Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Dibakar Malu Dan Rindu - 36

$
0
0

Cerita Remaja | Dibakar Malu Dan Rindu | by Marga T | Dibakar Malu Dan Rindu | Cersil Sakti | Dibakar Malu Dan Rindu pdf

Cinta Seorang Copellia - Lisa Andriyana Masa Yang Hilang - Marisa Agustina Marissa - Shanty Dwiana Percy Jackson and the Olympians - Pertempuran Labirin The Iron Fey 1 - The Iron King - Julie Kagawa

ak tahu, sebab dia baru masuk kerja empat hari kemudian. Saat itu sudah ada empat e-mail dari Kareem. Dibalasnya semua sekaligus.
  "Aku sudah tiba dengan selamat. Enggak ada kesulitan sedikit pun. Kemarin aku masuk kerja buat pertama kali, disambut dengan hangat. Sungguh mengharukan. Dan tadi siang mereka mengadakan jamuan kecil, kami makan siang bersama. (Katarina sengaja tidak mau membawa-bawa nama Tania yang menyuguhkan roti ikan tuna kesukaannya.)
  "Mengenai usulmu untuk menghubungi bibimu, aku minta ditunda dulu. Nanti aku kabari kalau saatnya sudah tiba...."
 
  * * *
 
  Untung sekali dia tidak mengalami komplikasi apa pun. Tak ada muntah-muntah hebat atau gangguan nafsu makan. Semua biasa. Tiga bulan kemudian perutnya masih tetap kempis, tapi berdasarkan pemeriksaan dokter Jakarta yang dikunjunginya diam-diam, janin itu sudah berkembang subur. Tinggal enam bulan lagi....
  Dokter Ishtar mulai mengajaknya untuk mengelola kelas-kelas tuna rungu. Tidak secara mendadak, melainkan sedikit-sedikit, pelan-pelan, sebab tugasnya yang utama masih tetap di bagian tata usaha. Tapi rencananya lambat laun dia akan masuk ke bagian pendidikan.
  Dia mulai memperhatikan gosip-gosip seperti dulu. Mengenai pasien-pasien maupun para staf. Dia mendengar mengenai Dokter Sabrina yang dimasukkan ke Bagian Psikiatri oleh suaminya dengan alasan dia mau mengenyahkan anaknya yang pertama setelah melahirkan yang kedua. Atau kira-kira seperti itu.
  "Tapi Dokter Sabrina justru menuduh suaminya sudah sekongkol dengan seorang perempuan yang ingin merebut cintanya," seorang perawat bercerita untuk seisi meja ketika mereka sama-sama bersantap siang.
  "Aku dengar perempuan itu sebenarnya teman Dokter Sabrina!" tukas yang lain.
  "Kabarnya begitu. Malah seorang dokter juga," kata yang lain lagi.
  "Ada yang bilang, perempuan itu sebenarnya dulu adalah istri laki-laki itu. Dia meninggal ketika melahirkan, lalu sang suami menikah lagi dengan Dokter Sabrina. Bayi itu dirawat oleh sang dokter"
  "Bayi yang sekarang ingin dienyahkannya?"
  "Iya. Aku sendiri hampir enggak bisa percaya. Apalagi aku dengar alasannya adalah karena ibu anak itu menuntutnya kembali!"
  "Hah!" pekik seseorang. "Baru dengar orang mati bisa kembali! Kan dia sudah mati waktu melahirkan?!"
  Katarina mendengarkan tanpa komentar. Dia tak begitu mau memusingkan kepala dengan gosip serupa itu. Urusannya sendiri bisa dijadikan gosip buat sepanjang tahun asal mau! Selain itu, kepalanya sudah cukup mabuk memikirkan bagaimana menghadapi serangan e-mail yang gencar dari Kareem.
  Dia berusaha menjawab dengan sikap riang, ringan, penuh humor, namun tanpa komitmen. Semua pertanyaan yang menjelimet ke arah perkawinan dielakkannya tanpa mencolok. Diusahakannya menulis jawaban yang netral, bukan penolakan, bukan pula persetujuan.
  Main kucing-kucingan begini menguras energi, membuatnya susah tidur, tapi apa boleh buat. Dia masih belum mampu untuk membuka kartu. Tak tahu apakah dia akan pernah bisa berterus terang dalam hal ini. Sering terpikir olehnya untuk menjauhkan diri dari jangkauan Kareem, tapi ke mana dia bisa pergi? Kareem sudah tahu alamatnya di RS Esbe (sebutan umum untuk Sabara-Birka). Dan bila dia memutuskan hubungan, Kareem pasti akan minta bantuan Tania untuk mencarinya. Identitasnya akan segera ketahuan, begitu juga di mana tempat tinggal orangtuanya.
  Ini harus dicegahnya. Kareem tidak boleh memberitahu Tania. Hubungan mereka berdua tak boleh bocor ke sana. Tania pasti akan segera tahu, mereka berdua masih terlibat hubungan keluarga.
  Menginjak bulan keenam barulah tampak sedikit tanda-tanda perut mulai menonjol ke depan. Begitu lama tidak mencurigakan, itu disebabkan dia selalu mengenakan pakaian yang longgar. Terutama celana panjang ditutupi blus longgar yang lepas di luar. Namun bulan ini adalah batasnya. Bulan depan pasti s udah tak mungkin ditutupi lagi.
  Tak ada jalan lain. Dia harus cuti sampai melahirkan. Alasannya apa? Dia minta nasihat pada ibunya yang ditengoknya dua minggu sekali. Ibunya malah memintanya pulang setiap minggu, bukan sebulan sekali seperti zaman dulu. Tapi dia keberatan, dengan alasan nanti terlalu capek.
  Melita Kiripan menasihati putrinya supaya pura-pura perlu istirahat sekalian menemani Nenek Kiripan yang baru saja menjadi lumpuh akibat stroke. Memang rencananya dia mau tinggal bersama Nenek di luar kota, dekat Cilacap.
  Pada Kareem dipintanya agar menghentikan e-mail untuk sementara sampai dia dinas kembali. Tentu saja laki-laki itu sangat kecewa, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia juga tak mungkin menyusul ke Jakarta sampai pertengahan tahun depan. Untuk Katarina, situasi ini merupakan semacam keuntungan. Dia bisa sedikit tenang menghadapi keadaannya. Ketenangan ini cuma relatif, tidak seratus persen benar.
  Dalam hati dia tahu takkan pernah tenang lagi buat seumur hidup. Mana mungkin aku akan tenang dan bahagia kalau terpaksa harus melepaskan satu-satunya orang yang pernah kucintai! Dan yang mencintaiku! Sungguh ironis. Sudah begitu cocok, ternyata orangtua kami menjadi penghalang. Ayahku telah membunuh ayah serta neneknya! Begitu tahu aku ini anak si "bangsat" Edo, mungkin juga cintanya langsung berubah jadi kebencian. Mungkin juga dia akan berusaha menyakiti hatiku untuk membalas dendam pada ayahku. Dan aku sama sekali enggak bisa menyalahkannya. Dia pantas merasa sakit hati. Kematian ayahnya sudah merusak keluarganya. Ibunya jadi sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Yah, gimana juga kami berdua masih bersaudara, ayah-ayah kami mempunyai orangtua yang sama. Kami berdua enggak mungkin berjodoh....
 
  Katarina mendengarkan nasihat orangtuanya dengan berdiam diri. Dia mengerti tak ada yang dapat dilakukannya untuk menolak.
  "Percayalah kami bertindak demi kepentinganmu sendiri, Rina. Demi menjaga namamu. Sebaiknya jangan ada orang luar yang tahu mengenai keadaanmu. Sampai saat ini masih aman, bukan?" tanya ibunya dengan lemah lembut seperti biasa kalau bicara dengannya.
  Katarina manggut dengan bibir terkancing. Ayahnya sejak tadi menunduk saja memandangi karpet, bibirnya pun bergeming.
  "Nah, kebetulan sekali Santi dan suaminya sudah begitu lama mendambakan seorang anak. Mami mengusulkan supaya baby itu diserahkan pada mereka. Dengan begitu kau bisa melihatnya terus, enggak usah berpisah jauh. Juga hatimu akan tenteram, tahu dia pasti akan dicintai oleh orangtua-nya."
  Santi adalah sepupunya. Ibu Santi, kakak sulung ibunya. Secara kebetulan pikiran serupa juga pernah melintas sekali-dua kali dalam otaknya, walau belum pernah diutarakannya.
  "Bagaimana, Rin?" ayahnya menegaskan.
  Katarina mengangkat kepalanya, menatap ibunya tapi tidak mau memandang ayahnya. Sejak kembali dari Australia hampir delapan bulan yang lalu, kontak-bicara antara dia dan ayahnya masih bisa dihitung dengan jari. Kalau nelepon, dia selalu minta ibunya. Bermalam di rumah juga jarang banget. Sekarang dia lebih sering mutar di antara sepupu-sepupu serta paman-bibi, nginap di sini semalam, di sana dua malam. Keponakan tersayangnya saat ini, Popy, yang lahir ketika dia sedang di Australia.
  "Enggak ada jalan lain kan, Mam? Ya, terpaksa setuju," ujarnya singkat.
  Ibunya mengangguk-angguk tanpa komentar.
  "Besok Santi dan Albin akan datang menemui kamu," ayahnya memberitahu. "Jangan ke mana-mana," sambungnya.
  Pertemuan itu singkat, hangat, dan penuh manfaat. Santi berusia tiga puluh delapan, suaminya, Albin, empat tahun lebih tua. Wajah Santi mirip dengan Katarina, berarti mirip dengan ibu-ibu mereka. Sinar terang yang menandakan harapan membuat wajahnya tampak berseri, cantik, dan sepuluh tahun lebih muda. Memandang sepupunya yang demikian tulus menantikan kelahiran sang bayi, membuat Katarina terharu sekaligus terhibur.
  Apa pun yang akan terjadi padaku, yang penting adalah anakku. Dan aku sudah enggak kawatir lagi memikirkan hari depannya. Aku yakin dia akan dirawat dan diasuh sebaik-baiknya oleh Santi dan Albin.
  Mereka tidak bicara panjang-lebar. Cuma garis-garis besar apa yang akan dilakukan bila saatnya telah tiba. "Rina akan tinggal di tempat Nenek, kecuali bila dokter menasihatkan lain. Tapi sejauh ini, dokter tidak keberatan dia ditolong oleh bidan, sebab tak ada kelainan apa-apa," ibunya menjelaskan pada Santi. "Kalau kau mau, kalian berdua boleh ikut menemani pada saatnya. Santi, kau boleh ikut menyaksikan kelahiran itu supaya ikatan batinmu dengan anak itu langsung timbul saat dia muncul di dunia. Dan seminggu kemudian kalian bisa pulang ke rumah membawa sang bayi." Tante Melita Sabara tersenyum hangat pada keponakannya.
  "Boleh aku ikut menyaksikan, Rin?" tanya Santi dengan waswas, sikapnya seperti anak kecil, membuat Katarina tersenyum geli.
  Dia mengangguk, tidak perlu kata-kata. Anakku sedang dilelang! Tapi lebih baik begini baginya, daripada dia harus menanggung malu sebagai anak tanpa ayah! Jangan pikirkan perasaanku sendiri. Bagaimanapun toh nasibku sudah enggak tertolong, karena aku jatuh cinta pada orang yang salah. Ayahku dan ayahnya bersaudara! Ayahku telah membunuh ayahnva! Gara-gara diriku juga. Kenapa telingaku rusak, sampai-sampai ayahku terpaksa membunuh untuk mendapatkan uang buat riset bagiku!
  Santi memeluknya dengan penuh sayang ketika mereka pamitan. "Terima kasih sebanyak-banyaknya, Rina!" bisiknya ke telinganya. "Percayalah, apa juga yang terjadi, aku enggak akan menyia-nyiakannya. Aku akan mencintainya seperti anak kandungku sendiri."
  "Betul, Rin!" sambung Albin meletakkan tangan di bahunya. "Kami akan mencintainya seperti anak kandung. Kami sangat bersukur atas kepercayaan yang kauberikan pada kami. Anak itu takkan pernah terlantar. Dan kau juga boleh tetap mengenalnya."
  "Cuma sebagai tante," komentar Melita, tertawa kecil. Semua orang ikut terkekeh. Sesaat itu Katarina cukup terhibur. Anaknya sudah mantap hari depannya. Yang jadi masalah tinggal satu: bagaimana mengelakkan Kareem. Bagaimana aku harus membatalkan rencana kawin kami tanpa melukai hatinya?
 
  Agaknya Santi sudah dikisiki oleh Tante Melita, jadi sekali pun tak pernah disinggungnya siapa gerangan ayah anak itu. Malah mungkin baginya lebih baik bila tidak tahu, jadi takkan pernah takut kena gugat.
  Katarina mengantar Santi dan Albin ke mobil dengan wajah tersenyum. Ibunya tampak tidak kurang leganya karena kesulitan besar itu sudah terselesaikan. Namun ketika dia sudah sendirian dalam kamar menjelang tidur, air matanya menetes turun.
  Kenapa aku enggak boleh merawat sendiri buah hatiku? Oh, Tuhan, kenapa aku harus melepaskan anakku? Kenapa aku enggak boleh memeluk dan mengecupnya setiap malam, memeluk dan mengecupnya setiap pagi? Mendengarkan ocehannya? Memandikannya? Menyuapinya ? Menggendongnya? Mengajaknya bermain? Mendendangkannya Nina Bobo?
  Karena keluarga Kakek Luki Ogus Sabara mempunyai kelainan bawaan di kuping, aku berharap semoga anakku jangan kena. Maklum, ibunya (aku) dan ayahnya (Kareem) sama-sama cucu Luki!
 
  * * *
 
  Kelahiran Arman berlangsung mulus, tepat seperti yang direncanakan. Nama itu diberikan oleh Katarina sebagai peringatan pada sang kakek. Dokter Arman, yang tewas di tangan kakek lainnya, Dokter Edo. Ibunya menemani sejak dia pindah ke tempat Nenek. Santi dan Albin baru muncul setelah dipanggil melalui telepon oleh ibu Katarina.
  Bidan Emi sudah berusia setengah abad, penduduk lama di situ, kenal baik dengan Nenek. Atas permintaan Katarina, ibunya melarang siapa pun ngoceh sama bidan. Sepintas lalu ibunya sudah memberitahu Ibu Emi, "Suami Rina sedang di Papua, tugas."
  Untuk mencegah pelbagai tanda tanya dari pihak bidan maupun tetangga, mereka balik ke Jakarta bersama-sama dalam satu mobil. Katarina dan ibunya memang diantarkan oleh Albin dan Santi tempo hari. Pasangan itu kemudian pulang lagi ke Jakarta, dan baru balik setelah mendapat telepon.
  Selama dalam mobil, Katarina dipersilakan menggendong bayinya oleh ibunya. Dengan alasan, karena Santi duduk di depan, di sebelah sopir. "Bayi dan anak-anak sebaiknya jangan duduk di depan. Kalau terjadi benturan, dampaknya lebih berat," ujar Tante Melila.
  "Betul, Tante," angguk Santi setuju. "Kami berniat membeli kursi spesial baginya bual ditaruh di belakang."
  Katarina tidak mengikuti percakapan itu. Dia asyik sendiri memperhatikan putranya yang cakep. Dalam hati diingat-ingatnya semua ciri-cirinya, dihitung dan dielusnya setiap jari tangan dan


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>