Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta Sang Naga - 36

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf

Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes

mengalir masuk kelak.
 
  Ia mengajak Yeni berkunjung ke rumah Mama Gembrot. Tapi ternyata Mama Gembrot tidak di rumah. Kata penjaga rumahnya, Mama Gembrot sedang melakukan perjalanan ke Gunung Kawi. Untuk apa? Oh, itu merupakan kebiasaan rutinnya untuk membersihkan diri sekaligus memperdalam ilmu. Dan konon, sekembalinya dari sana penglihatannya akan menjadi lebih jernih dan ilmunya lebih sarat. Demikianlah tutur sang penjaga membesarkan hati Nyonya Linda yang kecewa.
 
  Dari hari ke hari ia cuma bisa menghitung omset yang masuk dengan perasaan cemas. Tapi ia berusaha menumbuhkan harapannya dengan menunggu kedatangan Mama Gembrot.
 
  Atas permintaan Nyonya Linda, Henson memasang iklan pernikahannya di koran dengan judul MENIKAH TAMASYA. Padahal semula Irma keberatan. Tapi ibunya memaksa. Iklan berjudul demikian perlu sebagai pemberitahuan bahwa mereka memang tidak mengadakan pesta, walaupun sesungguhnya mereka pun tidak berniat tamasya ke mana-mana.
 
  Bagi mereka berdua, hari-hari pertama sesudah pernikahan berarti langsung terjun ke dalam pekerjaan. Ikatan perkawinan membuat kerja sama menjadi lebih mudah dan tentu saja juga lebih mesra. Kesibukan dengan diisi suasana yang manis dapat menambah semangat kerja. Kelelahan pun cepat sirna.
 
  Kebahagiaan mereka bertambah dengan tibanya sepucuk surat kilat dari Pematang Siantar. Isinya adalah izin dan restu dari orang tua Henson. Me mang terlambat, tapi itu bukan persoalan. Apalagi syara t yang diminta pun kedengaran menyenangkan, yaitu, kalau mereka sudah beroleh rezeki harus segera datan g untuk diupacarai. Terutama bagi Irma, yang juga ingin dikenal semua orang. Tentu saja berita ini tambah memacu semangat.
 
  Sehari sebelum buka secara resmi, mereka mengundang Asrul bersama rekan-rekan sekerjanya dan tentu saja juga bersama pasangan masing-masing. Tapi ternyata hanya Asrul seorang yang tak membawa pasangan.
 
  "Yeni menolak waktu kuajak," alasannya.
 
  Tentu bukan tanpa maksud Henson melakukan hal itu. Ia ingin berpromosi. Sekalian mencoba kemampuan. Ternyata ia tidak gugup ketika melaksanakan tugasnya sebagai tukang masak. Sebagai hasil latihannya selama berhari-hari kedua tangannya sudah menjadi trampil dan cekatan. Tidak ada lagi keraguan mana yang mesti dicomot dan mana yang mesti diaduk. Tangan kanan dan kirinya berhasil menjalin kerja sama yang baik. Bahkan diawasi Asrul pun tidak membuatnya jadi gugup. Itu tentu penting. Memasak di depan selalu mengundang perhatian. Ia harus membiasakan diri.
 
  Dengan hanya menyediakan empat jenis masakan, di antaranya Soto Medan sebagai spesialisasinya, maka ia tidak terlalu repot. Apalagi masakan-masakan itu tergolong praktis, dalam arti tidak rumit membuatnya. Semua bahan sudah tersedia lebih dulu dalam keadaan siap pakai. Bila ada pesanan tinggal mengolah jadi satu. Kemudahan seperti itu penti ng buat seorang pemula.
 
  Sementara Henson mempersiapkan makanan, Irma bertindak sebagai nyonya rumah. Dengan lincah dan ramah ia melayani mereka. Sekali ia duduk di meja yang satu, lain kali ia pindah ke meja yang lain. Atau cukup berdiri saja. Dan selama itu ia cuma dibantu oleh tiga orang pelayan.
 
  Irma pun tidak memperlihatkan kegugupan, walaupun sebenarnya lututnya terasa gemetar. Pengalaman pertamanya itu sesungguhnya mencemaskan. Biasanya ia cuma duduk saja. Tapi kali itu ia harus bergerak. Dan ia pun harus bersikap, bicara, tertawa, atau tersenyum. Pendeknya ia tidak boleh diam seperti dulu. Dulu, ia bisa bersikap tak peduli kepada para tamu, bahkan memandang pun tidak. Paling-paling cuma tersenyum dan mengucapkan, "Terima kasih," di saat menerima uang pembayaran. Tapi saat sekarang tentu tidak mungkin. Toh ia melakukannya dengan senang. Sangat senang. Justru bergerak seperti itulah yang disukainya. Dan karenanya dapat menolongnya mengatasi kegugupan.
 
  Sesekali ia sempat melirik ke arah Henson. Di tengah kesibukannya sendiri ia masih ingat untuk memperhatikan. Apakah Henson merasa gugup dan perlu dibantu? Tapi beberapa kali ia bertemu pandang dengan Henson yang ternyata ikut-ikutan melirik ke arahnya. Henson pun nampaknya ingin tahu juga perihal dia. Sama-sama menyadari hal itu, keduanya jadi tersenyum.
 
  "Pasangan muda yang serasi," puji seseorang. "Dilayani oleh pengantin baru adalah pengalaman langka," goda yang lain.
 
  Para tamu tertawa. Dan Irma tersenyum dengan wajah memerah. Henson yang mendengarnya juga ikut tersenyum. Sementara Asrul yang kembali ke dekatnya untuk mengawasi kerjanya, melirik ke arah Irma, lalu nyeletuk, "Kau beruntung, Son!"
 
  "Ya. Aku memang beruntung. Tapi jalan untuk mencapainya tidak mudah, Rul."
 
  "Aku tahu."
 
  "Nanti giliranmu pun tiba."
 
  "Maksudmu Yeni? Entahlah. Cuma aku heran kenapa ia tidak serupa Irma. Yeni lebih mirip ibunya. Aku jadi takut."
 
  Henson tertawa. "Takut? Lho, kenapa?"
 
  "Wah, pura-pura. Kau seperti nggak kenal ibunya saja. Padahal kau pasti lebih kenal daripada ak u. Sangat kenal, bukan?"
 
  "Tapi Nyonya Linda menerimamu dengan baik."
 
  "Oh, itu dulu. Sekarang tidak lagi. Mungkin karena sekarang ia tidak lagi membutuhkan jasaku. Sikapnya jadi dingin. Bahkan ia pernah mengatakan Yeni tidak ada, padahal aku tahu dia ada."
 
  "Dan sikap Yeni sendiri bagaimana?"
 
  "Dia sih baik-baik saja."
 
  "Nah, katamu dulu yang penting itu gadisnya, bukan orang tuanya."
 
  "Tapi Yeni bukan Irma yang berani menentang."
 
  "Jadi?"
 
  "Entahlah. Aku jadi ragu-ragu. Kalau Yeni sendiri tidak berani menentang ibunya, bagaimana aku mampu berjuang sendirian? Lagi pula seperti yang kukatakan tadi itu, aku takut kalau-kalau
 
  Yeni menuruni sitat ibunya. Gejalanya ada, lho. Hii, ngeri ah."
 
  Henson tertawa. "Kalau begitu, mundur saja."
 
  "Ya. Mungkin itu akan kulakukan. Tapi aku kok senang memandanginya. Jadinya berat juga."
 
  Mereka tertawa berdua.
 
  Suasana perjamuan berlangsung akrab. Henson dan Irma ikut menemani dengan makan bersama. Dan sebentar-sebentar ada saja yang tawanya berderai. Ya, sepertinya mereka sedang menghadiri undangan pesta perkawinan Henson dan Irma, demikian kata Asrul. Semuanya setuju. Sementara yang bersangkutan hanya tersenyum tersip u-sipu.
 
  Mereka berdua menganggap acara itu telah berlangsung sukses. Para tamu memuji masakan mereka, sekalian mendoakan kesuksesan di masa mendatang.
 
  Esoknya, yang merupakan hari pertama dari hari kerja mereka, tidak tercapai hasil yang menggembirakan. Sepanjang hari sampai malam tamu yang datang tak melebihi jumlah jari tangan. Demikian esok dan esoknya lagi. Beda antara hari pertama dengan hari-hari berikutnya adalah tambahan satu dua orang. Jelas mereka yang baru datang itu kelihatan mau coba-coba dulu, entah karena iseng atau karena sudah bosan dengan makanan yang biasa mereka makan. Tapi Henson tidak berkecil hati. Sementara Irma juga tidak merasa heran. Mereka sudah siap menghadapi risiko di hari-hari pertama semacam itu. Justru mereka akan heran bila di hari-hari pertama itu tamu datang berjubel. Tidak apa-apa. Walaupun masih sedikit, tapi tidak ada penurunan jumlah tamu dibanding hari kemarin. Apalagi sampai minus. Sebaliknya ada peningkatan, meskipun cuma satu dua orang. Dan yang terasa menggembirakan adalah bila melihat tamu yang sama muncul kembali. Datang pertama kali dengan datang kedua kali, apalagi sampai ketiga kali atau lebih, tentu berbeda maknanya. Yang datang pertama kali cuma berniat mencicipi, tapi kalau dia sampai datang lagi lain kali maka itu pasti karena dia menyukai rasa yang dicicipinya itu. Apalagi kalau sampai berulang kali. Itu berarti seorang langganan tetap berhasil diperoleh. Bila hal. itu sampai terjadi, malam hari saat tinggal berdua mereka akan membicarakannya dengan penuh kebahagiaan. Padahal keuntungan belum bisa mereka nikmati. Bahkan membayangkannya saja pun belum berani mereka lakukan.
 
  Untung saja Henson sudah memiliki pengalaman. Dengan demikian perkiraannya tentang jumlah bahan yang harus ia sediakan tidak terlalu meleset. Penyediaan bahan terutama yang segar termasuk penting. Kalau terlalu sedikit, bisa jadi tidak cukup. Dan itu akan memalukan sekaligus mengurangi reputasi. Bahan harus komplet supaya mutu terjamin. Tapi sebaliknya kalau terlalu banyak, maka pasti akan terbuang sayang. Padahal jumlah tamu yang akan datang tidak pernah bisa diperkirakan. Bisa sedikit, tapi bisa juga banyak sekali.
 
  Pada hari Minggu pertama dari masa kerja mereka ada kejutan. Koran pagi yang diasuh Asrul beserta rekan-rekannya memuat cerita tentang kedai SOTO MEDAN. Bagaimana sepasang suami istri, pengantin baru pasangan pembauran, bekerja keras dengan penuh semangat dan optimisme. Dan bagaimana keduanya berusaha memberi pilihan baru bagi para penggemar makan. Rasa masakannya memang tidak terlalu baru, tapi akrab di lidah! Dan harganya pun bersaing! Pendeknya, secara keseluruhan isi cerita itu mengandung setengah informasi, setengah promosi.
 
  "Rupanya mengundang orang koran jadi masuk koran," seloroh Henson.
 
  "Kau tidak senang?" tanya Irma.
 
  "Sudah tentu senang. Kedai kita jadi terkenal ke seluruh Nusantara."
 
  "Aku pikir, sebaiknya untuk hari ini persediaan bahan ditambah, Son."
 
  "Tamu akan meningkat? Ya, kemungkinan begitu."
 
  "Berarti kerja keras buat kita." "Kau capek, Say?"
 
  "Ah, kau pasti lebih capek. Sehari-hari di depan api terus-terusan. Keringatmu bisa habis. Dan kakimu pegal-pegal."
 
  "Kalau takut capek, kita tak bisa maju." "Lho, kau duluan yang tanya aku." Sambil tertawa Henson meraih Irma ke dalam pelukannya. "Soalnya, orang yang kecapekan itu gampang marah-marah. Jangan, ya? Aku selalu ingat, kau belum biasa..."
 
  "Nah, mulai lagi. Itu artinya kau belum percaya padaku."
 
  "Oh, percaya kok. Aku sering memperhatikanmu diam-diam. Sejak dulu kau biasa gesit. Sekarang kebiasaanmu itu terbukti manfaatnya. Tapi kalau tamu kita bertambah banyak hal itu akan lebih nampak."
 
  "Apakah itu suatu pujian?"
 
  "Tentu saja."
 
  "Hem."
 
  Sesaat hening. Baru kemudian keduanya terlompat dengan kaget. Ah, kerja sudah menunggu!
 
  Ternyata benar juga perkiraan mereka. Hari itu jumlah pengunjung naik berlipat kali dibanding hari kemarin. Yang pasti jumlahnya melebihi jumlah jari kaki plus tangan. Tapi toh tidak sampai membuat mereka pontang-panting. Memang belum apa-apa. Itu merupakan akibat positif dari berita koran. Namun mereka sangat gembira. Hari itu mereka bekerja dengan semangat yang tinggi. Henson dengan wajah yang kepanasan hingga nampak merah padam, tapi penuh senyum dan kata-kata ramah saat ia menyilakan setiap tamu masuk sambil kedua tangannya tak henti bergerak. Sedang Irma juga memiliki rona merah di pipinya. Bukan karena make-up, tapi karena semangatnya itulah. Dia kerja rangkap, dari kasir, pembantu Henson kalau sesekali tenaganya dibutuhkan, sampai membantu melayani. Wajahnya berseri, senyumnya manis. Dan karenanya, dia merupakan daya tarik tersendiri.
 
  "Besok akan kutelepon Asrul untuk menceritakan pengalaman kita hari ini," kata Henson, saat mereka menikmati istirahat di malam hari.
 
  "Ya, sebaiknya begitu. Dan alangkah senangnya kalau tamu-tamu baru kita tadi akan datang dan datang lagi nanti. Ya, Son?"
 
  "Tentu saja, Sayang."
 
  "Kau bahagia?"
 
  "Sudah tentu. Dan kau?"
 
  "Ya, aku juga. Tapi lucu ya, betapa kemajuan yang kecil itu telah mampu memberikan kebahagiaan. Padahal bila dibandingkan dengan SANG NAGA..."
 
  "Oh, jangan dibanding-bandingkan. Yang ini adalah milik kita, hasil jerih payah kita, untuk kita berdua."
 
  Suasana menjadi hening. Ada saatnya kebahagiaan tidak hanya perlu dibicarakan, tapi yang penting juga dirasakan. Lalu keheningan terisi oleh desah napas. Rupanya, kebahagiaan juga bisa menyesakkan napas!
 
  ***
 
  Hari Senin esoknya, Cek A Piang datang berkunjung. Ia disambut oleh Henson dan Irma dengan hangat. Sebelumnya mereka memang sudah berpesan kepada Cek A Piang agar selalu menyempatkan datang setiap hari Senin, yang merupakan hari libur Cek A Piang.
 
  Begitu datang, Cek A Piang segera ditanyai masakan apa yang diinginkannya. Tanpa malu-malu ia memilih dan Henson langsung membuatkan. Lalu Irma yang membawakan ke mejanya.
 
  "Wah, wah, kayak tamu agung!" seru Cek A Piang.
 
  Irma tersenyum saja. Sedang Henson tak lama kemudian datang menemani. "Mumpung belum ada tamu," katanya.
 
  "Apakah masih sepi, Son?" tanya Cek A Piang prihatin. Saat itu ruang makan memang sedang


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423