Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta Sang Naga - 37

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf

Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka

kosong.
 
  "Ah, ini kan masih agak pagi, Cek."
 
  "Oh iya, aku lupa. Padahal aku memang sengaja datang saat begini supaya tidak mengganggu. Ada yang mau kuceritakan."
 
  "Cepat cerita dong, Cek," kata Irma antusias. Pasti cerita itu mengenai keadaan di rumahnya. Ia sangat ingin dengar, karena sampai saat itu belum ada seorang pun anggota keluarganya yang mau datang menjenguknya. Sedang ia sendiri belum sempat ke sana, karena kesibukannya menyita perhatian dan waktu.
 
  "Jangan, Ir. Biarlah Cek makan dulu," cegah Henson.
 
  "Nggak apa-apa. Aku sudah biasa makan sambil bicara," kata Cek A Piang sambil mengunyah. "Begini. Mamamu belakangan ini murung saja, Irma. Tamu SANG NAGA makin merosot
 
  jumlahnya dari hari ke hari. Aku banyak menganggur sekarang."
 
  "Seberapa banyak merosotnya. Cek?" tanya Henson.
 
  "Kayaknya sih banyak juga. Lebih banyak daripada dulu sesudah masakanku kemasukan kecoa itu. Heran, kenapa bisa begitu, ya."
 
  "Mama suka marah-marah?" tanya Irma.
 
  "Kelihatannya begitu. Tapi tidak padaku. Cuma dia pernah tanya baik-baik, apakah aku mengurangi bumbu kalau masak. Tentu saja kujawab tidak. Aku masak biasa saja. Sama seperti dulu. Lalu kukatakan padanya, bahwa tukang masak pun akan prihatin kalau masakannya tidak lagi disukai orang. Ya, jelas bukan cuma pemilik restoran saja. Sejak itu dia tidak lagi mengusikku. Cuma jelas kelihatan dia jadi cepat naik darah. Apalagi kudengar Lili mau kawin, karena pacarnya sudah mendesak terus. Ya, mau tunggu apa lagi sih."
 
  "Lantas apa yang mau dilakukan Mama, barangkali Cek tahu?"
 
  "Aku dengar dia mau berkunjung ke rumah Mama Gembrot."
 
  "Mama Gembrot?"
 
  "Ya. Aku pikir, itu tidak mengherankan. Cepat atau lambat, dia pasti akan ke sana. Tapi menurutku, dia sudah melakukan kesalahan. Mestinya sejak dulu-dulu dia melakukan hal itu. Yaitu sejak papamu meninggal. Tentunya pada saat itu keadaan sudah berubah. Banyak yang tidak cocok lagi. sayang baru sekarang hal itu dilakukan.
 
  Siapa tahu sudah terlambat," ucap Cek A Piang serius.
 
  "Terlambat?" tanya Henson dan Irma hampir berbarengan.
 
  "Ya. Habis Mamamu terlalu yakin sih pada mulanya. Melihat tamu yang datang tetap banyak, dikiranya nggak ada masalah. Padahal itu cuma permulaannya saja. Yang justru penting adalah belakangannya."
 
  "Tapi, kenapa terlambat, Cek?" tanya Irma penasaran.
 
  "Ah, kau nggak ngerti? Tentu saja terlambat, kalau Sang Naga keberuntungan sudah keburu pergi!"
 
  Henson dan Irma menatap bengong. Soal semacam itu tak pernah terpikir. Tapi, mungkinkah?
 
 
 
  -XVI-
 
 
 
  Di ruang tamu rumah Mama Gembrot sudah menunggu sekitar sepuluh orang. Di antaranya terdapat Nyonya Linda dan Yeni. Dan mereka sudah berada di situ selama kurang lebih setengah jam.
 
  Sebentar-sebentar Nyonya Linda memandang ke arah tirai tebal yang membatasi ruang itu dengan ruang di dalam. Kalau tamu yang tadi masuk melangkah ke luar, berarti tiba giliran mereka masuk ke dalam. Tapi tirai itu tak kunjung tersibak. Alangkah lamanya.
 
  Suasananya mirip ruang praktek dokter yang laris. Pada saat-saat tertentu orang yang menunggu bisa memenuhi ruangan. Dan kalau demikian, menunggu selama berjam-jam harus dilakoni.
 
  Nyonya Linda berusaha menyimpan kegelisahannya. Dalam kesunyian padahal tak sendirian itu suasananya jadi menegangkan. Orang-orang yang hadir menutup mulutnya rapat-rapat. Rupanya masing-masing memiliki kecenderungan yang sama. Yaitu, tak ingin masalahnya sampai diketahui orang lain. Entah rasa malu, atau takut macam-macam yang jadi penyebabnya. Itu kira-kira sama dengan misteri yang menyelubungi rumah itu, dan terutama pemiliknya, Mama Gembrot. Jawaban-jawaban yang ia berikan, entah itu berupa nasihat, petunjuk, ataupun saran, sering kali tak pernah bisa ditebak sebelumnya. Bahkan bisa jadi mencengangkan. Tapi orang yang percaya akan mematuhinya seolah dia dewa maha tahu.
 
  Kadang-kadang orang yang kurang mengenalnya, pada perjumpaan pertama terdorong menyebutnya "Encim". Mungkin karena menganggap panggilan itu lebih cocok. Tapi orang yang tahu akan menghindari panggilan itu. Mama Gembrot lebih suka dipanggil "Mama". Tak peduli yang memanggilnya itu lebih tua daripadanya. Karena itu semua orang ikut-ikutan menyesuaikan diri. Membuat hati Mama Gembrot senang tentu mendatangkan keuntungan tersendiri. Siapa tahu dengan hati yang senang itu ia mampu lebih berkonsentrasi hingga menghasilkan petuah dan saran yang ampuh pula. Persoalan rezeki sudah tentu bukan persoalan main-main. Bahkan bagi orang-orang tertentu hal itu bisa dianggap sebagai persoalan hidup atau mati.
 
  Tapi bagi nyonya Linda, semestinya tidak perlu separah itu. Toh ia menganggap kesulitannya sekarang ini sebagai sesuatu yang sangat mengganjal. Melenyapkan kebahagiaan. Mengganggu perasaan. Bahwa dia sudah mempunyai banyak juga tidak bisa melipur dan menghibur.
 
  Ia terus menatap ke arah tirai. Sementara Yeni di sebelahnya duduk terkantuk-kantuk. Beberapa kali ia ingin mengajak ibunya bercakap-cakap, tapi setiap kali disuruh diam. Orang lain kan tak ada yang bicara. Salah-salah, siapa yang bicara bisa membuka rahasia sendiri.
 
  Akhirnya, tirai tersibak. Seorang laki-laki setengah tua keluar dengan wajah cerah. Lalu Nyonya Linda melompat dari duduknya, setengah menyeret Yeni yang tidak segera menyadari bahwa giliran mereka sudah tiba.
 
  Di dalam, seorang pembantu wanita menyilakan mereka duduk karena Mama Gembrot masih berada di kamar. Kembali mereka menunggu. Tapi kali ini lebih santai, karena di ruang duduk yang ber-AC itu mereka cuma berdua. Si pembantu sudah pergi entah ke mana.
 
  Nyonya Linda menoleh ke belakangnya. Pintu kamar yang nampak sebagian jelas tertutup rapat. Kamar itulah kamar Mama Gembrot. Tapi ia tak bisa lama-lama memandang ke belakangnya. Lehernya pegal. Sedang letak kursi diatur begitu rupa hingga mereka yang duduk memang tak bisa memandang lurus ke arah kamar itu.
 
  Yeni menyenggol pelan. "Kok lama bener sih, Ma. Jangan-jangan dia tidur dulu," bisiknya.
 
  "Hus. Ngomong sembarangan," bisik Nyonya Linda juga. Ia memandang ke sekitarnya dengan khawatir. Siapa tahu dinding-dinding bisa menyampaikan pembicaraan orang kepada Mama Gembrot. Kalau sampai Mama Gembrot marah dan tidak mau peduli lagi walau dibayar berapa pun...
 
  Tiba-tiba lantai serasa bergoyang. Apakah ada gempa bumi? Ah, tidak. Nyonya Linda yang sudah berpengalaman tidak kaget lagi. ia tahu apa penyebab getaran itu. Sesuatu yang sangat berat sedang menapaki lantai. Dialah Mama Gembrot.
 
  Seorang wanita dengan ukuran tubuh super muncul bagaikan bayang-bayang raksasa. Nyonya Linda segera berdiri sambil menarik Yeni untuk berdiri juga. Lalu ia mengangguk hormat. "Selamat siang, Mama."
 
  "Selamat siang, Nyonya-nyonya."
 
  Spontan bibir Yeni mencuat ke depan mendengar dirinya dipanggil Nyonya. Tapi melihat lirikan ibunya ia terpaksa tersenyum.
 
  Mama Gembrot memiliki wajah sebundar tubuhnya. Kedua matanya nampak seperti celah sempit terdorong oleh pipinya yang tembem. Dan kalau ia tersenyum pasti kedua matanya tertutup, hingga sepintas lalu ia kelihatan seolah tak punya mata.
 
  Nyonya Linda segera menyampaikan masalahnya. Dan Mama Gembrot mendengarkan dengan penuh perhatian. "Bawa fotonya?" ia bertanya kemudian.
 
  Nyonya Linda mengangguk seraya membuka tasnya. Ia sudah paham. Dikeluarkannya beberapa foto. Di antaranya terdapat foto keluarga, lengkap bersama suaminya sewaktu masih hidup. Kemudian foto-foto berbagai ruang di rumahnya. Tentu saja tak ketinggalan termasuk foto ruang makan restoran.
 
  "Jadi yang dulu tak pernah ada perubahan?" tanya Mama Gembrot.
 
  "Tidak ada, Mama."
 
  Kemudian Mama Gembrot menatap kedua tamunya silih berganti. Lama ia memperhatikan, membuat kedua tamunya itu resah. Dari celah sempit di wajah bundar itu seperti memancar sesuatu yang tajam menusuk. Baru setelah Mama Gembrot bersuara lagi mereka merasa lega.
 
  "Baiklah. Tunggu sebentar, ya," kata Mama Gembrot sambil bangkit berdiri. Ia membawa serta semua foto tadi, lalu pergi menuju kamarnya. Pintu kamar tertutup. Dan keadaan menjadi sunyi kembali.
 
  nyonya Linda tidak merasa heran. Tapi Yeni mengeluh dalam hati. Menunggu lagi.
 
  Tapi mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Kembali lantai bergoyang disusul dengan munculnya Mama Gembrot. Di tangannya terdapat foto-foto tadi berikut sehelai amplop putih panjang yang tutupnya dilem.
 
  "Ini jawaban saya," kata Mama Gembrot sambil menyerahkan amplop itu.
 
  Nyonya Linda menerimanya dengan khidmat. "Cuma ini saja, Mama?"
 
  "Ya," jawab Mama Gembrot agak dingin. Kelihatannya ia segan bicara atau memang tak ingin berpanjang-panjang.
 
  "Berapa, Mama?" tanya Nyonya Linda. "Tak usah bayar."
 
  "Oh, tak usah?" Nyonya Linda terkejut. Padahal ia sudah membawa uang banyak. Diam-diam ia merasa cemas. Bukankah yang murah, apalagi yang gratis, biasanya kurang bermutu?
 
  "Ya. Tak usah."
 
  "Tapi..."
 
  "Sudahlah. Masih banyak yang menunggu," Terpaksa Nyonya Linda berdiri dengan perasaan kurang enak.
 
  "Terima kasih, Mama," katanya sambil membungkuk.
 
  "Dan itu dibacanya di rumah saja." "Baik, Mama."
 
  Mereka berdua pulang ke rumah dengan membisu. Yeni tak ingin mengajak bicara. Melihat roman ibunya ia sudah ngeri. Alamat kurang baik. Jadi lebih aman diam. Ia toh sudah senang berada di rumah kembali. Tapi ia juga ingin tahu. Lalu menunggu dengan sabar sampai ibunya merobek amplop dan membaca isinya.
 
  Nyonya Linda mengeluarkan sehelai kertas bertulisan. Dan segera saja keningnya berkerut dalam. Tulisan tangan di kertas itu rapi dan indah. Isinya tak banyak. Ah, sebuah sajak. Tapi, buat apa segala sajak untuknya? Namun ia terpaksa membaca. Sekali. Dua kali. Beberapa kali.
 
  Kemudian wajahnya menjadi pucat. Ada ekspresi kaget di situ. 1 alu ia terduduk lemas. Dan kertas itu pun melayang jatuh ke lantai. Tapi tak lagi dipedulikannya. nyonya Linda menangis lirih sambil menutup muka dengan kedua tangannya.
 
  Yeni memandang terheran-heran. Tanpa membuang waktu untuk bertanya-tanya kepada ibunya ia segera menubruk kertas itu. Dibacanya dengan bernafsu.
 
 
  Waktu berlalu
 
  Sang Naga terlelap dalam damai Dia tidak tahu
 
  Dengki dan dendam membuat cerai-berai
 
  Dia memang tidak tahu
 
  Damai yang ada cuma semu
 
  Sang Naga berseru geram
 
  Akan aku tinggalkan
 
  Sarang nyaman yang tak lagi tentram
 
  Ternoda bangkai mengerikan
 
  Tapi bukan cuma itu
 
  Cintaku hanya pada si Bungsu!
 
 
 
  Seperti ibunya, Yeni perlu membaca ulang beberapa kali sebelum dapat menangkap makna tulisan itu. Lalu ia memandang heran pada ibunya yang masih saja menangis sesenggukan.
 
  "Oh, si Bungsu, ya? Jadi si Irma?" gumam Yeni.
 
  Kata-kata itu membuat isak Nyonya Linda lebih keras.
 
  "Tapi, mana mungkin sih, Ma? Masa naga bisa jatuh cinta pada manusia? Omong kosong itu!"
 
  "Itu kan cuma perumpamaan, tolol! Tahu nggak artinya? Itu artinya rezeki kita ada pada si Irma!
 
  Dialah pembawa rezeki. Tapi kubiarkan dia pergi! Oh..." Nyonya Linda meledakkan lagi tangisny a. Yeni cuma bisa ternganga.
 
  ***
 
  Pagi itu Irma sendirian di rumah karena Henson sedang berbelanja bahan-bahan. Para pembantunya yang tidak tinggal di dalam belum datang karena memang belum waktunya. Ketika itulah ia menerima tamu yang tak disangka dan tak terduga. Nyonya Linda.
 
  Hal yang tidak biasa itu membuat Irma seolah terjaga dengan kewaspadaan. Nalurinya mengatakan, ibunya datang bukan untuk memberinya kehangatan. Jadi wajah ibunya yang manis dan sikapnya yang ramah itu justru membangkitkan rasa herannya. Ia merasa kaku dan tidak spontan.
 
  "Oh, Mama. Apa kabar, Ma?" ia bertanya canggung.
 
  "Baik. Dan kau sendiri?"
 
  "Baik juga, Ma." Irma menunggu pertanyaan ibunya tentang Henson, tapi ternyata tidak ada. Mestinya ibunya juga menanyakan kabar tentang Henson, bukan tentang dirinya sendiri saja.
 
  "Syukurlah kalau baik-baik saja. Dan bagaimana usahamu?" tanya Nyonya Linda sambil memandang berkeliling. Baru pertama kalinya itulah ia datang ke situ. Diam-diam ia merasa senang melihat kesederhanaan tempat itu. Ini memang sebuah kedai, bukan restoran!
 
  "Lumayan, Ma."
 
  "Oh, lumayan? Sudah banyak tamunya? Apa tempat ini selalu penuh?"
 
  "Penuh sih tidak. Ma. Tapi dibilang sepi juga nggak. Sedang-sedang begitulah."
 
  "Ada untungnya?"
 
  "Ada, Ma. Tapi cuma sedikit. Habis untuk makan."
 
  "Yah, cuma sedikit?" tanya Nyo


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

Trending Articles

<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>