Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta Sang Naga - 32

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf

Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes

ah tersimpan dengan baik ternyata terungkap semua.
 
  "Dan karena perkiraan itulah, Anda merasa takut kepadanya, bukan?"
 
  Nyonya Linda tidak tahan lagi. "Ya, saya takut! Saya takut padanya! Mestinya dia membunuh saya, bukan membunuh dirinya sendiri!" teriaknya histeris. Lalu ia tersedu-sedu, menutup muka dengan kedua tangannya.
 
  Dermawan berpandangan dengan Hanafi. Mereka membiarkan Nyonya Linda melepas emosi sebentar.
 
  "Ya. Terima kasih, Nyonya. Spontanitas semacam itulah yang saya nantikan," ucap Dermawan tenang.
 
  Nyonya Linda menghentikan tangisnya. Ia sudah tenang kembali. Dan bersyukur bahwa saat itu mereka hanya bertiga. Henson dan Irma berada di gudang, menunggu tibanya giliran mereka. Cek A Piang tetap di dapur. Sedang Yeni berada di ruang lain. Para tamu menunggu di halaman. Dengan demikian ia tidak perlu merasa malu yang terlampau besar.
 
  Jadi sesudah tiba giliran Yeni menegurnya, Nyonya Linda sudah mampu memainkan peranannya dengan baik.
 
  Selanjutnya Henson dan Irma dibuat malu tersipu ketika mereka harus mengulang adegan mesra. Sampai kemudian kepala Hanafi nongol di ambang pintu dan mengejutkan mereka.
 
  Adegan demi adegan selanjutnya berlangsung cepat. Tidak ada sesuatu yang baru. Baru kemudian menuju klimaks setelah tiba pada saat di mana terjadi keributan di luar pintu. Mereka beriringan keluar sedang Hanafi tetap duduk mengawasi dengan wajah kaku. Sangat serius seolah benar-benar menjiwai perannya.
 
  Tapi ketika mereka akan beriringan itu timbul sedikit konflik. Peter yang berjalan bersisian dengan Nyonya Linda berada di urutan paling belakang. Tapi mereka berselisih tentang siapa yang di kiri dan siapa yang di kanan.
 
  "Bukankah aku di sebelah kirimu?" Peter menegaskan.
 
  "Sama sekali tidak. Aku ingat persis. Apalagi sekarang, setelah memperagakan kembali. Aku di sebelah kirimu!"
 
  Peter melotot, tapi ia segera sadar bahwa mereka tidak cuma berdua. Sementara tatapan tajam Dermawan menggelisahkannya. Dalam hati ia tak kepalang jengkel kepada Linda.
 
  "Nah, sebelah mana yang benarnya?" tanya Dermawan. "Apakah di antara Anda tidak ada yang ingat?"
 
  "Saya masih ingat, Pak," kata Nyonya Linda spontan. "Saya ada di sebelah kiri Peter, karena ketika itu dia memegang lengan kanan saya yang jadi terasa perih karena di situ ada bekas cakaran kucing. Nih, masih ada bekasnya." Ia memperlihatkan lengan "kanannya di bawah siku. Di situ ada baret memanjang yang sudah hitam.
 
  Peter tak menyanggah.
 
  "Kalau begitu, ya, memang demikian," Dermawan memutuskan.
 
  Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju pintu. Meskipun sudah dijelaskan oleh Nyonya Linda bahwa ketika itu Peter memegang lengannya, tapi kali itu Peter tidak mau. Ia marah dan juga sebal kepada Linda.
 
  Henson sudah mendahului membuka pintu. Kemudian ia bersama Irma dan Yeni melangkah melewati ambang pintu. Lainnya tetap di belakang. Nyonya Linda berdiri di muka daun pintu sebelah kiri agak ke tengah hingga Peter di sisinya terpaksa merapat ke daun pintu sebelah kanan. Untuk beberapa saat mereka berdiri seperti itu.
 
  Tanpa sadar Peter melirik ke kaca pintu di sebelah kanannya. Di situ ia bisa melihat Hanafi dengan jelas. Tapi Peter terkejut. Ternyata Hanafi sedang memandang ke arah yang sama juga. Pandang mereka bertumbukan di kaca itu. Kemudian ia lebih terkejut lagi ketika melihat bayang-bayang orang ketiga yang juga sedang memandangnya di kaca yang sama. Dia adalah Dermawan. Buru-buru Peter mengalihkan pandangnya lurus ke depan. Dalam hati ia menyesali keterlanjurannya. Tapi berharap tidak ada yang memahami makna pandangnya ke arah kaca itu.
 
  Harapan Peter sia-sia.
 
  "Benar, Pak Peter. Di kaca itu Anda bisa melihat Tuan Liong dengan jelas. Tapi ketika itu ia tentu tidak melihat pandang Anda itu. Ia tidak tahu bahwa Anda bisa melihatnya. Nah, apa yang Anda lihat?" tanya Dermawan dengan suara cukup keras.
 
  Semua mata melirik kepada Peter. Termasuk mata Linda. Sekilas Peter melihatnya juga. Ia merasa di mata itu tidak ada belas kasihan untuknya. Ia geram. Dan juga malu.
 
  "Nah, silakan jawab, Pak!"
 
  "Ya. Saya melihatnya," jawab Peter pelan-pelan, ingin mengulur waktu.
 
  "Apa yang sedang dia kerjakan? Ingat, jangan bohong, Pak. Kami bisa memperkirakan."
 
  "Dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Tidak jelas apa itu. Sepertinya sebuah peles pipih dengan merah-merah pada etiketnya. Tapi sungguh mati.
 
  "Tunggu dulu," Dermawan menghentikan ucapan Peter. Ia memberi tanda pada Hanafi di ujung sana dengan menunjuk sakunya sendiri.
 
  Hanafi mengeluarkan benda dimaksud dari sakunya. Gerakannya pelan-pelan supaya Dermawan dapat menelitinya lewat kaca juga. "Ya. Saya melihatnya juga. Dan kesannya sama seperti Anda," katanya kemudian.
 
  "Tapi sungguh mati saya tidak tahu bahwa itu racun," Peter melanjutkan ucapannya yang tertunda tadi.
 
  "Apa yang kemudian dilakukannya dengan benda itu?" tanya Dermawan, tanpa mempeduh-kan ucapan Peter.
 
  Peter ragu-ragu sebentar. Kemudian mengatakan, "Dia membubuhkan isi peles itu ke dalam gelas teh, lalu mengaduknya dengan gagang sendok makan yang ada di piringnya."
 
  "Gelas teh yang mana?" tanya Dermawan tak sabar.
 
  "Gelas... gelasnya tentu." "Saya tidak minta kesimpulan. Saya butuh fakta!"
 
  Peter tertegun. Ia merasa dirinya sangat malang. "Gelas yang mana? Yang di sebelah kiri atau kanan Tuan Liong?" tanya Dermawan keras.
 
  Suara keras itu mengejutkan Peter, hingga ia menjawab dengan spontan, "Yang di sebelah kiri."
 
  Nyonya Linda memekik. "Itu kan gelasku!" Lalu ia menutup mulutnya dengan tangan, untuk mencegah keluarnya suara. Tatap tajam Dermawan mengandung teguran.
 
  Selanjutnya Dermawan menyuruh seorang pembantunya untuk menyampaikan pesannya. Si pembantu berlari untuk menyampaikan, lalu Hanafi memperagakan apa yang dikatakan Peter tadi. Ia memasukkan isi peles ke dalam gelas yang berada di sebelah kirinya. Sementara itu Dermawan memperhatikan dari kaca. "Tepat!" katanya. Lalu ia berpaling lagi kepada Peter. "Sesudah itu, bukankah Anda masuk kembali untuk mengajak Tuan Liong berbincang-bincang?"
 
  Sebelum Peter menjawab, Nyonya Linda mendahului, "Sebelum itu, saya melangkah keluar untuk mendekati mereka yang sedang ribut. Jadi saya tidak tahu bahwa Peter kembali ke dalam."
 
  Dermawan mengangguk. "Baik. Silakan Anda keluar dulu."
 
  Ternyata hampir berbarengan dengan bergeraknya Nyonya Linda keluar, tamu-tamu lain juga mengikutinya. Boleh dikata pada saat Peter melangkah ke dalam, tak ada lagi orang yang bergerombol di sebelah dalam ambang pintu. Karena itu mereka tak seberapa memperhatikan tingkah Peter. Dan juga tak ada yang memandang ke arah kaca pintu sebelah kanan.
 
  Dermawan memberi tanda kepada Peter yang segera bergerak menuju kursi yang didudukinya waktu itu. Di dekat Tuan Liong. Kini Hanafi. Lalu ia mengajak Hanafi berbicara dan Hanafi menyahut sesuai dengan apa yang pernah diceritakannya dalam pemeriksaan pertama. Kemudian Hanafi bangkit dari duduknya dan pergi ke luar untuk bergabung dengan mereka yang sudah ada di sana. Peter tertinggal sendiri.
 
  Peter menjadi kikuk. Begitu banyak mata memandanginya, ia merasa direndahkan, tapi tidak bisa apa-apa untuk memulihkan wibawanya. Ia tidak berdaya. Mereka yang tadi ramai-ramai melangkah keluar itu kini semua bergerombol di ambang pintu, makin lama makin maju ke dalam. Semua memandanginya, tegang dan ingin tahu. Dan juga Linda, oh, persetan sungguh perempuan itu. Padahal... Sungguh penyesalannya selangit. Tapi mau apa ia sekarang? Ia memang tidak berdaya.
 
  "Apa yang Anda lakukan?" Suara Dermawan mulai menterornya. "Jangan katakan, bahwa Anda tidak melakukan apa-apa. Itu tidak mungkin. Ingatlah. Perkiraan yang logis sudah bisa diperoleh berdasarkan apa yang terungkap tadi. Kalau tidak cocok berarti Anda berbohong."
 
  Peter pun menyadari hal itu sepenuhnya. Ia sudah tahu apa konsekuensi pengakuannya tadi. Jadi sekarang ia harus melakukannya. Tanpa memandang kepada wajah siapa pun ia mengangkat gelas yang berisi racun dan memindahkan letaknya. Kalau tadinya terletak di sebelah kiri Hanafi kini menjadi di sebelah kanannya. Dengan kata lain, gelas racun yang semula diperuntukkan bagi Nyonya Linda jadi gelas Tuan Liong!
 
  Hampir semua yang menonton ternganga mulutnya dan terbelalak matanya. Tak terkecuali Nyonya Linda, meskipun sesudah melihat peragaan tadi ia sudah punya perkiraan sendiri. Kalau memang gelasnyalah yang dibubuhi racun tapi nyata-nyata ia masih hidup sedang Hok Kie yang mati, maka sudah jelas gelas mana yang terminum oleh Hok Kie. Namun sewaktu menatap itu ia menerima tatapan tajam dan dingin dari Peter. Tatapan marah tapi mengandung makna. Bila bukan karena aku, sekarang kau sudah jadi mayat!
 
  "Tapi sungguh mati, saya tidak tahu bahwa itu racun!" seru Peter untuk kesekian kali.
 
  "Lantas Anda pikir, apakah itu? Gula?" tanya Dermawan sinis.
 
  "Oh, bukan. Saya pikir, itu guna-guna atau semacamnya. Ya, ramuan orang pinter begitu. Saya tahu Tuan Liong selalu berkonsultasi pada orang pinter. Jadi saya pikir, biarlah ramuan itu dia yang makan sendiri. Tapi, betapa kagetnya saya ketika ternyata dia mati kemudian. Baru saya sadari bahwa itu racun."
 
  "Ya. Simpanlah pembelaan itu untuk nanti. Anda terpaksa kami tahan!"
 
  Rekonstruksi berakhir. Tujuan sudah tercapai.
 
  Peter pergi lebih dulu diiringi polisi. Dan diiringi tangis istrinya.
 
  Dermawan masih tinggal. Ia sibuk mencatat ini itu. Sementara yang lain masih membisu, terlalu kaget untuk segera meledakkan komentar. Cuma suara tangis nyonya Peter yang tersendat-sendat mengisi ruang. Dan Nyonya Tanujaya sibuk menghiburnya.
 
  Nyonya Linda bereaksi lebih dulu. Ia menghampiri Dermawan tanpa mempedulikan tatapan ingin tahu orang-orang lain.
 
  "Pantas kemarin dulu Peter menelepon saya, Pak. Dia mendesak saya supaya dalam rekonstruksi ini saya berjalan di sebelah kanannya. Maksudnya tentu supaya sayalah yang berada dekat pintu. Waktu itu saya pura-pura lupa, jadi saya bilang setuju saja. Padahal saya ingat betul."
 
  Dermawan menghentikan kegiatannya. Ia memandang tertarik. "Kenapa Anda pura-pura lupa?" ia bertanya.
 
  Nyonya Linda tersipu. "Saya..., oh, saya cuma kepingin tahu."
 
  "Keingintahuan itu tentu ada alasannya."
 
  "Saya punya persangkaan yang sama, Pak."
 
  "Persangkaan bagaimana? Saya harap Anda bicara dengan jelas."
 
  Nyonya Linda segera menyadari, bahwa ia tak mungkin bercerita sedikit-sedikit kepada Dermawan. Orang ini menuntut semuanya.
 
  "Saya juga melihat kaca itu secara kebetulan. Itu terjadi ketika Irma membuka pintu dan membiarkannya terpentang. Saya sadar bahwa di situ saya bisa melihat dia, eh, melihat suami saya. Siang hari memang tidak jelas, berbeda dengan malam. Jadi ketika Peter menyampaikan hal itu saya langsung teringat, karena Peter-lah yang berdiri di situ. Ya, justru karena dia mengemukakan hal itu saya jadi diingatkan. Karena itu tadi kami sempat berselisih faham. Rupanya dia pikir saya mau saja menurut."
 
  "Sayang sekali hal itu baru Anda katakan sekarang."
 
  "Saya perlu berpikir dulu. Tapi, bagaimana Bapak bisa langsung menebak dengan tepat? Apakah dia memandang ke arah kaca dan Bapak melihatnya? Ah, pasti begitu. Heran. Padahal dia bisa berpura-pura dengan tidak memandang ke situ. Anda bisa kesulitan. Tapi rupanya rekonstruksi ini telah mendorong orang melakukan hal-hal yang sebenarnya," ujar Nyonya Linda bersemangat. Ia merasa telah banyak membantu dan bekerja sama dengan baik pula.
 
  "Anda selamat justru karena dia memandang ke arah kaca."
 
  Wajah Nyonya Linda menjadi merah. Tapi kemudian ia berkata agak gusar, "Lantas apakah yang harus saya lakukan? Berterima kasih padanya, padahal ia sudah membuat suami saya mati? Ia sama sekali tidak perlu menukar gelas itu, melainkan membuang saja isinya dan menggantinya dengan yang lain!"
 
  Ruangan menjadi kian hening. Itu disebabkan karena nyonya Peter menghentikan tangisnya. Kini dia menatap Nyonya Linda dengan wajah marah dan tangan mengepal. Menyadari gelagat itu, nyonya Tanujaya memeganginya erat-erat. Tapi Nyonya Peter terlalu lembut untuk bisa menyuarakan kata-kata kasar. Ia hanya menatap dengan mata bernyala-nyala.
 
  Nyonya Linda juga melihatnya, lalu buru-buru memalingkan matanya. Tatapan wanita kecil mungil itu ternyata membuat ia gentar. Lebih-lebih setelah pandangnya berkeliling dan tidak men


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>