Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf
Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka
emukan simpati untuknya.
-XIV-
Restoran Sang Naga sudah buka kembali. Sementara itu, berita tentang penyebab kematian Tuan Liong pun sudah tersebar. Dan sempat menggegerkan penduduk Jakarta, terutama para relasi, langganan, famili mereka, serta penggemar makan. Suatu peristiwa kematian yang cukup unik. Maksud hati mau membunuh orang lain, ternyata yang mati malah diri sendiri.
Ternyata kekhawatiran Nyonya Linda tidak beralasan. Di hari-hari pertama-para tamu yang datang makan memang tidak sebanyak seperti dulu di masa jaya, tapi toh lumayan. Malah justru lebih banyak dibandingkan dengan saat sesudah terjadinya peristiwa kecoa itu. Memang para tamu yang datang tampaknya juga didorong oleh keingintahuan untuk melihat lagi tempat terjadinya 'kematian unik' itu. Mungkin mereka berpikir, bisa merasakan dan meresapi suasana unik juga. Atau mereka ingin melihat dan merenungi lagi wajah nyonya Linda, si perempuan 'luar biasa' yang jadi biang keladi. Tapi buat nyonya Linda, apa pun motivasi para tamu itu, sama sekali tidak jadi soal. yang penting, mereka datang dan makan. Serta menambah omset tentu saja.
"Ternyata masalah pribadi pemilik restoran tidak sampai mengurangi selera makan para langganan. Bahkan makan sambil bergosip bisa terasa lebih sedap!" demikian Nyonya Linda berbangga hati. Kepercayaan dirinya pun meningkat dari hari ke hari. Akibatnya, ketergantungannya akan Henson jadi semakin berkurang. Sebaliknya, ia mulai mengeksploitir tenaga Henson dengan menyuruhnya melaksanakan segala ide yang bermunculan di benaknya. Jelas-jelas diperlihatkannya, bahwa dialah sang bos sebagai pencetus ide dan gagasan sementara Henson tak lebih dari pesuruh yang tinggal melaksanakan. Dia berbeda dari Tuan Liong yang kerap kali minta saran Henson atau memberinya keleluasaan untuk bersikap tanpa bertanya lebih dulu. Bukan itu saja, A Kiong pun sudah diterjunkan ke dalam kegiatan rutin dan pelan tapi pasti dia sudah mulai memperlihatkan sikap sebagai bos kecil.
Irma jadi marah. "Peringatan Ci Lili tempo hari itu benar, Son!" katanya sengit. "Mama akan menggesermu, dan mungkin mendepakmu juga. Tapi kau malah tenang-tenang saja."
"Aku sedang mengumpulkan kekuatan, Ir. Untuk itu aku harus bersabar. Dan rendah hati juga."
"Kelihatannya kau memang menyimpan sesuatu. Selama ini aku heran melihat kesabaranmu yang luar biasa. Kelihatannya jadi tidak manusiawi. Ayo, ceritakan. Awas kalau nggak."
"Baiklah, Sayang. Aku ingin mengusahakan restoran sendiri. Ah, lebih tepat kalau disebut kedai makan sajalah."
"Bukan lapo tuak?"
"Oh, bukan," sahut Henson sambil tertawa. "Anggap sajalah sebagai miniaturnya SANG NAGA."
Irma keheranan. "Lantas, tukang masaknya? Cari yang baik itu susah lho, Son."
"Tukang masaknya aku."
Henson tidak membiarkan Irma keheranan lama-lama. Ia segera menceritakan perihal kursus kilat yang diberikan Cek A Piang. "Kau tahu? Sebagian masakan yang terhidang waktu kita pesta itu adalah hasil karyaku."
Irma membelalakkan mata. "Oh, pantas rasanya agak lain. Aku sudah kenal betul olahan Cek A Piang hingga tidak susah membedakan. Tapi sungguh enak, Son! Betul lho. Barangkali kau memberikan sedikit sentuhan Batak di situ?"
Henson tertawa. Irma juga. Tapi Irma mencubitnya. "Itu untuk kepintaranmu merahasiakan. Aku nggak boleh tahu rupanya. Ya, nggak apa-apa. Sekarang kan tahu. Cuma jadinya gemas juga. Tapi katakan dulu. Modalnya bagaimana?"
"Aku punya sedikit simpanan."
"Boleh aku tahu berapa?"
Henson tidak keberatan memberi tahu. Dahi Irma berkerut. "Wah, kayaknya sih nggak cukup.
Belum untuk ngontrak tempat. Padahal kau mesti cari yang strategis. Kalau bisa sih di daerah ramai, misalnya pertokoan atau perkantoran. Tapi justru itu yang paling mahal dan susah."
"Ya. Aku tahu. Tapi Cek A Piang mau menolong. Ada temannya yang punya kedai makan di daerah Hayam Wuruk bermaksud pulang ke Medan. Lalu kedai itu mau dioperkan-nya. Prioritas pertama ditawarkannya pada Cek A Piang. Dan Cek A Piang menawarkannya padaku, karena ia sendiri tidak berminat."
"Ambillah, Son!" seru Irma antusias. "Daerah itu strategis. Banyak orang cari makan di situ. Biarpun banyak saingan, tapi toh ladangnya masih luas. Apalagi tempat itu tadinya juga sebuah kedai makan. Tapi sudah kaulihat tempatnya?"
"Sudah. Bentuknya kecil, dan seperti terjepit di antara dua bangunan besar. Tapi lumayan. Justru yang kecil itu cocok untukku. Apalagi tidak banyak yang perlu diubah. Paling-paling diperbaiki. Meja kursi sudah ada. Demikian pula peralatan memasak yang letaknya di depan pintu."
Irma tertawa. "Jadi sebagai tukang masak kau akan selalu dilihat dan dikenal tamu," guraunya. Tapi kemudian tawanya lenyap. "Cuma... berapa ongkosnya yang dia minta, Son?" Henson menyebutkan suatu jumlah. "Wow! Tabunganmu nggak cukup, Son. Padahal sebenarnya jumlah itu tidak terlalu tinggi. Tapi kau jangan khawatir. Aku punya simpanan juga. Kita gabung jadi satu. Tapi..." Irma berpikir sebentar. Mulutnya komat-kamit menghitung. "Wah, cukup sih cukup, cuma lebihnya tinggal sedikit. Padahal ongkos masih banyak. Tapi orang yang mau berusaha harus berani, Son. Berani ambil risiko. Masalahnya adalah memanfaatkan kesempatan. Soal uang barangkali bisa belakangan. Yang penting, untuk tahap awal sudah cukup."
Sambil berkata begitu, pandang Irma tertuju jauh. Dia seperti menyusun rencana sambil berkhayal. Tapi dia toh serius. Malah sangat serius. Sementara itu Henson memandanginya dengan kagum. Ia tak mau berbasa-basi dengan pura-pura menolak tawaran bantuan Irma padahal sesungguhnya ia memerlukan.
"Dengan malu aku harus mengakui betapa senangnya aku ditawari bantuan, Irma. Tapi sebenarnya yang kubutuhkan lebih dari sekadar uang, melainkan juga pembantu yang bisa dipercaya. Dia pun harus mau bekerja tanpa digaji. Maklum harus menghemat," katanya sambil tersenyum.
"Wah, mana ada orang seperti itu!"
Tapi kemudian Irma paham sendiri. "Oh, kau membutuhkan aku? Ya, tentu saja aku mau membantumu. Yang begitu kan tak perlu diminta lagi!" "Tapi untuk itu kau harus tinggal bersamaku."
"Tinggal bersamamu?" ulang Irma keheranan.
Hampir saja ia menambahkan dengan gurauan, "Sudah pikunkah kau?" Tapi ia melihat keseriusan Henson.
"Oh, sori saja, Son. Aku nggak mau diajak kumpul kebo."
"Wah, pikiranmu nyeleweng. Masa iya, Ir. Yang kuminta adalah sesuatu yang resmi. Maukah kau kawin denganku?" Irma tertegun.
"Tapi sayang sekali, Ir. Ya, aku menyesal. Karena aku tidak bisa menjanjikanmu kesenangan dan kenyamanan hidup. Justru sebaliknya," Henson mendahului bicara lagi sebelum Irma sempat menyahut.
Irma tersenyum. "Ah, aku mau kok, Son. Aku mau. Hidup kita bersama kan bukan cuma buatmu seorang saja, tapi juga buatku."
Mendadak Henson ragu-ragu. Ia teringat akan kebiasaan dan kehidupan Irma sehari-hari. Irma tak pernah bekerja keras. Sehari-hari hanya duduk di belakang meja menghitung uang yang masuk. Sebagai anak orang kaya sudah jelas bagaimana kehidupannya. Lantas tiba-tiba dia harus berubah. Terlalu drastis. Terlalu mengejutkan. Henson jadi menyesali sikap spontannya. Ah, jangan. Kasihan Irma.
"Kenapa kau diam?" tanya Irma heran.
"Aku punya ide lain. Biarlah aku berusaha sendiri dulu. Kau tetap dengan ibumu. Bila aku sudah mapan baru kita kawin. Dan jangan lupa. Umurmu belum dua puluh satu. Aku khawatir ibumu tidak memberi izin."
"Tapi kau perlu pembantu, kan? Hanya ada satu orang yang bisa dan mau membantumu. Aku! Ya,
aku ingin bekerja, Son. Aku sudah bosan duduk terus di belakang meja."
"Karena itu, sekalinya kau bekerja pinggangmu akan pegal-pegal."
"Ah, itu masalah biasa dan tidak biasa. Hei, kenapa sih kau ini? Tadi dan sekarang ngomong-nya lain."
"Aku tidak tega mengajakmu kawin."
Irma tertawa. "Semakin kau merasa tidak tega, semakin bulat tekadku," katanya tegas. "Itu tandanya kau tidak mempercayai kemampuanku dan karenanya aku jadi ingin membuktikan."
"Oh, senang sekali, Ir. Aku sungguh senang kau mau. Tapi ibumu..."
"Jangan pesimis dulu. Belum kutanyakan. Tapi orang tuamu sendiri bagaimana?"
"Aku sudah cukup lama menyurati, memberi kabar tentang kau dan aku. Tapi belum ada balasan. Pergi sendiri ke kampung sudah jelas membutuhkan biaya, padahal aku perlu berhemat. Ya, itu pun sudah kujelaskan. Aku sudah lama tidak pulang kampung bukan karena melupakan orang tua dan asal usul. Mudah-mudahan mereka mengerti."
"Kalau mereka tak setuju?"
"Kita jalan terus. Aku yakin, lama-lama mereka akan setuju juga. Pada permulaan biasanya memang begitu. Kawin campur di zaman sekarang ini toh bukan lagi sesuatu yang baru."
"Tekadku pun sudah bulat." "Terima kasih, Sayangku."
***
Irma menghadapi ibunya.
"Mama, saya mau bicara."
"Bicaralah," sahut Nyonya Linda tanpa mengalihkan pandang dari buku catatannya.
"Ini tentang Henson, Ma," tegas Irma dengan maksud supaya ibunya mengalihkan perhatian kepadanya.
"Oh, ya?" Nyonya Linda berpaling dan menatap tajam sebentar, lalu mengalihkan lagi matanya ke arah buku di depannya. "Kalau ngomong yang jelas. Jangan sepotong-sepotong. Langsung saja to the point," katanya menirukan cara bicara Dermawan kepadanya dulu. Tapi ia tidak bermaksud bergurau. Sikapnya serius.
Untuk sesaat Irma merasa geli. Kini ibunya mulai menampilkan gaya yang baru sebagai seorang wanita bisnis. Cukup mengesankan keseriusannya. Tapi bagi Irma sikap semacam itu juga merupakan tanda bahaya.
"Mama keterlaluan memperlakukan Henson. Masa si A Kiong mau dibiarkan menggesernya. Apakah Mama melupakan jasa-jasa Henson selama ini?"
"Lho, bukankah jasanya itu sudah dibayar? Aku tak punya hutang padanya. Ingat. Pada saat permulaan dia datang kemari, dia dalam keadaan lapar. Untung dia diterima bekerja di sini. Kalau tidak? Nah, siapa yang sepatutnya dibilang berjasa?"
Irma merasa bersyukur bahwa ketika itu Henson tidak ikut mendengar.
"Bukan begitu caranya menghargai jasa orang, Ma. Selama ini dia sudah bekerja dengan baik. Sangat baik malah. Papa kerap memujinya, bukan? Bahkan dalam peristiwa kecoa itu, Henson sudah membuktikan kemampuannya. Tanpa dia, kita akan kerepotan. Mama sendiri waktu itu kebingungan, bukan?"
Nyonya Linda melotot. Kini ia melupakan bukunya. "Tentu saja kau membela dia, karena dia pacarmu!" serunya marah. "Huh, omong kosong! Apa kaupikir itu berkat jasanya? Kita bisa bertahan terhadap segala cobaan itu bukan karena dia. Bukti berikutnya adalah keadaan sekarang ini. Kita mampu tetap bertahan, bukan? Padahal itu sama sekali bukan karena jasanya. Itu karena rezeki ada di tangan kita. Nah, dalam keadaan seperti itu kita tidak perlu takut terhadap apa pun!" Setelah diam sebentar, ia melanjutkan dengan suara lebih perlahan, "Ya, kita memiliki Sang Naga."
Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan nada khidmat. Dan sepertinya tidak ditujukan kepada I rma, karena matanya memandang jauh.
Irma tidak mempedulikan.
"Tahukah, Mama, bahwa sebelum meninggal Papa telah mengangkat Henson sebagai manajer restoran kita? Masih ingatkah Mama akan peristiwa kecoa itu? Nah, sebelum Henson pergi menemui Bang Asrul untuk menjelaskan peristiwa itu. Papa menjanjikannya kedudukan itu. Tapi Papa menyuruhnya merahasiakan dulu."
Nyonya Linda tertawa geli. Sangat geli. "Henson jadi manajer? Lelucon dari mana itu? Kalau Papa memang serius kenapa dia tidak memberi tahu aku?"
"Papa menunggu saat yang tepat. Lalu ia merencanakan akan mengumumkannya pada acara pesta kita tempo hari. Tapi ternyata peristiwanya jadi lain."
nyonya Linda menggelengkan kepala. "Tidak mungkin. Papa pasti tidak serius. Itu pasti taktiknya saja agar Henson mendapat semangat. Ya, dia berbohong saja."
"Tidak mungkin, Ma! Kalau memang cuma taktik tentu ia takkan menceritakannya pada saya. Dia mengatakannya sewaktu kita baru membuat rencana pesta itu. Ya, kalau mau bohong tentu dia cuma bilang kepada Henson seorang!"
"Masa bodoh! Bukankah sekarang ini aku yang berkuasa? Tentu aku yang ngatur dong. Bayangkan kalau si Henson jadi manajer. Lantas aku mau dikemanakan? Apa cuma goyang kaki? Wah, nggak lucu dong."
Irma sadar, tak mungkin berdebat dengan ibunya. Tentu saja bukan tujuannya memperjuangkan kedudukan Henson di situ, melainkan ingin mengingatkan saja. Supaya ibunya mau menghargai.
"Kau tidak pun
↧
Cinta Sang Naga - 33
↧