Cerita Remaja | Jingga Dalam Elegi | by Esti Kinasih | Jingga Dalam Elegi | Cersil Sakti | Jingga Dalam Elegi pdf
5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee Lestari Gadis Pantai - Pramoedya Ananta Toer Pendekar Rajawali Sakti - 107 Titisan Anak Setan
k.
***
Tari membasuh mukanya di wastafel berkali-kali. Mencoba sedikit mengurangi sembab di kedua matanya. Ketika usahanya gagal, dengan putus asa ditatapnya pantulan wajahnya di cermin di depannya.
"Aduh, gue pulangnya gimana nih?" desisnya pelan. Sembab di kedua matanya begitu parah, sampai dia yakin orang akan bisa melihatnya dari jarak satu kilometer.
Tapi ini bandara. Tempat orang berdatang an atau perpergian bahkan ke tempat terjuh di bumi. T empat orang-orang bertemu dan berpisah.
Beberapa mungkin hanya berpisah sementara, namun beberapa bisa jadi berpisah abadi. Beberapa adalah pertemuan yang pertama, sementara beberapa yang lain bisa jadi pertemuan yang terakhir. Jadi, sebenarnya sangat wajar kalau seseorang menangis di bandara.
Tari jadi sedikit tenang setelah menemukan alasan itu. Mudah-mudahan saja saat bus Damri yang ditumpanginya nanti sampai di tempat dia harus turun, sembab di kedua matanya sudah berkurang. Dikeluarkannya kotak bedak padat dari dalam tas, lalu dengan cermat dibubuhinya mukanya dengan serbuk halus itu. Berharap mukanya yang pucat bisa terlihat sedikit lebih cerah. Setelah menghela napas panjang sambil menatap pantulan wajahnya di cermin, Tari berjalan ke luar toilet dengan kepala menunduk. "Mau pulang dalam kondisi begitu?"
Langkah Tari sontak terhenti. Dengan terkejut diangkatnya kepala. Ari berdiri tidak jauh di depannya. Punggungnya bersandar di dinding luar toilet. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tertegun, Tari menata kedua mata Ari yang sembab. Dalam keadaan begitu, cowok ini jadi terlihat lebih manusiawi.
Mulut Tari sudah terbuka, tapi dia tidak berhasil menemukan alasan yang tepat untuk keberadaannya di bandara pada saat yang bersamaan dengan kedatangan mama Ari dan saudara kembarnya.
Ari tersenyum. "Gue udah ngeliat lo tadi," ucapnya pelan. "Duduk ngumpet di balik pilar. Ngumpet, tapi sebentar-sebentar ngintip."
Seketika kedua mata Tari melebar. Dan segera, mukanya dipenuhi rona merah.
"Kok bisa? Kayaknya elo nggak pernah nengok deh."
Ari tersenyum lagi. "Kayaknya, kan?"
Tari tertegun. "Berarti lo tau gue udah... "
"Tiga jam lebih di bandara?" potong Ari. "Jelas tau lah."
Cowok itu lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Tatapannya pada Tari kini tak lagi dengan kata. Tak lagi ada suara. Hanya menatap.
"Ada apa?" tanya Tari bingung.
Ari tak menjawab. Tetap hanya menatap.
"Ada apa sih? Lo jangan aneh gitu dong," kejar Tari lagi.
Tetap tidak ada jawaban. Namun kali ini sepasang mata Ari yang terarah lurus-lurus padanya itu mengerjap.
Tiba-tiba Ari menguraikan kedua tanganny yang terlipat di depan dada. Cowok itu lalu menghampiri Tari dengan langkah-langkah panjang. Dan sebelum Tari sempat menyadari, Ari sudah merengkuhnya. Ditenggelamkannya gadis yang telah menunjukan pintu keluar baginya itu dalam kedalaman dada dan kedua lengannya.
Tari tersentak. Dia meronta, tapi dada dan kedua lengan ini kuat mengurungnya. Dia tak bisa bertanya, karena degup jantung Ari mengalahkan semua suara. Tak lama cowok itu menundukkan kepala lalu berbisik lirih di satu telinganya. "Terima kasih." bisiknya.
Ari menguraikan pelukannya. Ditatapnya muka Tari yang kini merona.
"Banyak yang mau gue bilang. Tapi sekarang cuma itu yang bisa gue bilang. Terima kasih banyak." "Gue nggak ngerti... " Tari menggeleng.
"Nggak pa-pa." Ari ikut menggeleng. Kemudian di tariknya napas dan sikapnya kembali bias a. "Yuk,
gue kenalin lo ke nyokap gue sama Ata."
Tari langsung menolak. "Nggak ah, nggak enak."
"Nggak pa-pa. Mereka baik kok."
"Gue tau mereka baik. Cuma momennya nggak pas aja. Nanti-nanti aja deh. Kalian kan baru aja ketemu lagi."
Ari membungkukkan punggungnya, menjajarkan mukanya dengan Tari.
"Kalo ada orang kedua yang harus mereka temuin," kedua matanya memancarkan sorot yang kontradiktif, lembut tapi tidak bisa ditolak, ".....itu elo."
"Iya, tapi.... "
Ari sudah tidak lagi memedulikan penolakan Tari. Dirangkulnya cewek itu dan dengan paksa dibawanya ke tempat Mama dan Ata berdiri menunggu. "Ini, Ma. Kenalin," ucap Ari dengan senyum lebar.
Seketika kedua orang yang berdiri di dekatnya menatap Tari dengan tanda tanya.
"Eeh.... saya Tari, Tan," ucap Tari. Sambil senyum kikuk, dia anggukan kepalanya. Wanita di depannya membalas senyumnya tapi tetap dengan ekspresi bingung.
"Sebutin dong nama lengkap lo," kata Ari.
"Mm.... nama saya Jingga Matahari, Tante, Kak Ata... "
Begitu Tari menyebutkan nama lengkapnya, dua orang di depannya kontan ternganga.
"Ya ampuuun!" mama Ari berseru tertahan. "Kok namanya kebalikan nama Ata?"
"Kaget kan, Ma? Ari juga kaget banget. Nanti kalo Ari ceritain cerita lengkapnya, Mama pasti makin kaget lagi."
"Oh, ya? Cerita apa?" tanya mama Ari seketika. "Jangan-jangan dia jodoh gue?" sela Ata.
Ari langsung menatapnya tajam. "Kita baru ketemu nih. Jadi jangan ngajak berantem deh," gerutunya.
Ata terkekeh.
"Nanti aja. Sekarang Mama istirahat dulu deh. Tante Lidya udah nungguin. Udah SMS Ari melulu nih. Oke, Ma?" Ari mengacungkan jempol kanannya. "Okeee." Mamanya mengangguk.
Sambil tertawa geli karena kata 'oke' tadi mengingatkannya pada masa kecilnya, Ari mengayunkan satu tangannya. Sebuah taksi langsung merespons. Begitu taksi itu berhenti di depannya, bersama Ata, Ari segera memasukkan barang-barang bawaan yang begitu banyak itu ke bagasi. "Nanti Ari nyusul, Ma. Mau nganter Tari dulu. Oke?" "Okeee." mamanya mengangguk.
Dengan senyum lebar, Ari menatap taksi yang ditumpangi mamanya dan Ata sampai benar-benar hilang, kemudian dia balik badan.
"Lo utang penjelasan," Tari langsung menyebutnya dengan nada menuntut.
"Gue tau," jawab Ari lembut. "Gue nggak bareng mereka bukan karena gue bawa motor, tapi karena gue punya utang sama elo." Kemudian dirangkulnya satu bahu Tari. "Yuk, cari tempat yang sepi." "Ngapain?" tanya Tari langsung curiga.
"Ya biar nggak ada saksi lah. Buat jaga-jaga aja. Siapa tau ntar lo ngamuk terus gue dicubit atau dicakar. Atau lo jadi histeris terus jerit-jerit."
"Emang gue kayak gitu? Lo nggak usah ngarah deh," ucapnya dengan muka yang langsung cemberut. "Iya. Lo emang begitu." Ari mengangguk. "Lo pernah jerit-jerit di sekolah, kan? Berapa kali coba?
Bikin rame. Bikin heboh."
"Itu kan gara-gara elo!" sergah Tari seketika.
"Makanya. Sekarang ini bakalan gara-gara gue lagi. Makanya harus nyari tempat yang sepi. Masalahnya, ini di bandara, orang-orang nggak kenal kita. Mereka nggak tau kita emang doyan ribut. Beda sama di sekolah." "Ng.... " Tari mati kutu.
"Nggak bisa ngomong kan lo?" Ari mengedipkan satu matanya, tersenyum menang. Ditariknya Tari dari situ dan benar-benar dibawanya ke tempat yang sepi, ke salah satu titik di ruang terbuka bandara yang begitu luas. Di balik rumpun tanaman hias yang tumbuh lebat dan penuh bunga.
***
Tari ternganga. Terjawab sudah semuanya. Ari membayar seseorang untuk menjadi dirinya pada saat dia menjadi Ata. Hadir pada tempat yang sama untuk mengesankan bahwa Ata memang benar-benar ada.
Ari yang mengatur semuanya. Setiap kejadian. Setiap tindakan. Setiap dialog. Setiap respons. Juga waktu dan tempat. Kode-kode digunakan agar semua berjalan sesuai skenario yang telah disusun. SMS-SMS telah disimpan dalam fitur draft dan tinggal dikirimkan sesuai urutan skenario atau pemberian kode.
Masih dengan mulut ternganga, Tari menggeleng-gelengkan kepala. "Lo hebat. Pinter. Cerdas. Smart."
Pujian itu tulus, tapi Ari benar-benar merasa bersalah. Ditatapnya Tari tepat di manik mata. "Gue minta maaf," ucapnya sungguh-sungguh.
Tari menggeleng-geleng lagi. "Sumpah, lo pinter banget. Bisa ngatur semua itu." Ari tersenyum. Senyum bersalah. "Gue dimaafin?" tanyanya pelan.
Ganti Tari tersenyum. "Kalo nggak, gue nggak akan ngirimin lo SMS." Mendadak dia terdiam. "Lo terima SMS gue nggak sih?"
Ari terlihat kaget. Ditatapnya Tari lurus-lur us. "Itu bukan SMS salah kirim?" tanyanya pelan. "Ya ng gak lah."
"Ya ampun....." Ari mendesah, bersamaan dengan kedua bahunya bergerak turun. "Gue kirain SMS salah kirim, Tar. Kenapa lo nggak ngirimin gue SMS lagi?"
"Kalo yang itu nggak dibales, ngapain gue ngirimin SMS lagi? Gue kirain lo marah. Nggak mau maafin gue. Udah telat. Soalnya..." Tari terdiam. Kemudian suaranya melemah. "Waktu lo udah minta maaf berkali-kali dan gue nggak mau denger."
"Iya, sama. Pertimbangan gue itu juga. Waktu itu lo segitu marahanya, segitu bencinya ngeliat gue, jadi gue pikir nggak mungkin tu SMS buat gue. Kecuali kalo ada SMS susulan. Dan ternyata nggak." Keduanya saling tatap. Tari hanya mampu bertahan sejenak. Kedua bola mata hitam yang menatapnya lurus-lurus kedalam manik matanya itu membuatnya jengah. Akhirnya cewek itu memalingkan muka ke arah lain. Ari jadi tersenyum geli.
"Maaf ya," ucap Tari pelan, tapi dengan muka masih menata ke arah lain. Ari menahan senyumnya agar tidak berubah jadi tawa. "Lo minta maaf sama siapa sih? Pohon? Emang lo diapain?"
Tari berdecak kesal. Wajahnya kembali berpaling. "Lo tuh emang suka cari gara-gara deh." Tawa Ari meledak. Setelah tawanya reda, kembali ditatapnya Tari dengan ekspresi serius.
"Gue dimaafin?" dia bertanya balik.
"Makanya gue ngirim lo SMS," Tari menjawab manis.
Ari tersenyum lebar. "Elo emang pinter ngeles. Tapi... " kedua matanya menatap keseluruhan wajah cewek di depannya itu dengan sorot menerawang. "Apa jadinya kalo elo nggak ada ya?" gumamnya lirih.
"Apa?" tanya Tari. "Lo ngomong apa? Gue nggak denger... "
"Nggak." Ari langsung geleng kepala. "Yuk, pulang. Udah sore." Diraihnya satu tangan Tari dan ditariknya cewek itu sampai berdiri.
***
Ari menghentikan motornya di depan pagar rumah Tari. Dibantunya Tari turun dari boncengan motornya.
"Langsung ke rumah Tante Lidya itu?"
"Iya." Ari mengngguk. "Mama sama Ata tinggal di sana selama di Jakarta. Gue penginnya sih ngajak ke rumah, tapi bokap belom tau."
"Iya, jangan." Tari mengangguk. "Nanti malah kisruh. Satu-satu aja dikelarin." Kalimat Tari itu membuat Ari menatapnya dengan sorot ganjil. "Kenapa?" tanya Tari heran.
Ari tak menjawab. Tiba-tiba cowok itu mengulurkan tangan kirinya, menyentuh belakang kepala Tari. Sambil menyondongkan tubuh, cowok itu mendekatkan kepala Tari kearahnya. Dan sebelum Tari sempat menyadari, dia merasakan sebuah ciuman lembut di keningnya. Seketika cewek itu membeku.
Ari menjauhkan kepalanya. Rona merah padam di wajah Tari dan cewek itu yang sekarang jadi sibuk menghindari tatapannya -tidak punya keberanian lagi untuk menatap langsung ke dalam matanya-menghangatkan dada Ari.
"Istirahat gih. Lo pasti capek. Tiga jam lebih nemenin gue di bandara," ucapnya lembut. Sejenak diusap-usapnya kepala Tari. "Gue pamit dulu ya. Sampein salam gue buat nyokap lo." Motor hitam Ari meluncur pergi. Tari terus memandang sampai motor itu menghilang, berbelok ke sebuah gang kecil di ujung jalan, dengan ciuman lembut yang terasa seperti tertinggal.
***
Pembicaraan itu menelan waktu berjam-jam. Berpindah-pindah lokasi dari teras lalu ke ruang tamu, kemudian ke ruang keluarga dan berakhir di kamar tidur tamu. Di rumah Tante Lidya yang bagi kedua kembar itu adalah rumah kedua mereka.
Dua anak tertua Tante Lidya -'Kakak-kaka k' kedua kembar itu dulu- satu sudah bekerja, sementa ra yang satu kuliah di Yogya. Sementara si bungsu, yan g dulu masih tertatih-tatih berjalan, sekarang sudah du duk di bangku sekolah dasar.
Sepanjang pembicaraan itu, mama Ari nyaris tidak bisa mengalihkan tatapannya dari anak kembarnya yang baru saja berhasil dia temukan kembali. Yang sembilan tahun lalu terpaksa harus dia tinggalkan. Hasil dari perjanjian yang berbelit, penuh dengan kemarahan dan pertengkaran hebat, serta benar-benar menguras emosi dan air mata.
Tanpa sadar, bergantian, satu tangannya mengelus kepala Ari, merapikan rambutnya lalu mengacak-acaknya lagi, mengusap-usap punggungnya. Bahkan berkali-kali wanita ini mencium dan memeluk anaknya yang dulu saat dia tinggalkan masih berupa anak laki-laki kecil, namun sekarang sudah menjadi laki-laki remaja. Tinggi besar seperti saudara kembarnya.
Sepanjang pembicaraan itu pula, Ari selalu berada di sebelah mamanya. Sebagian jiwanya yang tertahan pada usia delapan tahun
5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee Lestari Gadis Pantai - Pramoedya Ananta Toer Pendekar Rajawali Sakti - 107 Titisan Anak Setan
k.
***
Tari membasuh mukanya di wastafel berkali-kali. Mencoba sedikit mengurangi sembab di kedua matanya. Ketika usahanya gagal, dengan putus asa ditatapnya pantulan wajahnya di cermin di depannya.
"Aduh, gue pulangnya gimana nih?" desisnya pelan. Sembab di kedua matanya begitu parah, sampai dia yakin orang akan bisa melihatnya dari jarak satu kilometer.
Tapi ini bandara. Tempat orang berdatang an atau perpergian bahkan ke tempat terjuh di bumi. T empat orang-orang bertemu dan berpisah.
Beberapa mungkin hanya berpisah sementara, namun beberapa bisa jadi berpisah abadi. Beberapa adalah pertemuan yang pertama, sementara beberapa yang lain bisa jadi pertemuan yang terakhir. Jadi, sebenarnya sangat wajar kalau seseorang menangis di bandara.
Tari jadi sedikit tenang setelah menemukan alasan itu. Mudah-mudahan saja saat bus Damri yang ditumpanginya nanti sampai di tempat dia harus turun, sembab di kedua matanya sudah berkurang. Dikeluarkannya kotak bedak padat dari dalam tas, lalu dengan cermat dibubuhinya mukanya dengan serbuk halus itu. Berharap mukanya yang pucat bisa terlihat sedikit lebih cerah. Setelah menghela napas panjang sambil menatap pantulan wajahnya di cermin, Tari berjalan ke luar toilet dengan kepala menunduk. "Mau pulang dalam kondisi begitu?"
Langkah Tari sontak terhenti. Dengan terkejut diangkatnya kepala. Ari berdiri tidak jauh di depannya. Punggungnya bersandar di dinding luar toilet. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Tertegun, Tari menata kedua mata Ari yang sembab. Dalam keadaan begitu, cowok ini jadi terlihat lebih manusiawi.
Mulut Tari sudah terbuka, tapi dia tidak berhasil menemukan alasan yang tepat untuk keberadaannya di bandara pada saat yang bersamaan dengan kedatangan mama Ari dan saudara kembarnya.
Ari tersenyum. "Gue udah ngeliat lo tadi," ucapnya pelan. "Duduk ngumpet di balik pilar. Ngumpet, tapi sebentar-sebentar ngintip."
Seketika kedua mata Tari melebar. Dan segera, mukanya dipenuhi rona merah.
"Kok bisa? Kayaknya elo nggak pernah nengok deh."
Ari tersenyum lagi. "Kayaknya, kan?"
Tari tertegun. "Berarti lo tau gue udah... "
"Tiga jam lebih di bandara?" potong Ari. "Jelas tau lah."
Cowok itu lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Tatapannya pada Tari kini tak lagi dengan kata. Tak lagi ada suara. Hanya menatap.
"Ada apa?" tanya Tari bingung.
Ari tak menjawab. Tetap hanya menatap.
"Ada apa sih? Lo jangan aneh gitu dong," kejar Tari lagi.
Tetap tidak ada jawaban. Namun kali ini sepasang mata Ari yang terarah lurus-lurus padanya itu mengerjap.
Tiba-tiba Ari menguraikan kedua tanganny yang terlipat di depan dada. Cowok itu lalu menghampiri Tari dengan langkah-langkah panjang. Dan sebelum Tari sempat menyadari, Ari sudah merengkuhnya. Ditenggelamkannya gadis yang telah menunjukan pintu keluar baginya itu dalam kedalaman dada dan kedua lengannya.
Tari tersentak. Dia meronta, tapi dada dan kedua lengan ini kuat mengurungnya. Dia tak bisa bertanya, karena degup jantung Ari mengalahkan semua suara. Tak lama cowok itu menundukkan kepala lalu berbisik lirih di satu telinganya. "Terima kasih." bisiknya.
Ari menguraikan pelukannya. Ditatapnya muka Tari yang kini merona.
"Banyak yang mau gue bilang. Tapi sekarang cuma itu yang bisa gue bilang. Terima kasih banyak." "Gue nggak ngerti... " Tari menggeleng.
"Nggak pa-pa." Ari ikut menggeleng. Kemudian di tariknya napas dan sikapnya kembali bias a. "Yuk,
gue kenalin lo ke nyokap gue sama Ata."
Tari langsung menolak. "Nggak ah, nggak enak."
"Nggak pa-pa. Mereka baik kok."
"Gue tau mereka baik. Cuma momennya nggak pas aja. Nanti-nanti aja deh. Kalian kan baru aja ketemu lagi."
Ari membungkukkan punggungnya, menjajarkan mukanya dengan Tari.
"Kalo ada orang kedua yang harus mereka temuin," kedua matanya memancarkan sorot yang kontradiktif, lembut tapi tidak bisa ditolak, ".....itu elo."
"Iya, tapi.... "
Ari sudah tidak lagi memedulikan penolakan Tari. Dirangkulnya cewek itu dan dengan paksa dibawanya ke tempat Mama dan Ata berdiri menunggu. "Ini, Ma. Kenalin," ucap Ari dengan senyum lebar.
Seketika kedua orang yang berdiri di dekatnya menatap Tari dengan tanda tanya.
"Eeh.... saya Tari, Tan," ucap Tari. Sambil senyum kikuk, dia anggukan kepalanya. Wanita di depannya membalas senyumnya tapi tetap dengan ekspresi bingung.
"Sebutin dong nama lengkap lo," kata Ari.
"Mm.... nama saya Jingga Matahari, Tante, Kak Ata... "
Begitu Tari menyebutkan nama lengkapnya, dua orang di depannya kontan ternganga.
"Ya ampuuun!" mama Ari berseru tertahan. "Kok namanya kebalikan nama Ata?"
"Kaget kan, Ma? Ari juga kaget banget. Nanti kalo Ari ceritain cerita lengkapnya, Mama pasti makin kaget lagi."
"Oh, ya? Cerita apa?" tanya mama Ari seketika. "Jangan-jangan dia jodoh gue?" sela Ata.
Ari langsung menatapnya tajam. "Kita baru ketemu nih. Jadi jangan ngajak berantem deh," gerutunya.
Ata terkekeh.
"Nanti aja. Sekarang Mama istirahat dulu deh. Tante Lidya udah nungguin. Udah SMS Ari melulu nih. Oke, Ma?" Ari mengacungkan jempol kanannya. "Okeee." Mamanya mengangguk.
Sambil tertawa geli karena kata 'oke' tadi mengingatkannya pada masa kecilnya, Ari mengayunkan satu tangannya. Sebuah taksi langsung merespons. Begitu taksi itu berhenti di depannya, bersama Ata, Ari segera memasukkan barang-barang bawaan yang begitu banyak itu ke bagasi. "Nanti Ari nyusul, Ma. Mau nganter Tari dulu. Oke?" "Okeee." mamanya mengangguk.
Dengan senyum lebar, Ari menatap taksi yang ditumpangi mamanya dan Ata sampai benar-benar hilang, kemudian dia balik badan.
"Lo utang penjelasan," Tari langsung menyebutnya dengan nada menuntut.
"Gue tau," jawab Ari lembut. "Gue nggak bareng mereka bukan karena gue bawa motor, tapi karena gue punya utang sama elo." Kemudian dirangkulnya satu bahu Tari. "Yuk, cari tempat yang sepi." "Ngapain?" tanya Tari langsung curiga.
"Ya biar nggak ada saksi lah. Buat jaga-jaga aja. Siapa tau ntar lo ngamuk terus gue dicubit atau dicakar. Atau lo jadi histeris terus jerit-jerit."
"Emang gue kayak gitu? Lo nggak usah ngarah deh," ucapnya dengan muka yang langsung cemberut. "Iya. Lo emang begitu." Ari mengangguk. "Lo pernah jerit-jerit di sekolah, kan? Berapa kali coba?
Bikin rame. Bikin heboh."
"Itu kan gara-gara elo!" sergah Tari seketika.
"Makanya. Sekarang ini bakalan gara-gara gue lagi. Makanya harus nyari tempat yang sepi. Masalahnya, ini di bandara, orang-orang nggak kenal kita. Mereka nggak tau kita emang doyan ribut. Beda sama di sekolah." "Ng.... " Tari mati kutu.
"Nggak bisa ngomong kan lo?" Ari mengedipkan satu matanya, tersenyum menang. Ditariknya Tari dari situ dan benar-benar dibawanya ke tempat yang sepi, ke salah satu titik di ruang terbuka bandara yang begitu luas. Di balik rumpun tanaman hias yang tumbuh lebat dan penuh bunga.
***
Tari ternganga. Terjawab sudah semuanya. Ari membayar seseorang untuk menjadi dirinya pada saat dia menjadi Ata. Hadir pada tempat yang sama untuk mengesankan bahwa Ata memang benar-benar ada.
Ari yang mengatur semuanya. Setiap kejadian. Setiap tindakan. Setiap dialog. Setiap respons. Juga waktu dan tempat. Kode-kode digunakan agar semua berjalan sesuai skenario yang telah disusun. SMS-SMS telah disimpan dalam fitur draft dan tinggal dikirimkan sesuai urutan skenario atau pemberian kode.
Masih dengan mulut ternganga, Tari menggeleng-gelengkan kepala. "Lo hebat. Pinter. Cerdas. Smart."
Pujian itu tulus, tapi Ari benar-benar merasa bersalah. Ditatapnya Tari tepat di manik mata. "Gue minta maaf," ucapnya sungguh-sungguh.
Tari menggeleng-geleng lagi. "Sumpah, lo pinter banget. Bisa ngatur semua itu." Ari tersenyum. Senyum bersalah. "Gue dimaafin?" tanyanya pelan.
Ganti Tari tersenyum. "Kalo nggak, gue nggak akan ngirimin lo SMS." Mendadak dia terdiam. "Lo terima SMS gue nggak sih?"
Ari terlihat kaget. Ditatapnya Tari lurus-lur us. "Itu bukan SMS salah kirim?" tanyanya pelan. "Ya ng gak lah."
"Ya ampun....." Ari mendesah, bersamaan dengan kedua bahunya bergerak turun. "Gue kirain SMS salah kirim, Tar. Kenapa lo nggak ngirimin gue SMS lagi?"
"Kalo yang itu nggak dibales, ngapain gue ngirimin SMS lagi? Gue kirain lo marah. Nggak mau maafin gue. Udah telat. Soalnya..." Tari terdiam. Kemudian suaranya melemah. "Waktu lo udah minta maaf berkali-kali dan gue nggak mau denger."
"Iya, sama. Pertimbangan gue itu juga. Waktu itu lo segitu marahanya, segitu bencinya ngeliat gue, jadi gue pikir nggak mungkin tu SMS buat gue. Kecuali kalo ada SMS susulan. Dan ternyata nggak." Keduanya saling tatap. Tari hanya mampu bertahan sejenak. Kedua bola mata hitam yang menatapnya lurus-lurus kedalam manik matanya itu membuatnya jengah. Akhirnya cewek itu memalingkan muka ke arah lain. Ari jadi tersenyum geli.
"Maaf ya," ucap Tari pelan, tapi dengan muka masih menata ke arah lain. Ari menahan senyumnya agar tidak berubah jadi tawa. "Lo minta maaf sama siapa sih? Pohon? Emang lo diapain?"
Tari berdecak kesal. Wajahnya kembali berpaling. "Lo tuh emang suka cari gara-gara deh." Tawa Ari meledak. Setelah tawanya reda, kembali ditatapnya Tari dengan ekspresi serius.
"Gue dimaafin?" dia bertanya balik.
"Makanya gue ngirim lo SMS," Tari menjawab manis.
Ari tersenyum lebar. "Elo emang pinter ngeles. Tapi... " kedua matanya menatap keseluruhan wajah cewek di depannya itu dengan sorot menerawang. "Apa jadinya kalo elo nggak ada ya?" gumamnya lirih.
"Apa?" tanya Tari. "Lo ngomong apa? Gue nggak denger... "
"Nggak." Ari langsung geleng kepala. "Yuk, pulang. Udah sore." Diraihnya satu tangan Tari dan ditariknya cewek itu sampai berdiri.
***
Ari menghentikan motornya di depan pagar rumah Tari. Dibantunya Tari turun dari boncengan motornya.
"Langsung ke rumah Tante Lidya itu?"
"Iya." Ari mengngguk. "Mama sama Ata tinggal di sana selama di Jakarta. Gue penginnya sih ngajak ke rumah, tapi bokap belom tau."
"Iya, jangan." Tari mengangguk. "Nanti malah kisruh. Satu-satu aja dikelarin." Kalimat Tari itu membuat Ari menatapnya dengan sorot ganjil. "Kenapa?" tanya Tari heran.
Ari tak menjawab. Tiba-tiba cowok itu mengulurkan tangan kirinya, menyentuh belakang kepala Tari. Sambil menyondongkan tubuh, cowok itu mendekatkan kepala Tari kearahnya. Dan sebelum Tari sempat menyadari, dia merasakan sebuah ciuman lembut di keningnya. Seketika cewek itu membeku.
Ari menjauhkan kepalanya. Rona merah padam di wajah Tari dan cewek itu yang sekarang jadi sibuk menghindari tatapannya -tidak punya keberanian lagi untuk menatap langsung ke dalam matanya-menghangatkan dada Ari.
"Istirahat gih. Lo pasti capek. Tiga jam lebih nemenin gue di bandara," ucapnya lembut. Sejenak diusap-usapnya kepala Tari. "Gue pamit dulu ya. Sampein salam gue buat nyokap lo." Motor hitam Ari meluncur pergi. Tari terus memandang sampai motor itu menghilang, berbelok ke sebuah gang kecil di ujung jalan, dengan ciuman lembut yang terasa seperti tertinggal.
***
Pembicaraan itu menelan waktu berjam-jam. Berpindah-pindah lokasi dari teras lalu ke ruang tamu, kemudian ke ruang keluarga dan berakhir di kamar tidur tamu. Di rumah Tante Lidya yang bagi kedua kembar itu adalah rumah kedua mereka.
Dua anak tertua Tante Lidya -'Kakak-kaka k' kedua kembar itu dulu- satu sudah bekerja, sementa ra yang satu kuliah di Yogya. Sementara si bungsu, yan g dulu masih tertatih-tatih berjalan, sekarang sudah du duk di bangku sekolah dasar.
Sepanjang pembicaraan itu, mama Ari nyaris tidak bisa mengalihkan tatapannya dari anak kembarnya yang baru saja berhasil dia temukan kembali. Yang sembilan tahun lalu terpaksa harus dia tinggalkan. Hasil dari perjanjian yang berbelit, penuh dengan kemarahan dan pertengkaran hebat, serta benar-benar menguras emosi dan air mata.
Tanpa sadar, bergantian, satu tangannya mengelus kepala Ari, merapikan rambutnya lalu mengacak-acaknya lagi, mengusap-usap punggungnya. Bahkan berkali-kali wanita ini mencium dan memeluk anaknya yang dulu saat dia tinggalkan masih berupa anak laki-laki kecil, namun sekarang sudah menjadi laki-laki remaja. Tinggi besar seperti saudara kembarnya.
Sepanjang pembicaraan itu pula, Ari selalu berada di sebelah mamanya. Sebagian jiwanya yang tertahan pada usia delapan tahun