Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf
Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka
na. Dan celana itu tersulam dengan benang emas bergambar lengkung sulur dan dedaunan. Pada kaki di atas sanggurdi berkilau binggal dengan kepala naga, bermata intan.
Sekaligus ia mengerti: itulah Akuwu Tumapel. Tunggul Ametung si terkutuk. Ia tak mencoba menentang mukanya.
"Betul yang dikatakan orang," kata pria itu dari atas kudanya, "lima atau sepuluh Paramesywari Kediri masih kalah dibandingkan dengan kau seorang, Dedes. Mari, Permata, demi Hyang Wisynu, akan kududukkan kau di singgasana mendampingi aku. Mari, mari...."
Dedes mulai kehilangan kekagetannya. Kini ketakutan menguasai dirinya. Seluruh persendiannya goyah dan gemetar.
"Ayah! Tolong!" pekik Dedes. Tapi suara tak keluar dari mulutnya.
"Kurangkah kemuliaan seorang akuwu, maka kau tak berbuat sesuatu! Perlukah aku rebut Kediri untuk mendapatkan jawabanmu?" ia tetap duduk di atas punggung kuda, dengan tangan memegangi kendali.
Demi Hyang Mahadewa, Dedes menyebut dalam hari. Ia mendapatkan ketabahannya kembali. Hilang goyah persendian dan geletar tangan, ia tentang mata Tunggul Ametung. Mata itu bening, dengan lingkaran kuning lebih luas, dan tidak bersinar Hidungnya tidak bangir seperti dirinya. Bibirnya tebal dan begitu penuh mengisi wajahnya yang nampak terlalu kecil untuk itu. Dadanya bidang berbulu Juga tangannya, juga kakinya.
"Mata yang seindah itu ..."
Sekaligus Dedes menunduk.
"Buah dada yang sebagus itu ..."
ia berbalik dan bersiap meninggalkan hutan. Dari belakangnya ia dengar suara rayu itu:
"Memang kau tak perlu berikan penghormatan pada seorang Akuwu, Dedes. Sri Baginda Kretajaya pun belum patut mendapatkan lirikanmu," ia turun dari kuda.
Dedes mendengar kaki Akuwu menenangi semak, menyibaki lamtara muda. ia mencoba mempercepat jalan, tapi persendiannya menolak Dan ia rasakan tangan Tunggul Ametung menangkap bahunya. Ia kebaskan tangan itu:
"Jangan sentuh aku!" ia merasa dirinya kotor tersentuh oleh seorang Wisynu.
"Betapa galak, seperti brahmana lain-lain dan semuanya," ia tangkap tangan Dedes, dihadapkan padanya,"sebagai akuwu aku melarang kau menjadi pedanda. Mari Permata, aku iringkan kau ke Kutaraja, naik kuda, ke tempat terlayak bagimu. Mari, sayang."
Tunggul Ametung menariknya dengan hati-hati pada tubuhnya. Dedes mengangkat muka dan meludahinya. Dan akuwu itu ternyata tidak marah, bahkan mendekapkan tubuhnya pada dadanya yang berbulu, ia gigit dada itu, dan ia rasai keras seperti batu. Akuwu itu tertawa.
ia meronta dan meronta. Akuwu itu tertawa lunak. Dan ia tak dapat lepas dari tangannya ia tahu Akuwu dapat membinasakannya di hutan ini. Tak ada seorang pun menyaksikan. Saksi pun takkan dapat mencegahnya. Sekiranya ada senjata di tangannya ia akan tikam dia. orang Wisynu yang tak kenal Hyang Yama ini.
Ia mulai mencakar dengan tangannya yang bebas.Tunggul Ametung tertawa manis.
"Anak macan juga macan," ia tertawa. "Kau, anak desa yang belum lagi tahu: semua brahmana telah takluk menyembah pada kaum satria. Apakah Mpu Parwa, ayahmu, belum ajarkan itu padamu?"
Amarah tanpa daya itu membikin Dedes terhisak-hisak menangis.
"Bicaralah, Permata, tak urung kau akan kuboyong ke pekuwuan. Betapa banyak wanita mengimpikan kesempatan itu, Dedes. Kau tidak suka? Justru karena itu lebih indah lagi, lebih berharga lagi kau di mataku, di hariku. Tidakkah kau mengerti Mpu Parwa bisa binasa karena kau? Bukankah dia sedang pergi mencari sekutu-sekutunya kaum brahmana? Tidakkah kau mengerti hukuman bagi persekutuan? Diikat dengan nagabanda, seluruh keluarga, berbaris masuk ke dalam rumahnya yang dibakar?"
"Karena hanya itu yang kau bisa lakukan." "Hanya itu?" Akuwu Tumapel senang mendengar Dedes mau bicara "Hanya itu? Jauh lebih banyak dari itu, Permata." "Dan jauh lebih kejam dan hina."
"Ratusan, ribuan tahun yang lalu kaum brahmana jauh lebih kejam. Tak pernahkah kau dengar kampung-kampung yang dipersembahkan pada Hyang Durga? Itulah pekerjaan para brahmana. Ayahmu tidak cukup jujur kalau tak pernah ajarkan itu. Ah, putri br ahmana, seorang brahmani. Aku mengerti kau merasa terhina tersentuh olehku. Tentunya ayahmu sudah mengajarkan padamu aku hanya seorang sudra." ia dekapkan Dedes semakin lekat, dan berbisik:
"Mulialah Sri Erlangga Bathara Wisynu, dengan titahnya semua orang bisa jadi satria atau brahmana demi dharmanya."
Dedes tak dapat menangkis, badan maupun jiwanya. Badannya tak berdaya dalam pelukannya, ilmu dan pengetahuannya juga tak berdaya membantahnya. Ia hanya dapat mendesis.
"Penipu!"
Dengan tangan sebelah Tunggul Ametung mengangkat tubuh Dedes dan diciuminya mukanya, tersenyum puas:
"Adakah brahmani diajari juga bicara mengumpat? Tiada aku sangka."
"Lepaskan aku!"
"Sekali tertangkap tangan takkan lagi kau kulepaskan." "Keji! Yang mengerti tentang kemuliaan para dewa, mengerti tentang kehinaan manusia, yang mengerti tentang kehinaannya tidak akan lakukan perbuatan semacam ini."
Tunggul Ametung membelai-belai rambut Dedes dengan tangannya yang bebas.
"Justru karena kegaranganmu aku tergila-gila padamu, Dedes. Umpanlah aku, gigit dan garuk, tumpahkan semua ajaran Mpu Parwa. Untuk semua itu menjadi syahlah aku mendapatkan kau," Mengerti bahwa Tunggul Ametung tak dapat dikatakan tanpa pengetahuan menyebabkan ia lumpuh dalam amarahnya. Dan ia dengar lagi yang lebih menyakitkan:
"Ayolah, kutuk aku, seperti semua brahmana mengutuk semua orang di luar kastanya. Akan aku perlihatkan pada dunia: kaum brahmana takkan bisa bikin apa-apa pada waktu seorang brahmani bernama Dedes aku dudukkan di atas singgasana Tumapel. Dengar, Dedes, Permataku, tidak percuma Sri Erlangga mengutuk triwangsa bikinan kaum Brahmana. Kalian tak juga sedar, hidup terus dalam keseakanan, merasa tertinggi di atas segala kasta .... Hanya mimpi Dedes, hanya keseakanan. Itulah kekeliruan kaum brahmana! Kalian tak pernah tahu kenyataan. Dan itulah juga kejahatan ayahmu, membikin kau buta terhadap kenyataan." "Kenyataan harus takluk pada ajaran."
Tunggul Ametung menurunkan tubuh Dedes sambil tertawa terbahak-bahak:
"Akulah kenyataan. Aku tak takluk pada kaum brahmana dan ajarannya. Kumpulkan semua brahmana di atas bumi ini. Mereka takkan dapat taklukkan Tunggul Ametung."
Juga mempertahankan kemuliaan ajaran ia tidak mampu. Dan semua tamu brahmana itu memuji kecerdasannya Begitu banyak pujian dan sanjungan selama ini .Waktu ia jatuh ke tangan musuh pokoknya begini, ternyata ia tak berdaya. Dan Akuwu yang mendekapnya adalah kenyataan - kenyataan yang tak perlu takluk pada ajaranmu, memperlakukan makhluknya demikian macam?
"Barangkali kau tak mengerti ucapanku. Barangkali kau lebih tahu Sansakerta bahasa kahyangan itu daripada bahasa orang Tumapel."
"Betapa pongahnya kau seakan pemenang di atas jagad para dewa ini."
"Bagus, Dedes, senang aku mendengar suaramu, kegarangan-mu.Tapi kulepaskan kau tidak. Tahukah kau, orang-orang Buddha itu tak memerlukan dewa-dewamu? Orang-orang tani juga tidak- Mereka menyembah Hyang Wisynu yang pengasih dan pemurah. Dengarkan, Dedes, hanya kaum brahmana hidup dalam mimpi, hidup mereka pun dari kemurahanku. Jangan dengarkan janji dewa-dewamu itu. Mereka hanya dongengan untuk bocah-bocah yang tak pernah dewasa."
"Pongah!" Dedes lebih mempertahankan ajaran daripada diri sendiri.
"Kalian kaum brahmana lebih pongah dalam pikiran, tapi menunduk-nunduk merangkak-rangkak di hadapanku. Itu tidak jujur, Dedes. Juga kau tidak jujur, kau menantang-nantang di hadapanku begini, tapi kau sudah ada dalam tanganku, dan kau tahu, kau tak dapat menolak Tunggul Ametung. Tidak dapat, demi HyangWisynu!"
Ia lepaskan Dedes, dan seperti ditiupkan kekuatan pada dirinya ia lari.
"Akuwu Tumapel belum ijinkan kau pergi. Brenti!"
Dedes lari dan lari. Dan tak antara lama di hadapannya telah menghadang Tunggul Ametung di atas kuda. Dan ia disambar dari atas. Ia meronta dan menggigit lengannya, namun pegangan itu tak dapat lepas. Mengetahui Akuwu tak juga sakit atau pun mengaduh, ia hendak tikam hatinya dengan kata-kata tajam, tapi semua ajaran telah menjadi batu dalam ingatannya.
"Belum jera-jera kau menggigit, Dedes. Kau tahu sendiri, lengan yang seindah ini takkan kulepaskan lagi."
"Lepas, demi Hyang Mahadewa, terkutuklah kau."
Tunggul Ametung tertawa:
"Mari naik, Permata. Dewa-dewamu tak berdaya menghadapi aku."
Dan Tunggul Ametung mengangkatnya dengan dua tangan. Ia meronta, kembali mencakar-cakar, sekarang menyasar wajah sang Akuwu.
"Ayah!" pekik Dedes. Suara itu kemudian padam dalam ciuman Tunggul Ametung. Ia pukuli wajah Akuwu. Dan lelaki itu tidak menjadi kesakitan karena pukulannya. Bahkan tetap tersenyum, menarik tali kendali, dan kuda itu mulai berpacu cepat.
Pada waktu itu Dedes mengerti: ia kalah, semua usahanya sia-sia, ayahnya pun tak berdaya, juga sekiranya ia melihat kejadian ini.
Duduk di atas kuda dalam pelukan di depan Tunggul Ametung ia dapat dengarkan langkah kuda, dapat rasakan nafasnya yang keluar masuk dari perutnya. Ia tak berani menggigit tangan yang memeg anginya, ia pun takut jatuh dari kuda yang sedang men congklang lari itu.Terdiam dalam ketidakdayaan akhirny a ia hanya bisa menangis kelelahan.
"Dedes," bisik Tunggul Ametung, dan ia rasai kumisnya menyentuh pipinya, "teruskan cakaran dan gigitanmu. Tidak mau? Baik, teruskan umpatanmu terhadapku pada suatu kali kau akan tahu semua itu akan jadi tak ternilai indahnya dalam kenangan setiap kali kau mengingatnya kembali, dan kau akan bertambah berbahagia. Hyang Wisynu telah tentukan aku jadi suamimu. Nasib tidak bisa kau elakkan. Aku pun lakukan ini bukan atas kehendak sendiri hanya karena petunjuknya juga."
Kekacauan hati membikin Dedes jadi sesak, dan ia sadari dirinya mulai memasuki kepingsanan. Pengelihatannya telah berayun-ayun, dan gemuruh hati dan derap kuda mulai samar. Waktu ia sadar lagi, yang terdengar mula-mula adalah bunyi telapak kuda itu juga. Tak ada sesuatu yang dapat dilihatnya, gelap-gelita. Waktu tangannya mulai dapat digerakkannya, ia mulai meraba-raba hadapannya. Tiada sesuatu yang teraba. Dan waktu tangannya jatuh, ia rasai kehalusan sesuatu. Jarinya mulai merabai kehalusan itu bulu, bulu kuda! Ia sadar masih berada di atas punggung kuda.
Hari itu memang gelap pekat. Kuda itu tidak lagi lari. Ia angkat tangannya lagi, dan dirasainya sebuah tangan, yang bukan tangannya sendiri. Dan tangan itu merangkul pinggangnya.
"Kau sudah bangun, Permata?" ia dengar suara, tepat pada kuping kanannya. Suara lelaki, bukan suara Mpu Parwa.
Ia meronta, tapi pelukan itu semakin ketat sampai-sampai ia merasa tersekat.
Ia mengingat dan berpikir, berpikir dan mengingat, dan tahulah ia, seseorang telah menculiknya dari Panawijil.
Waktu bulan tua itu mulai muncul, kuda itu mulai lari lagi, langkahnya menderap berirama. Hutan di kiri kanan jalan ber-larian menghilang seperti malu menjadi saksi.
Dan teringadah ia pada Akuwu Tumapel di belakangnya.
"Berani kau bawa aku tanpa ijin ayahku?"
"Tak tepat kau di desa."
"Kutukan semoga jatuh ke atas kepalamu."
"Tidakkah kau akan menyesal, Dedes? mengutuki seorang yang akan jadi ayah dari anak-anakmu?"
"Anak-anakku tidak berayahkan kau!" dan Dedes kembali menjadi kacau. Ia tahu anak bukan urusan manusia, tapi urusan para dewa.
"Takkan lama lagi, dan kau akan tahu, akulah bakal ayah dari anak-anakmu. Tumapel menunggu seorang Paramesywari dan seorang anak calon penguasa penggantiku. Hyang Wisynu menunjuk kau sebagai ibu yang terpilih itu."
Juga sekali ini Dedes tak mampu menandingi Tunggul Ametung dengan Hyang Wisynunya.
"Kau akan menyesal menguruki calon suami, yang akan membawa kau ke singgasana. Jangan remehkan satria. Tanpa satria brahmana tak bisa berbuat sesuatu. Tanpa brahmana satria bisa bikin segala-galanya. Dunia menghormati satria, raja-raja, juga akuwu. Setidak-tidaknya hari ini telah kudapatkan anak perawan brahmani, seorang brahmani yang masyhur akan kesuciannya, untuk jadi permata bagi hidupku dan bagi Tumapel."
Dedes pingsan lagi karena kekacauannya. Waktu ia sadar lagi dirasainya tubuhnya telah tertutup dengan kain. Angin malam itu tak lagi menggigit kulit dan membekukan darahnya. Barangkali Tunggul Ametung telah menyelimutinya dengan destar atau kain penutup celana. Ia merasa dihinakan dan tet
↧
Arok Dedes - 13
↧