Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta Sang Naga - 29

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf

Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka

"Ah, nyatanya benar kau pacaran dengan Henson, bukan? Hati-hati lho. Apa sih yang kaulihat dari dirinya? Bersiap-siaplah untuk jadi miskin!"
 
  Terhadap sindiran itu Irma punya balasan yang ampuh. Katanya, "Sejelek-jeleknya Henson, dia masih jauh lebih baik daripada si Anton!"
 
  Terhadap kata-kata itu Yeni tak bisa membalas lagi. Dia cuma bisa melotot marah. Sedang Irma tersenyum-senyum. Ternyata kemudian Yeni kapok menyindirnya lagi. Ia takut hatinya yang sakit gara-gara perbuatan Anton akan dikorek-korek Irma. Lalu ia mulai mengalihkan perhatian kepada Asrul yang dinilainya punya daya tarik tersendiri.
 
  Tapi Lili memperingatkan Irma. "Aku takut suatu ketika nanti Mama akan memecat Henson. Kau tahu? Beberapa kali aku melihat si A Kiong datang lalu bicara serius dengan Mama. Jangan-jangan Mama masih menyimpan keinginannya yang dulu untuk menempatkan si A Kiong di sini."
 
  "Tapi sekarang Mama tidak galak lagi kepada Henson. Dan dia pun tidak melarangku berhubungan dengannya."
 
  Lili tidak kelihatan heran. "Oh, kau seperti belum kenal Mama saja. Sekarang Mama memang begitu. Tapi nanti?"
 
  "Maksudmu?"
 
  "Sekarang ia masih membutuhkan tenaga Henson. Tentu saja. Yang paling banyak tahu tentang restoran kita kan cuma Henson seorang. Sedikit-sedikit dia akan mengambil alih. Lihat saja kesibukannya sekarang. Dan si A Kiong itulah asistennya. Dan nanti, kalau mereka sudah merasa pinter, baru mereka unjuk gigi. Kalau aku jadi kau, Irma, akan kusuruh Henson cari kerjaan lain dari sekarang-sekarang. Jangan tunggu sampai didepak. Bisa menyakitkan lho."
 
  Irma termenung, lalu berkata lambat-lambat, "Kau benar, Ci. Mungkin aku terlalu optimistis."
 
  "Sudahlah Jangan bersedih. Ah. apa kau masih meratapi Kematian Papa?"
 
  "Ya. sesekali, Habis Kematiannya begitu... begitu mengerikan," kata Irma lirih dengan mata kembali berkaca kaca.
 
  Lili memperhatikannya sebentar. "Tidak mengherankan, Kau anak kesayangan Papa."
 
  Kata-kata itu hanya membuat Irma tersedu-sedu Tiba-tiba ia merasa dirinya jadi cengeng tanpa daya. Tentu saja Lili tidak tahu, bahwa masalahnya bukan itu. Bukan kasih sayang yang dibawa Papa ke alam baka, melainkan sesuatu yang tak punya penyelesaian dan tak ada kepastiannya. Tapi toh bisa diperkirakan. Itu adalah dendam, kebencian, amarah, dan sejenisnya. Hanya dia yang tahu. Tapi ia tak bisa mengutarakannya kecuali kepada Henson. Apakah Mama sebenarnya tahu, atau paling tidak bisa memperkirakan apa yang sebenarnya tersimpan dalam diri Papa menjelang saat-saat akhirnya?
 
  "Sudahlah. Kau harus bisa melupakan," hibur Lili.
 
  Cepat-cepat Irma mengeringkan air matanya. Terima kasih, Ci. Nasihatmu sangat bermanfaat. Ya. Mama saja bisa melupakan dengan cepat."
 
  "Memang. Kalau terlalu lama bersedih kita bisa ambruk. itu kata Mama sendiri. Dan dia benar. Sekarang tanggung jawab meneruskan usaha kita terletak di pundak Mama. Kalau restoran kita bubar, nanti kita makan apa?"
 
  Irma tertawa. lucu juga rasanya. Habis menangis bisa langsung tertawa "Makan apa, kata Cici. Oh, kita kan belum semiskin itu! Harta kita yang sudah terkumpul dari tahun ke tahun kan sudah banyak. Bila SANG NAGA tak jalan lagi, kita masih bisa berusaha yang lain."
 
  Lili menjadi jengkel. "Tapi, bukankah SANG NAGA merupakan andalan kita? Dialah yang sudah mendatangkan rezaki selama ini!"
 
  "Oh, jangan keki, Ci. Aku cuma mau bilang, bahwa kita tidak perlu takut berusaha di bidang yang lain."
 
  Lili menggelengkan kepala. "yang bilang begitu kan kamu. Tapi Mama pasti tidak sependapat, ia akan mempertahankan SANG NAGA dengan segala cara."
 
  "Ya. Aku juga yakin Mama akan berbuat begitu. Mungkin karena itu yang paling mudah buat Mama. Bukankah Mama tak perlu susah-susah banting tulang dan peras otak kalau dibantu oleh Sang Naga? Rezeki akan mengalir masuk lewat pintu," kata Irma sinis.
 
  "Hus! Jangan ngomong begitu," ucap Lili dengan wajah khawatir sambil memandang berkeliling.
 
  Sikap Lili itu cuma mengundang tawa Irma. Tapi belum sempat Irma bicara, Lili sudah buru-buru angkat kaki. Ia tak ingin melayani Irma berdebat dalam soal itu. Belum apa-apa tengkuknya sudah meremang.
 
  Tapi Irma juga tidak ingin membicarakan soal itu. Tadi ia tak sengaja. Sepertinya keceplosan bicara seperti itu Memang tidak tepat berbicara begitu di saat sekarang ini. Jangan ngomong soal rezeki di saat sang terbilang kritis. Menurut Henson, keadaan yang akan mereka hadapi nanti kira-kira bisa seperti keadaan yang mereka alami setelah peristiwa dengan kecoa itu. Bahkan mungkin bisa lebih parah. Sekarang penyebabnya bukan cuma sekadar kecoa, melainkan kematian yang mengerikan.
 
  Saat itu ia berada di ambang ruang makan. Ruang di mana peristiwa itu terjadi. Tak mengherankan kalau perasaan-perasaan tak enak itu muncul, pikirnya. Tapi mestinya perasaan semacam itu hanya menghinggapi orang yang tahu. Sedang para tamu, walaupun tahu, toh tidak mengalaminya sendiri. Apakah mereka juga akan merasa ikut-ikutan tidak enak nanti? Bila iya, akibatnya bisa buruk.
 
  Saat itu ia mendengar bunyi bel pintu. Ber gegas ia menuju pintu. Barangkali Henson, pikirnya den gan bersemangat Tapi ketika pintu terbuka ia melihat s eraut wajah pucat dengan bibir tebal dan rambut lurus kaku yang berdiri semua. A Kiong.
 
  Anak muda itu segera tersenyum lebar dengan keramahan yang kentara dibuat-buat. Tapi sebelum suaranya keluar, Irma sudah mendahului, "Cari Mama? Naik sajalah ke loteng. Mama ada di sana, katanya ambil menunjuk arah dimaksud. Lalu ia menyisih memberi jalan dan sekalian membuka daun pintu lebih lebar, kedua daun pintu dibukanya, Dan sebelum A Kiong menjawab, ia buru burn melangkah keluar.
 
  Untuk sesaat A Kiong memandang Irma, tidak tahu mesti bilang apa. Akhirnya ia cuma menggumam, lalu bergegas masuk. Dan Irma menoleh, tersenyum kepada punggungnya.
 
  Berada di halaman ia sedikit tertegun. Sudah beberapa hari pemandangannya sama, tapi masih juga belum terasa biasa. Sepi dan kosong. Padahal biasanya mobil-mobil berjajar, luber sampai ke jalanan. Sekarang cuma dipenuhi sinar matahari. Memang di saat sibuk dulu, ada hari libur dalam seminggu. Hari yang sepi seperti saat itu juga. Tapi satu hari cepat berlalu untuk segera diganti hari-hari rutin yang sibuk.
 
  Ia berjemur sebentar sampai merasa kepanasan. Lalu masuk kembali. Tapi pintu tidak ditutupnya. Dibiarkannya saja seperti ketika ia membukanya tadi. Rasanya lebih enak begitu. Udara segar dan matahari. Barangkali itu dapat membunuh perasaan-perasaan tidak enak yang ditimbulkan ruang makan yang hening itu. Ia ingin bertahan di situ sampai Henson datang.
 
  Ruang makan bersih dan mengkilap. Memang kebersihannya selalu dijaga. Tapi tata letak kursi meja tidak berubah sejak peristiwa malam itu. Memang demikianlah yang diperintahkan polisi. Jangan mengubah letak barang-barang.
 
  Agak jauh dari pintu dekat sudut yang menuju ke dapur terletak meja panjang tempat mereka berpesta malam itu. Ke sanalah mata Irma terarah. Matanya berkejap-kejap sebentar. Ah, bagaimana perasaannya? Susah menggambarkan. Tapi rasa-nya biasa-biasa saja. Ia cuma ingat lalu merasa ngeri sebentar. Ya, cuma sebentar, karena langkahnya kemudian diarahkan ke sana. Bahkan kemudian ia duduk di kursi di mana ayahnya pernah duduk. Nah. bagaimana perasaannya kini?
 
  Tapi ia tidak memikirkan soal perasaan saat itu. Pandangnya tertuju lurus ke depan. Ke arah pintu. Ia mengenang kembali saat itu. Ketika mereka berbondong-bondong menuju pintu, ayahnya tetap duduk di situ. Apa yang dilakukan ayahnya? Sudah tentu ia memandangi. Setidaknya pada saat permulaan. Ketika itu ia berada paling depan bersama Henson. Dan di sebelahnya berjalan Yeni. Ya, tentu saja Yeni termasuk orang yang paling ingin tahu dalam persoalan menyangkut diri Anton itu. Sedang mereka yang berjalan di belakangnya... Ah, ia tidak tahu siapa-siapa saja mereka itu secara berurutan. Ayahnyalah yang paling tahu.
 
  Irma terus saja memandangi, dan mengingat-ingat. Dulu pintu juga terbuka dalam sikap yang serupa dengan sekarang. Dulu malam, cahaya di dalam lebih terang daripada di luar. Sekarang pagi menjelang siang, matahari menerobos masuk, sebagian memantul lewat kaca pintu. Ketika itu mereka bergerombol di ambang pintu. Tidak semuanya keluar menginjakkan kaki di halaman. Yang jelas, dia sendiri bersama Henson dan Yeni berada di luar, berhadapan langsung dengan ketiga tamu tak diundang itu. Tapi dia tidak tahu siapa lagi yang berada bersamanya, dan siapa yang tetap berada di sebelah dalam tanpa melewati ambang pintu. Ah, apakah itu penting? Ia juga tidak tahu. Ia cuma memandang saja ke arah yang sama. "Irma! Irma!"
 
  Seruan Nyonya Linda tidak segera menyadarkan Irma dari pemikirannya yang dalam. Bahkan ia juga tidak mendengar langkah ibunya yang berisik sewaktu menuruni tangga.
 
  "Irma! Ke mana sih anak itu?" seru nyonya Linda untuk kesekian kali. Tapi kemudian langkahnya terhenti dan mulutnya terbuka tanpa suara. Ia menatap heran dan cemas kepada Irma. Di matanya ada kengerian. Sampai kemudian Irma menoleh dan berpandangan dengan ibunya. "Kenapa kau duduk di situ?" Irma seolah dibangunkan. Tiba-tiba ia tersenyum. Tapi senyumnya itu nampak aneh di mata Nyonya Linda hingga ia jadi semakin cemas. Jangan-jangan Irma kemasukan. Tapi suara Irma yang jernih melenyapkan kecemasannya. "Memangnya kalau duduk di sini kenapa, Ma?" begitu tanya Irma, seolah perbuatannya itu merupakan kewajaran. Padahal kursi kan banyak. Kenapa dia justru memilih yang itu? Meskipun tidak cemas lagi, Nyonya Linda bersikap siaga.
 
  "Ya. Memang sih nggak apa-apa. Tapi coba katakan, sedang apa kau di situ?"
 
  "Saya sedang mengenang malam itu, Ma," jawab Irma terus terang.
 
  Nyonya Linda mengerutkan kening. Sebenarnya ia ingin tahu. tapi kemudian memutuskan untuk tidak bertanya-tanya. Mendengar hal-hal baru dapat membuatnya tambah pusing. Dan tambah susah. Jadi ia cepat menanyakan, "Si Henson sudah datang, Ir?"
 
  "Belum, Ma."
 
  "Kalau dia datang, segera suruh ke atas, ya. Temui aku di situ."
 
  "Baik, Ma."
 
  nyonya Linda membalikkan tubuhnya. Tapi suara Irma menahan langkahnya. "Ma! Maukah Mama duduk di sini sebentar saja? Cuma sebentar, kok." Suara Irma kedengaran manis dan lembut.
 
  Mendadak bulu roma Nyonya Linda berdiri. "Oh, tidak! Tidak!" serunya sambil berlari menaiki tangga. Dalam sekejap ia sudah tak nampak lagi.
 
  Irma yang ditinggalkan sendiri tidak memberi reaksi apa-apa: Ia kembali serius berpikir. Seperti itulah sikapnya ketika Henson melangkah masuk, keheranan karena tidak biasanya menemukan pintu terpentang tanpa ada orang yang menjaga. Lalu ia jadi terkejut ketika melihat Irma.
 
  "Ngapain kau di situ, Ir?" ia bertanya sambil mendekat.
 
  Irma tersenyum. "Pertanyaanmu senada dengan ibuku, Son. Coba, kenapa hal itu mesti ditanyakan?
 
  "Soalnya kau duduk di situ. Kursi itu, kan? Dan kau melamun begitu."
 
  "Aku bukan melamun. Aku sedang berpikir."
 
  "Oh ya? Tentang apa?" tanya Henson tertarik.
 
  "Tentang peristiwa malam itu."
 
  "Oh. Ayolah ceritakan." Henson segera menarik kursi di sebelah Irma.
 
  "Tapi sebelum itu, lebih baik kauselesaikan dulu tugasmu, Son. Kau dipanggil Mama di loteng. Dan di sana juga ada si A Kiong."
 
  Henson tak jadi duduk. "Baik. Aku ke atas dulu. Kau mau tunggu di sini atau...?"
 
  "Tentu saja di sini."
 
  "Tapi sebaiknya pintu ditutup saja, Ir. Nanti dikira orang kita sudah buka."
 
  "Tidak mungkin. Kan sudah ada pengumuman tutup di depan. Mereka tentu bisa membaca. Lagi pula enak begitu kok. Ada matahari. Ada angin."
 
  "Ya. Sesukamulah."
 
  Henson bergegas menaiki tangga. Ia sudah tak sabar ingin mendengar cerita Irma. Karena itu tutur kata Nyonya Linda serasa bagai seabad lam anya. Untung saja tak ada instruksi yang harus dikerjak annya saat itu juga. Setelah selesai ia bergegas menuru ni tangga kembali diiringi pandang penuh makna dari N yonya Linda dan A Kiong. Ia menyadari hal itu, tapi tak peduli.
 
  Ia menjumpai Irma di tempat yang sama. Tapi Irma tidak lagi sendirian, melainkan sudah ditemani Asrul. Dilihatnya mereka berdua sedang terlibat pembicaraan mengasyikkan.
 
  "Wah, aku ketinggalan nih," kata Henson cepa-cepat bergabung. Ia mengambil tempat di sebelah Irma, yaitu tempat yang dulu diduduki Nyonya Linda. dan senyum Irma yang me-nyambutnya membuat ia spontan meletakkan tangannya di atas tangan Irma yang terletak d


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>