Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Jingga Dalam Elegi - 1

$
0
0
Cerita Remaja | Jingga Dalam Elegi | by Esti Kinasih | Jingga Dalam Elegi | Cersil Sakti | Jingga Dalam Elegi pdf

5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee Lestari Gadis Pantai - Pramoedya Ananta Toer Pendekar Rajawali Sakti - 107 Titisan Anak Setan

Jingga Dalam Elegi
 
  karya : Esti Kinasih
 
 
 
 
  Ini bukan lagi sekadar terror. Ini teror yang sudah bisa dikategorikan mengarah ke pembunuhan. Tidak dalam bentuk tindak kekerasan secara langsung, tapi dalam bentuk serangan jantung. Ari tidak mau menunggu lama. Dua mata sembab pagi itu melekat kuat di dalam kepala dan terus menyiksanya. Karenanya, selama sepasang bibir itu belum menjelaskan penyebabnya, dirinya tidak akan pernah bisa tenang. Dan Ari sudah terkenal tidak akan berkompromi terhadap siapa pun yang membuat dirinya tidak tenang. Hari ini, dua hari setelah menerima SMS ancaman dari Ari, Tari terdiam di ruang kelasnya yang langsung kosong begitu bel istirahat berbunyi lima menit yang lalu. Dia belum mendapatkan petunjuk apapun kecuali rasa cemas dan sederet tanda tanya tanpa jawaban. Tiba-tiba ponselnya di saku kemeja bergetar. Tari terlonjak. Dikeluarkannya benda itu. SMS masuk, dari Fio.
 
  Tar, bruan. Soto lo kburu dingin nih. SMS kak ari smntra gak ush dipkrin dulu deh. Tari langsung ingat, tadi dia meminta Fio memesankan semangkuk soto ayam dan berjanji akan segera menyusul. Tari berdiri dan bergegas ke luar kelas. Tapi belum sampai dua meter ditinggalkannya pintu kelas, langkah-langkah cepatnya sontak terhenti. Oji melompat dari tepi koridor, tempat cowok itu berdiri dengan punggung menyandar di dinding, entah sejak kapan, lalu berdiri tepat di tengah-tengah koridor. Setelah beberapa detik menatap kaki tangan Ari itu dengan keterkejutan, Tari balik badan. Tapi kali ini lebih parah. Kakinya bahkan belum sempat melangkah,untuk kedua kalinya tubuhnya menegang. Tak jauh di depannya, Ridho berdiri menjulang. Tari menelan ludah. Dia melangkah mundur sampai punggungnya menyentuh tembok pagar pembatas koridor.
 
  "Kakak berdua kenapa sih?" Tanya Tari, berusaha tetap terlihat tenang. Tak satu pun dari kedua cowok yang saat ini sedang memblokir jalannya menjawab. Keduanya menjalankan aksi mereka tanpa bicara. Oji menghalangi jalan dengan sikap berlebihan. Kedua tangannya terentang lebar-lebar. Nyaris menyentuh lebar koridor dari ujung ke ujung. Seolah-olah Tari adalah buronan berbahaya yang paling dicari dan selama ini punya catatan sebagai tukang kabur. Sedangkan Ridho, meskipun terlihat santai, hanya memblokir dengan tubuhnya, kedua tangannya bahkan terlipat di depan dada. Tari tahu dengan pasti, separuh lebih jarak koridor yang terbuka lebar itu sama sekali bukan jalan bebas hambatan untuk lari. Tari berdecak kesal. Seketika dia urungkan niatnya untuk ke kantin, karena memang tidak mungkin bisa dicapainya tempat itu. Dia melangkah cepat menuju pintu kelas. Tapi mendadak pintu itu terayun lalu menutup rapat. Tari terperangah. Seketika langkahnya terhenti. Ternyata selama ini daun pintu itu menyembunyikan Ari di baliknya. Tari menelan ludah. Perlahan kedua kakinya melangkah mundur, bersamaan dengan kedua kaki Ari melangkah mendekatinya. Tari terus mundur, sampai tembok pagar koridor menghentikan usahanya merentang jarak, dan langkah-langkah Ari kemudian menelan habis sisa jarak yang terentang diantara mereka berdua. Benar-benar habis karena Tari bisa merasakan kedua ujung sepatunya bersentuhan dengan kedua ujung sepatu Ari. Cewek itu menempelkan punggungnya rapat-rapat ke tembok di belakangnya, usaha terakhir yang bisa dilakukannya untuk menciptakan rentang jarak. Ari menatap cewek di depannya. Dengan senyum di kedua matanya, tapi tidak di bibirnya. "Jadi, siapa yang udah bikin lo nangis waktu itu? Angga bukan? Kok gue belom denger pengakuan elo nih?" tanyanya, menciptakan desir hawa dingin yang membuat tubuh Tari menggigil. Tari mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Sebenarnya dia pengin teriak, memerintahkan Ari agar enyah dari hadapannya. Tapi dipaksanya untuk menahan diri, karena ada dua alasan Tari malas jadi pusat perhatian. Pertama, perutnya lapar. Kedua, banyak pikiran. Bukan hanya karena hari ini ada banyak ulangan-tiga mata pelajaran!-tapi juga karena SMS ancaman dari monyet di depannya ini. dan belum juga Tari menemukan solusinya, orangnya keburu nongol di hadapan.
 
  "Kenapa? Hmm...?" Tanya Ari lagi, setelah menunggu beberapa saat dan kedua bibir seksi cewek di hadapannya ini tidak juga terbuka. Yang menjawab adalah sepasang mata Tari yang seolah meletupkan nyala api.
 
  "Lo takut ngaku? Atau lo lagi ngarang cerita untuk pengakuan itu? Atau lo emang nggak mau ngaku?" diberinya Tari multiple choice. Tapi argument yang kemudian mengikutinya membuat darah Tari tambah mendidih.
 
  "Yang pertama, wajar. Emang harus gitu. Lo harus takut sama gue karena gue kan penguasa sekolah. Yang nggak takut sama gue, berarti nantang. Yang kedua, kalo lo berani ngarang-ngarang cerita bohong, berarti lebih dari nantang. Lo ngajak ribut. Dan yang ketiga...," Ari menggantung kalimatnya. Kedua matanya menyipit tajam.
 
  "Dan yang ketiga, kalo emang bener begitu." lagi-lagi Ari menahan kalimatnya. Kali ini diikuti dengan dia tundukkan kepalanya rendah-rendah, membuat Tari reflex menarik kepalanya jauh-jauh ke belakang.
 
  "Lo cari mati!" Ridho menahan senyum. Untuk Ari, melakukan kekerasan fisik terhadap cewek adalah pantangan. Hukumnya mutlak. Tapi untuk kekerasan verbal, batasannya sangat bias. Ari akan menempatkan cewek di posisi yang sejajar dengan cowok kalu menurutnya tuh cewek ndableg. Setelah mengucapkan ancaman itu, Ari kembali mengakkan kepalanya.
 
  "Waktu lo tiga hari. Terhitung mulai hari ini." Kemudian sang pentolan sekolah itu mundur selangkah dan meninggalkan Tari. Kedua sobatnya la ngsung menyusul. Tari menatap ketiga cowok itu denga n gigi-gigi gemeretak. "Lo kira lo bisa maksa gue!?" desi snya.
 
  "Lo salah orang!" Ponselnya di saku kemeja menjeritkan ringtone. Menyentakkan kedua mata Tari dari sosok Ari yang semakin jauh. Dikeluarkannya benda itu dari saku kemeja. Fio memanggil. "Tar, soto lo keburu dingin nih. Ngapai aja sih? Udah gue bilang..." kalimat Fio mendadak terhenti. "Ada Kak Ari!" bisiknya kemudian dengan nada tegang. "Sama jongos-jongosnya. Waduh, kayaknya gawat nih!"
 
  "Iya, emang gawat. Makanya buruan lo pergi dari situ."
 
  ***
 
  "Tiga hari, terhitung dari hari ini. berarti lusa dong?" gumam Fio. Tari mengangguk. Mukanya cemberut. "Terus rencananya lo mau bikin pengakuannya kapan? Maksud gue, pagi sebelom pelajaran dimulai, pas jam istirahat, atau pas pulang sekolah? Terus, di mana lokasinya? Saran gue sih, setelah pulang sekolah aja, Tar. Tapi jangan di sekolah. Di luar aja. Soalnya yang ekskul suka pada sampe sore. Sampe malem malah."
 
  "Emangnya siapa yang mau ngaku sih?" kontan Tari memelototi Fio.
 
  "Ngapain jug ague mesti ngaku sama dia? Emang dia siapa gue? Pacar bukan. Gebetan bukan. Bapak gue, jelas bukan. Kakek gue apalagi! Dan dia juga nggak bayarin SPP gue. Dia juga nggak ngasih gue uang jajan. Terus, apa urusannya gue mesti ngaku?" Fio menghela napas lalu mengembuskannya kuat-kuat. Dilanjut dengan garuk-garuk kepala. Bukan karena gatal, tapi karena senewen. "Kalo sama Kak Ari tuh nggak perlu alasan, lagi. Semua tindakannya malah bisa dan boleh tanpa alasan." "Bodo! Pokoknya gue nggak bakalan ngaku."
 
  Tekad baja yang Tari banget. Karenanya, Ari bisa membacanya dengan mudah. Keesokan paginya, jam enam lewat sedikit, pentolan sekolah itu sudah nongkrong santai di atas motor hitamnya yang diparkir di tempat biasa. Dikeluarkannya ponsel dari saku celana. "Ji, dapet nggak?"
 
  "Dapetlah. Tapi kayak begitu doang."
 
  "Sesuai sama kriteria yang semalem gue sebutin, kan?"
 
  "Iya."
 
  "Bagus."
 
  "Nggak pa-pa nih, Ri?" suara Oji berubah cemas. "Nggak pa-pa. paling-paling tu cewek pingsan doang."
 
  "Yah, itu maksud gue. Pasti bakalan gempar lagi deh. Apalagi di koridor utama. Mendingan di koridor depan kelasnya aja. Kayak kemaren. Gimana ?"
 
  "Nggak seru, tau! Lo kenapa sih? Tumben cerewet banget?" Di seberang, Oji nyengir kuda. Sadar dirinya sudah melanggar batas hierarki.
 
  "Gue Cuma takut tu cewek ntar kenapa-kenapa.?"
 
  "Gue yang tanggung jawab kalo ntar dia kenapa-kenapa." Tegas Ari tapi dengan nada kalem. "Apa kata lo deh," akhirnya Oji pasrah.
 
  "Ya emang harus gitu. Buruan lo. Ntar keburu tu cewek nongol duluan."
 
  "Iya. Ini juga udah otewe." sepuluh menit setelah Oji sampai di sekolah, Tari memasuki gerbang. Baik
 
  Ari maupun Oji, keduanya langsung bergerak.
 
  "Gue duluan..." Oji melangkah cepat menuju koridor utama.
 
  "Oke!" Ari mengacungkan jempol kanannya. Bibirnya mengembangkan senyum lebar. Melihat itu, Oji pergi sambil geleng-geleng kepala. Tari berjalan memasuki gerbang sekolah masih dengan tekad sekuat baja, meskipun dalam hati dia ketar-ketir juga. Akan dihadapinya ancaman Ari. Karena menurutnya itu sudah penindasan dan penjajahan terhadap kebebasan pribadi. Masa orang harus lapor ke dia, pacaran sama siapa. Enak aja! Sayangnya Ari tahu dengan pasti bagaimana cara melunakkan baja itu. Bahkan menghancurkannya sama sekali. Dengan cara yang sudah bisa dimasukkan dalam kategori sadis, karena mampu mengosongkan sekolah dari semua isinya yang bergender cewek. Baik siswi, staf administrasi, maupun guru-guru. Tapi bagusnya, tidak bisa dikategorikan sebagai tindak kekerasan. Karenanya Ari merasa aman. Sadis, tapi aman! Ari tersenyum tipis. Dengan kedua tangan berada di dalam saku celana, dia melangkah perlahan meninggalkan area parkir motor. Sementara itu Tari berjalan memasuki koridor utama tanpa kewaspadaan terhadap sekelilingnya. Benaknya disesaki seribu strategi untuk menghadapi peperangan besok. Besok dirinya akan datang mepet waktu. Kalau perlu satu detik menjelang bel. Dan selama dua kali jam istirahat, dia akan menyembunyikan diri di gudang. Makanya besok mau nggak mau harus bawa bekal. Jadi begitu bel istirahat berbunyi, dia bisa langsung kabur ke gudang. Nggak perlu beli logistic dulu ke kantin, karena itu berbahaya banget. Besok setiap detiknya akan benar-benar berbahaya dan menentukan keselamatan. Nggak waspada sebentar saja akan menjadi kekalahan total, berupa penjajahan, minimal satu tahun ke depan.
 
  "Dateng pas udah mau bel. Berarti besok gue berangkatnya agak siangan aja. Atau nongkrong dulu di halte. Kak Ari kan naik motor. Jadi kecil kemungkinan bakalan ketemu dia di halte," gumam Tari sambil berjalan menapaki lantai koridor utama.
 
  "Terus, bekalnya gue minta Mama masakin apa ya? Atau gue beli roti aja?" Tiba-tiba kedua mata Tari berbinar.
 
  "Ah, iya! Gue minta Mama masakin sambel goreng ken..."
 
  "HIIIYYY!!!" Visual lauk terfavorit Tari, sambal goring kentang, seketika lenyap dari dalam kepalanya. Digantikan pemandangan paling mengerikan yang pernah dia saksikan. Besar. Gemuk. Abu-abu gelap bebercak-bercak. Lunak. Dan menggeliat! Jarak yang teramat dekat ditambah dengan geliat yang menandakan itu cicak hidup, cicak betulan, dan bukan cicak jadi-jadian apalagi cicak dalam khayalan, membuat Tari hanya bisa terperangah. Langkahnya seketika terhenti dan dia membeku di tempat, dengan mulut ternganga, mata terbelalak, dan mka pucat pasi. Tari tak mampu menjerit karena binatang paling menjijikkan itu berada terlalu dekat. Kurang dari satu meter. Seketika tubuhnya jadi lemas. Ari, yang langsung membayangi dalam jarak yang hanya dua meter di belakang Tari begitu cewek itu memasuki koridor utama tadi, segera menangkap tubuh lemas itu dengan kedua tangan. Diikutinya gerak tubuh yang kemudian meluruh jatuh itu. Dengan menyangga tubuh Tari, Ari melemahkan gaya gravitasi yang mencengkeram Tari dalam tarikannya. Hingga kerasnya lantai koridor yang menyambut kemudian tidak sampai melukai cewek itu. Hati-hati Ari mendudukkan Tari di lantai. Kemudian Ari berlutut di sisi Tari, menyangganya dengan tangan kirinya. Ari langsung memajukan tangan kirinya hingga lengan atasnya membentuk sudut, untuk memaksimalkan fungsi tubuhnya sebagai penyangga, karena bisa dia rasakan tubuh Tari benar-benar lemas. Seperti tanpa satu ruas pun tulang di dalamnya. Oji ikut berlutut, tidak jauh di depan keduanya,. Kelima jari tangan kirinya mengurung seekor cicak besar, hingga tak seorang pun melihat penyebab utama Tari kehilangan kekuatan tubuhnya. "Kasar lo, Ji, bercandanya," tegur Ari. "Hehehe..." Oji meringis tertawa. "Kan Bos yang nyuruh?" "Emang gue yang nyuruh?" Ari belagak mikir.
 
  "Oh, iya, betul. Gue yang ngasih perintah tadi malem ya." Ari mengangguk-angguk, belagak baru ngeh. Berdiri di antara kedua s

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>