Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta Sang Naga - 10

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf

Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes

akan jadi banyak menganggur hari itu. Pesanan hanya sekali-sekali saja datang. Lalu dengan ogah-ogahan dia mengerjakannya. Padahal dengan berkurangnya pekerjaan capeknya pun berkurang.
 
  Henson menemukannya seperti itu.
 
  "Gara-gara kecoa itu, nama saya jadi rusak, Son," keluhnya.
 
  "Ah, jangan bilang begitu, Cek. Kenyataannya kan nggak."
 
  "Siapa bilang? Tuh, yang makan jadi berkurang. Mereka nggak percaya lagi sama hasil kerja saya."
 
  "Sementara, Cek. Pasti untuk sementara saja. Percayalah."
 
  Cek A Piang menatap Henson. "Kau sendiri percaya, Son?"
 
  "Kita harus punya kepercayaan diri dong, Cek. Payah kalau nggak."
 
  "Percaya sih percaya, Son. Tapi di sininya udah rusak duluan," kata Cek A Piang sambil menepuk dadanya.
 
  "Jangan, Cek. Jangan begitu. Anggap saja ini cobaan. Mana ada sih hidup tanpa cobaan?"
 
  Cek A Piang diam termenung.
 
  Di sudut lain di ruang yang sama, Mamat dan Dipo baru selesai mencuci piring yang tentu saja tak sebanyak hari-hari kemarin. Sesudah itu mereka segera keluar. Tidak enak berlama-lama di dapur kalau menganggur. Panas. Tinggal Cek A Piang dan Henson berdua.
 
  "Son, tadi Koh Liong ngomel-ngomel padaku," kata Cek A Piang dengan suara direndahkan.
 
  "Oh, ya? Apa katanya?" Henson terkejut. Setahu dia, Tuan Liong tak pernah atau jarang sekali memarahi Cek A Piang.
 
  "Dia bilang, kalau kerja jangan jorok. Harus bersih, apik, rapi. Salah-salah nanti kemasukan lagi. Entah laler, nyamuk, atau..." pandang Cek A Piang tertuju ke dinding, menemukan seekor cecak sedang merayap. "Atau cecak juga. Wah, wah. Emangnya aku masak nggak pakai mata?"
 
  Henson benar-benar terkejut. Ia tak menyangka, bahwa Tuan Liong bisa berkata seperti itu. Mungkinkah karena terlalu cemas? "Habis, Cek bilang apa?" "Nggak bilang apa-apa. Namanya orang kerja, dimarahi majikan ya diam saja. Habis mau bilang apa? Cuma di sini ini rasanya gimana..." kembali Cek A Piang menepuk dadanya. Henson tidak tahu mesti bilang apa. "Belum habis yang itu, datang lagi yang lain, Son. Gantian Ci Linda yang marah-marah. Katanya, banyak tamu yang bilang padanya, supaya kokinya diganti saja. Koki yang doyan kecoa nggak perlu dipertahanka n. Huuu. Sakit! Sakit!" Cek A Piang menepuk dadanya l ebih keras. Wajahnya memperlihatkan mimik mau men angis. Sangat memelas.
 
  Henson memalingkan mukanya. Ia tidak tega memandang. Perasaannya jadi ikut tidak keruan. Tangannya terulur, menepuk-nepuk pundak Cek A Piang.
 
  "Kalau si Udin itu bisa kepegang, kuhabisi dia. Akan kucekoki kecoa. Biar dia tahu gimana rasanya kecoa itu!" seru Cek A Piang gemas.
 
  "Sudah, Cek. Sabarlah. Sabar saja."
 
  "Ngomong sabar sih gampang, Son. Tapi kan susah tuh."
 
  "Ya. Memang susah," sahut Henson bingung. "Eh, Son, apa kau akan mengadu nanti? Kau kan disayang sama Koh Liong. Ah, biarlah kau ngadu juga nggak apa-apa. Gelagatnya sih aku nggak bakal lama lagi kerja di sini. Biar aku pulang saja ke Medan. Di sana juga bisa makan," Cek A Piang mengoceh.
 
  "Saya tidak akan mengadu, Cek. Kita kan sama-sama karyawan di sini.
 
  "Ya. Aku percaya. Kau kelihatannya memang baik."
 
  "Jadi jangan ngomong soal berhenti kerja dulu, Cek. Mereka bersikap begitu itu pasti karena terlalu khawatir. Maklumi saja, Cek. Jangan dipikirkan. Kalau ada apa-apa, bicaralah dengan saya, Cek."
 
  Cek A Piang nampak terhibur. Ia tidak mengelus dadanya lagi.
 
  Pesanan makanan datang. Kesibukan bagi Cek A Piang. Mamat dan Dipo membantu meracik sayu r-sayuran. Henson masih memperhatikan. Dan seperti s ebelumnya ia mengagumi kesigapan Cek A Piang beke rja. Sepasang tangannya gesit dan trampil seperti mena ri-nari. Sungguh, memasak itu benar-benar suatu seni. C aranya mengolah. Dan kemudian hasilnya. Indah dipan dang. Sedap dimakan. Tidak terasa tiba-tiba ia merasak an keinginan untuk mencoba dan menikmati seni itu. H awa panas kompor sampai tidak terasa.
 
  Masakan selesai. Mamat menyediakan piring. Dan tak lama kemudian semuanya diangkut keluar. Lalu akan lenyap di perut tamu. Seni yang bersifat sementara, tapi menanamkan kesan. Enak atau tidak enak. Semua kenikmatan panca indria selalu menanamkan kesan yang tak terlupakan, lalu menimbulkan rasa ketagihan. Ingin lagi dan ingin lagi mengulang rasa yang sama.
 
  Cek A Piang melirik ke arah Henson.
 
  "Kau mau belajar masak. Son?" ia bertanya tiba-tiba.
 
  Henson tersipu, menyadari keinginannya terbaca. "Ah, iya, Cek. Kepingin juga rasanya. Cuma kapan, ya? Dan di mana?"
 
  "Gampang. Di rumahku saja. Cuma bahannya kau yang beli."
 
  "Setuju, Cek!" Henson tertawa gembira.
 
  Sedang kedukaan Cek A Piang pun seperti hapus. Ia mendekati Henson lalu berbisik, "Eh, tahukah kau? Aku punya resep rahasia yang belum pernah kucoba di sini. Soto Medan!"
 
 
 
  -V-
 
 
 
  Berita yang ditunggu-tunggu itu muncul juga keesokan paginya. Sebuah berita yang tidak terlalu panjang, tapi menarik. Isinya memuaskan perasaan Henson, karena sesuai dengan harapannya, bahkan lebih. Semua informasi yang disampaikannya ada di situ. Tidak lebih, tidak pula kurang, tapi penyampaiannya menarik dan menyentuh. Hikmah yang mau diambil dari "permasalahan yang dikemukakan adalah perihal kekejian persaingan. Dengan demikian akan timbul kesan, bahwa peristiwa itu bukanlah kesengajaan atau kelalaian dari pihak restoran, melainkan perbuatan saingan usaha.
 
  Tapi risiko masih tetap ada. Bagaimana kalau timbul kekhawatiran lain di benak para tamu atau langganan, yaitu merekalah yang akan dijadikan sasaran teror si saingan itu? Bagaimana kalau para pelayan diberi suap agar mau memasukkan binatang-binatang kecil menjijikkan ke dalam makanan mereka, semata-mata agar mereka kapok makan di Restoran SANG NAGA lagi? Tidakkah sebaiknya menghindar saja sebelum sempat jadi korban?
 
  Henson sudah berpikir ke sana. Karena itu kepada Asrul ia pun menyampaikan bahwa pengalaman semacam itu tidak akan mudah terulang. Segala kemungkinan dan kesempatan ke arah itu akan diperkecil atau dihapus. Hanya orang bodoh yang melakukan kesalahan sama dua kali. Dan pendapat Henson itu pun termuat pula. Lengkap sudah.
 
  Nama Henson Purba ditulis lengkap. Ada sedikit komentar yang menyatakan pujian untuknya. Ia digambarkan sebagai anak muda yang tabah, penuh semangat, dan memiliki loyalitas yang tinggi. Mental karyawan seperti inilah yang paling ideal bagi sebuah perusahaan. Kepandaian dan ketrampilan bisa diperoleh belakangan.
 
  Henson tersenyum membacanya. Ia merasa terangkat tinggi-tinggi. Ah, janganlah sampai dijatuhkan lagi. Nanti sakit sekali.
 
  Ia pun tersenyum ketika membaca cerita yang agak sensasional dan sedikit berbau mistik. Itu adalah ceritanya tentang hoki atau keberuntungan yang konon dimiliki SANG NAGA. Hoki itu pasti ada, karena SANG NAGA mengawali langkahnya dari nol. Betul-betul dari nol, ketika para tamu yang datang untuk mencicipi makanan mereka cuma hitungan jari tangan. Tahu-tahu, yang sedikit itu lama-lama jadi banyak. Semakin banyak dan tetap banyak. Sampai terasa menakjubkan. Itu kalau mengingat bahwa dari sekian banyak restoran yang bermunculan hanya sebagian kecil saja yang mampu terus bertahan dan berkembang besar. Jelas ada faktor keberuntungan. Tapi ada orang yang tidak mempercayainya. Pasti masih ada faktor lain yang menyimpang dari kewajaran. Mungkin juga begitu. Konon, bangunan restoran SANG NAGA itu dibangun tidak hanya asal bangun walaupun segalanya memenuhi syarat. Di situ, segi artistik tidak begitu dipentingkan. Segi yang satu itu tergusur oleh faktor lain yang pasti tidak akan diperhitungkan oleh orang yang selalu berpijak pada hal-hal rasional belaka. Faktor yang satu itu biasanya dimainkan oleh peramal, ahli nujum, paranormal, orang pinter, dukun, dan istilah lain sejenis. Mereka ini punya kuasa untuk menyatakan mana pantangan yang tak boleh dilanggar dan mana keharusan yang harus dipatuhi dalam menentukan bentuk bangunan. Misalnya pintu tak boleh ada di sebelah kiri, melainkan di kanan, dan menghadapnya pun ke arah mana. Lalu jendelanya, ruangan-ruangannya, plafonnya, jumlah tangganya. Pendeknya segala sesuatunya yang menyangkut bentuk bangunan, dari luar sampai ke dalam. Itu semua dipatuhi, hingga jadilah bentuk bangunan SANG NAGA yang sekarang. Apakah dia kurang indah, kurang cantik, kurang bagus, atau kurang apa lagi lainnya, sama sekali bukan persoalan. Yang paling penting adalah kemampuannya mengundang rezeki. Untuk apa bangunan indah kalau membawa sial?
 
  Henson tersenyum membacanya. Ceritanya itu ternyata dikutip dengan baik oleh Asrul. Memang bukan isapan jempol, karena ia mendengar sendiri kisah itu dari Tuan Liong.
 
  Pada mulanya, pemuatan kisah itu kurang disetujui oleh Tuan Liong. "Kau bercerita terlalu banyak," katanya setengah menyesali.
 
  "Tapi maksud saya adalah untuk mengalihkan perhatian orang dari masalah kecoa itu, Tuan. Saya bukan sekadar bercerita kosong. Harapan saya cerita itu pun mengandung promosi. Ada segi sensasinya di situ. Siapa tahu, orang yang mau menyaingi dengan niat jahat, seperti yang dilakukannya dengan kecoa itu, akan membatalkan niatnya karena merasa sudah tahu rahasianya. Buat apa menteror kita lagi? Kan lebih baik mencari peramal yang ahli saja."
 
  Tuan Liong terkekeh. Ia merasakan kebenaran pendapat Henson. "Ya, ya. Barangkali para peramal akan laris dengan mendadak. Peramal gadungan pun akan bermunculan. Ha ha ha!"
 
  Tapi Nyonya Linda tidak setuju. "Kau lancang membuka rahasia kita!" ia mengomel. "Sembarangan aja ngomong. Lancang kamu, Son! Lancang! Mentang-mentang dikasih wewenang, eh, terus semaunya sendiri."
 
  "Itu kan bukan rahasia lagi, Ma," Lili membela. "Ya. Sudah banyak yang pakai cara itu juga," Yeni setuju.
 
  "Ala, ributin soal gituan. Yang penting kan masalah kita teratasi," komentar Irma.
 
  Nyonya Linda melotot dengan pandang curiga. Ia berniat menyemprot Irma, tapi ketika teringat akan kata-kata Irma tempo hari yang menyebut-nyebut nama Peter, ia membatalkan maksudnya. Jangan di depan suaminya. Kemarin siang, Hok Kie sang suami tiba-tiba saja mengatakan padanya, "Eh, si Peter masih setia makan di sini, ya? Nggak takut kecoa rupanya." Entah maksudnya serius atau menyindir. Ia sendiri jadi tertegun, tidak tahu mesti bilang apa. Tiba-tiba saja ia jadi takut. Sekilas ia melihat pandang dingin suaminya. Tak pula ada senyum di bibir padahal kata-kata itu sepertinya mengandung humor. Sungguh ia tak ingin Hok Kie mengetahui hubungannya dengan Peter, ia tak ingin, karena tak bisa memperkirakan apa kira-kira reaksi Hok Kie kalau tahu. Hok Kie begitu tertutup. Cuma Irma yang bisa mengajaknya bicara panjang-panjang. Sungguh menjengkelkan. Memang ia sudah berani menyeleweng. Tapi sebenarnya tindakan itu bukanlah keberanian. Ia melakukannya tanpa perhitungan akan risikonya. Sebenarnya ia belum siap menerima risikonya. Membayangkannya saja tidak. Ia cuma merasa terlanjur, lalu tergiur. Itu saja. Peter seorang pecinta yang hebat. Hok Kie yang dulu saja kalah, apalagi yang sekarang. Ya, kenapa Hok Kie tidak bersikap hangat lagi kepadanya? Padahal dia membutuhkan.
 
  Pikiran itu membuat kegarangan Nyonya Linda lenyap dengan mendadak. Dia hanya memasang wajah cemberutnya saja. Padahal ia masih ingin menyerang Henson. Setiap saat bila ada kesempatan ia selalu berkeinginan melampiaskan antipatinya itu. Ia pun merasa geregetan karena tidak bisa menemukan sesuatu bukti perihal adanya hubungan antara Irma dan Henson. Yeni juga tidak bisa menyampaikan info apa-apa. Demikian pula Lili. Tapi kepada Yeni sudah disuruhnya agar terus mematai-matai Irma. Orang yang berpacaran secara gelap pasti akan ketahuan juga, demikian keyakinannya kepada Yeni. Sudah tentu pada saat itu ia melupakan kisah cinta gelapnya sendiri.
 
  Seperti biasa Henson cuma diam saja bila Nyonya Linda mulai menyerangnya. Hanya dengan berdiam diri ia bisa mengalahkan serangan itu. Seseorang tentu tidak mungkin bicara terus. Dan yang diam pun belum tentu berarti kalah.
 
  ***
 
  Malam harinya tamu yang datang lebih banyak dibanding siang sebelumnya, walaupun masih lebih sedikit dibanding malam-malam kemarin.
 
  Henson menyapu ruangan dengan matanya yang awas. Hanya sekilas saja. Toh sudah cukup. Tamu tidak akan suka dipandangi dan diperhatikan lama-lama, seakan ada yang salah pada diri mereka. Betapapun aneh atau norak penampilan seseorang, janganlah sekali-kali memandangi seakan dia makhluk dari planet lain. Ba


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>