Cerita Remaja | Jingga Dalam Elegi | by Esti Kinasih | Jingga Dalam Elegi | Cersil Sakti | Jingga Dalam Elegi pdf
Pendekar Mabuk 41 - Penguasa Teluk Neraka Arok Dedes - Pramoedya Ananta Toer Cinta Sang Naga - V. Lestari Esti Kinasih - Fairish Strangers by Barbara Elsborg
obat karibnya, Ridho geleng-geleng kepala sambil ketawa pelan. "Anak orang tuh, kalo kenapa-napa, lo berdua mau ngomong apa ke emak-bapaknya?" Kali ini Ridho emang nggak terlibat. Kemarin itu pun dia nggak bisa dibilang terlibat. Karena tujuan utamanya adalah soto ayam di kantin kelas sepuluh. Kebetulan aja rute menuju ke sana melewati kelas Tari. Dan Tari seenaknya aja narik kesimpulan bahwa Ridho terlibat. Padahal kemarin kalau Tari mau kabur, bisa kok. Nggak akan dihalangi. Dengan catatan, kaburnya bukan ke arah Oji apalagi Ari. Pembicaraan selanjutnya antara kedua sahabatnya itu tambah bikin Ridho geleng-geleng kepala. "Semalem Bos malah nyuruh pake tokek atau nggak kadal. Ini udah gue kecilin Bos. Jadi pake cicak. Coba kalo beneran pake tokek atau kadal, bisa-bisa sekarang ni cewek udah mati, kali." "Ya yang kecil aja. Anaknya, gitu."
"Anak kadal sama cicak juga masih gedean anak kadal, Bos."
"Itu juga udah gue kecilin, Ji. Tadinya malah gue mau nyuruh elo pake komodo atau buaya." "Kalo dua itu mah namanya bukan ngerjain lagi, Bos!" Oji melebarkan kedua matanya. "Tapi ngumpanin!" Tawa geli Ridho meledak.
"Sadis lo berdua!" Dia geleng-geleng kepala lagi. Tari siuman. Pembicaraan barusan seketika menyadarkan Tari, orang yang sedang melindunginya saat ini adalah orang yang juga memerintahkan ini terjadi. Tari bergerak ingin bangkit, tetapi tangan Ari yang sejak tadi menyangga punggung Tari langsung bergerak. Melintang di bawah kedua bahu Tari, tangan kiri itu menarik tubuh Tari sampai merapat ke tubuh Ari kembali. Tangan kanan Ari yang sejak tadi menganggur diam ikut bergerak saat dia rasakan tubuh yang saat ini tengah dipeluknya dengan paksa itu melakukan pemberontakan. Kesepuluh jari Tari langsung mencekal kedua lengan Ari kuat-kuat, berusaha melepaskannya, tapi pelukan Ari justru semakin menguat. Ari menekan tubuh Tari semakin rapat ke tubuhnya sendiri. Kemudian cowok itu menundukkan kepalanya ke satu sisi kepala Tari, rendah-rendah.
"Gue dapet firasat, kayaknya besok lo bakalan buron," bisiknya. Pemberontakan Tari langsung terhenti. Ari menatap pelipis, ujung alis, dan keseluruhan sisi wajah Tari. Kemudian dia dekatkan bibirnya ke telinga Tari.
"Betul, kan?" bisiknya lagi. Tari menggigit bibir. Dia jauhkan kepalanya, karena hangat napas Ari betul-betul terasa. Tapi kepala Ari mengejarnya. Cowok itu tersenyum tipis. Dia kerucutkan bibirnya, lalu ditiupnya telinga Tari. Tari tersentak. Serentak dia menoleh dan menatap Ari dengan mulut ternganga terperangah dengan tindakan Ari barusan. Satu dari dua mata di wajah yang begitu dekat itu justru memberinya kedipan lambat. Mencipta rona merah yang kemudian menjalari keseluruhan wajah Tari. Buru-buru cewek itu memalingkan muka kea rah lain, satu-satunya usaha menghindar yang masih bisa dilakukannya. Melihat kelakuan Ari, Ridho geleng-geleng kepala. Ridho kemudian membungkukkan punggungnya rendah-rendah, menyejajarkan mukanya dengan muka Tari. "Mendingan lo ngaku aja deh, Tar," sarannya. "Soalnya ni orang.," ditunjuknya Ari dengan dagu, "psycho." setelah mengatakan itu, dia tegakkan kembali punggungnya.
"Dengar apa yang Ridho barusan bilang?" bisik Ari. "Dia termasuk orang yang paling tau gue." Tari tidak menjawab. Dia tundukkan kepala rendah-rendah. Berusaha menyembunyikan mukanya yang merah padam dari pandangan begitu banyak mata yang saat ini tengah menatap mereka dari segala penjuru. Tak ayal, untuk kali yang tak terhitung lagi, keduanya kembali menjadi sesuatu yang manis untuk dilihat. Adegan itu seketika membekukan semuanya. Saat itu juga menghentikan langkah siapa pun di tempat mata mereka menangkapnya. Tari yang lemas dan pucat pasi. Dan Ari yang menyangganya dengan seluruh tubuh dan rentang kedua tangannya. Benar-benar pemandangan yang menghangatkan pagi.
Fio langsung terbirit-birit keluar kelas dan lari turun begitu Nyoman memberitahu via telepon. Hanya Fio yang tahu pasti, pemandangan yang dilihat Nyoman sama sekali tak seindah yang terlihat. Bahkan bisa dipastikan bertolak belakang. Pasti, lagi-lagi ini bentuk "penganiayaan" Ari terhadap Tari. Sayangnya, seperti semua orang yang terpaku menatap pemandangan itu, Fio tidak bisa menemukan penyebab Tari ada dalam pelukan Ari, selain apa yang terlihat jelas oleh mata, yang kemudian disimpulkan oleh otak. Dan semua otak yang menyaksikan peristiwa itu menarik kesimpulan yang benar-benar sama. Tari kayaknya lagi nggak fit pagi ini, tapi maksain diri masuk sekolah. Ternyata dia nggak kuat terus mau pingsan. Dan Ari yang kebetulan ada dibelakangnya seketika melompat untuk menolongnya. Tapi Cuma otak di dalam kepala Fio yang menyadari bahwa "kebetulan" itu diikuti tanda tanya. Sweet banget! Bener-bener bak potongan film romantis! "Ada apa ini?" Bu Sam muncul mengoyak adegan itu. Dipandanginya Ari dengan sorot curiga. "Tari sakit, Bu," Ari menjawab dalam atmosfer malaikat. Bukan Cuma dalam suara, tapi juga ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya.
"Begitu?" ucap Bu Sam dingin. Jelas dia tidak percaya. Apalagi kalau Cherubim dan Seraphim pendamping Ari model Ridho dan Oji. Yang datangnya dari neraka. Oji bergegas berdiri lalu memberi salam dengan sikap hormat. Sementara Ridho langsung kabur. Dia ogah ditanya-tanya. Segera Fio melihat kehadiran Bu Sam sebagai kesempatan untuk menyelamatkan Tari. Dengan menyeruak sana sini, buru-buru dihampirinya teman semejanya yang masih dipeluk Ari itu. "Sini, Kak. Saya bawa Tari ke kelas." Sepasang mata Ari yang bergerak kearah Fio langsung menatapnya tajam. Fio nggak peduli. Ada Bu Sam. Aman.
"Paling-paling dia Cuma kecapekan. Soalnya minggu ini kelas kami emang banyak banget tugas. Temen sekelas juga banyak yang lagi nggak enak badan kok," Fio beralasan. "Biar dia yang bawa Tari ke kelas!" perintah Bu Sam dengan nada tak terbantah. Ari berdecak lalu mendesis pelan. Kedua matanya yang menatap Fio menyorot semakin tajam, melontarkan peringatan. Berusaha untuk tidak melihat kearah kedua mata hitam itu, Fio mengulurkan kedua tangannya.
"Yuk, Tar." Tari menarik napas lega. Kepalanya lalu menoleh ke belakang, berusaha melihat Ari lewat sudut mata, tapi tidak berhasil.
"Awas tangan lo!" desis Tari tajam, tertuju pada Ari. Tapi Ari justru mengetatkan pelukannya. Cowok itu kemudian berdiri, dengan menarik serta Tari bersamanya. Pada tiga detik waktu yang dibutuhkan mereka berdua untuk berdiri tegak, tanpa kentara Ari berbisik tajam di satu telinga Tari, "Besok!" kemudian dia lepaskan pelukannya. Setelah menganggukkan kepala kepada Bu Sam, ditinggalkannya tempat itu. Bu Sam menatap punggung yang menjauh itu sambil geleng-geleng kepala. Ketika adegan yang seperti diambil dari potongan film romantis itu berakhir, para penonton ikut bubar. Sebagian pergi begitu saja, sebagian sambil berkasak-kusuk membicarakannya.
****
Sumpah, Ari sadis banget! Saat jam istirahat pertama, Tari masih agak pucat. Tu cewek sampai nggak berani masuk gudang, dan memilih membicarakan situasinya yang gawat di dalam kelas, dengan risiko dicuri dengar. Soalnya ruang kelas jarang sekali dalam keadaan benar-benar kosong. Selalu ada satu-dua kepala yang memilih tetap bercokol di dalam. Selama ini memang belum pernah cicak nongol di gudang, tapi dari ruangannya yang lembap, berdebu, dan penuh tumpukan bangku, meja, dan barang-barang rusak yang lain, nggak perlu tebak-tebakan, di situ udah pasti banyak banget cicak. Mau berdiri di koridor depan gudang, tari merasa kedua kakinya masih lemas. Dan untuk pertama kalinya juga tu cewek berpikir untuk mencari pertolongan. Tari tidak lagi yakin dirinya bisa dan sanggup mengatasi masalah ini sendirian. Setelah beberapa saat menunduk dalam-dalam, serius mencoreti selembar kertas di atas pangkuannya hingga lembaran putih itu penuh dengan garis-garis hitam, Tari mengangkat kepala. Ditatapnya Fio, yang juga jadi nggak tega untuk meninggalkan kelas. "Gimana kalo gue ngomong ke Ata aja?" Tanya Tari dengan suara lirih. Fio langsung menarik napas lega.
"Gue baru mau ngomong gitu," jawab Fio dengan suara sama lirrihnya.
"Iya, Tar. Mendingan lo cerita sama Ata. Kali aja dia bisa bantu cari solusi." Kemudian Fio berdecak pelan sambil geleng-geleng kepala.
"Kak Ari tuh gila banget deh. Kalo lo punya penyakit jantung, cara dia tadi pagi itu bisa bikin lo mati di tempat, Tar."
"Tadi pagi malah gue piker gue udah mati, tau!" Tari mendengus. Begitu melihat Tari dan Fio bicara bisik-bisik, Chiko salah seorang yang masih tinggal di kelas, langsung bangkit dari bangkunya dan tergopoh-gopoh menghampiri.
"Apaan? Apaan? Yang tadi pagi, ya?!" serunya dengan suara bersemangat dan langsung menjatuhkan diri di bangku di depan Tari. Tari dan Fio menatapnya dengan pandang kesal.
"Elo kenapa nggak jajan ke kantin sih?" tanya Tari dingin. Chiko menyeringai.
"Nggak laper," jawabnya pendek.
"Gila lo, Tar. Peluk-pelukan di koridor utama. Tapi...," dia acungkan jempol kanannya, "kereeeeeen!"
"Siapa yang peluk-pelukan sih?" Fio bereaksi. Dipelototinya Chiko tajam-tajam. Tari sendiri nggak peduli. Setelah peristiwa tadi pagi, semua godaa n teman-temannya jadi kelihatan kecil dan nggak penti ng banget buat diurusin.
"Cerita dong, Tar," Chiko tak memedulikan pelototan galak Fio.
"Gimana ceritanya tuh, elo bisa dipeluk Kak Ari gitu? Tadi pagi lo sakit, ya? Katanya lo mau pingsan? Kak Ari tuh feeling-nya bagus juga ya, tau aja lo mau pingsan. Bisa udah siap di belakang lo gitu." Chiko berdecak sambil geleng-geleng kepala. Tari langsung cemberut.
"Berisik lo!" sentaknya kesal. Kemudian dia bangkit berdiri.
"Yuk, Fi. Males banget gue, ada orang bawel." Tari berjalan cepat keluar kelas. Fio bergegas menyusul.
Chiko mengikuti kepergian keduanya dengan tawa geli. Tari berjalan cepat ke arah koridor di depan gudang. Tak dipedulikannya tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Peristiwa tadi pagi sudah pasti masih segar bersarang di dalam kepala setiap orang. Dan semua juga pasti berpikir persis sama seperti Chik o tadi. Karena memang itulah kesan yang tertangkap ol eh semua mata. Tadi pagi Oji memperlihatkan cicak itu hanya dalam hitungan detik. Dalam genggaman kelim a jari tangan kirinya, kemudian dia menyembunyikan bi natang menjijikkan itu dari pandangan semua mata. Ta pi posisi tangan kiri dan kelima jari itu memastikan Tari, cicak itu bisa mencelat kapan saja. Sesampainya di de pan gudang, Tari menempelkan punggungnya di dinding pembatas koridor. Sambil mengeluarkan ponsel dari saku kemeja, dilihatnya berkeliling. Memastikan tidak ada seorang pun-selain Fio-yang dapat mendengar pembicaraannya.
"Halo, Ata..."
"Iya, Tar. Apa?"
"Ta, bisa ketemuan nggak?"
"Kapan?" "Hari ini."
"Nggak bisa kalo hari ini."
"Yaaaaaah," tari langsung mengeluh panjang. "Bisain dong. Pleeeeease." "Ada apa sih? Kok mendadak banget?" "Penting banget."
"Iya, apa?"
"Pokoknya penting banget deh. Gue nggak bisa cerita di telepon." Terdengar Ata menghela napas. "Gue hari ini ada PM. Kalo besok aja, gimana?"
"Besok udah terlambat. Gue udah keburu mati." "Lo tuh ya, bercandanya suka kelewatan." "Ini nggak bercandaaa!" seru Tari tertahan. Nyaris ingin menangis.
"Kalo nggak percaya, lo telepon gue besok deh. Ni nomer pasti udah nggak aktif lagi. Kalopun masih aktif, yang ngangkat kalo nggak bokap ya nyokap gue, atau adik gue. Dan tiga-tiganya lagi pada histeris. Dan tersangka pembunuh gue, jelas sodara kembar lo itu. Jadi sekarang terserah elo deh. Kalo mau dia dipenjara, ya udah, kita nggak usah ketemu nggak pa-pa."
"Oke deh. Oke." Akhirnya Ata mengalah.
"Elo tuh ya, makin dibiarin malah makin kelewatan dramatisasinya..." Ata tertawa pelan.
"Nanti begitu bel, gue langsung cabut. Kira -kira satu jam sampe Jakarta. Lo nunggu dimana? Jang an di sekolah ya."
"Ya nggaklah. Ntar gue ngomong sama Fio dulu deh. Enaknya kita ketemuan dimana."
"Oke. Kabarin gue kalo udah nemu lokasinya ya."
"Iya..." Tari langsung lega. Senyum lebar mengembang di bibirnya.
"Makasih ya, Taaaa," ucapnya manis.
"Iyaaa." Ata membalas dengan suara yang jelas terdengar dia juga sedang tersenyum lebar.
****
Uraian panjang Tari selesai. Sesaat Ata terdiam, kemudian menarik napas panjang.
"Gue udah tau lo pasti nggak sendirian. Nggak mungkin sendirian. Pasti ada orang lain di depan lo. Orang yang ngelindungin elo
Pendekar Mabuk 41 - Penguasa Teluk Neraka Arok Dedes - Pramoedya Ananta Toer Cinta Sang Naga - V. Lestari Esti Kinasih - Fairish Strangers by Barbara Elsborg
obat karibnya, Ridho geleng-geleng kepala sambil ketawa pelan. "Anak orang tuh, kalo kenapa-napa, lo berdua mau ngomong apa ke emak-bapaknya?" Kali ini Ridho emang nggak terlibat. Kemarin itu pun dia nggak bisa dibilang terlibat. Karena tujuan utamanya adalah soto ayam di kantin kelas sepuluh. Kebetulan aja rute menuju ke sana melewati kelas Tari. Dan Tari seenaknya aja narik kesimpulan bahwa Ridho terlibat. Padahal kemarin kalau Tari mau kabur, bisa kok. Nggak akan dihalangi. Dengan catatan, kaburnya bukan ke arah Oji apalagi Ari. Pembicaraan selanjutnya antara kedua sahabatnya itu tambah bikin Ridho geleng-geleng kepala. "Semalem Bos malah nyuruh pake tokek atau nggak kadal. Ini udah gue kecilin Bos. Jadi pake cicak. Coba kalo beneran pake tokek atau kadal, bisa-bisa sekarang ni cewek udah mati, kali." "Ya yang kecil aja. Anaknya, gitu."
"Anak kadal sama cicak juga masih gedean anak kadal, Bos."
"Itu juga udah gue kecilin, Ji. Tadinya malah gue mau nyuruh elo pake komodo atau buaya." "Kalo dua itu mah namanya bukan ngerjain lagi, Bos!" Oji melebarkan kedua matanya. "Tapi ngumpanin!" Tawa geli Ridho meledak.
"Sadis lo berdua!" Dia geleng-geleng kepala lagi. Tari siuman. Pembicaraan barusan seketika menyadarkan Tari, orang yang sedang melindunginya saat ini adalah orang yang juga memerintahkan ini terjadi. Tari bergerak ingin bangkit, tetapi tangan Ari yang sejak tadi menyangga punggung Tari langsung bergerak. Melintang di bawah kedua bahu Tari, tangan kiri itu menarik tubuh Tari sampai merapat ke tubuh Ari kembali. Tangan kanan Ari yang sejak tadi menganggur diam ikut bergerak saat dia rasakan tubuh yang saat ini tengah dipeluknya dengan paksa itu melakukan pemberontakan. Kesepuluh jari Tari langsung mencekal kedua lengan Ari kuat-kuat, berusaha melepaskannya, tapi pelukan Ari justru semakin menguat. Ari menekan tubuh Tari semakin rapat ke tubuhnya sendiri. Kemudian cowok itu menundukkan kepalanya ke satu sisi kepala Tari, rendah-rendah.
"Gue dapet firasat, kayaknya besok lo bakalan buron," bisiknya. Pemberontakan Tari langsung terhenti. Ari menatap pelipis, ujung alis, dan keseluruhan sisi wajah Tari. Kemudian dia dekatkan bibirnya ke telinga Tari.
"Betul, kan?" bisiknya lagi. Tari menggigit bibir. Dia jauhkan kepalanya, karena hangat napas Ari betul-betul terasa. Tapi kepala Ari mengejarnya. Cowok itu tersenyum tipis. Dia kerucutkan bibirnya, lalu ditiupnya telinga Tari. Tari tersentak. Serentak dia menoleh dan menatap Ari dengan mulut ternganga terperangah dengan tindakan Ari barusan. Satu dari dua mata di wajah yang begitu dekat itu justru memberinya kedipan lambat. Mencipta rona merah yang kemudian menjalari keseluruhan wajah Tari. Buru-buru cewek itu memalingkan muka kea rah lain, satu-satunya usaha menghindar yang masih bisa dilakukannya. Melihat kelakuan Ari, Ridho geleng-geleng kepala. Ridho kemudian membungkukkan punggungnya rendah-rendah, menyejajarkan mukanya dengan muka Tari. "Mendingan lo ngaku aja deh, Tar," sarannya. "Soalnya ni orang.," ditunjuknya Ari dengan dagu, "psycho." setelah mengatakan itu, dia tegakkan kembali punggungnya.
"Dengar apa yang Ridho barusan bilang?" bisik Ari. "Dia termasuk orang yang paling tau gue." Tari tidak menjawab. Dia tundukkan kepala rendah-rendah. Berusaha menyembunyikan mukanya yang merah padam dari pandangan begitu banyak mata yang saat ini tengah menatap mereka dari segala penjuru. Tak ayal, untuk kali yang tak terhitung lagi, keduanya kembali menjadi sesuatu yang manis untuk dilihat. Adegan itu seketika membekukan semuanya. Saat itu juga menghentikan langkah siapa pun di tempat mata mereka menangkapnya. Tari yang lemas dan pucat pasi. Dan Ari yang menyangganya dengan seluruh tubuh dan rentang kedua tangannya. Benar-benar pemandangan yang menghangatkan pagi.
Fio langsung terbirit-birit keluar kelas dan lari turun begitu Nyoman memberitahu via telepon. Hanya Fio yang tahu pasti, pemandangan yang dilihat Nyoman sama sekali tak seindah yang terlihat. Bahkan bisa dipastikan bertolak belakang. Pasti, lagi-lagi ini bentuk "penganiayaan" Ari terhadap Tari. Sayangnya, seperti semua orang yang terpaku menatap pemandangan itu, Fio tidak bisa menemukan penyebab Tari ada dalam pelukan Ari, selain apa yang terlihat jelas oleh mata, yang kemudian disimpulkan oleh otak. Dan semua otak yang menyaksikan peristiwa itu menarik kesimpulan yang benar-benar sama. Tari kayaknya lagi nggak fit pagi ini, tapi maksain diri masuk sekolah. Ternyata dia nggak kuat terus mau pingsan. Dan Ari yang kebetulan ada dibelakangnya seketika melompat untuk menolongnya. Tapi Cuma otak di dalam kepala Fio yang menyadari bahwa "kebetulan" itu diikuti tanda tanya. Sweet banget! Bener-bener bak potongan film romantis! "Ada apa ini?" Bu Sam muncul mengoyak adegan itu. Dipandanginya Ari dengan sorot curiga. "Tari sakit, Bu," Ari menjawab dalam atmosfer malaikat. Bukan Cuma dalam suara, tapi juga ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya.
"Begitu?" ucap Bu Sam dingin. Jelas dia tidak percaya. Apalagi kalau Cherubim dan Seraphim pendamping Ari model Ridho dan Oji. Yang datangnya dari neraka. Oji bergegas berdiri lalu memberi salam dengan sikap hormat. Sementara Ridho langsung kabur. Dia ogah ditanya-tanya. Segera Fio melihat kehadiran Bu Sam sebagai kesempatan untuk menyelamatkan Tari. Dengan menyeruak sana sini, buru-buru dihampirinya teman semejanya yang masih dipeluk Ari itu. "Sini, Kak. Saya bawa Tari ke kelas." Sepasang mata Ari yang bergerak kearah Fio langsung menatapnya tajam. Fio nggak peduli. Ada Bu Sam. Aman.
"Paling-paling dia Cuma kecapekan. Soalnya minggu ini kelas kami emang banyak banget tugas. Temen sekelas juga banyak yang lagi nggak enak badan kok," Fio beralasan. "Biar dia yang bawa Tari ke kelas!" perintah Bu Sam dengan nada tak terbantah. Ari berdecak lalu mendesis pelan. Kedua matanya yang menatap Fio menyorot semakin tajam, melontarkan peringatan. Berusaha untuk tidak melihat kearah kedua mata hitam itu, Fio mengulurkan kedua tangannya.
"Yuk, Tar." Tari menarik napas lega. Kepalanya lalu menoleh ke belakang, berusaha melihat Ari lewat sudut mata, tapi tidak berhasil.
"Awas tangan lo!" desis Tari tajam, tertuju pada Ari. Tapi Ari justru mengetatkan pelukannya. Cowok itu kemudian berdiri, dengan menarik serta Tari bersamanya. Pada tiga detik waktu yang dibutuhkan mereka berdua untuk berdiri tegak, tanpa kentara Ari berbisik tajam di satu telinga Tari, "Besok!" kemudian dia lepaskan pelukannya. Setelah menganggukkan kepala kepada Bu Sam, ditinggalkannya tempat itu. Bu Sam menatap punggung yang menjauh itu sambil geleng-geleng kepala. Ketika adegan yang seperti diambil dari potongan film romantis itu berakhir, para penonton ikut bubar. Sebagian pergi begitu saja, sebagian sambil berkasak-kusuk membicarakannya.
****
Sumpah, Ari sadis banget! Saat jam istirahat pertama, Tari masih agak pucat. Tu cewek sampai nggak berani masuk gudang, dan memilih membicarakan situasinya yang gawat di dalam kelas, dengan risiko dicuri dengar. Soalnya ruang kelas jarang sekali dalam keadaan benar-benar kosong. Selalu ada satu-dua kepala yang memilih tetap bercokol di dalam. Selama ini memang belum pernah cicak nongol di gudang, tapi dari ruangannya yang lembap, berdebu, dan penuh tumpukan bangku, meja, dan barang-barang rusak yang lain, nggak perlu tebak-tebakan, di situ udah pasti banyak banget cicak. Mau berdiri di koridor depan gudang, tari merasa kedua kakinya masih lemas. Dan untuk pertama kalinya juga tu cewek berpikir untuk mencari pertolongan. Tari tidak lagi yakin dirinya bisa dan sanggup mengatasi masalah ini sendirian. Setelah beberapa saat menunduk dalam-dalam, serius mencoreti selembar kertas di atas pangkuannya hingga lembaran putih itu penuh dengan garis-garis hitam, Tari mengangkat kepala. Ditatapnya Fio, yang juga jadi nggak tega untuk meninggalkan kelas. "Gimana kalo gue ngomong ke Ata aja?" Tanya Tari dengan suara lirih. Fio langsung menarik napas lega.
"Gue baru mau ngomong gitu," jawab Fio dengan suara sama lirrihnya.
"Iya, Tar. Mendingan lo cerita sama Ata. Kali aja dia bisa bantu cari solusi." Kemudian Fio berdecak pelan sambil geleng-geleng kepala.
"Kak Ari tuh gila banget deh. Kalo lo punya penyakit jantung, cara dia tadi pagi itu bisa bikin lo mati di tempat, Tar."
"Tadi pagi malah gue piker gue udah mati, tau!" Tari mendengus. Begitu melihat Tari dan Fio bicara bisik-bisik, Chiko salah seorang yang masih tinggal di kelas, langsung bangkit dari bangkunya dan tergopoh-gopoh menghampiri.
"Apaan? Apaan? Yang tadi pagi, ya?!" serunya dengan suara bersemangat dan langsung menjatuhkan diri di bangku di depan Tari. Tari dan Fio menatapnya dengan pandang kesal.
"Elo kenapa nggak jajan ke kantin sih?" tanya Tari dingin. Chiko menyeringai.
"Nggak laper," jawabnya pendek.
"Gila lo, Tar. Peluk-pelukan di koridor utama. Tapi...," dia acungkan jempol kanannya, "kereeeeeen!"
"Siapa yang peluk-pelukan sih?" Fio bereaksi. Dipelototinya Chiko tajam-tajam. Tari sendiri nggak peduli. Setelah peristiwa tadi pagi, semua godaa n teman-temannya jadi kelihatan kecil dan nggak penti ng banget buat diurusin.
"Cerita dong, Tar," Chiko tak memedulikan pelototan galak Fio.
"Gimana ceritanya tuh, elo bisa dipeluk Kak Ari gitu? Tadi pagi lo sakit, ya? Katanya lo mau pingsan? Kak Ari tuh feeling-nya bagus juga ya, tau aja lo mau pingsan. Bisa udah siap di belakang lo gitu." Chiko berdecak sambil geleng-geleng kepala. Tari langsung cemberut.
"Berisik lo!" sentaknya kesal. Kemudian dia bangkit berdiri.
"Yuk, Fi. Males banget gue, ada orang bawel." Tari berjalan cepat keluar kelas. Fio bergegas menyusul.
Chiko mengikuti kepergian keduanya dengan tawa geli. Tari berjalan cepat ke arah koridor di depan gudang. Tak dipedulikannya tatapan-tatapan yang tertuju padanya. Peristiwa tadi pagi sudah pasti masih segar bersarang di dalam kepala setiap orang. Dan semua juga pasti berpikir persis sama seperti Chik o tadi. Karena memang itulah kesan yang tertangkap ol eh semua mata. Tadi pagi Oji memperlihatkan cicak itu hanya dalam hitungan detik. Dalam genggaman kelim a jari tangan kirinya, kemudian dia menyembunyikan bi natang menjijikkan itu dari pandangan semua mata. Ta pi posisi tangan kiri dan kelima jari itu memastikan Tari, cicak itu bisa mencelat kapan saja. Sesampainya di de pan gudang, Tari menempelkan punggungnya di dinding pembatas koridor. Sambil mengeluarkan ponsel dari saku kemeja, dilihatnya berkeliling. Memastikan tidak ada seorang pun-selain Fio-yang dapat mendengar pembicaraannya.
"Halo, Ata..."
"Iya, Tar. Apa?"
"Ta, bisa ketemuan nggak?"
"Kapan?" "Hari ini."
"Nggak bisa kalo hari ini."
"Yaaaaaah," tari langsung mengeluh panjang. "Bisain dong. Pleeeeease." "Ada apa sih? Kok mendadak banget?" "Penting banget."
"Iya, apa?"
"Pokoknya penting banget deh. Gue nggak bisa cerita di telepon." Terdengar Ata menghela napas. "Gue hari ini ada PM. Kalo besok aja, gimana?"
"Besok udah terlambat. Gue udah keburu mati." "Lo tuh ya, bercandanya suka kelewatan." "Ini nggak bercandaaa!" seru Tari tertahan. Nyaris ingin menangis.
"Kalo nggak percaya, lo telepon gue besok deh. Ni nomer pasti udah nggak aktif lagi. Kalopun masih aktif, yang ngangkat kalo nggak bokap ya nyokap gue, atau adik gue. Dan tiga-tiganya lagi pada histeris. Dan tersangka pembunuh gue, jelas sodara kembar lo itu. Jadi sekarang terserah elo deh. Kalo mau dia dipenjara, ya udah, kita nggak usah ketemu nggak pa-pa."
"Oke deh. Oke." Akhirnya Ata mengalah.
"Elo tuh ya, makin dibiarin malah makin kelewatan dramatisasinya..." Ata tertawa pelan.
"Nanti begitu bel, gue langsung cabut. Kira -kira satu jam sampe Jakarta. Lo nunggu dimana? Jang an di sekolah ya."
"Ya nggaklah. Ntar gue ngomong sama Fio dulu deh. Enaknya kita ketemuan dimana."
"Oke. Kabarin gue kalo udah nemu lokasinya ya."
"Iya..." Tari langsung lega. Senyum lebar mengembang di bibirnya.
"Makasih ya, Taaaa," ucapnya manis.
"Iyaaa." Ata membalas dengan suara yang jelas terdengar dia juga sedang tersenyum lebar.
****
Uraian panjang Tari selesai. Sesaat Ata terdiam, kemudian menarik napas panjang.
"Gue udah tau lo pasti nggak sendirian. Nggak mungkin sendirian. Pasti ada orang lain di depan lo. Orang yang ngelindungin elo