Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta Sang Naga - 2

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf

Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes

ya. Pada suatu ketika putri-putrinya itu tentu akan menikah dan pergi mengikuti suami mereka. Mustahil mereka mau dipajang terus di situ?
 
  Lili, si sulung, selalu duduk paling dekat ke pintu. Ia memiliki penampilan paling feminin dibanding kedua adiknya. Rambutnya panjang dengan potongan seperti Farah Fawcett dalam serial TV Charlie's Angels. Ia pun selalu mengenakan gaun yang modelnya serba feminin dengan perpaduan warna yang harmonis.
 
  Yeni, si tengah, juga duduk di tengah-tengah di antara kedua saudaranya. Rambutnya dikeriting model kribo. Dandanannya sering berganti-ganti. Sesekali ia tampil feminin dengan model gaun mirip kakaknya. Lain kali ia tampil dengan tambahan sentuhan maskulin walaupun penampilan femininnya lebih dominan. Misalnya bila ia mengenakan celana panjang ketat dengan blus berbunga-bunga indah serta berenda-renda.
 
  Irma, si bungsu, selalu berpenampilan maskulin. Rambutnya dipotong pendek dan selalu meng enakan celana panjang, lebih sering blue jeans. Blusnya kalau tidak T-shirt tentu dari bahan katun bermotif kot ak-kotak atau polos saja. Tak pernah atau jarang sekali ada motif bunga-bunga melekat padanya. Tapi justru p enampilan seperti itu kelihatan pas sekali padanya. Dia pantas begitu. Sepertinya cocok dengan pribadinya dan juga gerak-geriknya yang tangkas serba cepat sekalin ya dia melangkahkan kaki.
 
  Dengan kekhasan masing-masing itu, mereka bertiga jadi kelihatan sempurna bila berpadu. Tidak pernah membosankan untuk dipandangi dan dibanding-bandingkan. Selalu menyegarkan. Mereka seperti bunga-bunga yang berbeda jenis dan warna, tapi sama cantiknya.
 
  Satu hal yang kerap disayangkan para tamu adalah ketiga dara itu lebih banyak dalam posisi duduk. Yang nampak cuma tubuh bagian atas. Wajah mereka jarang berekspresi macam-macam. Hanya senyum dan ucapan terima kasih saja yang diperoleh para tamu saat akan pulang. Tak mengherankan bila ada salah satu dari ketiga gadis bangkit berdiri, lebih-lebih bila dia berjalan, maka mata para tamu akan tertarik padanya, lalu melotot dan memperhatikan, melahap pemandangan yang sangat jarang itu. Sepertinya setiap gerak ketiga dara itu mengandung magnit bagi mata tamu. Itulah yang selalu terjadi tak peduli tamu sedang menikmati hidangannya di saat perut mereka tengah lapar. Karena itu sering kali nampak pemandangan menggelikan. Ada tamu yang membiarkan mi yang tengah dilahapnya bergelantungan dari mulutnya untuk beberapa saat lamanya, sementara biji matanya bergulir mengikuti sasaran. Jelas baginya momen itu terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Makanan masih bisa dimakan di saat berikut, tapi pemandangan itu tidak bisa terulang. Tamu lain sempat tersedak ketika makanan yang belum halus terkunyah tertelan begitu saja. Mungkin dia kaget ketika sang dara tiba-tiba berdiri hingga ia terpukau dan karenanya melupakan isi mulutnya.
 
  Tapi karena seisi ruang makan sedang sama-sama terpesona mereka tidak punya kesempatan untuk merasa geli. Bahkan mungkin juga tidak " menyadari bahwa beberapa peristiwa menggelikan telah terjadi. Hanya orang yang berada di luar, yang tidak ikut terpukau dan terpesona, bisa menangkap peristiwa itu. Salah satunya adalah Tuan Liong.
 
  Toh dia tidak lagi tertawa bila melihat hal serupa terjadi. Mungkin karena sudah terlalu sering melihat. Yang timbul hanyalah kesan puas namun tak menentu. Ia puas karena para putrinya masih merupakan daya tarik besar bagi tamu-tamunya. Tapi ia juga merasa tak pasti. Sampai berapa lama hal semacam itu bisa berlangsung?
 
  Dua gadisnya yang tertua sudah mempunyai pacar. Hanya Irma, si bungsu, yang menurut pengetahuan Tuan Liong, belum tertarik kepada siapa pun. Usia Irma masih muda, sembilan belas. Tapi seorang gadis justru sedang mekar-mekarnya di usia itu. Dia memang tak kekurangan pemuja. Hanya saja minatnya yang belum ada. Tuan Liong merasa pasti akan hal itu karena melihat sikap Irma yang dingin-dingin saja kepada para pemuda.
 
  Kadang-kadang hal itu membuat ia merasa waswas. Jangan-jangan Irma kurang normal. Lebih-lebih bila Tuan Liong menghubungkan hal itu dengan tingkah dan penampilan Irma yang kejantan-jantanan.
 
  Tapi bila dibandingkan dengan kedua putrinya yang tertua, hubungannya dengan Irma adalah yang paling akrab. Irma lebih spontan dan terbuka kepadanya. Irma suka bertanya, suka bercerita. Dalam diri Irma, Tuan Liong seperti menemukan seorang teman dalam kesepian.
 
  Dan tempatnya yang tenang di atas loteng, Tuan Liong mengalihkan pandang kepada Nyonya Linda, istrinya. Cuma sebentar saja. Lalu ia buru-buru mengalihkan pandangnya lagi. Tidak. Lebih baik jangan memandang ke sana. Nanti hati dan perasaannya akan terbakar. Tapi bagaimanapun dia sudah melihat. Kesan sudah timbul. Dan ia tak bisa menghapusnya. Istrinya masih menemani kedua tamu yang tadi juga. Alangkah lamanya mereka makan. Tapi bukan soal itu yang mengganggu. Wajah Linda begitu ceria, bersinar dengan kegembiraan. Senyum dan tawa tak pernah lenyap dari wajahnya. Dia nampak cantik dan segar, tak akan kalah bila dibandingkan dengan ketiga putrinya yang masih belia. Tapi yang menyedihkan bagi Tuan Liong, penampilan seperti itu tak dilihatnya bila Linda berada di sampingnya!
 
  Ia menatap para pelayan, yang merupakan orang-orang yang paling banyak bergerak di ruang bawah itu. Dengan seragam putih hitam mereka kelihatan rapi. Tidak terlalu menyolek untuk dibedakan dengan para tamu bila dilihat sepintas lalu. Tapi dasi kupu-kupu yang melekat di leher cukup jadi ciri. Dan itu pun manusiawi, begitu menurut Irma. Ya, seragam seperti itu memang berdasarkan saran Irma. Tuan Liong sendiri tidak mementingkan hal yang satu itu. Buat dia seragam pelayan tidak penting. Tidak perlu bagus-bagus. Dan tidak ada hubungannya dengan soal manusiawi segala. Yang penting hanyalah agar para pelayan itu bisa segera dibedakan dari orang-orang lainnya. Terlalu rapi, apalagi kalau terlalu bagus, bisa membuat orang keliru. Pelayan bisa disangka tamu. Dan lebih celaka lagi bila tamu disangka pelayan. Karena itu, dulu para pelayan diberinya seragam kuning-kuning, karena warna kuning bukan saja mencolok mata tapi juga mudah kelihatan di dalam gelap. Dulu tidak ada yang meributkan, karena Irma masih kecil ketika itu. Tapi setelah Irma tambah dewasa dan tambah banyak buah pikirannya, Tuan Liong juga tidak menolak saran-saran Irma. Walaupun tidak sependapat toh dia senang, karena itu berarti Irma mau ikut ambil bagian secara aktif dalam usahanya. Apalagi Irma dapat mengajukan alasan-alasan kuat bagi setiap saran yang diajukannya. Irma tidak seperti kedua kakaknya yang lebih suka membantu secara pasif. Ternyata dalam diri Irma, Tuan Liong juga melihat kehadiran seorang anak laki-laki!
 
  Kemudian terlihat olehnya seorang pria yang juga berseragam pelayan berjalan memintasi ruangan, lalu mengajak bicara seorang rekannya. Sesudah itu ia memandang berkeliling ruangan dengan wajah ramah sambil berjalan lambat-lambat. Tak berapa lama dia lenyap dari pandangan mata Tuan Liong". Dia adalah Henson Purba, pemimpin dan koordinator para pelayan. Tapi dalam kenyataannya t ugasnya bukan hanya itu. Henson juga bisa merangkap tugas macam-macam. Dia bisa jadi pengawas keaman an, pengawas kebersihan, dan pengawas berbagai hal l ainnya. Tapi dia juga bisa disuruh membantu dalam per soalan pajak!
 
  Lama-kelamaan Henson jadi seperti tangan kanan Tuan Liong. Tenaganya dibutuhkan. Tapi hal itu pun kadang-kadang mengganggu perasaan Tuan Liong juga. Perasaan pribadinya sendiri menyukai anak muda Batak itu, tapi toh ada yang kurang enak mengganjal. Dia lebih suka andaikata Henson itu seorang pemuda keturunan Cina juga. Rasanya akan lebih srek. Lebih leluasa. Lebih merasakan kesamaan. Mungkin juga ia termakan omongan kawan-kawannya. Mereka bilang, ia tidak percaya sama orang sendiri tapi lebih percaya pada orang lain. Bukan cuma kawan-kawannya yang bilang begitu, tapi sanak-saudaranya juga.
 
  Lantas Irma tampil untuk meneguhkan pendiriannya yang goyah. "Biar saja orang mau ngomong apa juga, Pa! Yang penting kan orangnya baik. Paling-paling mereka ribut karena iri!" katanya berulang kali.
 
  Mungkin karena sadar akan hal itu juga maka Henson tidak mau meninggalkan ciri pelayannya. Ia tetap memakai dasi kupu-kupunya walaupun Tuan Liong sendiri menganjurkan agar ia menanggalkannya saja. Barulah kalau ia harus dinas keluar dasi itu dilepaskannya. Henson tetap mengenakannya meskipun statusnya jelas lebih tinggi dari hanya seorang pelayan. Baginya seolah bukan persoalan kalaupun ia dianggap tamu sebagai pelayan. Andaikata hal itu sampai terjadi maka ia pun akan bersikap sebagai pelayan tanpa berat hati. Itu adalah sikap yang rendah hati, begitu penilaian Irma kepada ayahnya.
 
  Tapi lain lagi pendapat Nyonya Linda yang sebenarnya berambisi menempatkan seorang keponakannya di tempat Henson. Menurut Nyonya Linda, Henson terpaksa bersikap begitu karena tak punya pilihan lain, yaitu ia takut kalau-kalau pekerjaan itu lepas dari tangannya!
 
  Sebenarnya, keponakan Nyonya Linda itu pernah dicoba bekerja di situ. Tapi ternyata ia tidak bisa menandingi cara kerja dan hasil kerja Henson. Jangan kata melebihi, mencoba untuk menyamai saja ia tidak bisa. Untuk memulai dari bawah, yaitu jadi pelayan dulu seperti yang telah dilakukan Henson pada mulanya, ia tidak mau. Inginnya langsung jadi pimpinan. Tentu saja Tuan Liong tidak mungkin mengabulkan keinginan seperti itu, walaupun istrinya sendiri yang jadi backing.
 
  Tak mengherankan kalau Nyonya Linda tidak begitu menyukai Henson. Ia punya antipati pribadi, walaupun dalam hati harus mengakui ketrampilan Henson. Pada akhirnya ia tidak lagi berusaha mendongkel Henson dari kedudukannya meskipun tetap bersikap dingin dan sesekali kasar. Tapi Henson seolah tak bisa merasa tersinggung. Entah dia memang sudah kebal atau berkulit badak. Lama-lama Nyonya Linda jadi bosan sendiri, lalu berganti sikap masa bodoh. Toh kadang-kadang ia masih saja merasa heran. Apakah memang ada sebab lain kenapa Henson begitu ngotot?
 
 
 
  -II-
 
 
 
  Dari tempatnya di sudut, Henson bisa memandang ke sekitar ruangan dengan leluasa. Matanya yang tajam dan kritis berusaha menemukan kekurangan-kekurangan. Tapi ia berusaha agar tidak memandang ke arah di mana nyonya Linda duduk. Tidak akan menyenangkan kalau ia sampai berbenturan pandang dengan Nyonya Linda. Pasti ia akan dianggap kurang ajar. Jadi lebih baik tahu diri saja.
 
  Tapi ia tahu betul siapa kedua tamu Nyonya Linda yang semeja itu. Yang satu adalah Tanujaya dan lainnya adalah Peter Lim. Keduanya bukan orang sembarangan bila ditilik dari isi kantungny a. Mereka adalah cukong-cukong yang cukup punya na ma di bidang perdagangan. Sudah sejak beberapa bula n terakhir ini keduanya menjadi langganan tetap di Res toran SANG NAGA. Dan sering kali juga ditemani Nyony a Linda bila nyonya ini sedang senggang. Mengingat ke dua tamu itu bukan orang sembarangan mestinya hal it u wajar saja. Mendapat tamu istimewa sebagai langga nan adalah suatu keistimewaan. Bukan saja reputasi ja di menaik tapi tamu semacam itu pun dapat menarik ta mu-tamu lainnya.
 
  Walaupun kedua pria itu boleh dikata sebaya, tapi penampilan mereka berbeda satu sama lain. Tanujaya bertubuh gemuk pendek, berkulit kuning dan berwajah bundar seperti bulan purnama. Matanya yang sipit akan hilang bila pipinya bergerak naik. Sedang Peter Lim bertubuh tinggi agak kurus, berkulit lebih cerah, dan berwajah mirip Indo. Itu disebabkan karena ia memiliki nenek orang Jerman. Perangainya agak pongah sementara Tanujaya jauh lebih ramah dan uangnya gampang keluar. Itu terlihat kalau ia mem berikan tip pada para pelayan.
 
  Dari pekerjaannya yang lebih banyak mengamat-amati sekitarnya, Henson jadi kenal baik para langganan berikut perangai mereka. Tak jarang ia pun berhasil menangkap pembicaraan para tamu, dari gosip sampai pembicaraan serius. Lagak Henson yang diam dengan wajah tanpa ekspresi membuat kehadirannya kerap terlupakan. Dan kerenanya dia jadi memberikan keleluasaan berbicara pada mereka. Ataukah karena orang menganggapnya cuma sebagai pelayan yang bukan apa-apa?
 
  Terdengar suara berdenting tak jauh dari tempat Henson berdiri. Ada tamu menjatuhkan sendok ke lantai. Dengan sigap Henson melompat ke sana, lalu berjongkok memungutnya. Tapi dalam saat yang singkat, ketika posisi tubuhnya membungkuk itu, pandangnya semp


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>