkut dinas dan pergaulan Katarina dengan sesama staf. Lain ceritanya dengan Kareem. Begitu dia terbang pulang, malamnya Kareem sudah mengirim e-mail. Tentu saja dia t
↧
Dibakar Malu Dan Rindu - 35
↧