Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf
Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes
elah mengepulkan harum. Ia tahu tak ada patung-patung Mahadewa dan syakti-syaktinya. Tetapi selama ini ia telah membiasakan tanpa dengan mereka.
Ia lenyapkan perasaan pribadi, segala pamrih yang menggumuli hati, memadamkan pancaindra dengan hanya membawakan satu macam permohonan untuk mendapatkan petunjuk yang benar dan dibenarkan pada Hyang Mahadewa Syiwa.
Dan lenyaplah ia dalam alam puja. Seluruh wujudnya padam, memasuki alam sinar dan getaran kemudian ke alam sunnya tanpa sesuatu. Kemudian sayup-sayup menggeletar, makin lama makin nyata, dan terdengar suara tawa. Muncul di hadapannya seorang tua buncit berjenggot putih panjang sampai ke pusar, telanjang dada dan bertongkat, berbisik padanya:
"Kembali kau. Cucu, kembali, mahkota kerajaan mana pun yang kau inginkan sudah ada pada kepalamu."
Sekarang alam sunnya itu padam. Ujung-ujung ibujarinya menggeletar, merambat naik ke kaki, ke badan, ke leher dan kepala. Baru ia dapat menggerakkan tubuhnya. Ia mengangkat sembah pada Hyang Bathara Guru dalam bayangan, kemudian beringsut mundur, bangkit dan meninggalkan pura.
Waktu ia menuruni tangga, ia teringat, bahwa ia tidak seorang diri menghadap Hyang Mahadewa Syiwa Bathara Guru. ia beserta anak dalam kandungan. Ia raba perutnya dan berbisik:
"Jangan kau kaget, anakku. Sesuatu harus terjadi, dan kau ikut menyertai bundamu sejak semula."
Para pengawal itu menghormatinya dengan gedikan pangkal tombak. Ia melangkah pelan-pelan ke pintu gerbang belakang pekuwuan. Sebelum masuk ia berpaling dan berbisik:
"Tenmakasih, prajurit. Aku merasa aman dalam pengawalan pasukan Arok. Maka pintu gerbang ini tak perlu dikawal," dan ia masuk ke dalam.
Lambat-lambat ia menutup pintu sambil memperhatikan apakah para pengawal telah pergi. Memang mereka semua telah pergi dan berbalik ia menghadap ke Taman Larangan. Bulu ro-manya menggermang, terkejut, melihat sesosok tubuh berdiri di hadapannya. Hampir ia terpekik. "Dirgahayu untukmu, anak Mpu Parwa." Demi dilihatnya orang itu Arok, ia berlutut dan mengangkat sembah: "Dirgahayu, ya, Guru."
"Ketahuilah, telah aku antarkan ayahmu Mpu Parwa kembali ke Gunung Kawi setelah pulang melihat rumahmu dibakar habis oleh Tunggul Ametung."
"Tenmakasih beribu kali, ya, Guru."
"Ayahmu takkan melihat kau sebelum suamimu tumpas karena senjata."
Sahaya mendengarkan, ya, Guru."
"Ketahuilah, bahwa persidangan kaum brahmana puncak di candi Agastya, Gunung Kawi, telah berjanji untuk menjatuhkan Tunggul Ametung dan Kediri. Kaulah yang menyebabkan persidangan mengutuk dan menghukum penculikan itu. Kau mengerti semua yang aku katakan, anak Mpu Parwa?"
"Sahaya mendengarkan, ya, Guru."
"Belum patut aku jadi gurumu, Dedes"
"Beribu terimakasih atas pemberitaan itu, ya, Kakanda."
"Katakan padaku, pada pihak siapa kau berada."
"Sahaya ada pada pihak para brahmana, pada pihak Kakanda."
"Apakah cukup dengan hanya pemihakan?"
"Sahaya serahkan suami sahaya, hidup dan matinya, pada Kakanda," ia menunduk,"semua yang dituntun oleh tangan Dang Hyang Lohgawe pasti kebenaran yang tak dapat ditawar."
"Apakah kau tidak menyesal kehilangan suami?"
"Sahaya serahkan diri dan hidup sahaya kepada Kakanda, demi Hyang Mahadewa."
Arok menarik Dedes berdiri, dan ia rasai tubuh Paramesywari menggigil:
"Bangun kau, Dedes, dan kembali kau ke Bilik Agung."
"Akan Kakanda tinggalkan sahaya begini seorang diri?"
"Tidak. Setiap saat aku akan kunjungi kau di sini. Terserah pada panggilanmu."
Arok memimpinnya ke arah Bilik Agung. Sampai di tangga ia minta diri dan melangkah cepat menyeberangi gerbang belakang pekuwuan, kemudian keluar.
Ken Dedes jatuh tak berdaya di depan peraduan, ia letakkan kepalanya. Matanya tertutup, ia merasa sangat, sangat berbahagia. Ia merasa tidak berdosa pada para dewa, juga tidak pada ayahnya. Ia menggeliat waktu menyedari adanya saksi percakapan mereka: anak dalam kandungan. Dibelainya perutnya:
"Duh, anakku, jangan kaget telah aku serahkan hidup dan mari ayahmu pada musuh-musuhnya. Kalau kelak kau nnggalkan rahim ibumu, kau akan tiba di dunia yang tidak seperti ini; dunia yang dikehendaki oleh para dewa."
Dengan dua ratus prajurit sendiri dan dua ratus prajurit Tumapel, dan dengan restu resmi Paramesywari, Arok berangkat menyusul Tunggul Ametung untuk menumpas kerusuhan di utara dan barat Kutaraja.
Di desa Asam Bagus kesatuannya berhenti untuk mesanggrah. Dua puluh orang dari prajuritnya sendiri ia perintahkan menghubungi Arih-Arih dan Santing untuk menumpas buntut pasukan yang dibawanya. Ia sendiri akan berbalik dan ikut menghancurkan.
Dengan pengawalan empat orang pada malam itu juga ia berangkat ke Pangkur untuk menemui Dang Hyang Lohgawe. Ia menyampaikan Tumapel sudah hampir berada di tangannya. Setiap waktu ia dapat gulingkan Tunggul Ametung.
"Aku percaya. Kau telah bekerja lebih cepat daripada perhitungan. Untuk itu waktu belum mengijinkan. Penggulingan atas Sang Akuwu, garudaku, belum tentu berarti kemenangan bagimu, bisa berarti awal dari kehancuran kita semua."
"Ya, Bapa Mahaguru, sahaya mengerti: Kediri tidak akan tinggal diam. Pasukan gajahnya yang perkasa akan segera datang menghancurkan Tumapel."
"Itu bisa kau hadapi Arok. Tergulingnya Tunggung Ametung berarti kau menjadi raja Tumapel. Di situ letak kesulitannya. Belum pernah terjadi seorang sudra, tanpa darah Hindu, marak jadi raja. Erlangga yang mula-mula marak dengan terlalu sedikit darah Hindu dalam tubuhnya. Tetapi darah itu ada. Padamu sama sekali tiada. Kau tidak bisa mengajukan silsilah yang bisa dibenarkan oleh kaum brahmana. Takkan ada raja lain yang bakal dapat mengakuimu." "Tak pernah ini Bapa ajarkan pada sahaya." "Sekarang ini aku sampaikan, Arok. Tanpa darah Hindu orang tak bisa jadi raja."
"Apakah ini berarti sahaya hanya baik untuk berperang saja untuk orang lain?"
"Bukan. Kau bukan semestinya jadi prajurit bayaran. Dengarkan, garudaku: begitu dunia mendengar seorang sudra telah menggulingkan kepercayaan Kediri di Tumapel, semua raja di Jawa. orang-orang yang berdarah Hindu itu, akan bangkit dan berbaris untuk membinasakan kau. Kau bisa gulingkan Sang
Akuwu dengan mudah. Memang setiap waktu bisa.Tapi jadi raja bukankah tidak cita-citamu? Jadi satu-satunya dari yang selebihnya? Bukan, Arok. Jalan ke tahta terlalu mudah bagi orang seperti kau. Hanya jangan kau lupa, kau membawa tugas dari semua brahmana dan penganut Hyang Mahadewa. Tugasmu adalah menggulingkan wangsa Isana yang sudah tak dapat menenggang lagi itu."
"Sahaya mengerti sepenuhnya, Bapa Mahaguru."
"Mungkin kau lupa. Jatuhkan Tunggul Ametung seakan tidak karena tanganmu. Tangan orang lain harus melakukannya. Dan orang itu harus dihukum di depan umum berdasarkan bukti tak terbantahkan. Kau mengambil jarak secukupnya dari peristiwa itu. Tanpa jatuhnya Tumapel, kita takkan bisa menghadapi Kediri. Tumapel adalah modal pertama, Arok. Jangan kau lupa."
Ia diam, memejamkan mata, kemudian meneruskan:
"Segera setelah jatuhnya Tunggul Ametung, Belakangka akan bertindak sebagai wakil Kediri. Ia akan menempatkan seseorang untuk jadi pengganti sementara. Itu tidak boleh. Dedes harus segera memegang kekuasaan pengganti suaminya. Dia harus mampu menjatuhkan hukuman bagi yang bersalah dan karunia bagi yang berjasa. Kaulah harus jadi tempat ia menyandarkan diri."
Dan Arok sepenuhnya mengerti. Ia menyampaikan, bahwa Tumapel Selatan sepenuhnya sudah berada di tangannya. Sebentar lagi juga sebelah barat dan utara.
"Kau memang putra Hyang Brahma sendiri."
Arok mengangkat sembah.
"Sudah kau bertemu dengan anak Mpu Parwa?"
"Sudah, ya, Bapa Mahaguru."
"Sudah kau bicara dengannya?"
Ia menceritakan pertemuan di malam hari dalam Taman Larangan itu.
"Hanya orang seperti kau yang berhak memiliki dia. Ingat, Arok, dia berdarah Hindu. Bila dia memegang kekuasaan atas Tumapel adalah sudah wajar menurut kebiasaan lama. Bukan kau. Dari perkawinanmu dengannya saja syarat-syarat baru tersedia untukmu."
"Tiadakah Bapa mahaguru menaruh banyak, terlalu banyak kepercayaan pada sahaya?" "Kau hanya menjalani kehendak kaum brahmana." Dan Arok pulang pada kesatuannya.
Waktu hendak memasuki rumah penginapannya di Asam Bagus dari rimbunan semak di pinggir jalan terdengar teguran dari seseorang: "Arok, aku tahu dari mana kau." "Siapa itu!" "Bana."
Ia telah mencabut pedang dan para pengawalnya dengan tombak mulai mengepung semak-semak itu. "Bana siapa!"
"Anak buahmu dulu. Dengar, aku mau bicara denganmu." "Keluar kau dari situ."
"Jangan bunuh aku. Aku akan keluar mendapatkan kau." Orang itu keluar dari semak-semak.
"Ah, kau?" seru Arok. "Bagaimana kau bisa di sini? Tempatmu di utara."
"Kau tak perhatikan aku dan kami sejak tadi. Aku prajurit Tumapel. Tak bisa lolos dari wajib tentara. Semua temanku yang dalam pasukanku adalah anak-anak kemarin, anak tani semua. Apakah kau tega tumpas kami seperti yang kau bawa ke selatan?"
"Lantas apa maumu?"
"Aku dan kami menggabungkan diri denganmu, Arok."
"Bagaimana bisa orang seperti kau tidak bisa lari waktu kena wajib tentara?"
"Mereka mengancam Bapak dan emak."
"Ketahuilah, sesungguhnya prajurit Tumapel sukar untuk dapat dipercaya. Juga kau. Tempatmu tidak di sini, di barisanmu sendiri"
"Aku tak mampu melihat bapak dan emak teraniaya Sudah kukatakan tadi. Aku mengerti, kau menghendaki jaminan dari kami. Mari aku bawa ke penginapan kami"
"Tidak perlu."
"Baik, aku bawa jaminan kami kepadamu." Arok masuk ke rumah penginapannya dalam iringan para pengawalnya.
Beberapa bentar kemudian terdengar suara dari luar rumahnya: "Bana datang untuk menemui Arok."
"Bawa dia masuk," perintahnya pada kemit.
Ia masuk membawa sepuluh orang tamtama angkatan lama yang telah terikat, diiringkan oleh pengawal-pengawal dari angkatan baru.
"Inilah jaminan kami. Terserah padamu hendak kau apakan binatang-binatang ini."
Di bawah cahaya damar nampak muka Bana yang masih muda belia, belum lagi tumbuh kumis dan cambang. Pipinya barut dan berdarah.
"Beri kami hidup, Arok," seorang tamtama memohon. "Kejahatan kalian tak mungkin melindungi hidup kalian," jawab Arok.
"Kami tangkap sedang melakukan kejahatan terhadap orang desa, Arok."
"Hanya itu yang kalian bisa perbuat selama ini hanya menindas dan merampoki orang desa."
"Hidupi kami. Akan kami persembahkan apa saja: harta, anak bini, untuk dibudakkan, untuk milik sendiri...," seorang memohon.
"Dengar," kata Arok pada semua yang hadir, juga prajurit-prajurit yang terbangun dari tidurnya, "kami tidak memberikan pengampunan dan hukuman. Kami memberikan keadilan pada siapa saja, pada semua sejauh kemampuan kami. juga keadilan untuk kalian, para tamtama angkatan lama untuk semua kejahatanmu selama jadi prajurit Tumapel. Bana, nyahkan mereka dari pandanganku, dan segera kau kembali kemari."
Mereka berangkat, dan Arok meneliti makan dan minum yang disediakan untuk dirinya dan para pengawalnya.
Ia mulai makan dan hujan turun dengan derasnya. Bana datang lagi, basah kuyup:
"Arok, kita sama-sama anak desa, anak tani, mengapa kau kehilangan kepercayaan pada kami?"
"Apakah tamtama tadi bukan anak tani? Anak tani pun bisa jadi sampar untuk bekas tetangga dan teman sepermainan sendiri di desanya yang dulu. Juga kau bisa jadi sampar." "Tidak, aku tetap bersama denganmu." "Tidak semudah itu. Kau sudah mendapat contoh busuk dari prajurit Tumapel." "Berilah keadilan padaku, pada kami semua." "Baik, berangkat kau bersama pasukanmu malam ini, gabungkan diri dengan Mundrayana di Randu Alas. Lari pindah kalian ke utara Tumapel, bergabung dengan Santing dan Arih-Arih bila melihat kami datang, dan bersorak kalian Arok datang." "Siapa Mundrayana?"
"Si-mata-satu. Salam dari Pimpinan Tertinggi padanya, dan pergi kalian."
"Belum tentu dia percaya."
"Kalau begitu, itulah nasib prajurit Tumapel."
"Baik, kami berangkat, Pimpinan Tertinggi."
Salah seorang pengawalnya berbisik:
"Kau terlalu keras, mereka adalah anak buahmu sendiri."
"Mereka prajurit Tumapel waktu menghadap aku. Mereka tetap prajurit Tumapel sebelum bergabung dengan Mundrayana. Kita anak tani, tidak memerlukan lain kecuali diri kita sendiri. Dia harus belajar mengerti."
"Dia masih terlalu muda, dan telah menyerahkan j
↧
Arok Dedes - 36
↧