Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf
Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka
a, Yang Mulia."
"Berapa umurmu?"
"Dua puluh, Yang Mulia Paramesywari."
"Pernah kau belajar pada Yang Suci Dang Hyang?"
"Sampai tamat, Yang Mulia Paramesywari."
"Semuda itu sudah tamat? Ampuni aku, berapa banyak syair dalam karya Mpu Panuluh Hariwangsa?"
"Enam belas ribu bait, Yang Mulia."
"Bisakah kau mengucapkan barang sepuluh bait?"
Arok membacakan bagian awal dalam Sansakerta.
"Sansakerta!" Paramesywari mendesis, "Jagad Dewa." Matanya membeliak dan ditebarkan membikin lingkaran berdiri pada alam semesta. Berbisik pada Tunggul Ametung: "Dalam Sansakerta seindah itu. Bukan manusia, dewa itu sendiri." Ia berdiri, tak tahu apa harus diperbuatnya, matanya sebak. Berbisik lagi pada suaminya. "Tidak patut dia duduk di tanah begitu rupa."
"Arok,"Akuwu memulai, "ketahuilah, Yang Mulia Paramesywari Tumapel telah berkenan untuk mengenal dirimu." Arok mengangkat sembah terimakasih. "Tunjukkan pada kemurahan Yang Mulia Paramesywari, bahwa kau akan segera dapat memadamkan kerusuhan di selatan Tumapel."
"Bila Yang Mulia Paramesywari menjatuhkan titah melaksanakan sekarang juga, akan sahaya laksanakan."
"Balatentara Tumapel tidak mampu, banyak binasa, bagaimana caranya kau berani menyan ggupi?"
"Yang Mulia Akuwu dan Yang Mulia Paramesywari tinggallah berbahagia di pekuwuan. Sahaya akan padamkan dalam waktu cepat"
"Kau harus tahu, lima ratus jajaro pengawal telah dihancurkan. Sisanya melarikan diri dan bakal binasa di hutan-hutan. Engkau dengan gampang mempersembahkan janji kemenangan gampang."
"Inilah Arok, Prajurit Yang Mulia sendiri." "Kau percaya, Permata?"
"Yang Mulia Akuwu sebaiknya belajar percaya padanya."
"Baik, padamkan kerusuhan di selatan. Kau akan mendapat tambahan lima ratus prajurit lama yang berpengalaman. Dengan kepala pasukannya kau akan pelajari medan."
"Sedia, Yang Mulia."
"Kalau berhasil, kau akan lanjutkan pekerjaan ke barat daya, Kawi dan Kelud." "Sedia, Yang Mulia."
Sementara itu Ken Dedes tetap mengawasi dan memperhatikan Arok.
"Bicaralah, Permata. Sekarang giliranmu."
"Arok, katakan padaku siapa sesungguhnya Kramasara?"
"Seorang mahayogin. Yang Mulia Paramesywari, dari negeri Cina. Setengah orang memanggilnya Mahacina."
Kembali Ken Dedes berdiri, membeliak, dan Tunggul Ametung memperhatikan tingkah istrinya yang aneh itu.
"Apa mahayogin itu?"
"Seorang mahaguru, Yang Mulia Paramesywari, yang menguasai ilmu tantri dan yoga." "Jagad Dewa!"
"Ada apa, Permata?" bisik Tunggul Ametung.
"Tak pernah diajarkan padaku tentang tantri dan yoga."
"Apa guna semua itu untuk Paramesywari?"
"Coba katakan padaku yang masih bodoh ini," Dedes me-neruskan,"apa saja yang kau ketahui dari ucapan Kramasara tentang wanita?"
Arok mengangkat muka dan pandang, memancarkan sinar ekagrata, berkilauan menelan semua yang dilihatnya. Tunggul Ametung merasa seperti lumpuh di tempat duduknya.
"Dengarkan sahaya ulangi kata-katanya Wanita adalah Dewa; Wanita adalah Kehidupan; Wanita adalah Perhiasan untuk pria ...Yang Mulia. Sahaya membenarkan, hanya alasannya tidak. Yang Mulia, menyesatkan ..."
Dengan susah payah Ken Dedes berbalik, melangkah cepat-cepat meninggalkan Taman Larangan, masuk ke Bilik Agung. Sepanjang perjalanan ia menyebut-nyebut:
"Jagad Dewa, Jagad Pramudita!"
Tunggul Ametung meninggalkan tempat duduk, berjalan cepat memburu istrinya. Arok menutup mata memusatkan ekagrata pada pendengarannya, dan ia dengar:
Tunggul Ametung : Mengapa, Permata? Mengapa?
Ken Dedes : Jagad Dewa! Jagad Pramudita!
Tunggul Ametung :Ya-ya, mengapa?
Ken Dedes : Bukan semestinya dia duduk di tanah begitu di hadapan Dedes. Tunggul Ametung : Mengapa?
Ken Dedes: Akulah yang semestinya menyeka kakinya. Tunggul Ametung dengan nada sengit : Mengapa? Ken Dedes : Dari Sansakertanya jelas dia telah kuasa semua ilmu. Dia tahu yang aku tidak tahu .... seorang sudra yang mendaki naik ke tempat brahmana.
Tunggul Ametung : Jangan risau, dia takkan kembali dari medan pertempuran.
Dari pintu Tunggul Ametung menjenguk keluar dan melambaikan tangan mengusir Arok.
Arok mengangkat sembah, berdiri, melalui pintu gerbang belakang pekuwuan, meninggalkan Taman Larangan.
Sebelum berangkat ke medan pertempuran Arok telah memerintahkan anak buahnya untuk menghubungi Tanca dan Umang, membawa penntah untuk menjebak pasukan Tumapel dari angkatan lama yang akan dipimpinnya. Perjalanan akan menempuh jalan negeri, maka penjebakan itu akan terlalu mudah dilakukan.
Anak buah itu datang membawa rencana Tanca di samping surat khusus yang melaporkan tugas pengawasannya terhadap Hayam. Surat itu pendek, menceritakan bahwa Hayam merasa tidak senang tidak diperbolehkan ke pendulangan dan padang batu. ia telah menuduh, ada sesuatu yang disembunyikan dari-padanya, dan ia menyatakan kehilangan kepercayaan pada Arok dan Tanca. Kemudian ia menarik pasukannya dan katanya dibawa ke kaki Gunung Kawi.
Tentara Tumapel berangkat dengan kekuatan tujuh ratus orang. Pasukan Arok sendiri berangkat paling dahulu. Sampai di jebakan pertama tak terjadi sesuatu. Di jebakan ke tiga terjadi perang semu dan sorak-sorai riuh. Pasukan Arok berbalik membantu teman-temannya sendiri. Pasukan Tumapel yang kedua dan ketiga segera masuk dalam jebakan yang tidak pernah diduga-duganya, menderitakan penumpasan darah. Panah cepat para biarawan dan biarawati, tombak, pedang dan pasangan-pasangan bambu hampir-hampir membinasakan seluruh tentara Tumapel. Mayat bergelimpangan sepenuh jalanan. Perkelahian hampir-hampir tidak terjadi. Sorak riuh-rendah menandakan kemenangan pada tentara Arok. Prajurit-prajurit Tumapel yang dapat meloloskan diri dari maut dibiarkannya lari. Mereka takkan berani kembali ke asramanya, dan akan tetap menghilang dari Tumapel.
Bagi Arok semua itu hanya sebuah latihan untak menghadapi pertempuran yang jauh lebih berarti di kemudian hari. Padanya telah ada tempat resmi sebagai prajurit Tumapel. Ia dapat bergerak bebas di antara mereka, dan lebih bebas di tengah-tengah pasukannya sendiri.
Memasuki padang batu ia disambut oleh Gusti Putra, Mundra dan Umang.
Dari Umang ia menerima laporan, bahwa jalan air dan darat ke Kediri telah jatuh seluruhnya ke tangannya. Berpuluh-puluh perahu telah dirampas, dan beratus dharmana telah diperintahkannya kembali pada keluarganya. Tetapi sebagian terbesar tak berani pulang dan menggabungkan diri.
"Berikan padaku lima ratus orang dharmana."
"Kau akan mendapatkannya pada hari ini juga. Suami."
"Dan persiapkan mereka untuk berangkat bersama denganku ke Tumapel."
"Mereka akan berangkat mengiringkan kau."
Gusti Putra melaporkan, bahwa seluruh pertahanan di pendulangan dan perbatuan dipegang oleh Mundra. Untuk itu ia mendapatkan kehormatan nama Mundrayana. "Berapa jumlah pasukanmu, Mundrayana?" "Semua orang dewasa. Pimpinan Tertinggi, laki dan perempuan, kecuali kanak-kanak."
"Baik. Berangkat kau dengan dua ratus orang pada malam ini juga. Hindari jalanan negeri, dan berkampung kalian di desa Randu alas. Muliakan ibuku, Nyi Lembung. Binasakan semua prajurit Tumapel yang tidak takluk padamu. Isilah namamu, Mundrayana, dengan kemenangan gilang-gemilang."
Malam itu ia beristirahat dengan Umang di gubuk Ki Bango Samparan. Dan pada keesokannya ia berangkat pulang ke Kutaraja dengan membawa lima ratus prajurit tambahan bekas dharmana Kediri dan sebagian dari anak buah Tanca. Mereka semua berpakaian prajurit Tumapel, juga persenjataannya.
Memasuki Kutaraja mereka berbaris dan bersorak-sorai memberitakan kemenangannya. Penduduk kota pada keluar dari rumah masing-masing, menyambut balatentara pulang itu tanpa sorak, hanya diam-diam menonton. Mereka berbaris di depan pekuwuan untuk menerima pujian dari Sang Akuwu.
Damar-damar pendopo itu telah ditambah dengan sepuluh lagi. Empat orang menteri Tumapel dan Belakangka hadir. Tetapi Sang Akuwu belum juga muncul.
Malam telah tiba waktu akhirnya pintu Bilik Agung terbuka. Yang muncul bukan Akuwu, tetapi Paramesywari dalam pakaian kebesaran yang serba gemilang. Diiringkan oleh para menteri dan Belakangka ia menyeberangi pendopo, berdiri pada anak tangga. mengumumkan:
Yang Mulia Sang Akuwu sedang berhalangan, telah berangkat pada siang hari tadi ke sebelah barat Tumapel."
Arok, yang berdiri di depan pasukannya mengerti, Sang Akuwu sedang memimpin sendiri penindasan kerusuhan di sebelah barat.
Ia melaporkan hasil pertempurannya: para perusuh di selatan ditumpas seluruhnya. Tentara Tumapel kehilangan dua puluh lima orang prajurit.
"Arok, setiawan Tumapel, terimakasih atas jasamu yang sangat besar pada Tumapel. Asramakan anak buahmu untuk kemudian menghadap padaku."
Dan Arok mengasramakan prajuritnya sendiri yang enam ratus orang, dengan regu-regu dipimpin oleh anak buah lama. Ia tahu: hari ini adalah hari awal kemenangannya dan awal keruntuhan Tunggul Ametung.
Penghadapan itu terjadi di pendopo. Ken Dedes sebagai Paramesywari Tumapel duduk di Singgasana menggantikan Sang Akuwu. Empat orang menteri duduk di bawah mengapitnya. Yang Suci Belak angka berdiri, bertumpu pada tongkat. Sang Patih tidak hadir, karena dibawa oleh Sang Akuwu dalam meninda s kerusuhan.
Paramesywari memerintahkan padanya menceritakan jalannya pertempuran.
Arok mengangkat muka dan mengagumi kecantikan Dedes. Dalam hati ia membenarkan Tunggul Ametung mendudukkannya pada tahta Tumapel. Ia adalah mahkota untuk kerajaan mana pun, karena kecantikannya, karena pengetahuannya, karena ke-brahmanaannya, karena ketangkasannya, karena keinginannya untuk mengetahui persoalan negeri.
Ia melaporkan jalannya pertempuran dalam Sansakerta. Dan selama itu mereka berdua berpandang-pandangan seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal dan mengerti hati masing-masing.
Dedes tak menguasai istilah perang, lebih-lebih tak menguasai hati sendiri lagi. Dengan jujur ia mengakui pada dirinya telah jatuh cinta pada pemuda sudra tanpa darah Hindu setetes pun itu, yang demikian fasih berbahasa ilmu para dewa dan mahir
dalam yuddhagama. Dan begitu muda, hanya terpaut tiga tahun dari dirinya sendiri.
Dialah yang patut jadi suamiku, pemegang kekuasaan atas Tumapel, seorang brahmana yang akan dapat memuliakan cakrawarti Hyang Syiwa. Ia pejamkan mata, menikmati musik yang terdengar dalam Sansakerta Arok. Dan ia membiarkan dirinya dipandangi sepuasnya oleh seorang lelaki yang bukan suaminya.
"Selesai, Yang Mulia Paramesywari."
"Terimakasih Arok, akan aku teruskan pada Yang Mulia Akuwu," ia berpaling pada Belakangka yang berdiri agak jauh di sampingnya, "Yang Suci, silakan ajukan pertanyaan padanya untuk melengkapi gambaran." Ia tahu Belakangka tak dapat mengikuti laporan itu, apalagi para menteri Tumapel.
Dan Belakangka menggaruk-garuk tenggorokan.
Tawaran diteruskannya pada para menteri. Salah seorang mengakui tidak mengerti Sansakerta.
Ken Dedes tersenyum. Kesempatan itu ia pergunakan untuk berpesan pada Arok agar menemuinya di Taman Larangan nanti tengah malam.
Dan dengan demikian penghadapan bubar.
Malam itu juga ia ambil-alih tugas kemit, dan dengan demikian pasukannya sendiri yang telah terpercaya yang melakukannya. Ia mengerti, Paramesywari sedang menantang maut dan menawar maut untuk dirinya dengan undangan malam itu.
Dedes masuk ke Bilik Agung dengan tubuh menggigil. Begitu Arok menyatakan kesanggupannya ia mengerti, ia telah ber-sekutu dengan pemuda itu untuk menjatuhkan Tunggul Ametung. Kesedaran, bahwa ia sedang menempa makar, dirasakannya suatu hal yang terlalu besar dan tubuhnya kurang kuat menampung. Melintas wajah Mpu Parwa di hadapannya Ayah tercinta itu mengangguk membenarkan. Kemudian melintas wajah Dang Hyang Lohgawe Brahmana itu dilihatnya mengangguk membenarkan. Ia perintahkan untuk mengawalnya dari pintu gerbang belakang pekuwuan ke pura dalam.
Dilintasinya Taman Larangan. Di luar ia disambut oleh empat orang pengawal.
"Pasukan siapa kalian?" tanyanya pelan.
"Arok, Yang Mulia."
"Aku merasa lebih aman dalam pengawalan kalian." "Beribu terimakasih. Yang Mulia."
Mereka mengiringkannya memasuki halaman pertama, kedua dan ketiga pura. Penunggu itu mengangkat sembah menyambutnya kemudian menyilakannya naik ke atas.
"Tinggalkan aku seorang diri," perintahnya.
Pedupaan itu t
↧
Arok Dedes - 35
↧