Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf
Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes
ya hak memaksaku, Irma," Nyonya Linda mengingatkan dengan, suara berwibawa. "Sebagai pengganti papamu, restoran ini sekarang aku yang urus. Aku yang atur. Mau kuapakan dan tenaga siapa yang mau kupakai itu adalah urusanku. Bukan urusanmu. Kau tidak berhak ikut campur. Ya, dulu kau dan papamu suka kasak-kusuk berdua, mengatur ini itu, membicarakan ini itu, tanpa pernah mengikutsertakan aku. Hem. Papamu lebih suka mendengarkan dan menuruti ocehanmu daripada meminta saranku. Barangkali dikiranya aku berotak u dang. Sekarang papamu sudah tiada, dan aku tidak aka n memperlakukanmu dengan cara dia."
Nyonya Linda melepaskan unek-uneknya dengan penuh kepuasan. Inilah kesempatan untuknya. Sudah cukup lama dia dianggap bodoh. Bukan saja oleh Hok Kie dan Irma, tapi juga oleh Peter. Dia bisa merasakan hal itu, walaupun tak pernah mengungkapkannya. Bagi Peter, kelebihan satu-satunya yang ia miliki hanyalah di segi seks. Dan ia membiarkan, karena ia pun menilai Peter melulu di segi yang sama! Ah, barangkali ada juga rasa sayang di situ. Atau cinta. Tapi kalau ditimbang-timbang, ternyata dia jauh lebih mencintai dirinya sendiri daripada Peter. Hal itu sudah terbukti tempo hari. Dan juga sekarang. Tak ada perasaan tidak tega. Atau berat hati. Ataupun sekadar belas kasihan.
Irma tertegun. Apa yang didengarnya merupakan sesuatu yang tak pernah terpikir. Bahwa ibunya merasa tersinggung dan kemudian dendam oleh keakrabannya dengan ayahnya sama sekali tak terpikirkan kemungkinannya. Rupanya akibatnya jadi seperti ini. Di mata ibunya dia tak ubah seorang saingan. Sementara ia sendiri tidak sempat merasakan kekurangan kasih ibu. Kesadaran akan hal itu jadi terasa menyakitkan sekarang.
"saya tidak bermaksud memaksa Mama," katanya pelan. "Ya, sudahlah kalau itu memang merupakan kebijaksanaan Mama. Tidak apa-apa. Tapi, izinkanlah kami menikah, Ma."
Nyonya Linda kembali melotot. Ia seolah kurang percaya, akan kata-kata Irma. "Menikah dengan si Henson? Apa kau sudah gila?"
"Bukankah Mama sudah tahu perihal hubungan kami?"
"Aku pikir, kau cuma pacaran saja. Kau cuma main-main." "Kami serius kok, Ma."
"Pacaran boleh saja, tapi kawin tidak!" kata Nyonya Linda tegas.
Irma terdiam. Sikap ibunya itu tidak terlalu mengejutkan. Kini ia sibuk mencari daya.
"Hei, apakah kamu sudah...?" tanya Nyony a Linda dengan tatap curiga. Bagaimanapun, ia tentu ta k menghendaki Irma mengikuti caranya berpacaran de ngan Peter.
Irma memahami maksud pertanyaan ibunya, dan itu membuat darahnya serasa naik ke muka. "Tentu saja tidak, Ma. Kami tidak pernah berbuat melewati batas seperti... seperti orang lain."
Nyonya Linda merasa tersindir. Amarahnya bertambah. "Bagaimanapun aku tidak mengizinkan! Bukan saja karena kau memilih si Henson sebagai pasanganmu, tapi juga mau melangkahi kedua kakakmu. Enaknya!"
Irma menunduk.
Mengira Irma akan menangis, perasaan Nyonya Linda melembut. "Kau masih terlalu muda, Ir. Hati-hati terhadap rayuan lelaki. Tahu-tahunya gombal. Si Henson itu tentunya mengincar kekayaan. Dia tahu kau anak orang kaya, kau mewarisi harta cukup banyak dari ayahmu. Nah, lihat betapa liciknya dia. Mestinya dia bisa ngaca. Tahu diri," katanya, mencoba membujuk.
Tapi ketika Irma mengangkat muka dan pandang mereka beradu, Nyonya Linda segera menyadari bahwa perkiraannya keliru. Irma tidak menangis, dan matanya memperlihatkan kekerasan hati.
"Saya sudah memikirkannya baik-baik. Tekad saya sudah bulat, Ma," kata Irma tegas.
"Dia akan kupecat sekarang juga! Kurang ajar benar!" seru Nyonya Linda marah. "Dan apa kaupikir bisa gampang kawin dengan dia tanpa izin orang tua? Mana mungkin. Umurmu belum dua puluh satu!"
Irma diam lagi. Ia tahu, itulah kelemahannya yang utama.
***
Setelah dipecat, Henson masih sering bertemu dengan Cek A Piang.
"Aku jadi kepingin berhenti juga," kata Cek A Piang.
"Ah, jangan. Cek. Jangan."
"Aku bisa kerja sama denganmu."
"Wah." Hanya itu komentar Henson. Ia membayangkan gaji Cek A Piang yang lumayan besar di SANG NAGA. Dia sendiri mana mungkin bisa memberi gaji sebesar itu.
Tapi Cek A Piang tertawa sambil membantah ucapannya sendiri, "Mana mungkin dua orang koki bekerja sama di tempat sekecil itu?"
Henson juga tertawa. "Cek jangan berhenti. Di sana Cek dibutuhkan."
"Ya. Lihat sajalah nanti. Tapi ngomong-ngomong, nggak sangka ya kau bisa dengan Irma. Rupanya diam-diam pintar merayu," Cek A Piang menggoda.
Henson hanya tersenyum. Memang hanya itu reaksinya bila ada yang menggoda.
"Eh, sudah kaudengar cerita tentang si Udin? Barangkali dari Irma?" Cek A Piang teringat dengan tiba-tiba.
"Oh, belum, Cek. Dia belum cerita."
"Sehari setelah kau dipecat, si Udin datang menemui Nyonya Linda. Beraninya orang itu. Rupanya dia tahu bahwa kau sudah tidak ada. Barangkali takutnya cuma sama kau. Kau tahu apa permintaannya? Dia minta kerja lagi di situ. Nggak punya muka bener. Aku pikir, Nyonya Linda pasti akan melabraknya habis-habisan. Eh, nggak tahunya dia bersikap ramah. Dia tanya soal kecoa itu. Dan apa jawab si Udin? Katanya dia disuruh oleh Peter. Kenapa mau? Habis dia diancam, jawabnya. Rupanya dia pikir orang percaya saja. Yang pasti dia dikasih imbalan uang. Dan tentunya dia berani datang lalu mengakui perbuatan itu karena sudah tahu apa yang terjadi. Dia tahu bahwa Peter tidak bisa berbuat apa-apa padanya. Nah, apa jawab Nyonya Linda? Sungguh di luar persangkaanku. Katanya, dia sih mau saja menerima karena memang sedang membutuhkan tenaga. Tapi dia merasa kasihan kepada Udin. Soalnya, polisi sedang mengincarnya untuk ditangkap. Jadi kalau Udin bekerja di situ, besok lusa pasti akan diciduk polisi. Wah, ampuh benar ucapan itu! Serta merta si Udin angkat kaki ketakutan. Yang kuherankan adalah sikap Nyonya Linda itu. Kalau dilihat kebiasaannya dari dulu, pasti dia akan memaki-maki si Udin dengan kata-kata kasar. Kok dia bisa ngomong manis, tapi mengena dengan jitu. Tidak herankah kau, Son?"
"Heran sih tidak, Cek. Nyonya Linda memang sudah berubah. Kini dia seorang wanita bisnis!"
"Kelihatannya memang begitu. Waktu kutanyakan, kenapa si Udin kurang ajar itu tidak diusirnya saja, dia menjawab dengan senyum. Katanya, orang seperti si Udin itu berbahaya. Bagaimana kalau si Udin dendam lalu berniat membunuh? Wah, pintar dia mencari akal," puji Cek A Piang.
Tiba-tiba Henson jadi membandingkan si Udin dengan dirinya sendiri. Kepadanya Nyonya Linda tidak segan-segan berlaku kasar. Pasti hal itu disebabkan karena ia dinilai tidak berbahaya. Pahit juga rasanya.
"Ngomong-ngomong, mau kauberi nama apa kedaimu itu?"
"Oh ya. Bagaimana kalau SOTO MEDAN, Cek?"
"Bagus! Jadi itu spesialisasimu?" "Ya, Cek."
"Dan Irma sudah setuju?"
"Ya. Kami sudah sepakat, Cek."
"Dia gadis yang baik, Son. Aku harap kau akan tetap menyayanginya sampai tua."
"Ya, Cek," sahut Henson terharu.
Tentu saja, ia menegaskan dalam hati. Kalau tak ada Irma di dunia, eh, di Jakarta, betapa akan hampa hidup ini!
***
Kembali Irma berhadapan dengan Nyonya Linda. Kali ini Irma-lah yang dipanggil.
"Bagaimana? Masih adakah angan-angan kawin itu di kepalamu?" tanya Nyonya Linda.
"Itu serius, Ma. Bukan angan-angan," sahut Irma jengkel.
"Baik. Kau memang serius. Dan aku tetap berat memberi izin. Tapi ada alternatif. Kalau kau ingin menerima sesuatu yang sebenarnya tidak pantas untukmu, maka kau harus juga mau memberi."
Irma memandang dengan perhatian penuh. "Katakan saja, Ma. Tak usah bertele-tele."
Nyonya Linda tersenyum. "Ya. Aku akan langsung ke tujuan. Aku akan memberimu izin kawin dengan Henson, tapi dengan syarat. Kau harus melepaskan hakmu atas warisan ayahmu!"
Irma terkejut. Lalu timbul perasaan muak. "Lantas untuk siapakah hak saya itu nanti?"
"Jelas itu nanti dibagi rata antara aku, Lili, dan Yeni. Jangan lupa mereka berdua itu tidak akan merasa senang dilangkahi olehmu. Masa kau yang paling kecil kawin duluan. Apalagi Yeni yang patah hati dan belum memperoleh pacar lagi. Dan aku? Sudah tentu kejengkelanku karena tiba-tiba punya menantu si Henson itu harus diberi pelipur." Nyonya Linda tertawa tanpa merasa risi.
Untuk sesaat Irma tak bisa berkata-kata. Perasaan muak itu mendesak-desak lambungnya.
"Kalau tidak mau, ya sudah. Soal itu tak usah dipikirkan lagi. Tapi kau harus sadar, bahwa aku memang tak mungkin memberimu izin kawin dengan Henson begitu saja. Kau harus mau berkorban. Kau harus merasakan juga pahitnya. Dan satu hal lagi. Kau pun bisa melihat reaksi si Henson. Apakah sesungguhnya dia mencintai dirimu ataukah hartamu?" kata Nyonya Linda tajam.
Sesudah rasa muaknya berangsur lenyap, Irma kembali harus bergulat mengatasi kesedihannya. Tapi ketika ia melihat tatapan ibunya yang keras, tanpa kelembutan dan rasa keibuan, perasaannya pun jadi ikut mengeras. Lenyap sudah segala kesedihan. Tidakkah baginya masih tersedia alternatif?
"Baik, Ma. Saya setuju," jawab Irma kemudian.
Nyonya Linda memandang heran sebentar. Jawaban yang tegas itu di luar persangkaannya. Setidaknya ia yakin Irma akan ragu-ragu atau minta waktu untuk berpikir. Ah, cinta membuat orang jadi dungu.
"Kalau begitu, nanti kusiapkan suratnya. Notaris akan kuhubungi. Sementara kau bisa minta Henson mengurus di Catatan Sipil. Kalian bisa segera kawin sesudah surat pengalihan hak itu kautandatangani."
"Baik, Ma."
Sesaat Nyonya Linda memandangi putrinya. Serasa anak ini bukan anaknya. Serasa orang lain. Bahkan Irma juga tidak merengek-rengek, memohon dan membujuk seperti layaknya sikap anak yang manja kepada ibunya. Barangkali Irma juga punya perasaan yang sama. Mungkin hal itu jadi mempermudah. Tidak perlu ada rasa iba.
"Tapi aku tidak pelit, Irma. Akan kuberikan sejumlah uang sebagai hadiah perkawinan dan kubiayai pula pesta perkawinanmu. Kau boleh menggunakan ruangan di sini untuk pestamu." "Saya tidak mau pesta, Ma." "Oh, itu terserah kau."
"Biarlah biaya untuk pesta itu Mama berikan saja pada saya," kata Irma tanpa malu-malu.
"Baik. Jadi yang akan kuberikan padamu adalah sejumlah..." Nyonya Linda menyebutkan jumlahnya.
Irma mengangguk. Ia -tahu jumlah itu sangat kecil, terlalu kecil bila dibandingkan dengan harta yang akan ia lepaskan. Harta ayahnya terbilang ratusan juta rupiah. Dan bila itu dibagi empat sesuai hak masing-masing, maka yang sepatutnya ia peroleh masih di atas seratus juta. Sedang hadiah yang mau diberikan untuknya tak ada seper-sepuluhnya. Tapi betapapun sedikitnya, uang itu berguna untuk dia dan Henson. Itu penting sebagai modal mereka sekarang. Bagi orang yang mau berusaha waktu menjadi sangat penting. Malah yang utama. Kalau kesempatannya adalah sekarang, maka selayaknya sekarang pulalah kerja itu harus dilaksanakan. Dan berbareng dengan itu tentu saja modalnya harus pula tersedia. Jadi, apalah artinya uang seratus juta kalau itu masih berupa angan-angan yang tak bisa segera dijadikan kenyataan.
"Tapi aku masih memberikan kesempatan berpikir -untukmu, Irma. Kalau ternyata salah, seumur hidup kau akan menyesal," Nyonya Linda mencoba menasihati. Sebagai seorang ibu ia toh berhak memberi nasihat dan peringatan.
"Saya sudah berpikir, Ma." Jawaban singkat itu cukup membuat nyonya Linda mengunci mulutnya.
***
Henson sedang sibuk mengecat di rumahnya yang baru ia tempati. Calon kedai makan miliknya yang nantinya akan merangkap sebagai rumah tinggal. Memang tidak besar. Dari luar pun kelihatan seolah terjepit. Tapi bentuknya memanjang hingga di belakang masih tersedia ruang untuk dijadikan kamar tidur, dan sedikit ruang untuk duduk-duduk.
Pada saat itulah Irma datang membawa berita perkembangan hubungan mereka yang paling akhir.
Henson bersorak kegirangan. Ia kembali jadi seperti anak kecil yang melompat tinggi-tinggi, lalu memeluk Irma erat-erat dan menghujaninya dengan ciuman kemudian mengajaknya menari berputar-putar. Irma yang semula tertegun-tegun jadi terbawa gembira. Sampai kemudian mereka terduduk kecapekan.
"Waduh, kau seperti orang menang undian saja, Son," kata Irma sambil menyeka peluhnya.
"Kegembiraanku lebih dari itu. Hei, kesinilah, Ir. Di sini kita bebas. Tak ada orang menonton," seru Henson sambil menepuk pahanya.
Irma duduk di pangkuan Henson. Lalu Henson memeluknya dengan lembut seolah dia anak kecil yang sedang ditimang. Bebera
↧
Cinta Sang Naga - 34
↧