Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf
Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka
mua keturunannya hampir-hampir tak ada yang seperti ia. Apalagi Sri Kretajaya. Biarpun begitu ..."
Arok hafal betul akan sambungannya:
"Dia bukan guru terbaik untukmu. Kaum brahmana dari Mataram telah mengangkatnya jadi raja. Tahun berapa itu, Arok?"
"Sembilan ratus tiga puluh dua, ya, Bapa."[Tahun 932 Saka. Untuk memasehikan harus ditambah dengan 78.]
"Ya, duaratus sepuluh tahun yang lalu. Dia lah justru orang pertama-tama yang mengkhianati kita, mengkhianati bapa mertua sendiri, Sri Teguh Dharmaw angsa. Memang dia yang membangunkan kembali Men dang, menjadilah Kahuripan.[nama baru bagi Mendang setelah dibangun kembali oleh Erlangga setelah dihanc urkan oleh Wuri-Wuri Sriwijaya.] Tetapi dialah pula yan g memunggungi Mahadewa Syiwa, merusak tata Jagad Pramudita. Keturunannya tak ada yang lebih baik, kata ku. Sri Baginda Kretajaya setia pada pengkhianatan itu. Apa katamu, garudaku?"
"Tata Jagad Pramudita harus dipulihkan, ya. Bapa."
"Ya, kau ingin menjoloknya. Ah, murid yang tahu kehendak para dewa, tidak percuma kau berguru padaku. Tidak percuma kubenarkan kau meningkatkan diri dari sudra jadi satria, juga kau bisa jadi brahmana mulia. Ada sepenuh syarat padamu sudra-satria-brahmana ada dalam dirimu. Kaulah kesatuan indah, takkan terjadi sekali dalam seratus tahun."
Ia tak bicara lagi, berdiri dan mulai meneruskan perjalanan, langsung menuju ke Gunung Kawi.
Jalan itu turun naik, gelap oleh payungan pepohonan. Arok berpikir keras tentang maksud gurunya. Bukan tanpa maksud ia mengajaknya bicara. Ia menduga-duga, barangkali ia hendak diajak bersamadhi bersama di sesuatu tempat suci. Seorang brahmana, telah tua pula, tak mungkin meninggalkan pedepokan, menempuh jarak begitu jauh, tanpa terpanggil oleh sesuatu yang terlalu penting. Makin gelap dan makin gelap. "Belumkah Bapa memerlukan penerangan?" Dang Hyang Lohgawe berhenti, memberi kesempatan pada Arok untuk menyalakan obor damar. Kini mereka berjalan berjajar. Arok di kiri dengan obor di tangan kiri.
Berjalan lambat-lambat begini ia jajarkan kembali pengetahuannya yang sedikit tentang mahagurunya
Setelah membacai naskah yang ditemukannya dalam sebuah gua yang tidak ditinggali, ia tak jadi bertapa. Naskah itu meriwayatkan kebesaran Buddha Mahayana, seluruhnya dalam San sakerta tanpa ada sepatah kata Jawa pun. Ia terpesona oleh penggambaran tentang mahaguru Dharmakirti dari Suarnadwipa, yang menjadi jiwa kebesaran Sriwijaya, tentang Wajrabodhi yang menyebarkan Tantrayana di Sriwijaya dan Cina, tentang mahaguru Dharmapala dari Perguruan Tinggi Nalanda, murid dari mahaguru Dignaga dari Perguruan Tinggi Kansyi, tentang Na-garjuna. tentang Aryadewa, tentang Dipangkara, yang setelah belajar di Sriwijaya kembali ke Tibet dan melakukan pembaharuan kepercayaan Buddha di negerinya.
Ia tinggalkan gua itu, turun dari gunung ke Tuban dan bela-yar menuju ke Benggala Ia bertekad hendak mencari rahasia kekuatan Buddha, mengapa sampai dapat mengalahkan kekuatan-kekuatan Syiwa
Sampai di Langka ia berkenalan dengan seorang biksu Viri-yasanti Persahabatan yang mesra itu kemudian melahirkan percakapan semacam ini:
"Apa perlunya Yang Terhormat mencari rahasia kekuatan kepercayaan Buddha? Bukankah kekuatan itu tersembunyi dalam diri setiap pribadi? Dari sekian banyak pribadi itu, satu yang tampil, yang lain melaksanakan. Kebesaran duniawi pun dapat dicapai, karena yang lain sudi bersujud jadi budaknya. Yang satu itulah raja. Apakah Yang Terhormat berkeinginan jadi raja?"
"Tidak."
"Kalau begitu tidak perlu Yang Terhormat pelajari kekuatan yang bertujuan melahirkan kebesaran duniawi itu."
Dengan demikian ia tak jadi pergi ke Perg uruan Tinggi Na-landa untuk mempelajari agama Buddh a Mahayana dan Tantra-yana ataupun Mantrayana. Ia mempelajari Buddha Hinayana, mempelajari dari awal bahasa Pali. Lima tahun ia tinggal di Langka, tidak pern ah menjenguk Perguruan Tinggi Nalanda, berkelana ke Colamandala[Coromandel.] Burma dan Campa, kemudia n kembali ke Jawa.
Buddha Hinayana tidak pernah jadi keyakinannya. Tinggal hanya pengetahuan. Juga Buddha Mahayana, Tantrayana, Mantrayana. Ia tetap seorang Syiwa.
Kembali di Jawa, di Kediri, ia berusaha membangkitkan semangat rekan-rekannya untuk mendudukkan kembali Hyang Mahadewa Syiwa pada cakrawartinya yang sesungguhnya. Dan bukan tanpa hasil. Lohgawe sudah melihat mulainya kebangkitan Syiwa. Tinggal satu langkah lagi, dan ia sudah akan dapat mempengaruhi Sri Baginda Kretajaya. Tetapi Mpu Tanakung adalah benteng baginda yang tak dapat dilaluinya. Ia bahkan terpental jauh, menyelamatkan diri ke Tumapel sekarang. Namun kaum brahmana tetap menghargainya. Dalam suatu sidang brahmana barang tujuh tahun yang lalu telah dikeluarkan gelar Dang Hyang untuknya dan Lohgawe sebagai sebutan untuk pribadinya yang tak jera-jera bekerja demi kemuliaan Hyang Syiwa. Juga untuk ketinggian dan keluasan ilmu yang dikuasainya. Sejak itu ia dipanggil orang Dang Hyang Lohgawe. Para brahmana percaya, semua yang diusahakannya, seperti yang sudah-sudah, pasti berhasil dan akan berhasil, tak pernah mengingat pada satu kekurangan yang sangat menyolok padanya: ia tak dapat lancar bicara Sansakerta, sekalipun telah melewati pendidikan di negeri Hindu. Dan kekurangan ini selalu jadi penghalangnya yang terutama dalam sidang-sidang kaum brahmana dari banyak negeri. Mereka terus berjalan.
Langit dan bulan tidak nampak oleh mereka. Hanya pokok, cabang, ranting dan dedaunan, seperti tembok memagari sinar obor damar itu.
Tiba-tiba Dang Hyang Lohgawe berhenti:
"Hatiku merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Ada apa, Arok?"
"Ada sahaya dengar sesuatu."
"Sim, aku yang bawa obor," dan damar pun berpindah tangan. Tak lama kemudian Lohgawe berhenti lagi: "Aku merasa tidak patut melangkah lurus terus. Ada apa, Arok?"
"Ada sahaya dengar sesuatu, Bapa, tapi masih jauh." "Apa yang kau dengar?"
"Suara orang,"Arok menjawab. "Tiadakah Bapa berkeberatan sekiranya sahaya berjalan dulu untuk melihatnya?" "Jangan tinggalkan aku."
"Baik, Bapa. Kalau begitu ijinkan sahaya naik ke atas pohon yang setinggi-tingginya. Bagaimana kalau obor dipadamkan, Bapa? Tiadakah Bapa ..."
"Biarkan menyala begini. Kau boleh naik."
Arok mengangkat sembah, kemudian melompat ke pokok kayu di sampingnya. Seperti monyet ia berpindah-pindah dari pokok ke pokok lain yang lebih besar dan lebih tinggi, sampai didapatkannya yang tertinggi. Dengan parangnya ia tebangi ranting-ranting dan cabang yang mengganggu pemandangan.
Dilihatnya langit di atas dengan bulan penuh tersenyum pada dunia. Diam-diam ia duduk di atas cabang. Suara itu semakin jelas. Kemudian juga nampak olehnya serombongan orang berkumpul-kumpul di tanah lapang dengan berpuluh obor mengelilingi mereka. Ia tutup matanya untuk dapat menangkap dan memahami suara-suara mereka. Waktu ia buka lagi matanya gerak-gerik mereka di kejauhan sana semakin menjadi tak nyata. Ia masih membutuhkan waktu untuk lebih dapat memahami suara-suara itu. Kini ia mulai dapat menangkap, samar, seperti desir angin lalu: mantra. Ya, mantra: Hling Kling kandarpa eraka...
Ia turun. Dari sepenggal mantra itu ia telah dapat menangkap seluruh adegan yang terjadi sayup di sana: para najako[wanita yang dipergunakan dalam upacara maithuna] sudah direbahkan di atas tumpukan daun kering dan disetubuhi. Dalam pengemb araannya paling tidak telah tiga kali ia pernah menginti p adegan semacam itu. Dan gundulan hutan di sana itu jadilah kini sebuah mandala bayangan.
"Tempat itu masih jauh. Bapa."
"Apa sesungguhnya yang telah terjadi?"
"Sama dengan yang dilakukan oleh sementara penyembah Syiwa, ya Bapa."
"Apa yang dilakukan oleh sementara penyembah Syiwa?"
"Maithuna."[upacara persetubuhan untuk memuja kesuburan.]
"Husy. Tak aku benarkan kau ulangi pendapat busuk seperti itu. Salah. Keliru. Tidak benar. Menyesatkan." "Sahaya pernah saksikan sendiri."
"Itulah akibat pahit peninggalan Sri Erlangga. Apakah gurumu yang lama, Tantripala, yang membisikkan itu pada kupingmu, maka kau berani bicara seperti itu?"
"Bapa Tantripala pernah memberitahukan, dan sahaya pernah saksikan sendiri."
"Tantripala tidak keliru, hanya ada yang belum dikatakannya. Apa yang belum itu, Arok?"
"Bahwa Maithuna juga dilakukan oleh kaum Wisynu." "Belum seluruhnya." "Sudah, Bapa."
"Kalau begitu, dialah yang belum mengatakan seluruh dari kebenaran itu," ia mulai berjalan lagi, "betul masih jauh?" "Bapa tidak akan melihatnya." "Kau kenal jalanan ini?"
"Mendekati tempat itu ada jalanan ke kiri, Bapa," dan ia ambil obor dari tangan Lohgawe."
"Salah satu sebab kerajaan pindah ke timur, ke timur lagi, menghindarkan pengaruh Yoga, Tantri dan Buddha. Ampuni kami, ya, Mahadewa, keagungan Prambanan tidak mampu menolak pengaruh sesat itu. Kalasan telah memberikan pengayoman pada mereka. Mataram[Sekarang: daerah Kedu] dipindahkan dari pengaruh itu lebih ke timur[Sekarang: daerah Madiun] oleh Sri Baginda Dyah Balitung, kemudian ke timur lagi oleh Mpu Sindok. Waktu itu di timur sini masih bersih, belum ada pengaruh seperti itu. Hyang Agastya tetap dimuliakan. Sri Teguh Dharmawangsa malah telah mengirimkan armada untuk menumpas induk gerakan itu Sriwijaya. Selanjutnya kau tahu sendiri: kalah. Mendang kalah, ganti kena serbu, Sri Dharmawangsa sendiri gugur. Nanti kau akan juga dengar dari banyak guru yang patut kau muliakan."
Arok kini mengerti, ia hendak dibawa ke Sidang kaum brahmana. Ia tersenyum, tahu bakal mendapat kehormatan diperkenalkan sebagai sudra-satria-brahmana muda, hampir-hampir dua puluh tahun.
"Buang dari ingatanmu yang kau lihat tadi, Arok. Kau adalah garuda. Bahkan abu dari pemandangan tadi tak patut kau singgung dengan jari kakimu. Garuda! Untuk kau hanya korban terbaik, hidup terbaik, dan kalaupun punah, punah yang terbaik pula. Kau takkan punah tanpa peninggalan terbaik."
"Terimakasih, ya, Bapa."
"Kau gentar mendengar kata punah?"
"Punah adalah tugas satria, dengan peninggalan terbaik adalah sebaik-baik punah." "Ya, jawabanmu adalah jawaban satria."
"Apakah tak pernah ada yang baik pada para penyembah Buddha, ya, Bapa Mahaguru?"
"Apakah yang terjadi pada Mataram dulu? Berapakah sudah candi-candi agung dirobohkan oleh balatentara Mahayana Sailendra? Batu-batu mulia itu dipaprasi dari kemuliaannya, dijadikan umpak untuk kuil-stupanya? Kita tak pernah lakukan itu, maka kita pun tak dapat ampuni mereka."
Ia terdiam.
Arok masih menunggu buntutnya: pengecilan terhadap Erlangga. Sekali ini yang ditunggunya memang tak muncul.
"Adakah Tantripala pernah mengajarkan padamu tentang seorang yogin dari Sriwijaya bernama Syamyanatera?"
"Tidak, Bapa."
"Jadi apa saja kau pelajari dari dia?"
"Baca tulis."
"Baca tulis apa?"
"Parwa, Bapa, Weda, Purana."
"Sansakertamu baik. Semua itu langsung dalam Sansakerta tentunya." "Tidak keliru, Bapa."
Dang Hyang Lohgawe mendeham. Arok tahu arti dehaman itu: dalam percakapan mahagurunya jauh di bawahnya. Lohgawe hanya dapat membaca, sulit menggunakannya dalam percakapan.
"Kau memahami betul 100.000 bait Mahabharata dan 24 000 bait Ramayana dalam Sansakerta. Itu saja sudah cukup mengagumkan untuk seorang menghampiri dua puluh tahun. Tapi kau belum tahu siapa yogin Syamyanatera. Aku harap akan ada yang menyinggungnya nanti." "Terangkanlah pada sahaya, ya, Bapa."
"Sebagai pribadi kau tak perlu mengetahuinya. Sebagai 'brahmana' muda kau wajib mendapat sepotong dua potong pengertian untuk dapat sampai sendiri pada keseluruhan. Matsiya-manuya-madya-mutra[ikan-daging, arak-wanita] dalam kesatuan dengan maithu-na, itulah wabah sekarang ini yang dibawa oleh ajarannya. Yang memeluk Syiwa, yang Wisynu, apalagi yang Buddha sendiri, semua kena rambatannya. Hanya yang waspada juga tahu arti hidup dan mati." "Sahaya, Bapa."
"Hidup yang berarti, dan mati lebih berarti lagi."
Mendekati botakan hutan, tempat orang melakukan maithu-na, obor dipadamkan. Dari sela-sela dedaunan langit mulai nampak, dihiasi oleh bulan. Mereka membelok ke kiri.
"Jangan lihat ke sana."
Sekarang Arok yang mendeham.
"Dehamanmu itu keluar dari jiwa Syiwa ataukah Buddha?"
"Ya, Bapa, bukankah tidak semua penyembah Buddha dari nikayo[mashab, sekte.] Mahayana? Dan bukankah tidak semua Mahayana menganut Tantrayana? Dan
↧
Arok Dedes - 19
↧