Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Arok Dedes - 18

$
0
0

Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf

Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes

uga benar yang aku dengar orang menyebut-nyebut kau Dewi Kebijaksanaan. Nampaknya orang pada memuji kau."
 
  "Diamlah, diamlah, kakanda sedang menderita begini."
 
  "Apalah arti cedera ini dibandingkan dengan karunia mendapatkan seorang dewi seperti ini? Tidak keliru para dewa menunjukkan padaku untuk memilih kau."
 
  "Jangan badan digerakkan begini," dan diciumnya leher suaminya.
 
  "Betapa bahagia diri kakanda merasa beruntung mendapatkan anak desa ini."
 
  "Dan kau begitu galak tadinya, mencakar, meludah dan memukul Lelah itu lantas pingsan di pelukan."
 
  Ken Dedes tersenyum mengenangkan peristiwa itu sebagai kejadian yang tak dapat dielakkannya lagi satu keharusan dari para dewa untuk sampai pada kebulatan tekad sekarang.
 
  Tunggul Ametung menangkap tangan istrinya dan tak dilepas-kannya lagi.
 
  "Betapa terbakar hati melihat dewi secantik ini, dan badan terbelenggu karena cedera."
 
  "Jangan tantang, jangan langgar yang para dewa tidak perkenankan. Kalau kakanda rusuh di hati, biarlah Dedes yang selesaikan."
 
  Tunggul Ametung tertawa.
 
  "Aku lihat hati kakanda memang sedang rusuh karena si Borang, Arih-Arih dan Santing."
 
  "Anak desa yang nakal itu. Sebentar lagi dia akan lenyap bersama dengan debu Kelud. Jangan ikut rusuh karena dia."
 
  "Seorang anak desa yang dapat merampas upeti setengah tahun bukanlah anak nakal," bisik Ken Dedes. "Yang setengah tahun bisa jadi setahun. Badan kakanda naik suhu begini. Siapakah Borang, Arih-Arih dan Santing?"
 
  "Tak perlu kau tahu, Dedes. Di luar pekuwuan kau tidak mempunyai sesuatu urusan."
 
  "Tentu dia seorang Buddha," Dedes memancing-mancing.
 
  "Aku harap memang begitu."
 
  "Ah. kakanda, mengapa harapan dimasukkan dalam hitungan?"
 
  Tunggul Ametung mendesis kesakitan.
 
  "Kakanda membutuhkan minuman panas," bisiknya,"biar aku uruskan sebentar."
 
  Tunggul Ametung melepas lengan istrinya dan membuang muka. Wajahnya kejang dan giginya berkerut.
 
  Dedes masuk lagi bersama Rimang yang membawa talam.
 
  Melihat Rimang Tunggul Ametung mengangkat kepala:
 
  "Rimang!" ia melambai, mendesis, "jangan biarkan kepalamu jatuh dari lehermu. Apa saja telah kau bisikkan pada Sang Paramesywari?"
 
  "Apalah artinya sahaya ini maka membisikkan sesuatu pada Yang Mulia Paramesywari? Tiada sesuatu,Yang Mulia."
 
  Dedes mengambil cawan air gula kelapa dan membantu suaminya minum daripadanya:
 
  "Jangan berhati rusuh, kakanda. Apalah artinya perempuan desa seperti dia. Tak ada sesuatu barang apa," berpaling pada Rimang, "pergi kau!" Kembali ia seka wajah suaminya," Betapa kau rusuhkan hati karena si Rimang saja. Bukankah murka para dewa sudah cukup sehingga kakanda cedera begini?" Dengan demikian hari itu berlalu tanpa sesuatu kejadian. Lima puluh hari Tunggul Ametung terikat pada peraduan dan tergantung pada Dedes.
 
  Anak gadis desa itu dengan gigih menolak setiap orang yang hendak menghadap, dan dengan segala cara memaksa mereka menyampaikan pada dirinya. Terlalu banyak yang diketahuinya tentang urusan negeri dalam waktu sependek itu. Juga tentang Borang, Arih-Arih dan Santing yang muncul di mana-mana. Juga tentang Dang Hyang Lohgawe yang datang ke pekuwuan atas panggilan Yang Suci. Betapa ingin ia menemuinya sendiri dan belum mungkin. Belakangka akan memagarinya. Juga ia dengar tentang ayahnya: ia telah pulang, mengutuk penduduk desa yang tak dapat melindungi anak gadisnya, menyumpahi agar mereka kematian sumber air, dan agar Tunggul Ametung akhirnya tumpas dibunuh orang. Kemudian ayahnya meninggalkan desa Panawijil dan tak kembali lagi. Ia tak tahu benar, benar tidaknya berita itu.
 
  Sikap ayahnya menjadi petunjuk baginya, perkawinannya memang tidak direstuinya. Sikapnya terhadap Tunggul Ametung bukan saja tidak berubah, malah jadi semakin tegar. Ia makin menyedari di mana tempatnya antara seorang ayah dan suami. Ia berpihak pada ayahnya, tetap seperti semula.
 
  Sekali peristiwa waktu ia meneruskan laporan tentang kegiatan Borang, Arih-Arih dan Santing, ia mendesak:
 
  "Rasa-rasanya memang dia seorang brahmana muda. Mengapa kakanda belum juga membenarkan? Brahmana muda, ya, brahmana muda. Itu sebabnya janji karunia dilipat-sepuluhkan." "Dedes, mengapa kau siksa aku begini rupa?" "Hanya untuk dapat meyakini, makin meyakini kekuasaan para dewa. Hanya orang Buddha yang menganggap diri bisa meruwat diri sendiri untuk pembebasannya. Hanya impian be laka, bukankah demikian, kakanda? Impian belaka." "Diam, kau, Dedes."
 
  "Bahkan para dewa pun masih memerlukan peruwatan untuk pembebasannya. Kalau tidak, tidak mungkin ada cerita Carudeya dan Suddhamala."
 
  "Apa sesungguhnya maksudmu, Dedes?"
 
  "Kaki kakanda cedera begini. Tapi kebencian kakanda pada kaum brahmana tidak ikut cedera. Itu sebabnya kakanda belum juga mau membenarkan, orang itu adalah brahmana muda. Dan untuk jiwanya hadiah itu dilipat-sepuluhkan."
 
  "Bicaralah pada Yang Suci. Beri aku air jeruk."
 
  Dedes pergi ke pintu dan memberikan perintah. Ia senang mendapatkan perkenan itu. Demi trisula Bathara Guru dan cakrawartinya[kekuasaan atas alam semesta], Belakangka harus takluk padanya dan mempersembahkan semua isi hatinya. Pandita Negeri itu tak boleh lebih lama berusaha menindas, memaksa, seakan ia hanya hambanya belaka.
 
  Apakah arti Belakangka dibandingkan dengan Mpu Parwa, ayahnya? Ia telah membaca naskah ayahnya yang sudah selesai, cerita tentang seorang anak brahmana yang meninggalkan kastanya untuk jadi satria, mendapatkan kebesaran dunia yang ternyata tidak memuaskan hatinya, karena dunia makin lama makin jadi beban bagi hati kecilnya, kemudian kembali jadi brahmana, bertapa seorang diri untuk meratapi kekeliruannya. Apakah yang sudah ditulis oleh Belakangka? Tak pernah terdengar beritanya.
 
  Ia bantu suaminya minum air jeruk itu, dan minta ijin untuk menemui Belakangka.
 
  Yang Suci sedang duduk membaca mantra aksamala di pojok-an pendopo.
 
  ia perhatikan gerak jarinya sampai mencapai kepala aksamala, dan: "Yang Suci!"
 
  Belakangka membuka mata dan nampak bersiaga: "Yang Mulia," kacanya lunak.
 
  "Dengan perkenan Sang Akuwu, katakan pada sahaya dari mana asal brahmana muda bernama Borang, Arih-Arih dan Santing itu?"
 
  "Apa guna Yang Mulia hendak mengetahui? Sang Patih pun belum berhasil menjejaknya." "Jadi dia seorang brahmana muda?"
 
  "Seorang brahmana takkan berbuat kejahatan, Yang Mulia. Semua brahmana yang diakui oleh Tumapel tercatat dalam ron-tal. Tak ada nama Borang, Arih-Arih atau Santing. Dia atau mereka hanyalah penjahat, Yang Mulia Paramesywari, hanya brandal yang mengharapkan jatuhnya pedang pada lehernya."
 
  "Berikan rontal itu padaku."
 
  "Ampun, itu di luar kuasa Bapa."
 
  "Jadi sahaya harus datang pada Sang Patih?"
 
  "Tidak. Tak ada wanita diperkenankan menjamah urusan para dewa."
 
  Ken Dedes kembali ke Bilik Agung. Ia mengerti, Belakangka tak suka ia mengetahui sesuatu tentang urusan negeri. "Sudah kau dengar, Dedes?" "Tiada sesuatu."
 
  "Dia bisa jatuhkan semua kepala dari lehernya."
 
  Ken Dedes menatap suaminya, mencoba menerka, apakah Belakangka dipergunakan suaminya untuk memomokinya, ataukah memang momok untuk setiap orang, termasuk suaminya sendiri. Mata Akuwu tidak berkedip. Juga tidak waktu tangannya meraih tangannya, memeluknya dan berbisik mesra:
 
  "Dedes, Dalung telah menyatakan aku sembuh."
 
  "Terimakasih pada para dewa belum lagi dipanjatkan di pura, kakanda."
 
  "Para dewa adalah abadi, mereka mempunyai kesabaran dalam menunggu. Manusia berumur pendek." "Ayahku pun belum kakanda dapatkan." "Juga dia bisa kehilangan kepalanya."
 
  Ia mengerti, suaminya mulai mengancamnya. Ia menggigil Hatinya meriut kecil. Ia ketakutan.
 
 
  Ia takkan lupakan upacara pemberian nama itu, yang ditutup dengan: "Dengan namamu yang baru, Arok, Sang Pembangun, kau adalah garuda harapan kaum brahmana."
 
  Arok masih tetap berlutut. Malam semakin sunyi diselingi gelepar kalong menyerbui tajuk pepohonan buah.
 
  "Garuda harapan kaum brahmana," ia mengulangi, pelan. "Para dewa tidak tunjukkan padamu untuk jadi talapuan."[Talapuan, di sini dimaksudkan sebagai kata ejekan untuk pertapa Buddha.] "Para dewa tiada tunjukkan pada sahaya untuk jadi talapuan," ulangnya lagi.
 
  "Kau akan kembalikan cakrawarti Bathara Guru Sang Mahadewa Syiwa."
 
  "Kembalikan cakrawarti Bathara Guru Sang Mahadewa Syiwa."
 
  "Kembalikan keseimbangan Jagad Pramudita." "Kembalikan keseimbangan Jagad Pramudita." "Hari sudah larut, Arok. Kembali kau. Bersamadi kau sampaikan terimakasih Jangan tinggalkan rumah. Besok akan kujemput kau dan akan kubawa," dan dengan itu ia usap ubun-ubun Arok yang tiada berdestar, dengan dua belah tangan memegangi bahu bidang pemuda itu dan menariknya berdiri, kemudian ia sendiri tertatih-tatih pergi ....
 
  Sore ini mereka berdua masih juga dalam perjalanan. Guru itu di depan, ia di belakangnya dengan tongkat tangkai tombak pada pundak memikul .bungkusan barang keperluan gurunya dalam kain biru.
 
  Hanya kadang ia perhatikan kaki tua gurunya yang berte-rompah upas itu telah jadi kuning coklat karena debu jalanan, ia heran mengapa kaki tua itu belum juga lelah. Dan baru sekali ini ia saksikan guru itu menempuh perjalanan sejauh itu.
 
  Perhatiannya lebih tertarik pada kelilingnya - gunung-gemu-nung yang serasa tiada kan habis-habisnya, berlapis-lapis me-nyintuh langit. Jalanan negeri sudah lama ditinggalkan. Juga jalanan desa. Sekarang memasuki yang kurang terawat, yang juga menarik perhatiannya. Ia simak dan pelajari selintas bekas-bekas manusia dan binatang, menaksir kapan kiranya mereka melalui terakhir kali. Juga ranting-ranting di atasnya, apakah patah karena terinjak atau karena jatuh dari dahan, atau memang karena sudah terlalu lama terkapar di udara terbuka. Juga tapak kaki yang tertinggal pada botakan jalanan ia taksir berat yang meninggalkannya. Juga suara angin dan suara tambahan di dalamnya. Juga warna-warni di hutan sekelilingnya.
 
  Parang pada pinggang tak pernah dirasakannya. Alat itu telah menjadi bagian dari tubuhnya sendiri. Parang pilihan, pemberian pemuda-pemuda Pangkur padanya, sebagai tanda pengakuan untuk pimpinan tertinggi. Ia tahu betul siapa pemilik terdahulu dari parang langsing itu, dan ia tak mau mengenangkannya. Kalau ia teringat pada pemuda-pemuda itu dengan sendirinya tangannya menggagapi pundi-pundi yang tersembunyi di balik ikat pinggang. Di dalamnya tersimpan sekeping mata uang emas dengan gambar seorang lelaki berhidung sangat mancung, tanpa badan, hanya sampai dasar leher. Bila seorang diri kadang ia memandanginya dan mengherani mengapa ia tak dapat membaca tulisan tertera di bawahnya.
 
  Dang Hyang Lohgawe belum juga mengatakan hendak ke mana.
 
  Ia tahu jalan yang ditempuhnya ini menuju ke Gunung Kawi.
 
  Sampai di bawah pohon asam hutan orang tua itu baru berhenti. Buru-buru Arok menghampiri, mengambil bungkusan pada ujung tongkat tombak dan membukanya di hadapan gurunya. Dan suatu jarak ia perhatikan Lohgawe makan sekepal ketan dengan daging serbuk, kemudian minum tiga-empat teguk air enau dari kalabasa yang terbuat dari buah labu bungkik. Ia tahu apa hendak diperbuat selanjutnya: menyorong sisa makan dan menyuruhnya menghabiskannya.
 
  Dan Arok menghabiskan sisa gurunya.
 
  "matahari telah tenggelam," katanya.
 
  "Ya, Bapa."
 
  "Kita akan sampai tepat pada waktunya." "Barangkah lebih cepat, Bapa."
 
  "Lebih baik. Mungkin agak terlambat sedikit. Rasa-rasanya semakin pendek dan pelan juga langkahku." "Cukup panjang dan cepat, Bapa."
 
  Mereka duduk diam-diam. Burung-burung ramai berkicau di seluruh hutan. Guru itu mengamat-amati tongkat peno-lak-ularnya yang berdebu, kemudian menyekanya dengan selembar luruhan daun kering.
 
  "Hari ini kau kubawa pergi. Tahu ke mana?"
 
  "Tidak, ya, Bapa. Mungkinkah ke Kawi?"
 
  "Ya, ke Kawi. Tahu untuk apa?"
 
  "Tidak, ya, Bapa. Barangtentu untuk keperluan sangat penting, ya. Bapa."
 
  "Setidak-tidaknya juga untuk kepentinganmu sendiri sebagai garuda kaum brahmana. Ada kau dengar karunia yang dijanjikan oleh Tunggul Ametung?"
 
  "Dengar, Bapa."
 
  "Siapa mampu menangkap kau?" ia mendesis. "Karunia apa itu. Emas lima puluh saga dan perak seratus lima puluh catak! Dibandingkan dengan karunia yang pernah diberikan oleh Sri Erlangga, uh, itu bukan karunia, sama dengan tulang dilemparkan pada anjing kelaparan. Sri Erlangga memang pemurah, pengasih dan penyayang. Se


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>