Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf
Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka
Cinta Sang Naga
V. Lestari
Edit & Convert : inzomnia
inzomnia.wapka.mobi
Cerita ini merupakan khayalan belaka. Andaikata ada kemiripan nama, baik itu nama orang dan nama tempat, maupun peristiwa yang disebut di dalamnya, dengan keadaan sebenarnya, maka itu pasti merupakan kebetulan belaka.
-I-
Restoran Sang Naga sedang penuh-penuhnya. Semua tempat terisi. Padahal tamu-tamu terus berdatangan. Mereka terpaksa berdiri saja di pintu melayangkan pandang ke meja-meja. Dan juga kepada mereka yang sedang duduk. Meja mana yang piring-piringnya hampir kosong atau sudah kosong? Dan tamu mana yang sudah mulai menyusut mulut atau mencungkil-cungkil gigi? Nah, tempat itulah yang perlu diincar agar dapat segera ditubruk begitu para tamu tadi bangkit berdiri. Tak jarang ada yang menggerutu, walau cuma dalam hati, kok tega-teganya orang-orang itu makan berlambat-lambat, bangkit pun berlama-lama, seakan tak peduli pada orang yang sudah lama menunggu dengan perut lapar dan kaki pegal.
Bagi sebagian orang pemandangan demikian mungkin terasa lucu dan juga aneh. Di kawasan itu Restoran SANG NAGA bukanlah satu-satunya restoran. Atau kalau mau mencari yang khusus, SANG NAGA juga bukan satu-satunya restoran Cina di tempat itu. Kenapa ada orang yang begitu setianya memilih makanan? Karena makanannya tersohor lezat? Atau tempatnya nyaman? Ataukah servisnya yang prima? Atau ketagihan?
Tapi buat sebagian orang lain, lebih-lebih yang mengaku berpengalaman keluar masuk restoran, pemandangan demikian dianggap sudah lazim. Merasa heran apalagi sampai menertawakan cuma menandakan bahwa orang bersangkutan pasti norak, atau jarang masuk restoran! Kelarisan sebuah restoran tidak hanya ditentukan oleh satu dua faktor yang nyata saja. Makanan lezat, atau servis prima, atau tempat yang nyaman, tidak cukup menjamin. Konon, masih ada faktor X yang tidak kelihatan tapi secara nyata ikut berperan. Sedang faktor X itu tidak cuma satu dua saja. Dan karena ada kata depan 'konon' itulah, maka masalahnya seperti tak bisa terpecahkan secara pasti. Apa sesungguhnya sebab kelarisan?
Pertanyaan semacam itu bukan saja timbul di benak orang-orang yang merasa geregetan karena kalah bersaing atau orang yang juga punya minat mengusahakan bidang yang sama, tapi juga di benak orang yang mencoba kepingin tahu dengan mencicipi segala rasa yang terhidang di situ. Di antara mereka yang tergolong kelompok paling belakang itu ternyata ada saja yang merasa belum menemukan kepuasan sesudahnya. Ah, semua rasa di situ kok biasa-biasa saja. Tak ada yang sungguh-sungguh istimewa, atau begitu istimewanya hingga dapat membuat orang ketagihan.
Mestinya, istilah 'ketagihan' itu tidak tepat dipakai dalam urusan mengenyangkan perut. Arti kata itu saja mengandung sesuatu yang buruk. Ketagihan itu menandakan ketergantungan atau keterikatan di mana orang sulit melepaskan diri, seperti halnya dalam pemakaian obat bius. Tapi ternyata susah juga mencari istilah lain yang lebih tepat lagi. Nyatanya ada orang yang selesai mencicipi rasa dan suasana SANG NAGA lantas berkomentar, "Wah, cuma biasa-biasa saja, kok!" Tapi toh kemudian dia datang dan datang lagi untuk makan di situ! Sayang tak ada yang mengorek keteran gan darinya, apa sebab ia berbuat begitu.
Yang jelas, keadaan itu bukan merupakan masalah bagi sang pemilik restoran, Tuan Liong Hok Kie. Justru itu merupakan berkah baginya. Rezeki melimpah yang tak perlu diperdebatkan lagi. Itu memang haknya. Ia sudah memperolehnya secara halal. Kenapa orang mesti meributkan dan mengherankan? Tak ada yang perlu diherankan!
Sebenarnya, Tuan Liong punya perkiraan dan kesimpulan sendiri perihal kesuksesannya. Itu logis. Tapi semua itu disimpannya baik-baik. Bukan karena ia tak mau ditiru atau khawatir diserobot orang, tapi karena menganggap tak ada gunanya bicara macam-macam. Di samping itu sesungguhnya ia memang belum merasa pasti.
Namanya sendiri mengandung arti yang besar. Liong itu berarti naga, dan itulah nama yang diberikannya pada restorannya. Sedang Hok Kie berarti rezeki, dan rezeki itu pun jadi miliknya.
Hanya itu saja yang kerap kali dikemukakannya manakala ada orang bertanya. Dan bila ditanggapi dengan keraguan. "Ah, masa iya karena nama saja? nyatanya nama saya juga menandakan kebesaran, tapi saya kok nggak mau besar-besar!" maka ia cuma tersenyum saja. Lalu menjawab dengan sikap merendah, "Ah, saya sendiri juga nggak ngerti kok. Tapi siapa tahu besok lusa rezeki ini bukan bagian saya lagi."
Tapi seperti halnya setiap keberuntungan, dia pun merasa ada saja yang kurang dalam keberhasilannya. Ia tidak punya anak lelaki. Padahal baginya anak lelaki itu berharga sekali. Dan tak kepalang penting. Lebih berharga dan lebih penting daripada uang, walaupun tanpa uang orang susah hidup. Pendeknya, ia mau menukar sebagian rezekinya yang melimpah itu dengan seorang anak lelaki. Ya, cukup seorang saja, mengingat ia sudah memiliki tiga orang anak perempuan.
***
Dari sudutnya yang nyaman dan terlindun g di atas loteng, Tuan Liong menyapu pandangan ke ru ang bawah. Ruang yang lega dan luas itu seperti tidak t erasa lagi lega dan luasnya saking padat orang. Ia terse nyum puas. Setiap kepala orang di bawah itu membaw a rezeki berlimpah untuknya. Mudah-mudahan Anda se kalian akan datang dan datang lagi. Mungkin besok lus a. Mungkin minggu depan. Atau bulan depan. Pendekny a, kapan saja.
Asal datang lagi. Ya, datanglah lagi. Itu selalu harapannya yang paling utama.
Kemudian pandang Tuan Liong menuju ke sudut dekat pintu. Lalu terpaku di sana. Lama ia memperhatikan. Di sana terletak meja kasir. Di belakangnya duduk tiga orang gadis. Ketiganya memiliki kemiripan wajah satu sama lain meskipun dandanan rambut berbeda-beda. Dan ketiganya cantik. Sama-sama berkulit kuning, berhidung mancung, bermulut mungil, dan bermata tidak terlalu sipit.
Tuan Liong tersenyum puas lagi. Pemandangan itu menghibur kekecewaannya. Biarpun ia tidak punya anak lelaki, tapi ketiga putrinya cantik-cantik. Semua orang bilang begitu. Ya, ketiganyalah yang duduk di belakang meja kasir itu. Mereka selalu di sana pada jam-jam di mana orang sibuk mengisi perut.
Banyak orang bilang, putri-putrinya itu mirip bintang film Hong Kong.. Pantasnya memang begitu karena ia sendiri tidak suka nonton film. Pendeknya, pujian itu menimbulkan kebanggaan selangit di hati Tuan Liong. Cuma yang kerap menjengkelkannya adalah gurau beberapa teman deka tnya. Ya, saking dekatnya mungkin mereka merasa bol eh seenaknya saja bicara. Mereka bilang, ketiga putriny a itu tidak punya kemiripan dengannya. Bapaknya jelek , tapi anaknya kok bisa cantik. Tapi biar sajalah. Itu tida k jadi persoalan. Memang dia jelek. Dan istrinyalah yan g cantik.
Jadi tak perlu diherankan kenapa para putrinya pun cantik. Mereka mewarisi kecantikan sang ibu. Itu suatu keberuntungan. Bayangkan kalau para putrinya mewarisi kejelekannya. Pasti ia takkan memiliki kebanggaan itu sekarang.
Tapi ingatan akan istrinya, nyonya Linda, membuat wajah Tuan Liong menjadi muram seketika. Senyum dan ekspresi kepuasan tak ada lagi di situ. Lebih-lebih ketika matanya segera menangkap orang yang tengah berada dalam pikirannya. nyonya Linda juga ada di ruang yang sama.
Di sudut yang lain, pada meja yang merapat ke tembok, Nyonya Linda sedang duduk menemani dua orang tamu. Kedua tamunya itu pria yang nampaknya tidak terlalu muda lagi. Mungkin berusia di atas empat puluh. Mereka bertiga terlibat dalam pembicaraan yang kelihatan mengasyikkan. Sesekali Nyonya Linda tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang sempurna.
Tapi bukan pemandangan itu yang membuat Tuan Liong menjadi murung. Keadaan itu sudah biasa. Jadi sudah sering dilihatnya. Nyonya Linda sesekali suka menemani kenalan dan relasinya yang kebetulan dijumpainya sedang makan di situ. Itu toh termasuk juga servis. Dia sebagai nyonya rumah selaya knya berlaku ramah tamah. Dilayani makan oleh seora ng nyonya yang cantik sudah tentu sangat menyenang kan. Mungkin juga hal itu merupakan salah satu faktor kelarisan. Jadi tidak patut Tuan Liong jengkel atau cem buru. Ah, cemburu?
Sebenarnya, kalaupun Tuan Liong merasa cemburu, toh dia sadar bahwa itu tidak sepatutnya. Sebagai lelaki dia merasa dirinya sudah kurang jantan. Bahkan mungkin juga tidak jantan lagi. Dengan kecemasan dan kengerian yang disimpannya sendiri, ia merasa dirinya lambat laun mulai dihantui impotensi. Padahal istrinya cantik dan menggairahkan. Padahal banyak lelaki merasa iri kepadanya. Sungguh menyedihkan, menggemaskan, membuat marah. Tapi susahnya ia tidak bisa menumpahkan semua itu, tanpa menelanjangi diri sendiri. Yang tahu cuma Linda. Sudah pasti Linda tahu. Kalaupun tidak merasa pasti, Linda tentunya tidak bodoh untuk menduga. Sudah cukup lama, entah berapa lama tepatnya, tak ada jalinan hubungan seks antara mereka berdua. Padahal di usianya yang keempat puluh lima, Linda masih kelihatan awet muda dan segar. Juga sedikit genit. Mustahil kalau ia tidak memiliki gairah lagi. Tapi nyatanya Linda tidak bertanya-tanya, apalagi menuntut.
Keadaan itu sepertinya memenuhi keinginan Tuan Liong sendiri. Jangan sampai dia ditanya. Jangan pula didesak atau dituntut. Dengan demikian rahasianya akan aman terjamin. Tapi ternyata keadaan itu juga tidak memuaskan. Ia heran. Ia tidak mengerti. Apa sebab Linda tidak menanyakan? Apakah Linda sendiri memang sudah kehilangan gairah, walaupun di luar dia tetap kelihatan genit? Ataukah toleransi dan pengertian Linda sangat mendalam? Untuk mengiyakan pertanyaan yang muncul sendiri itu rasanya sulit, karena Tuan Liong tidak percaya! Sebegitu Iamanya hidup berdampingan, lebih dari dua puluh tahun, ia tentu sudah kenal benar siapa dan bagaimana Linda. Sebagai istri dan sebagai perempuan.
Pada akhirnya semua keadaan itu saling bertautan Akibatnya adalah kesedihan dan kekecewaan yang sama. Dengan kelemahannya itu jelas ia tidak mungkin bisa punya anak lagi. Baik dari Linda, yang usianya sudah tak muda lagi, maupun dari seorang gundik misalnya. Jelas, harapannya akan anak laki-laki harus ia buang jauh-jauh.
Kembali Tuan Liong memandang ke ruang bawah, arah meja kasir dekat pintu. Lagi-lagi ia merasa terhibur. Anaknya memang perempuan semua. Tapi cantik-cantik. Menyenangkan dan mempesonakan untuk dipandangi. Sungguh pelipur lara. Mana kala ia sedang diserang kerinduan akan anak lelaki, lalu merasa sedih, jengkel, dan segala kemuraman lainnya, tak perlu ia mencari obat macam-macam. Cukuplah ia memandangi anak-anak gadisnya Mereka adalah penghiburnya.
Di belakang meja, ketiganya selalu duduk di tempat yang sama. Sesekali kalau salah satu berhalangan, mereka cukup berdua. Dan kalau dua yang berhalangan, yang tertinggal akan ditemani ibunya atau salah satu karyawan. Tapi selalu diusahakan agar tetap ada yang hadir di situ, walaupun cuma seorang. Bagaimanapun, Tuan Liong menyadari bahwa para putrinya itu termasuk daya tarik. Tak sedikit yang bilang begitu. Mereka secara positif memastikan, bahwa gadis-gadis itulah daya pikat restorannya. Bukan makanannya, bukan servisnya, bukan kenyamanan ruangnya atau ini itunya yang lain, melainkan gadis-gadis itu. Ya, mereka adalah tiga dara SANG NAGA!
Dari tempatnya duduk, Tuan Liong jelas dapat melihat bagaimana mata para tamu lelaki sering sekali dilayangkan pada gadis-gadisnya. Sambil makan mereka memandang dan memandang. Barangkali apa pun yang dimakan akan terasa lezat bila yang dipandang sungguh memikat hati. Dan kalau betul begitu, barangkali indria penglihatan lebih dominan daripada indria pencicip. Ah, bagaimana kalau misalnya ada batu besar di dalam nasi, atau benda asing lainnya?
Terhadap kesimpulan itu Tuan Liong sendiri kurang merasa yakin. Bila benar demikian, tentulah restorannya ini melulu dipenuhi orang-orang lelaki. Nyatanya tidak. Para tamunya bermacam ragam. Ada gadis-gadis, ibu-ibu, nenek-nenek, dan juga anak-anak kecil. Ia menilai hal itu sebagai kewajaran semata. Kalaupun mata para tamu lelaki sebentar-sebentar tertuju ke sudut yang sama, maka itu wajar saja. Mana sih ada lelaki yang tidak terbetot matanya bila melihat wanita cantik, kecuali dia kurang normal?
Tuan Lions sendiri tidak menghendaki kesim-pulan itu jadi kepastian. Menggantungkan kelarisan usahanya melulu pada anak-anak gadisnya bisa buruk akibatn
↧
Cinta Sang Naga - 1
↧