Cerita Remaja | Jingga Dalam Elegi | by Esti Kinasih | Jingga Dalam Elegi | Cersil Sakti | Jingga Dalam Elegi pdf
Pendekar Mabuk 41 - Penguasa Teluk Neraka Arok Dedes - Pramoedya Ananta Toer Cinta Sang Naga - V. Lestari Esti Kinasih - Fairish Strangers by Barbara Elsborg
u dia." Ridho mengangguk, mengerti salah satu sisi cowok yang tidak diketahui cewek itu.
Ari menarik napas panjang. Rasanya benar-benar lega. Benar-benar ringan. Dilihatnya jam kayu jati berbentuk matahari di salah satu dinding ruang tamunya. "Sori, gue harus ke bandara."
"Sekarang?" Ridho mengangkat kedua alis. "Masih empat jam lagi pesawatnya landing. Ini aja mereka belom berangkat."
Ari tersenyum tipis. "Nyiapin mental," ucapnya pendek. Tak ingin mengatakan yang sebenarnya. Dia cemas dengan pertemuan ini. Dia cemas jika ternyata mama dan saudara kembarnya sudah bukan lagi orang yang sama. Dia cemas sembilan tahun kehilangan itu telah menciptakan dinding yang kokohnya mungkin akan abadi.
Ari tahu, sesungguhnya saat ini dirinya sangat membutugkan seorang teman. Tapi reputasinya selama ini membuatnya tak sanggup membiarkan seorang melihat kejatuhannya nanti seandainya semua kecemasan itu benar-benar terjadi, meskipun itu kedua sahabatnya sendiri. "Mau kami temenin?" tawar Ridho, bisa membaca pikiran itu.
Ari tersenyum tipis dan menggeleng. "Gue akan baik-baik aja, kalo itu yang elo takutin." "Yakin?" Ridho menatapnya lurus.
"Iya." Ari mengangguk tegas, menyangkal kata hatinya sendiri. "Oke." Ridho tak ingin memaksa.
Ari bankit berdiri. "Gue siap-siap dulu," ucapnya sambil berjalan ke kamarnya.
***
Mereka berpisah di mulut kompleks. Begitu motor Ari sudah hilang dari pandangan, Ridho segera menepikan mobilnya. Dikeluarkan ponselnya dari saku celana dan segera dicarinya satu nama di daftar kontak. Satu nama yang secara cepat dan diam-diam tadi dilihatnya dari ponsel Ari.
Tari mengerutkan kening saat layar ponselnya memunculkan sederet nomer baru yang tidak dikenalnya.
"Halo?" sapanya dengan nada ragu.
"Ini gue, Tar. Ridho," ucap Ridho langsung.
"Oh!" Tari terkejut. Kedua alisnya terangkat tanpa sadar.
"Iya, Kak?"
"Alamat rumah lo di mana? Gue lupa."
"Emang kenapa?"
"Gue jemput lo sekarang."
Tari tercengang. "Ada apa sih, Kak?"
Ridho menceritakan dengan singkat. Tari terperangah. Mulutnya sampai ternganga lebar. Saking tak percayanya dengan berita yang disampaikan Ridho. "Serius? Beneran!?" serunya tertahan.
"Serius. Makanya gue mau jemput lo sekarang. Siap-siap ya. Jadi nanti kita langsung jalan."
"Iya. Iya."
Begitu Ridho menutup telepone, Tari mematung. Benar-benar tak mengira penantian dan pencarian Ari yang panjang dan menyakitkan akhirnya berujung. Cewek itu buru-buru berlari ke kamar mandi.
***
Ridho menghentikan mobilnya di terminal kedatanan domestik tempat maskapai penerbangan yang membawa mama Ari dan saudara kembarnya nanti mendarat. Untuk tujuan inilah tadi dia --seolah-olah sambil berlalu-- bertanya pada Ari maskapai apa yang mereka gunakan. Mengantar seseorang yang sesungguhya sangat dibutuhkan Ari saa ini, namun sahabat karibnya itu tak ingin mengtakan. "Di sini, Tar." Ridho menoleh ke belakang, juga Oji.
"Oh." Tari langsung bergerak, mengulurkan tangannya untuk membuka pintu. "Kak Ridho sama Kak Oji nggak turun?" tanyanya heran.
Kedua cowok di depannya menggeleng bersamaan.
"Kalo dia mau kita temenin, pasti tadi udah ngomong." ucap Oji.
Ridho mengangguk membenarkan. "Tolong jangan tinggalin dia ya, Tar," pesan Ridho.
Tari menatap kedua orang itu sambil menggigit bibir, kemudian mengangguk pelan. Setelah mengucapkan terima kasih, dibukanya pintu di sebelahnya dan turun. Sesaat Ridho dan Oji mengikuti kepergian cewek itu, yang berjalan menyusuri koridor lapang terminal kedatangan dengan kepala menoleh ke segala arah, mencari-cari keberadaan Ari.
****
MASIH tiga jam lagi pesawat yang akan membawa mamanya dan Ata dijadwalkan landing. Pesawat itu bahkan belum take off. Masih terpakir di Bandara Juanda, Surabaya sana. Tapi Ari sudah duduk menunggu sejak setengah jam lalu. Bertahun-tahun jatuh-bangun dalam begitu banyak usaha pencarian yang menguras emosi, menunggu, berharap, memohon dalam ribuan doa sampai akhirnya pasrah dan berusaha ikhlas, tiga setengah jam sama sekali tidak ada artinya.
Duduk bersila di atas rumput, di bawah kerindangan sebatang pohon, cowok itu memandangi setiap pesawat yang terbang dan datang. Membayangkan tidak lama lagi sebuah pesawat akan membawa mama dan saudara kembarnya ke hadapan, membuat kedua matanya menerawang dan senyumnya mengembang tanpa sadar.
Senyum bahagia, pasti. Namun senyum cemas juga. Akankah mereka bisa kembali ke sembilan tahun lalu itu, ataukah mereka harus mulai saling belajar untuk menerima, bahwa saat ini mereka bukan lagi orang-orang yang sama.
***
Tari menarik napas lega. Setelah mencari ke sana kemari, setelah ditelusurinya koridor terminal kedatangan yang luas nyaris dari ujung ke ujung, akhirnya Ari dia temukan juga. Jauh di luar area gedung terminal, cowok itu duduk bersila di rerumputan dengan punggung bersandar pada sebatang pohon. Fokusnya begitu tenggelam pada landasan. Dan Tari tahu mengapa. Karena landasan itu nanti, pesawat yang membawa mama dan saudara kembarnya akan mendarat. Yang sebentar lagi akan datang bukan ibu dan saudara kembarnya, tapi Tari menemukan dirinya ikut dicekam kegelisahan. Cemas, apakah pertemuan pertama setelah perpisahan bertahun-tahun ini akan seperti harapan Ari. Harapan yang disimpannya selama bertahun-tahun dan tidak diceritakannya kepada siapa pun.
Atau dia harus melihat cowok itu kembali terpuruk. Jalan untuk bisa sampai pada ketenangan dan penerimaan bisa sangat panjang dan melelahkan. Jika pertemuan kembali harf ini benar-benar telah menjadikan ibu dan saudara kembarnya sebagai keping rekahan, Tari berharap Ari akan sanggup bertahan.
Setelah beberapa saat menatap Ari di kejauhan, Tari balik badan sambil menarik napas panjang. Di ujung lantai koridor terminal kedatangan, pada posisi yang terhalang serumpun pepohonan dari posisi Ari duduk, cewek itu meletakkan tasnya lalu duduk. Ini waktu milik Ari sendiri. Meskipun Ridho dan Oji memintanya untuk menemani, inilah cara dirinya menemani cowok itu. Cukup dari jauh.
***
Setengah jam sebelum pesawat yang ditunggunya mendarat, Ari bangkit berdiri. Tari buru-buru ikut berdiri dan langsung menyembunyikan diri di balik pilar terdekat. Kemudian -bersembunyi dari pilar ke pilar, atau bergabung di belakang serombongan orang- diikutinya Ari diam-diam.
Sampai cowok itu berhenti di depan sebuah pintu kaca lebar, berbaur dengan banyak orang yang sepertinya juga menunggu kedatangan seseorang. Tari ikut berhenti lalu berdiri diam di balik pilar.
Sambil sebentar-sebentaq mengucapkan kata 'permisi', Ari menyeruakkan diri hingga posisi terdepan, di depan pagar besi pembatas. Lima belas menit lagi, bisik hatinya dengan resah.
Tanpa sadar kesepuluh jarinya menggenggam kuat besi pembatas. Sepasang matanya menatap lurus ke dalam ruangan di depannya yang dibatasi kaca.
Sepuluh menit lagi, jantungnya berpacu. Sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua....
Dan di sanalah! Bergerak di balik kaca, timbul-tenggelam di antara puluhan orang yang juga sedang berjalan menuju pintu keluar, untuk pertama kalinya Ari melihat kembali dua orang yang pergi dari hidupnya bertahun-tahun lalu itu. Mama dan Ata!
Seketika cowok itu membeku. Buku-buku jemari tangannya yang menggenggam besi pembatas kuat-kuat, memutih. Dikatupkannya kedua rahangnya kuat-kuat. Seluruh giginya saling menekan. Berusaha keras mengalahkan sesak di dada dan sakit di tenggorokan.
Keduanya kini telah melalui pemeriksaan. Keduanya berjalan semakin dekat dan semakin dekat.
"Ariiii!?"
Mereka kini tak jauh di hadapan!
Mamanya mematung di ambang pintu setelah menyerukan satu nama itu dengan suara tertahan. Tak lagi sadar, Ari melompati pagar pembatas dan menghambur mendapati sang mama. Dipeluknya wanita itu kuat-kuat. Dalam tangis. Dalam luap kerinduan. Dalam titik akhir pencarian. Ata segera melindungi keduanya dari tatapan orang. Meskipun ini bandara dan menangis adalah hal biasa, dia tidak ingin keduannya jadi tontonan.
Sang mama membalas pelukan anaknya itu sama kuatnya. Matahari-nya yang lain. Yang tenggelam bertahun-tahun lalu. Yang nyaris saja mematahkan semangat hidupnya karena pencarian yang terus sia-sia.
Ari menenggelamkan wajahnya pada salah satu bahu mamanya. Menumpahkan air matanya di sana. Mengiris batin dan membuat sang mama harus menekan kuat-kuat luapan emosiny. Cara anak ini menangis masih sama seperti dulu.
Dalam banyak hal, kedua Matahari-nya memang berbeda. Tangis Ata akan menenggelamkan suara apa pun di sekitarnya. Sementara Ari lebih sering tanpa suara.
Ketika semua luapan perasaannya tuntas, Ari menguraikan pelukannya. Sambil tersenyum malu, cowok itu menyeka sisa-sisa air matanya dengan lengan baju. Baru disadarinya, mamanya terlihat jauh lebih tua. Jadi lebih kurus. Namun ada yang tidak berubah, sorot kedua matanya yang sabar dan teduh.
"Mama kurus," bisik Ari pedih.
Sang mama tersenyum. "Yang penting kan sehat," ucapnya arif. "Iya, kan?"
Ari mengangguk-angguk. Kedua matanya masih menatap mamanya lekat-lekat dan menyeluruh.
"Mama sekarang kok jadi kecil?" tanyanya polos, membuat mamanya seketika tergelak.
"Kamu sehat?" tanyanya serak.
"Sehat, Ma." Ari mengangguk.
Sang mama menatapnya dengan pandang sedih, juga penyesalan.
"Ari sekarang udah gede. Mama nggak ngeliat. Tau-tau udah segini. Mama minta maaf. Maafin Mama ya, Nak, nggak bisa nemenin."
Ari mengangguk-angguk lagi, tak sanggup menjawab. Kalau dulu sang mama harus membungkuk untuk menyentuh kedua pipinya, kini ganti sang anaklah yang harus membungkukkan tubuh agar mamanya bisa menyentuh kedua pipinya.
Setelah puas, setelah seluruh kerinduannya pada sang mama tertumpah, Ari balik badan. Ketika ditatapnya saudara kembarnya yang hanya sepuluh menit lebih tua itu, hal yang langsung terlintas dalam kepalanya adalah, Ata terpaksa harus bekerja. Seketika muncul rasa bersalah. Dirinya punya banyak uang dan lebih sering di gunakan untuk hal-hal yang tidak jelas. Membeli teman. Membeli perhatian. Mengenyahkan kesepian.
Ata balik menatap adik kembarnya itu. "Baik-baik?" bisiknya. Ari mengangguk. Keduanya saling tatap. Saling meneliti.
Rasanya Ari tak bisa percaya ini adalah Ata yang dulu hobi berteriak-teriak jika keinginannya tak dipenuhi. Ata yang penegak keadilah dalam jubah hitam Batman-nya yang berkibar-kibar. Ata yang paling anti kalau disuruh Mama ke warung beli garam apalagi terasi dan memilih diomeli. Bagi Ata sendiri, nyaris tidak ada lagi yang tersisa dari Ari yang terus diingatnya selama sembilan tahun ini. Ari yang kalem. Ari yang anak rumahan. Ari yang penurut. Ari yang anak Mama. Dan Ari yang membuatnya sering cemas dengan semua sifat-sifatnya itu. Saat ini yang berdiri di hadapannya adalag Ari yang telah berhasil melewati segala kesulitan. Ari yang kuat.
Keduanya tersenyum bersamaan, dengan visual tentang sang saudara kembar dalam masing-masing kenangan.
"Lo jadi beda," ubap Ata.
"Lo juga."
Ata tertawa pelan. Dia rentangkan kedua lengannya dan dipeluknya Ari kuat-kuat, yang lalu membalas pelukan itu sama kuatnya.
Berdiri di dekat keduanya, sang mama menyaksikan itu dalam tangis tanpa suara.
***
Dari balik salah satu pilar tempatnya menyembunyikan diri, Tari menatap pemandangan itu dengan mulut yang tanpa sadar menganga lebar. Sembilah tahun terpisah dan keduanya masih tetap seperti saat kamera itu mengabadikannya dalam lembar-lembar kenangan.
Keduanya tetap begitu sama dan serupa. Seperti benda dan bayangan. Seperti laut dan langit. Keduanya benar-benar sama tinggi. Entah dengan cara bagaimana alam menyampaikan kepadanya, Ata juga punya potongan rambut yang benar-benar sama denga n saudara kembarnya. Satu-satunya perbedaan yang m encolok hanya dalam penampilan keduanya. Ata terliha t sangat sederhana. Sementara Ari, meskipun gaya ber pakaiannya memang kasual, semua bisa melihat setiap benda yang menempel di tubuhny bukanlah barang m urah.
Ketiga orang itu kini berjalan menjauhi pintu kedatangan. Tari menatap ketiganya dalam keharuan. Mama kedua kembar itu berjalan di tengah, diapit kedua anak kembarnya. Satu yang terpisah begitu lama dengannya, memeluk satu lengannya kuat-kuat. Sementara satu yang selama ini selalu bersamanya, sibuk dengan barang bawaan yang begitu banya
Pendekar Mabuk 41 - Penguasa Teluk Neraka Arok Dedes - Pramoedya Ananta Toer Cinta Sang Naga - V. Lestari Esti Kinasih - Fairish Strangers by Barbara Elsborg
u dia." Ridho mengangguk, mengerti salah satu sisi cowok yang tidak diketahui cewek itu.
Ari menarik napas panjang. Rasanya benar-benar lega. Benar-benar ringan. Dilihatnya jam kayu jati berbentuk matahari di salah satu dinding ruang tamunya. "Sori, gue harus ke bandara."
"Sekarang?" Ridho mengangkat kedua alis. "Masih empat jam lagi pesawatnya landing. Ini aja mereka belom berangkat."
Ari tersenyum tipis. "Nyiapin mental," ucapnya pendek. Tak ingin mengatakan yang sebenarnya. Dia cemas dengan pertemuan ini. Dia cemas jika ternyata mama dan saudara kembarnya sudah bukan lagi orang yang sama. Dia cemas sembilan tahun kehilangan itu telah menciptakan dinding yang kokohnya mungkin akan abadi.
Ari tahu, sesungguhnya saat ini dirinya sangat membutugkan seorang teman. Tapi reputasinya selama ini membuatnya tak sanggup membiarkan seorang melihat kejatuhannya nanti seandainya semua kecemasan itu benar-benar terjadi, meskipun itu kedua sahabatnya sendiri. "Mau kami temenin?" tawar Ridho, bisa membaca pikiran itu.
Ari tersenyum tipis dan menggeleng. "Gue akan baik-baik aja, kalo itu yang elo takutin." "Yakin?" Ridho menatapnya lurus.
"Iya." Ari mengangguk tegas, menyangkal kata hatinya sendiri. "Oke." Ridho tak ingin memaksa.
Ari bankit berdiri. "Gue siap-siap dulu," ucapnya sambil berjalan ke kamarnya.
***
Mereka berpisah di mulut kompleks. Begitu motor Ari sudah hilang dari pandangan, Ridho segera menepikan mobilnya. Dikeluarkan ponselnya dari saku celana dan segera dicarinya satu nama di daftar kontak. Satu nama yang secara cepat dan diam-diam tadi dilihatnya dari ponsel Ari.
Tari mengerutkan kening saat layar ponselnya memunculkan sederet nomer baru yang tidak dikenalnya.
"Halo?" sapanya dengan nada ragu.
"Ini gue, Tar. Ridho," ucap Ridho langsung.
"Oh!" Tari terkejut. Kedua alisnya terangkat tanpa sadar.
"Iya, Kak?"
"Alamat rumah lo di mana? Gue lupa."
"Emang kenapa?"
"Gue jemput lo sekarang."
Tari tercengang. "Ada apa sih, Kak?"
Ridho menceritakan dengan singkat. Tari terperangah. Mulutnya sampai ternganga lebar. Saking tak percayanya dengan berita yang disampaikan Ridho. "Serius? Beneran!?" serunya tertahan.
"Serius. Makanya gue mau jemput lo sekarang. Siap-siap ya. Jadi nanti kita langsung jalan."
"Iya. Iya."
Begitu Ridho menutup telepone, Tari mematung. Benar-benar tak mengira penantian dan pencarian Ari yang panjang dan menyakitkan akhirnya berujung. Cewek itu buru-buru berlari ke kamar mandi.
***
Ridho menghentikan mobilnya di terminal kedatanan domestik tempat maskapai penerbangan yang membawa mama Ari dan saudara kembarnya nanti mendarat. Untuk tujuan inilah tadi dia --seolah-olah sambil berlalu-- bertanya pada Ari maskapai apa yang mereka gunakan. Mengantar seseorang yang sesungguhya sangat dibutuhkan Ari saa ini, namun sahabat karibnya itu tak ingin mengtakan. "Di sini, Tar." Ridho menoleh ke belakang, juga Oji.
"Oh." Tari langsung bergerak, mengulurkan tangannya untuk membuka pintu. "Kak Ridho sama Kak Oji nggak turun?" tanyanya heran.
Kedua cowok di depannya menggeleng bersamaan.
"Kalo dia mau kita temenin, pasti tadi udah ngomong." ucap Oji.
Ridho mengangguk membenarkan. "Tolong jangan tinggalin dia ya, Tar," pesan Ridho.
Tari menatap kedua orang itu sambil menggigit bibir, kemudian mengangguk pelan. Setelah mengucapkan terima kasih, dibukanya pintu di sebelahnya dan turun. Sesaat Ridho dan Oji mengikuti kepergian cewek itu, yang berjalan menyusuri koridor lapang terminal kedatangan dengan kepala menoleh ke segala arah, mencari-cari keberadaan Ari.
****
MASIH tiga jam lagi pesawat yang akan membawa mamanya dan Ata dijadwalkan landing. Pesawat itu bahkan belum take off. Masih terpakir di Bandara Juanda, Surabaya sana. Tapi Ari sudah duduk menunggu sejak setengah jam lalu. Bertahun-tahun jatuh-bangun dalam begitu banyak usaha pencarian yang menguras emosi, menunggu, berharap, memohon dalam ribuan doa sampai akhirnya pasrah dan berusaha ikhlas, tiga setengah jam sama sekali tidak ada artinya.
Duduk bersila di atas rumput, di bawah kerindangan sebatang pohon, cowok itu memandangi setiap pesawat yang terbang dan datang. Membayangkan tidak lama lagi sebuah pesawat akan membawa mama dan saudara kembarnya ke hadapan, membuat kedua matanya menerawang dan senyumnya mengembang tanpa sadar.
Senyum bahagia, pasti. Namun senyum cemas juga. Akankah mereka bisa kembali ke sembilan tahun lalu itu, ataukah mereka harus mulai saling belajar untuk menerima, bahwa saat ini mereka bukan lagi orang-orang yang sama.
***
Tari menarik napas lega. Setelah mencari ke sana kemari, setelah ditelusurinya koridor terminal kedatangan yang luas nyaris dari ujung ke ujung, akhirnya Ari dia temukan juga. Jauh di luar area gedung terminal, cowok itu duduk bersila di rerumputan dengan punggung bersandar pada sebatang pohon. Fokusnya begitu tenggelam pada landasan. Dan Tari tahu mengapa. Karena landasan itu nanti, pesawat yang membawa mama dan saudara kembarnya akan mendarat. Yang sebentar lagi akan datang bukan ibu dan saudara kembarnya, tapi Tari menemukan dirinya ikut dicekam kegelisahan. Cemas, apakah pertemuan pertama setelah perpisahan bertahun-tahun ini akan seperti harapan Ari. Harapan yang disimpannya selama bertahun-tahun dan tidak diceritakannya kepada siapa pun.
Atau dia harus melihat cowok itu kembali terpuruk. Jalan untuk bisa sampai pada ketenangan dan penerimaan bisa sangat panjang dan melelahkan. Jika pertemuan kembali harf ini benar-benar telah menjadikan ibu dan saudara kembarnya sebagai keping rekahan, Tari berharap Ari akan sanggup bertahan.
Setelah beberapa saat menatap Ari di kejauhan, Tari balik badan sambil menarik napas panjang. Di ujung lantai koridor terminal kedatangan, pada posisi yang terhalang serumpun pepohonan dari posisi Ari duduk, cewek itu meletakkan tasnya lalu duduk. Ini waktu milik Ari sendiri. Meskipun Ridho dan Oji memintanya untuk menemani, inilah cara dirinya menemani cowok itu. Cukup dari jauh.
***
Setengah jam sebelum pesawat yang ditunggunya mendarat, Ari bangkit berdiri. Tari buru-buru ikut berdiri dan langsung menyembunyikan diri di balik pilar terdekat. Kemudian -bersembunyi dari pilar ke pilar, atau bergabung di belakang serombongan orang- diikutinya Ari diam-diam.
Sampai cowok itu berhenti di depan sebuah pintu kaca lebar, berbaur dengan banyak orang yang sepertinya juga menunggu kedatangan seseorang. Tari ikut berhenti lalu berdiri diam di balik pilar.
Sambil sebentar-sebentaq mengucapkan kata 'permisi', Ari menyeruakkan diri hingga posisi terdepan, di depan pagar besi pembatas. Lima belas menit lagi, bisik hatinya dengan resah.
Tanpa sadar kesepuluh jarinya menggenggam kuat besi pembatas. Sepasang matanya menatap lurus ke dalam ruangan di depannya yang dibatasi kaca.
Sepuluh menit lagi, jantungnya berpacu. Sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua....
Dan di sanalah! Bergerak di balik kaca, timbul-tenggelam di antara puluhan orang yang juga sedang berjalan menuju pintu keluar, untuk pertama kalinya Ari melihat kembali dua orang yang pergi dari hidupnya bertahun-tahun lalu itu. Mama dan Ata!
Seketika cowok itu membeku. Buku-buku jemari tangannya yang menggenggam besi pembatas kuat-kuat, memutih. Dikatupkannya kedua rahangnya kuat-kuat. Seluruh giginya saling menekan. Berusaha keras mengalahkan sesak di dada dan sakit di tenggorokan.
Keduanya kini telah melalui pemeriksaan. Keduanya berjalan semakin dekat dan semakin dekat.
"Ariiii!?"
Mereka kini tak jauh di hadapan!
Mamanya mematung di ambang pintu setelah menyerukan satu nama itu dengan suara tertahan. Tak lagi sadar, Ari melompati pagar pembatas dan menghambur mendapati sang mama. Dipeluknya wanita itu kuat-kuat. Dalam tangis. Dalam luap kerinduan. Dalam titik akhir pencarian. Ata segera melindungi keduanya dari tatapan orang. Meskipun ini bandara dan menangis adalah hal biasa, dia tidak ingin keduannya jadi tontonan.
Sang mama membalas pelukan anaknya itu sama kuatnya. Matahari-nya yang lain. Yang tenggelam bertahun-tahun lalu. Yang nyaris saja mematahkan semangat hidupnya karena pencarian yang terus sia-sia.
Ari menenggelamkan wajahnya pada salah satu bahu mamanya. Menumpahkan air matanya di sana. Mengiris batin dan membuat sang mama harus menekan kuat-kuat luapan emosiny. Cara anak ini menangis masih sama seperti dulu.
Dalam banyak hal, kedua Matahari-nya memang berbeda. Tangis Ata akan menenggelamkan suara apa pun di sekitarnya. Sementara Ari lebih sering tanpa suara.
Ketika semua luapan perasaannya tuntas, Ari menguraikan pelukannya. Sambil tersenyum malu, cowok itu menyeka sisa-sisa air matanya dengan lengan baju. Baru disadarinya, mamanya terlihat jauh lebih tua. Jadi lebih kurus. Namun ada yang tidak berubah, sorot kedua matanya yang sabar dan teduh.
"Mama kurus," bisik Ari pedih.
Sang mama tersenyum. "Yang penting kan sehat," ucapnya arif. "Iya, kan?"
Ari mengangguk-angguk. Kedua matanya masih menatap mamanya lekat-lekat dan menyeluruh.
"Mama sekarang kok jadi kecil?" tanyanya polos, membuat mamanya seketika tergelak.
"Kamu sehat?" tanyanya serak.
"Sehat, Ma." Ari mengangguk.
Sang mama menatapnya dengan pandang sedih, juga penyesalan.
"Ari sekarang udah gede. Mama nggak ngeliat. Tau-tau udah segini. Mama minta maaf. Maafin Mama ya, Nak, nggak bisa nemenin."
Ari mengangguk-angguk lagi, tak sanggup menjawab. Kalau dulu sang mama harus membungkuk untuk menyentuh kedua pipinya, kini ganti sang anaklah yang harus membungkukkan tubuh agar mamanya bisa menyentuh kedua pipinya.
Setelah puas, setelah seluruh kerinduannya pada sang mama tertumpah, Ari balik badan. Ketika ditatapnya saudara kembarnya yang hanya sepuluh menit lebih tua itu, hal yang langsung terlintas dalam kepalanya adalah, Ata terpaksa harus bekerja. Seketika muncul rasa bersalah. Dirinya punya banyak uang dan lebih sering di gunakan untuk hal-hal yang tidak jelas. Membeli teman. Membeli perhatian. Mengenyahkan kesepian.
Ata balik menatap adik kembarnya itu. "Baik-baik?" bisiknya. Ari mengangguk. Keduanya saling tatap. Saling meneliti.
Rasanya Ari tak bisa percaya ini adalah Ata yang dulu hobi berteriak-teriak jika keinginannya tak dipenuhi. Ata yang penegak keadilah dalam jubah hitam Batman-nya yang berkibar-kibar. Ata yang paling anti kalau disuruh Mama ke warung beli garam apalagi terasi dan memilih diomeli. Bagi Ata sendiri, nyaris tidak ada lagi yang tersisa dari Ari yang terus diingatnya selama sembilan tahun ini. Ari yang kalem. Ari yang anak rumahan. Ari yang penurut. Ari yang anak Mama. Dan Ari yang membuatnya sering cemas dengan semua sifat-sifatnya itu. Saat ini yang berdiri di hadapannya adalag Ari yang telah berhasil melewati segala kesulitan. Ari yang kuat.
Keduanya tersenyum bersamaan, dengan visual tentang sang saudara kembar dalam masing-masing kenangan.
"Lo jadi beda," ubap Ata.
"Lo juga."
Ata tertawa pelan. Dia rentangkan kedua lengannya dan dipeluknya Ari kuat-kuat, yang lalu membalas pelukan itu sama kuatnya.
Berdiri di dekat keduanya, sang mama menyaksikan itu dalam tangis tanpa suara.
***
Dari balik salah satu pilar tempatnya menyembunyikan diri, Tari menatap pemandangan itu dengan mulut yang tanpa sadar menganga lebar. Sembilah tahun terpisah dan keduanya masih tetap seperti saat kamera itu mengabadikannya dalam lembar-lembar kenangan.
Keduanya tetap begitu sama dan serupa. Seperti benda dan bayangan. Seperti laut dan langit. Keduanya benar-benar sama tinggi. Entah dengan cara bagaimana alam menyampaikan kepadanya, Ata juga punya potongan rambut yang benar-benar sama denga n saudara kembarnya. Satu-satunya perbedaan yang m encolok hanya dalam penampilan keduanya. Ata terliha t sangat sederhana. Sementara Ari, meskipun gaya ber pakaiannya memang kasual, semua bisa melihat setiap benda yang menempel di tubuhny bukanlah barang m urah.
Ketiga orang itu kini berjalan menjauhi pintu kedatangan. Tari menatap ketiganya dalam keharuan. Mama kedua kembar itu berjalan di tengah, diapit kedua anak kembarnya. Satu yang terpisah begitu lama dengannya, memeluk satu lengannya kuat-kuat. Sementara satu yang selama ini selalu bersamanya, sibuk dengan barang bawaan yang begitu banya