Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Arok Dedes - 15

$
0
0

Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf

Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka

adik iparmu?"
 
  "Itu saja sudah cukup jadi dalih untuk menuduhnya menghujat Sri Erlangga dan kaum Wisynu. Dan itu belum semuanya. Pertikaian itu kemudian berkisar pada soal Ramayana. Ipar sahaya memulai sampai monyet pun mengabdi pada Hyang Wisynu yang menitis pada Rama. Rama sebaliknya mengangkat monyet-monyet itu jadi satria. Suami sahaya tadinya diam saja. Makin lama adik ipar sahaya semakin menjadi-jadi, mengatakan, kasih dan kemurahan Hyang Wisynu tanpa batas menyumram-bahi sampai titah yang sekecil-kecilnya. Sehingga, akhirnya suami sahaya menambahi begini: monyet-monyet yang berjasa pada Hyang Wisynu itu tetaplah menjadi monyet dalam kekesatriaannya, tak pernah jadi manusia. Seminggu kemudian prajurit Tumapel datang, dan beginilah jadinya nasib kami." "Kau sendiri bagaimana?" "Sahaya selalu berpihak pada suami sahaya." "Hyang Wisynu tidak pernah memanusiakan monyet, sekali pun monyet bukan kekuasaan Hyang Wisynu, Rimang. Itu hanya kekuasaan Hyang Mahadewa Syiwa, Dialah yang berkuasa mengubah bentuk apa pun dalam Jagad Pramudita. Bentuk, Rimang. Adapun tentang isi, titah sendiri yang menentukan."
 
  "Sahaya hanya seorang sudra, Yang Mulia, tak banyak tahu tentang kiwan[pengetahuan tentang para dewa.], tengenan[pengetahuan tentang manusia.] pun cuma sedikit. Sahaya hanya tahu tentang kasih pada suami dan anak."
 
  Betapa tidak berdaya anak sudra di hadapannya ini. Ia, seorang brahmani, yang tahu banyak tentang kiwan dan tengenan, juga tidak berdaya. Para dewa tidak menolongnya, semua manusia juga tidak. Ayahnya sendiri tak terdengar wartanya. Ia terse-dan-sedan. Apakah sia-sia semua ilmu dan pengetahuan yang telah diserapnya sejak kecil ini? Apakah percuma saja semua yang telah dipelajarinya? Benarkah kalau ajaran percuma, sama yang tergelar dalam Jagad Pramudita ini juga sia-sia?
 
  "Yang Mulia, Yang Mulia," Rimang berdiri, "ampuni sahaya telah sedihkah hati Yang Mulia."
 
  "Kau telah tidak berdaya, Rimang. Aku pun tak lebih dari kau, biar pun aku bukan sudra."
 
  "Berbelas tahun terkurung di sini sahaya jadi mengerti, Yang Mulia tiada punya teman. Jangan, Yang Mulia, tak ada guna berteman. Percayalah, tak ada seorang pun bisa dipercaya. Dari sesama yang busuk, boleh jadi Rimang ini yang kurang busuknya."
 
  Rimang terdiam melihat pedandi itu masuk, menggelar tikar dan duduk di hadapan Dedes. Suasana berubah karena kedatangannya:
 
  "Berhubung Yang Mulia Akuwu berhalangan datang, sahaya datang untuk menemani" "Tak perlu aku kau temani." "Sahaya menjalankan perintah Yang Suci." "Temanilah Yang Suci, jangan aku." Pedandi itu mengerutkan kening:
 
  "Setidak-tidaknya hari ini Yang Mulia Paramesywari sudi bicara pada sahaya. Beribu terimakasih. Marilah kita nyanyikan bersama puji Kebesaran. Yang Mulia," tanpa menunggu jawaban ia mulai menyanyi.
 
  Dedes menyertai, mula-mula dalam Sansakerta.Waktu berpindah dalam Jawa Dedes berhenti.
 
  "Yang Mulia Paramesywari tak suka menyanyi Jawa. Sansa-kerta Yang Mulia bagus, tepat tekanan dan panjang-pendeknya. Siapakah guru Yang Mulia?"
 
  "Siapa dewa pujaanmu?"
 
  "Sang Hyang Mahadewa."
 
  "Syiwa?"
 
  "Syiwa Manakala, Yang Mulia."
 
  "Jagad Pramudita!"
 
  "Mengapa, Yang Mulia?"
 
  "Aku kira semua di sini penyembah Wisynu."
 
  Pedandi itu mengangkat kepala lagi, memperhatikan sang Paramesywari yang malam ini mulai mau bertanya-tanya.
 
  "Aku ingin seorang diri malam ini."
 
  Pedandi itu mengangkat sembah dan pergi.
 
  Jadi perintah Belakangka dapat dipatahkannya. Dengan diam-diam ia menikmati kemenangannya. Dan ia akan pergunakan kekuasaannya sebagai Paramesywari. Tapi benarkah ia telah jadi Paramesywari? majikan di rumah asing ini?
 
  Waktu Rimang datang untuk melakukan tugas menyertanya. Dedes mencoba memerintahnya mengambilkan air panas. Dan
 
  hamba itu pergi dan balik membawa cawan air panas. Ia pandangi wanita itu, meneliti wajahnya. Benar ia telah lakukan perintahnya dengan tulus. "Mengapa kau mau aku perintah?"
 
  "Mengapa. Yang Mulia? Semua orang di pekuwuan ini harus lakukan perintah Yang Mulia Paramesywari."
 
  "Rimang, apalah arti diriku di sini maka perintahku harus dipatuhi?"
 
  "Ah, Yang Mulia, Yang Mulia. Kutaraja bukan desa. Rumah Yang Mulia dulu bukan pekuwuan.Yang Mulialah yang berkuasa di seluruh pekuwuan ini. Juga berkuasa atas hidup dan mati."
 
  Dedes meredupkan mata, kemudian melirik pada Rimang:
 
  "Dan Sang Akuwu?"
 
  "Yang Mulia Akuwu tidak mengurus pekuwuan ini. Yang Mulia Paramesywari, tapi mengurus negeri. Selingkupan pekuwuan ini di tangan Yang Mulia. Yang Mulia tinggal jatuhkan perintah, dan semua akan terjadi."
 
  Yang demikian tidak pernah ia dengar dari mulut ayahnya, ia dididik tidak untuk menguasai pekuwuan dan manusia seisinya.
 
  "Ulangi kata-katamu, Rimang."
 
  Rimang mengulangi. Dedes menikmati keindahan dan nikmat yang terkandung dalam kekuasaan itu.
 
  "Perintahkan menabuh gamelan, Rimang, dan terangi pen-dopo dengan empat damar lagi."
 
  Rimang pergi, dan sebentar kemudian terdengar gamelan ditabuh.
 
  Rimang datang lagi.
 
  "Semua telah terjadi sebagaimana Yang Mulia perintahkan." "Lima belas penyanyi wanita supaya berlagu bersama, Rimang."
 
  "Untuk itu dibutuhkan persiapan. Yang Mulia." "Aku sabar menunggu persiapan itu." Dan Rimang pergi lagi.
 
  Walau pun agak lambat terlaksana, lima belas penyanyi wanita mulai terdengar mengiringi gamelan.
 
  Rimang datang lagi:
 
  "Tiadakah Yang Mulia berkenan memeriksa semua?" Ken Dedes bangkit dari duduknya dan bersiap-siap hendak keluar.
 
  "Sabar, Yang Mulia," ia memperbaiki rias Paramesywari, dan menahannya keluar dari Bilik Agung."Belum,Yang Mulia, nanti Yang Mulia akan lihat, semua akan sujud dan menyembah Tetapi pita mahkota ini jangan sekali-sekali terlupa bila nampak di hadapan orang banyak." Ia ambil pita mahkota yang bertaburan intan permata itu dari lemari batu dan mengenakannya pada kepalanya.
 
  Dedes memejamkan mata, memohon pada dewata agar dikembalikan kepercayaannya pada diri sendiri. Dihirupnya nafas dalam-dalam. Ia akan memulai hidup sebagai Paramesywari dengan sepenuh kekuasaan hidup dan mari.
 
  Keluar dari Bilik Agung ia lihat pedandi itu berdiri mengangkat sembah dan membungkukkan badan berbisik:
 
  "Hendak ke manakah. Yang Mulia Paramesywari?"
 
  "Tak perlu kau tanyakan."
 
  "Ampun, Yang Mulia, adalah di luar acara ..."
 
  Dedes tak mempedulikannya. Ia melangkah ke bendul untuk memasuki pendopo. Di belakangnya ia dengar suara pedandi itu tertuju pada Rimang:
 
  "Kepalamu akan jatuh karena peristiwa ini."
 
  Dedes berhenti, menunggu Rimang mengiringkannya. Dengan dada tegak dan langkah agung ia memasuki pendopo. Semua penabuh dan penyanyi berhenti, mengangkat sembah, juga para pengawal. Ia gerakkan jarinya memerintah gamelan ditabuh kembali. Dan gamelan itu berbunyi lagi ditingkah oleh nyanyi bersama lima belas orang dara.
 
  Ia tersenyum puas mengetahui wujud dari kekuasaannya sebagai Paramesywari. Pendopo itu dikelilinginya. Dalam han tak henti-henti ia mengucap syukur kepada Hyang Mahadewa. Kekuasaan ini adalah indah dan nikmat. Ia takkan melepaskannya lagi, dan ia akan jadikan benteng untuk dirinya sendiri, juga terhadap dukacita dan rusuh hati.
 
  Sekali mengitari pendopo kemudian ia balik masuk ke Bilik Agung dan memerintahkan pada Rimang supaya gamelan berhenti. Gamelan itu berhenti seketika.
 
  "Hyang Parwati telah lindungi Yang Mulia," bisik Rimang, "Hyang Mahadewa telah anugerahkan kekuasaan tertinggi di tangan Yang Mulia. Pandanglah Rimang yang hina ini. Dengan perintah Yang Mulia, akan sahaya sampaikan untuk jadi kenyataan."
 
  Ken Dedes berlutut mendampingi Rimang. Nafas besar di-hembuskannya. Ia mengangkat sembah dada. Kekuasaan tanpa batas itu terbayang olehnya seperti cakra[anak panah dengan roda sebagai mata; lambang kekuatan Wisynu.] Hyang Wisynu yang mampu menembus segala.
 
  Nyala damar di empat penjuru ruangan ia rasakan seperti karunia dari Hyang Surya sendiri, yang memberinya kekuatan, jauh lebih besar daripada sebelumnya kekuatan untuk mendapatkan segala.
 
  Dalam tunduknya ia tersenyum. Berbisik:
 
  "Jagad Dewa. Jagad Pramudita."
 
 
  Sudah beberapa hari ia tidak melihat suaminya. Kini ia mulai berubah menjadi orang lain seorang pribadi yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya. Para dewa mempergunakan tubuh hidup manusia untak melakukan kehendak mereka. Melalui tubuhku yang hidup akan kulakukan segala yang jadi kehendak mereka.
 
  Kini ia tidak lagi menyesali menetesnya darah pada malam pertama itu. Kini ia malah bersyukur pada detik perpisahan antara Dedes anak brahmana Mpu Parwa tiada arti menjadi Ken Dedes Sang Paramesywari. Ayahnya hanya bisa menge-cam-ngecam Tunggul Ametung. Ia akan menaklukkannya.
 
  Dan waktu bulan semakin lambat juga terbitnya, sekali dalam iringan Rimang dan para pengawal ia berkunjung ke pura. Rimang kembali sebelum memasuki torana. Para pengawal menunggu dan berkemit di luar. Bahkan penunggu pura ia perintahkan pergi setelah membakarkan dupa-setanggi.
 
  Dengan kepergian Tunggul Ametung ia telah perintahkan mengubah susunan pura. Ia akan mendapat tantangan dari banyak orang, dan ia sengaja hendak menantang mereka.
 
  ia langsung pergi ke sebelah utara, berlutut di hadapan Durga. Mula-mula ragu untuk mengucapkan sesuatu. Diangkatnya mukanya, menatap syakti Sang Syiwa itu, seorang dewi yang menakutkan dengan tangannya yang delapan.
 
  Patung kayu coklat tua mengkilat itu baru sepagi dipasang. Ia perhatikan tangannya satu demi satu, dan lambang-lambang yang dibawanya: sangkala, perisai, panah, busur, pedang .... Ia menunduk lagi.
 
  Dewi yang penuh mujizat itu ....
 
  Ia semakin menunduk, menurunkan sembahnya. Ia tak menyedari buahdadanya sendiri mengerjap seperti buahdada Sang Durga. Dulu ia selalu mempunyai perasaan takut padanya. Kekuasaannya dalam membinasakan menggetarkannya. Bahkan menyebutkan namanya ia gentar. Sekarang ia merasa mendapatkan kasih-sayangnya. Dewinya yang bertangan delapan ini akan tumpas segala dan semua yang akan menghadang jalannya.
 
  Nenek-moyang telah menyiapkan pengertian ini. Mpu Parwa berkali-kali telah memberiny a tafsir tentangnya. Seakan semua meretas jalan bagin ya untuk peristiwa hari ini. Dalam kepalanya muncul Ba nowati, istri Suyudhana, raja Kaurawa. Bekas pacar Arj una itu pada suatu kali didatangi oleh kekasihnya yang menyuruhnya menerima pinangan Suyudhana. Dia haru s jadi Paramesywari raja Kaurawa, untuk kelak dapat membantunya mengalahkan Kaurawa sendiri di medan perang Bharatayuddha.
 
  Ia angkat lagi kepalanya, menatap ke atas pada mata Sang Durga.
 
  "Inilah sahaya, ya, Durga, inilah Banowatimu, datang menyerahkan hidup dan mati suamiku padamu."
 
  Ia terhenyak di tempat. Suara tawa mengakak itu terdengar memekakkan telinganya. Bulu romanya menggermang dan darahnya menjompak ke kepala. Ia berdiri dan dilihatnya patung itu sesekali tak membukakan mulut.
 
  "Permataku!"
 
  Ia berpaling ke arah torana dan dilihatnya suaminya berdiri bertolak-pinggang.
 
  "Mari, Permataku, betapa rindu kakanda sepekan berpisah, mari! Kau tinggalkan Bilik Agung kosong tanpa jiwa ..." tetapi ia tak berusaha naik ke pura.
 
  Ken Dedes kembali pada sikap-duduknya yang semula, meneruskan percakapannya dengan Hyang Durga:
 
  "Itulah suami sahaya, ya, Hyang Durga. Bahkan bicara denganmu pun hendak dihalanginya. Betapa telah hinanya kaum satria ..."
 
  "Ada banyak waktu untuk itu. Permata!" seru Tunggul Ametung dari torana. Ken Dedes tetap dalam keadaannya:
 
  "Inilah sahaya, Hyang Durga, Banowatimu, yang akan jual suami pada musuhnya," ia terhenti, menunduk dalam.
 
  Seakan ia dengar suara sayup dan lembut, keluar dari hati seorang ibu yang mencinta: Kau tegakan suamimu, anakku, hendak kau jual pada musuhnya sendiri? Siapa gerangan musuh suamimu?
 
  "Kaum brahmana, ya, Hyang Durga! Belum lagi sahaya tahu benar, ya, Durga, adalah seorang brahmana muda, brahmana jiwanya, tapi tangannya tangan satria seperti kau. Suamiku telah lari dari dia, pergi menghadap ke Kediri, boleh jadi minta ba-labantuan. Lindungi dan sokonglah brahmana muda itu, ya, Hyang Durga!"
 
  Dan seakan ia mendengar jawaban: Bagaimana bisa, kau, lebih percaya pada brahmana muda yang belum pernah kau kenal? Namanya pun kau tidak tahu?
 
  "Hati wanita ini telah digerakkan oleh Hyang Mahadewa. ya, Bathari, tak mampu memungkiri untuk sekali dapat melihat wajahnya, mendengar su


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>