Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Arok Dedes - 39

$
0
0

Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf

Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka

ra Arok keras dan lantang. Ia ikuti dalih Arok yang selalu mengelakkan tuduhan dan kecurigaan.
 
  "Arok, coba persembahkan padaku, apa sebabnya semua perbuatanmu menerbitkan kecurigaanku?"
 
  "Yang Mulia, apabila sahaya memang tidak patut menerima kepercayaan dari Yang Mulia, ijinkanlah sahaya beserta pasukan sahaya meninggalkan Kutaraja."
 
  "Maka kau juga akan memulai kerusuhan baru?" desis Tunggul Ametung. "Aku yang memerintah kan. Bukan kau yang memohon. Dengar, sudah sejak k ulihat sendiri kau menghalau perusuh di barat Kutaraja, kau sendiri telah membuktikan diri punya persekutuan dengan mereka.Tidak mungkin para perusuh yang begi tu gigih melawan pasukan Tumapel lari hanya karena k edatanganmu."
 
  "Yang Mulia, kalau demikian halnya memang sepatutnya sahaya tidak datang untuk tidak merusak kepercayaan Yang Mulia."
 
  "Diam, kau sudra hina. Telah aku angkat kau dari orang gelandangan bercawat menjadi prajurit Tumapel. Jawab pertanyaanku: persekutuan apa terjadi antara kau dengan perusuh di selatan?"
 
  "Yang Mulia menghendaki jawaban yang tidak terdapat pada sahaya."
 
  "Pembohong. Sudah sejak semula datang mukamu menunjukkan hari yang tidak bisa dipercaya. Persembahkan."
 
  "Sahaya hanya memadamkan kerusuhan, lain tiada."
 
  "Apa kau dan pasukanmu perbuat di rumah Gusti Putra?"
 
  "Tempat itu telah kosong sewaktu sahaya datang. Juga orang-orang sudah ndak ada lagi."
 
  "Apa telah kau ambil dari rumah panggung itu?"
 
  "Tiada sesuatu pada rumah satu-satunya, rumah panggung itu."
 
  "Akan aku perintahkan periksa anak buahmu. "Bila Yang Mulia berkenan."
 
  "Baik. Hati-hati kau. Apa sebabnya bila aku tiada di pekuwuan kau mengambil alih tugas kemit?"
 
  "Sahaya tidak percaya pada prajurit Tumapel yang tidak mampu memadamkan kerusuhan Keselamatan Yang Mulia Akuwu dan Yang Mulia Paramesywari bukankah telah menjadi tanggungan sahaya sejak pertama persetujuan itu diterima? Bila tugas itu tidak dibenarkan lagi sahaya lakukan, pastilah bukan sahaya yang tidak mematuhi."
 
  Untuk waktu agak lama Tunggul Ametung tidak bicara. Dari Bilik Agung Dedes mengerti suaminya kehabisan kata. Orang yang terbiasa menggunakan kekerasan dan kekuasaan itu tak mampu menghadapi Arok yang terbiasa menggunakan kekerasan dan pikiran sekaligus.
 
  Dengan muka merah terbakar ia masuk ke Bilik Agung dan mendapatkannya sedang duduk mempermain-mainkan kalung, yang tergantung rendah pada perut.
 
  "Kuda liar yang sulit ditertibkan," dengusnya.
 
  Dedes pura-pura tak mendengar, berdiri dan menghampiri:
 
  "Sudah malam, Kakanda."
 
  "Aku telah keliru menempatkan durjana di bawah atapku, mungkin juga dalam bilikku sendiri."
 
  Dedes menatapnya, menduga-duga barangkah kecurigaan itu kini jatuh pada dirinya.
 
  "Kalau benar begitu sebaiknya dibuang dari bawah atap dan dari dalam bilik."
 
  "Setelah semua sandiwaranya tak bisa dimainkannya lagi," ia tangkap muka Dedes dan dua belah tangan, menembuskan pandang pada matanya, dan: "Kau brahmani orang Syiwa, dia jago Lohgawe Syiwa, sudah bicara apa saja kau padanya?"
 
  "Pernah aku panggil dia, kutanyakan apa saja gunanya berlatih di pekuwuan."
 
  "Dan apa kau bicarakan padanya?"
 
  "Apakah aku harus bisikkan padanya?"
 
  Dua belah tangan Tunggul Ametung bergerak cepat mencengkam kuping Dedes. Paramesywari itu menangis kesakitan dan tidak mengaduh.
 
  "Bukan saja kuping ini bisa putus," ia sorong istrinya langkah demi langkah, "Apa kau bisikkan padanya?"
 
  "Perintah itu belum aku terima dari Yang Mulia Akuwu."
 
  "Paramesywari bisa bikin perintah untuk dirinya sendiri," ia mendorongnya sekali lagi, "Jawab!"
 
  "Jatuhkan perintahmu, dan akan aku laksanakan!"
 
  Tunggul Ametung menampar mulut Dedes dengan telapak tangan dan membuang muka dari tantangan mata perempuan di hadapannya.
 
  "Betapa pandai Akuwu Tumapel membikin orang benci padanya!"
 
  "Diam! Kalau sekali waktu aku panggil sepuluh budak yang kuat-kuat, aku perintahkan meniduri kau sampai mati, baru kau mengerti siapa Tunggul Ametung."
 
  "Paramesywari hanya darma jalani perintah," tantang Dedes, "tak pernah yang semacam itu disebutkan dalam rontal."
 
  Tunggul Ametung berbalik, mengambil semua rontal yang terjajar dalam ikatan-ikatan dalam lemari batu, membawanya keluar dari Bilik Agung, dan kembali, langsung menghampiri Dedes:
 
  "Orang yang mengajar mulutmu begini tajam, patut dibelah empat dengan kapak, tepat pada mulutnya."
 
  Ia angkat Dedes pada pinggangnya, ia angkat, digendongnya kemudian dilemparkannya di peraduan.
 
 
  Arok menjatuhkan perintah pada semua a nak buahnya untuk tidak menjawab pertanyaan orang yang tidak dikenal dan mereka yang bukan dari barisan sendiri. Justru karena perintah itu mereka terheran-heran melihat banyaknya orang mencoba bicara dengan mereka.
 
  Perintah lain adalah: membela diri terhadap setiap serangan, dari siapa pun dan kapan pun. Penjagaan atas asrama sendiri diperketat dan seorang pun di luar barisan sendiri tak iperkenankan masuk atau pun mendekati.
 
  Dadung Sungging semakin sering mencoba mendekatinya. Ia tampung semua katanya dan tidak menanggapi. Sekali disampaikan padanya, bahwa Yang Mulia Akuwu sedang mempersiapkan gerakan pembersihan besar-besaran untuk membuka kembali lalu lintas darat dan air di selatan. Dan Arok akan ditunjuk sebagai pimpinan dengan para Kidang sebagai pembantunya.
 
  "Awas, Tuan, para Kidang akan mencari kesempatan untuk membunuh Tuan."
 
  "Terimakasih," juga ia tidak menanggapi.
 
  Arok menduga, peringatan itu benar. Hanya belum jelas baginya dari kelompok mana prajurit seorang yang aneh ini. ia baru sampai pada pengetahuan dia sering bicara dengan Empu Gandring. Dan ia berharap semoga Dedes tidak menaruh banyak kepercayaan padanya. Bagaimanapun Dadung Sungging hanya prajurit Tumapel, yang tedatih dalam semua macam kejahatan terhadap kawula Tumapel yang tidak berdaya dan tidak bisa membela diri....
 
 
 
 
  PEMBERSIHAN DI SELATAN
 
 
 
  Hujan yang jatuh tak henti-hentinya itu memudahkan Arok mengirimkan beberapa orang bergantian untuk berteduh di pabrik senjata Hyang Pancagina. juga di rumah pribadi Empu Gandring di pinggiran Kutaraja.
 
  Dalam waktu cepat ia dapat ketahui ada tiga orang bekas jajaro telah menggarap ladang Empu Gandring. Di pabrik terdapat lima orang. Semua dimasukkan oleh Empu Gandring sendiri.
 
  Juga ia mengetahui Dadung Sungging sering menemui empu[pandai besi] itu, baik di pabrik atau pun di rumahnya.
 
  Arok memerintahkan seorang anak buahnya yang dianggapnya cerdas untuk mendekati Dadung Sungging, mendapatkan siapa-siapa saja temannya, dan didapatkannya jaring-jaring yang tidak begitu luas tetapi ketat.
 
  Benar Dadung Sungging seorang anggota gerakan rahasia, dan semua gerakan itu berpusat pada Empu Gandring.
 
  Belum lagi lengkap pengetahuannya tentang itu Tunggul Ametung telah memerintahkannya bersiap-siap dalam seminggu untuk melakukan gerakan pembersihan terbesar di daerah selatan.
 
  Tiga hari sebelum berangkat ia telah memasuki Taman iarangan di malam hari dan mendapatkan taman itu lengang. Ia masuki Bilik Agung dan mendapatkan Tunggul Ametung sedang nyenyak dalam tidurnya. Suara keruhnya berderai-derai berpan-tulan dari dinding ke dinding. Hanya sebuah damar menyala.
 
  Dirabanya kaki Dedes. Wanita itu membuka mata, menyingkirkan tangan Akuwu yang memeluknya, duduk memandanginya. Ia melambaikan tangan dan Dedes turun dari peraduan.
 
  Mereka turun ke Taman Larangan.
 
  "Dedes, anak Mpu Parwa, aku minta, cabut kembali kepercayaanmu dari Dadung Sungging."
 
  "Sahaya mengerti maksud Kakanda. Sekarang juga sahaya cabut. Hanya, berilah sahaya keterangan."
 
  "Dia anggota gerakan rahasia yang aku belum temukan kun-ci-kuncinya. Cobalah kau yang lakukan itu."
 
  "Berilah sahaya sedikit petunjuk."
 
  "Dia punya hubungan terlalu rapat dengan Empu Gandring." "Bila Kakanda lusa pergi, dan Sang Akuwu menyertai, sahaya akan panggil dia."
 
  "Berilah janji setinggi-tingginya padanya. Boleh jadi dia orang Syiwa atau Wisynu dan kira-kira pasti bukan Buddha."
 
  "Sahaya, Kakanda, dan ingat-ingadah, hati-hatilah, Sang Akuwu akan pergunakan pembersihan yang berhasil untuk menyingkirkan Kakanda sendiri. Waspadalah terhadap para Kidang."
 
  "Terimakasih, Dedes. Akan aku tinggalkan satu regu untuk menjaga keselamatanmu. Hati-hatilah setelah kepergianku. Jangan timbulkan kecurigaan. Kembali kau ke Bilik Agung, dan tolong sekakan bekas kakiku dari lantai."
 
  Ia tinggalkan Taman Larangan. Sesanti meliputi dirinya. Di asrama ia disambut oleh anak buahnya yang melaporkan jalannya pertemuan di rumah Empu Gandring! Mereka telah memutuskan untuk mencoba memasukkan Kebo Ijo dalam pasukan pembersihan yang hendak diberangkatkan, dan dengan kesatuannya akan menempati buntut barisan. Kebo Ijo harus membelok ke Kali Kanta dengan diam-diam dan merampas emas yang tersimpan oleh Gusti Putra. Dua orang bekas jajaro akan dimasukkan sebagai penunjuk jalan yang bakal menempuh jalanan jajaro.
 
  Sekali lagi ia kirimkan utusan pada Tanca dan Umang untuk menyingkirkan semua orang dari padang batu dan pendulangan. Dan khusus pada Tanca dipesankan agar memancing Hayam agar terlibat dalam pertempuran dengannya.
 
  Ia menunjukkan padanya jalan-jalan yang akan ditempuhnya dan agar menyiapkan pasukan untuk membantunya bila para Kidang dan Tunggul Ametung nanti menyerang pasukannya dari belakang.
 
  Laporan, bahwa dari belakang Kebo Ijo kemudian harus menyusul dan menumpas Tunggul Ametung, para Kidang dan Arok untuk kemudian secara serentak menyerbu pendulangan emas Kediri di selatan Ganter oleh Arok tak begitu diperhatikan.
 
  Tumapel kosong dari balatentara.
 
  Oleh Paramesywari Belakangka dan para narapraja diperintahkannya meninggalkan pendopo. Seorang pengawal anak buah Arok ia perintahkan menjemput Empu Gandring.
 
  Orang yang sedang sampai pada tingkat kemasyhurannya sebagai pandai besi itu datang dengan lambang Hyang Pancagina pada dadanya, sebuah bintang segi-lima selebar telapak tangan, terbuat dari emas, dilingkari oleh rangkaian daun beringin, juga dari emas. Pada lehernya tersilangkan selendang kuning, terikat pada pinggang sebelah kiri.
 
  Sebelum menaiki pendopo telah diangkatnya sembah tiga kali dan dengan isyarat Ken Dedes ia mulai naik sambil terus mengangkat sembah dan duduk di bawah tempat duduk Sang Paramesywari:
 
  "Dirgahayu untukmu, Empu Gandring!" "Semoga para dewa melimpahkan kemurahan tiada terhingga pada Yang Mulia Paramesywari."
 
  "Terimakasih, Empu. Ada aku dengar kau sedang membikin banyak, terlalu banyak senjata. Kau terlalu sibuk."
 
  Empu Gandring nampak mengernyit. Kemudian buru-buru menjawab:
 
  "Kiranya tidak perlu diperhatikan warta seperti itu, Yang Mulia. Sudah lama tak ada datang besi dari Hujung Galuh."
 
  "Bukankah tahun yang lalu Yang Mulia Akuwu telah menyerahkan sepuluh ribu saga pada Yang Mulia Ratu Angabaya Kediri untuk membeli besi dari Sofala?"
 
  "Sampai sekarang belum ada sekepal pun yang datang, Yang Mulia."
 
  "Orang bilang, pabrik itu selalu riuh."
 
  "Banyak senjata rusak belakangan ini, Yang Mulia, terialu banyak dipergunakan untuk menghalau perusuh."
 
  "Kapan terakhir Yang Mulia Akuwu menitahkan membikin senjata baru?"
 
  "Tahun lalu, Yang Mulia, dan belum bisa dikerjakan sampai sekarang ini. Empat ribu pedang, lima belas ribu tombak lempar, dan empat ribu tombak tangan.
 
  "Empu Gandring, kau yang terahli dalam membikin senjata, aku panggil kau menghadap karena merasa kuatir akan kesela-matanku sendiri di hari-hari belakangan ini. Sebagai kepala pabrik senjata kiranya kau mengetahui jumlah senjata yang ada di Tumapel ini, baik di tangan perusuh atau pun balatentara Tumapel. Dari manakah kiranya para perusuh itu mendapatkan senjatanya?"
 
  "Setidak-tidaknya, Yang Mulia, bukan bikinan sahaya yang ada di tangan kaum perusuh itu. Boleh jadi mereka membelinya dari Gresik, boleh jadi juga dari Kediri sendiri."
 
  "Kau mencurigai Kediri, Empu?"
 
  "Hanya dugaan, Yang Mulia. Baik di Tumapel maupun Kediri, semua pandai besi berada dalam pengawasan negeri. Tetapi tidak mustahil pejabat-pejabat yang rakus itu menjualnya untuk dirinya sendiri. Besi dari Sofala itu terlalu kotor, dan tak bisa ditentukan secara pasti berapa sampahnya. Dari perhitungan yang tidak pasti itu mereka dapat memperkaya dirinya."
 
  "Lihatlah. Gandring, aku panggil kau pada waktu Sang Akuwu pergi. Bukankah kau tak


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>