Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf
Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes
ap tak dapat berbuat sesuatu.
Ditutupnya matanya, kini memohon perlidungan dari Hyang Dewi Laksmi.
Ia dengar Sang Akuwu mendengus. Ia tunggu kata-katanya. Tapi tak lagi keluar suara dari mulutnya. Ia tahu ia mulai menyerah.
Waktu airmatanya jatuh menetesi lengan yang memeluknya baru ia dengar suaranya lagi:
"Jangan menangis, Permataku. Para dewa telah berikan dirimu padaku. Kau hanya menjalani sebagaimana juga aku. Tak pernah ada wanita menantang, melawan dan menolak Tunggul Ametung. Hanya kau! Karena itu kau dipilih lebih daripada putri-putri Tumapel, Kediri dan seluruh buana, satu-satunya perawan yang berani menggigit dan mencakar Tunggul Ametung sungguh-sungguh perawan pilihan. Yang berani meludahinya betul-betul manusia dewi. Tumpahkan airmatamu, Permata, karena setelah ini takkan dia titik lagi, seluruh kebahagiaan makhluk di atas bumi hanya milikmu."
Tunggul Ametung bicara terus. Dan ia makin dapat mengerti. sama sekali dia tak dapat dikatakan dungu. Kata-katanya teratur dan bersumber pada kepercayaannya pada HyangWisynu "Dedes, kaulah permata di antara semua jenis wanita. Tak ada perawan dari triwangsa dan di luarnya lebih terpilih daripada kau Daripadamu akan lahir raja-raja besar di bumi Jawa. Ah, Dedes, apakah Mpu Parwa pernah tahu semua ini?" Airmata Dedes semakin deras.
"Dedes, Dedesku, dalam hatimu saja terdapat api sang Mun-cukunda[seorang tokoh yang dengan pandang matanya telah membinasakan raksasa Kalayawana dalam peperangannya melawan Kresna.]. Di luar kau semua hanya sampah di hadapan matamu. Permataku! Permataku!"
Perawan itu menjadi ragu apakah orang yang memeluknya ini benar menjalankan petunjuk dewa ataukah memang hanya drubiksa meminjam suara para dewa. Segala apa tentangnya yang didengarnya dari ayahnya dan para brahmana tidak cocok. Ia bukan seorang yang dungu, tahu berlemah lembut. Ataukah memang demikian semua penjahat dalam usahanya? Dan mengapa para brahmana, yang menganggap dirinya benar karena sejalan dengan ajaran tunduk takluk pada Hyang Yama, tidak mampu berbuat Sesuatu terhadapnya? Adakah Akuwu Tumapel yang memeluknya benar-benar lebih kuat dari semua dewa sekaligus? Dia telah bicara tentang Muncukunda, cerita dan tafsiran yang diberikan hanya kepada siswa-siswa tingkat cikil dan wasi. Benarkah dia butahuruf, dan mengetahui segala hanya dari tangan kedua?
Suatu kemestian bagi brahmana adalah berpikir dahulu sebelum bertindak. Dan nampaknya Tunggul Ametung melakukan ini setelah masak berpikir. Maka dia tahu ke mana ia pasti akan lari menghindarinya, dan menunggu di sana sampai ia datang.
Kembali ia diserang kekacauan. Semua yang diajarkan oleh ayahnya terancam akan runtuh dalam tangan orang yang dapat menggagahi segala-galanya ini.
Di sela-sela derap kaki kuda itu terdengar dalam ingatannya suara ayahnya: Kaum satria adalah pemukul segala dosa; dunia akan binasa karena mereka; dan hanya kaum brahmana bisa selamatkan manusia dan dunia; maka semua usaha kaum brahmana harus dipusatkan pada kembalinya tatatertib Jagad Pramudita.
Sekarang ia dalam pelukan seorang sudra yang disamakan oleh Kediri. Dan ia tak dapat membela diri. Dewa-dewa juga tidak menolongnya. Hyang Laksmi juga tidak membantunya. Hyang Mahadewa yang setiap hari dipujanya dalam samadhi juga tidak melepaskan trisulanya untuk menolong dirinya.
"Permataku!" ia rasai wajah Tunggul Ametung itu menciumnya. Dan ia dengar suara itu tidak mengandung kama, tapi kasih sayang. "Segalanya akan dipersembahkan pada Dedes dan kesuciannya, dan kemuliaannya. Apakah kurang aku menghormatimu? Apakah aku kurang halus terhadapmu? Kau, perawan dengan hati memeram api Muncukunda! Kau, ibu dari raja-raja besar yang bakal dilahirkan. Singgasana Tumapel adalah milikmu. Tidak percuma para dewa bisikkan padaku setiap kali ber-samadhi."
Dedes tak rasai lagi dingin angin pancaroba menjelang pagi. "Bahkan rambutmu kurasai seperti belaian sorga." "Lepaskan aku, Tunggul Ametung," ia mulai meronta lagi. "Kulepaskan kau setelah sampai di keputrian pekuwuan." "Terkutuk kau!"
"Aku terima kutukanmu, Dedes. Seorang satria akan terima segala dari para dewa, sama beraninya dengan waktu di medan perang. Tapi jangan kutuki anak-anakmu sendiri."
"Penipu! Pembohong! Penculik!" Dedes memberontak, juga ajaran yang telah diterimanya menggugatnya mengapa ia tidak melawan.
Kembali ia pingsan.
Menjelang terbit Hyang Surya, kuda itu memasuki pekuwuan, tanpa mengindahkan para pengawal yang sedang lalai dalam kantuknya. ia turun dari kuda membopong Dedes, masuk ke dalam keputrian, dan membawanya masuk ke dalam Bilik Paramesywari.
Dedes sadar kembali. Ia dapat melihat Tunggul Ametung membangunkan seorang wanita yang tidur di lantai di atas tikar dengan kakinya. Dan ia dengar:
"Rimang! Aku serahkan padamu putrimu Sang Paramesywari. Lehermu jadi petaruh."
Ia lihat Rimang mengangkat sembah, dan sepasang matanya bersinar-sinar.
Sang Akuwu meletakkannya di atas ranjang bertilam sutra. Ia tahu pria itu berlutut padanya, berbisik:
"Permataku, semua ada di bawah perintahmu. Jangan tinggalkan tempat ini," ia pergi entah ke mana.
Rimang sekarang yang berlutut padanya:
"Yang Mulia, Yang Mulia ..."
Dedes menangis sejadi-jadinya.
Di mana ayahnya kini, ia tak tahu. Sejak peristiwa penculikan dalam hutan di semak lamtara muda itu, ia tak pernah dengar sesuatu dari desanya, Panawijil. Antara dirinya dengan masalalu-nya seakan telah tergunting putus. Tak ada orang yang mengenalnya di pekuwuan. Ia diserahkan pada segala yang asing, dan pedandi itu memata-matainya tanpa jera, membanjirinya dengan nasihat tetekbengek. Pada suatu kali, tanpa bicara ia telah usir pedandi itu dengan gerak tangan. Ia tak perlukan nasihat bagaimana harusnya seorang istri terhadap suami, yang oleh para dewa dititahkan jadi satria untuk menduduki tempatnya mempertahankan keseimbangan jagad pramudita.
Ia tak perlukan nasihat dari siapa pun yang tak punya persinggungan hidup dengan dirinya.
Pada mulanya ia dengarkan semua, seperti ia dengarkan setiap pelajaran dari ayahnya. Ia hafalkan dalam hatinya yang pengap karena dukacita. Keinginan untuk tahu segala dan jiwanya yang sedang kembang dengan sarwacita, memang terbuka terhadap semua penjelasan tenung kedudukan manusia di tenga h-tengah jagadnya, di tengah-tengah hubungan antar manusia dan dengan para dewa. Akhirnya pintu hariny a terkunci erat begitu ia menye-dari setiap nasihat bert ujuan menuntut dari dirinya kesetiaan mutlak kepada S ang Akuwu.
Ia muak. ia tak mempunyai perasaan bersetia pada suaminya. Pernikahannya yang tanpa saksi, bahkan tidak menyebut namanya dan nama ayahnya, mantra-mantra dalam Sansakerta yang banyak salahnya semua itu ia rasakan tak punya dasar yang kuat untuk menuntut kesetiaan daripada dirinya. Tak ada yang lebih menyakitkan mengetahui, ayahnya samasekali tidak dimasukkan dalam hitungan.
Bahkan sampai empat puluh hari pun orang tak tahu siapa nama dirinya, apalagi nama ayahnya. Apalagi penculikan itu dilakukan oleh Tunggul Ametung seorang. Tanpa saksi.
Dan siang itu Tunggul Ametung tidak menjenguknya. Sore hari juga tidak. Kemudian ia mengetahui: suaminya telah meninggalkan Tumapel langsung menuju ke Kediri dalam iringan pasukan kuda.
"Bahkan minta diri dari aku pun ia merasa tidak perlu."
Itu juga menjadi petunjuk baginya: ia tidak terikat pada suatu kesetiaan pada Sang Akuwu.
Tepat pada waktu matan tenggelam Rimang mengeringkannya ke belakang dapur, keluar dari keputrian. Para pengawal yang kebetulan terpapasi menyingkir memberikan jalan dan mengge-dikkan pangkal tombak pada tanah.
Mereka sudah lebih seratus langkah di belakang dapur, memasuki kebun buah-buahan yang semua sedang berbunga lebat.
"Di sini pujaan sahaya. Yang Mulia Paramesywari," Rimang berhenti di bawah pohon jambu mede muda, rendah dan lebat, "setiap han sahaya beri pohon ini air cucian daging."
Ken Dedes mengawasi Rimang, terheran-heran. Inang itu mengangkat sembah pada pohon itu. "Pohon mede ini Dewi Parwatimu?"
Rimang tak menjawab, tenggelam dalam kekhusukan. Dedes membuang muka kecewa dalam rembang senja. Tapi ia tak hendak memperlihatkannya.
Setelah selesai baru Rimang berkata:
"Di sinilah Dewi Parwati. Yang Mulia," dan dengan matanya ia menuding ke arah cabang.
Sebuah patung Parwati dari dua jengkal berdiri dari cabang itu, terlindungi oleh rimbun dedaunan.
Dedes mengangkat sembah pada patung anyaman rontal itu. Dalam hari ia mengherani betapa bisa dewi itu sampai mendapatkan tempat begitu tidak layak di bawah kekuasaan seorang satria Tumapel.
"Di sinilah, Yang Mulia, demi Dewi Parwati, demi Hyang Candra, sahaya bersumpah untuk membantu dan bersetia pada Yang Mulia, hidup sampai pun mati."
Mereka berjalan kembali ke keputrian, kemudian masuk ke Bilik Agung.
Di bawah sinar damar Dedes memperhatikan Rimang yang duduk di lantai, mencoba menerka siapa dia sesungguhnya. Dan dayang itu mengangkat muka padanya.
"Kau dulu cantik, Rimang."
"Tentu saja, Yang Mulia."
"Berapa umurmu sekarang?"
"Tiga puluh tujuh tahun surya, Yang Mulia."
"Tidakkah kau pernah bersuami?"
"Bukan hanya bersuami,Yang Mulia. Dahulu sahaya pun ada dua orang anak, semua lelaki." "Mengapa kau tinggalkan mereka?"
"Sama dengan pengalaman Yang Mulia, diambil dari rumah dan disekap dalam keputrian sampai sekarang."
"Jagad Dewa. Jagad Pramudita. Maksudmu, Rimang, adakah kedatanganku ini mendesak tempatmu?"
"Tidak, Yang Mulia, Sang Akuwu sudah tujuh tahun ini tidak memerlukan sahaya lagi."
Dedes berdiri, berlutut di hadapan Rimang, memegangi dua belah bahunya:
"Manakah anakmu dengan Akuwu?"
"Sahava telah bersumpah takkan mengandungkan benihnya." "Kau membenci dia, Rimang?"
"Yang Mulia seorang Paramesywari, tidak patut mencontoh sahava." "Kau membenci dia?" "Sahava anak sudra, Yang Mulia." "Kau membenci aku karena Paramesywari?" "Demi Parwati. Tentu ada di antara para selir yang membenci Yang Mulia, tetapi bukan Rimang ini." "Tiadakah kau ingin mendapatkan seluruh kasih Akuwu?" "Selama lima belas tahun ini saya selalu mengenangkan suami dan anak-anak sahaya. Entah di mana mereka sekarang." "Kasih betul kau pada mereka."
"Merekalah suami dan anak-anak sahaya. Sebelum mati, sahaya masih ingin bertemu. Yang Muli a. Suami sahaya dan sahaya tidak pernah bertengkar. Sahaya masih ingat terakhir kali melihatnya pergi men ggendong anak sahaya yang masih kecil dan menggan deng yang lebih besar. Diusir keluar dari negeri Tumapel . Sahaya memekik memanggil-manggil agar dibawa, ta pi prajurit-prajurit itu menyeret sahaya ke Kutaraja."
Ken Dedes duduk lagi di atas. Pada wajah Rimang tak tergambarkan dukacita Garis-garis keras tertarik pada ujung-ujung mulut garis-garis dendam.
"Kau bilang, kau anak sudra."
"Benar, Yang Mulia."
"Apa alasan Tunggul Ametung?"
"Pernah sahaya cantik tiada tandingan di desa sahaya sejauh pemuda-pemuda yang melamar itu menyatakan, sejauh suami sahaya selalu memuji Itu saja sudah suatu alasan, Yang Mulia."
Bukankah untuk itu tak perlu suami dan anak-anakmu di-usir dari negeri?"
"Adik suami sahaya menginginkan sahaya dan alasan dicari-cari. Mula-mula adik ipar sahaya memancing-mancingnya bertikai tentang wayang. Suami sahaya seorang Syiwa seperti sahaya, seperti orang Syiwa lainnya tidak setuju mempergelarkan keagungan para dewa melalui bayang-bayang kulit. Keterbatasan manusia tidak memungkinkan dia melukiskan kebesaran mereka. Semakin rendah yang memainkan wayang itu, semakin mentertawakan para dewa dibuatnya. Para dewa hanya layak disampaikan oleh para pujangga dan brahmana ..."
Ken Dedes tahu betul tentang persoalan itu. Wayang adalah permainan bodoh dari orang-orang bodoh yang tak mengerti ajaran. Hanya para brahmana yang berhak menafsir dan menerangkan tentang para dewa. Tetapi Sang Hyang Erlangga setelah sepuluh tahun naik tahta telah menitahkan." bukan hanya kaum brahmana saja yang berhak tahu tentang para dewa, semua orang boleh tahu, pergelarkan melalui wayang, karena bayang-bayang para leluhur dalam wayang adalah sama dengan bayang-bayang para dewa .... Sampai sekarang ia seperti para brahmana lain belum pernah menontonnya.
Melihat Ken Dedes tidak mendengarkan ceritanya Rimang berhenti.
"Mengapa kau diam? Apa kemudian diperbuat oleh
↧
Arok Dedes - 14
↧