Cerita Misteri | Sang Pengintai | Serial Kelompok 2 & 1 | Sang Pengintai | Cersil Sakti | Sang Pengintai pdf
Gaung Keheningan - Eloquent Silence - Sandra Brown Gue Anak SMA - Benny Rhamdany Jingga Dalam Elegi - Esti Kinasih Jingga untuk Matahari - Esti Kinasih Karena Aku Mencintai Manusia Setengah Dewa
ah itu Anda harus cepat-cepat menyingkir. Uang itu sudah harus berada di makam itu pukul satu siang ini! Pukul satu siang ini! Anda mengerti?"
"Ya, ya!"
"Ingat, Tuan Gumarang, Anda harus ke kuburan itu sendirian! Sendirian!" penculik mengulangi dengan penuh tekanan. "Tempat itu sudah kami awasi. Jika kami sampai melihat orang lain yang mencurigakan, atau polisi sampai ikut campur, jangan harap Anda bisa bertemu dengan putra Anda lagi!"
"Anda tidak perlu khawatir. Saya tidak akan membawa polisi."
"Bagus! Kami senang Anda tahu bagaimana caranya harus bekerja sama dengan orang macam kami."
"Lalu bagaimana dengan Huri? Kapan kami bisa mendapatkannya kembali?" tanya Pak Gumarang.
"Itu sudah kami atur. Kami pasti akan mengembalikan Huri setelah uang kami terima."
"Tapi..."
"Cuma itu yang bisa kami janjikan. Anda harus percaya pada kami!" potong suara penculik, menyentak.
Kemudian bagian akhir dari percakapan yang tadi telah didengar anak-anak. berkumandang kembali.
Suara Pak Gumarang, "Baik, akan saya turuti instruksi Anda. Tapi jangan sekali-kali Anda menipu saya. Huri harus kembali dalam keadaan selamat."
"Pasti, pasti. Tuan Gumarang. Pokoknya beres!"
"Saya ingin mendengar suara anak saya...."
"Tidak mungkin sekarang. Huri kami simpan di tempat yang jauh. Saya kira sudah cukup...."
"Tunggu! Jangan letakkan dulu!" cegah Pak Gumarang.
"KUK!"
"Setan!" Dan terdengar bunyi telepon dibanting.
Tak ada suara lagi, kecuali bunyi pita rekaman yang mendesis desis Koptu polisi Sahron mematikan alat perekam.
17
Sepi beberapa saat. Ketiga anak di luar jendela menunggu kejadian berikutnya. Lalu, Pak Gumarang berkata kepada istrinya, "Aku harus segera berangkat." Laki-laki itu melirik arlojinya. "Jam 12.10... waktu kita tinggal 50 menit." Pak Gumarang berjalan ke kamar untuk mengambil uang yang sudah disediakannya.
"Tunggu, Pak," cegah Koptu Sahron. "Kita harus mengatur rencana."
"Rencana? Rencana apa?" Pak Bob Gumarang berbalik. menghadap polisi muda itu. "Dengar! Saya tidak ingin polisi ikut campur dalam urusan ini. Anda sendiri sudah mendengar ancaman komplotan itu. Saya tidak menghendaki anak saya celaka!"
"Tentu saja. Kami juga tidak!" jawab Koptu Sahron tersinggung. "Ingat, Pak, Anda sudah berjanji pada Letnan Dipa untuk bekerja sama. Kita harus meringkus komplotan itu. Dan sekaranglah saatnya yang paling baik!"
"Tidak, tidak bisa! Saya berkeberatan kalau Anda ikut campur dalam urusan ini. Kopral!" Pak Bob melanjutkan dengan suara makin nyaring. Tangannya bergerak-gerak. "Penculik itu cukup cerdik. Buktinya mereka sengaja memberi waktu yang sempit pada saya untuk pergi ke makam Pungkasan. Tentu maksudnya supaya saya tidak punya waktu lagi untuk menghubungi polisi."
"Saya tahu...."
"Dan mereka mengatakan telah mengawasi kuburan itu. Mereka tentu tahu kalau polisi datang, meskipun Anda memakai pakaian preman. Tidak, saya tidak ingin anak saya celaka. Huri anak saya. Anak saya satu-satunya! Saya tidak berkeberatan kehilangan uang itu, asal Huri kembali dengan selamat!"
"Soalnya bukan itu. Bukan Anda rela atau tidak kehilangan uang lima puluh juta. Tapi - polisi tidak mungkin membiarkan penjahat-penjahat itu berkeliaran dengan bebas, setelah menerima uang Anda," sahut Pak Sahron. Darah muda membuat polisi itu kurang sabar.
"Urusan penangkapan adalah urusan Anda. Tapi saya minta jangan lakukan itu sekarang. Huri bisa celaka!"
"Kalau tidak sekarang, nanti pasti sulit," tukas Koptu Sahron berkeras. "Anda tidak perlu khawatir. Apakah Anda pikir polisi akan bergerak secara sembrono? Kami tahu caranya. Pak Gumarang!"
Pak Gumarang mengangkat telunjuknya ke muka. lalu menggerakkannya ke arah Koptu Sahron. "Saya peringatkan Anda, Kopral. Saya sudah menolak kerja sama ini..."
"Maaf, kami harus segera bertindak." Tanpa mengacuhkan Pak Gumarang lebih lanjut, Koptu Sahron berjalan ke luar. ia mau mengatur rencana sendiri karena Pak Gumarang tetap menolak uluran bantuannya.
"Kopral! Kopral!" teriak Pak Gumarang. Menyadari bahwa kopral itu tidak mungkin dicegah lagi, Pak Gumarang menghajar meja dengan kepalanya. "BRAKK!"
"Pak, tunggu apa lagi?" seru Bu Gumarang mengingatkan. "Waktumu tinggal sedikit."
Pak Gumarang tersentak. Setengah berlari ia mengambil tas kopor di kamar. Lalu ia menuju ke mobil Pak Asum memberi tahu arah ke tanah pekuburan yang dimaksudkan penculik. Setelah jelas. Pak Gumarang pun menjalankan mobilnya, ia berangkat, sendiri!
18
Ketegangan yang menyelimuti semua orang seakan memperoleh lubang penyaluran setelah Pak Gumarang berangkat. Suasana tiba-tiba berubah bising. Di dalam rumah Bu Gumarang berbicara dengan suara cepat kepada Nenek dan Mas Ariyo- Wanita itu antara berharap dan khawatir memikirkan hasil pertemuan suaminya dengan penculik. Apakah penculik sungguh sungguh akan membebaskan Huri setelah menerima uang tebusan?
Mas Ariyo khawatir usaha Pak Gumarang akan gagal. Karena sikap Koptu Sahron. Apa jadinya kalau nanti komplotan mengetahui kehadiran Koptu Sahron dan kawan-kawan?
Kata-kata yang bernada pesimis itu menambah kekhawatiran Bu Gumarang dan Nenek. Febriya dan para pembantu ketularan. Masing-masing lalu mengemukakan komentar dan pendapat yang berbeda-beda.
Sementara itu di luar-anggota Kelompok 2 & 1 tengah berunding.
Dede mengajak segera menyusul Pak Gumarang. Katanya, ia tahu letak tanah makam Pungkasan. Namun Yan - yang biasa berpikir panjang - tidak segera menanggapi usul itu. Anak berambut lebat itu tampak mempertimbangkan usul Dede dengan serius.
"Ayo, nanti kita terlambat!" ajak Dede sekali lagi.
Tiba-tiba Yan menggeleng.
Bola mata Dede seketika melebar. "Tidak?" gumamnya heran. "Kenapa, Yan? Ini kesempatan yang baik bagi kita untuk bertindak."
"Bertindak apa? Apa yang akan kaulakukan di sana - setelah urusan menjadi begini?" tukas Yan.
Dede yang tidak siap menghadapi pertanyaan itu, tidak bisa menjawab, ia memandang Yan sekilas, lalu memandang Ira.
"Urusan ini sudah berkembang menjadi sedemikian rupa sehingga kita tidak kebagian peranan lagi. Kau tahu sendiri. Pak Gumarang sudah ke sana. Polisi juga akan datang. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Paling-paling cuma melihat."
"Ya, melihat!" Dede menggerakkan telunjuk. "Kita akan bisa menyaksikan sebuah keramaian yang jarang terjadi."
"Tapi itu sangat berbahaya, De," Yan mengingatkan. "Sebab tidak mustahil di tempat itu akan terjadi tembak-menembak."
"Itulah yang kutunggu!" seru Dede keras kepala.
Yan menggeleng tegas. "Tidak, kita tidak akan ke sana!"
"Yan!" teriak Dede, kesal. "Aku sependapat dengan Kak Yan. Kita tidak perlu ke sana. Kita tunggu saja hasilnya," kata Ira.
"Apa? Menunggu? Cuma menunggu? Bah!" Dede menepiskan tangan dengan gaya menghina. Matanya menatap Ira. "Susah-susah kita menyelidiki perkara ini. Setelah penyelesaiannya di depan mata, kalian justru mau mundur. Kalau begitu - apa gunanya kita bersusah payah melibatkan diri? Dasar penakut semuanya!"
"Aku bukannya takut!" tukas Ira keras. "Tapi sebagai anak-anak mestinya kita cukup tahu diri. Perkara ini - seperti kata Kak Yan - sudah berkembang menjadi bukan urusan kita lagi. Lalu mengapa kita memaksakan diri untuk ikut menyelesaikannya?" Ira diam sebentar. "Lagi pula aku tidak ingin melanggar janji pada Ibu. Ibu sudah berpesan, kami boleh melibatkan diri dalam perkara ini, dalam batas-batas tertentu. Apabila keadaan terasa mulai berbahaya, kita harus cepat-cepat menarik diri!"
Dede mendengus. Kelakuannya itu memanaskan hati Ira. Sebaliknya Yan tetap bersikap tenang. Yan sudah sangat mengenal perangai Dede. Biarkan saja, pikirnya.
"Baiklah. Kalau kalian tetap tidak mau, aku akan ke sana sendiri," Dede menggertak sambil berpura-pura mau melangkah.
"Silakan," jawab Yan ringan. Matanya melirik arloji di pergelangan Dede.
Dede ikut melirik. Pukul 12.25. Terlambat! Untuk mencapai pekuburan itu tak cukup waktu 35 menit, kalau naik kendaraan umum. Sebab letaknya cukup jauh. Dede menggeram marah. Matanya bagai ingin menelan Yan dan Ira bulat-bulat. Namun sesaat kemudian ketegangan berangsur-angsur lenyap dari mukanya.
"Ya sudahlah, kalian yang menang," ujarnya kemudian.
Ira dan kakaknya tertawa.
"Tapi - salanjutnya bagaimana?" tanya anak berkaca meta yang gampang naik darah itu. "Masa kita akan diam melulu?"
Yan menjawab sambil tersenyum, "Ira kan sudah ngomong. Kita tunggu dulu."
"Maksudnya?"
"Kalau urusan ini selesai, Huri sudah kembali, ya sudah! Berarti kita memang tidak jodoh dengan perkara ini. Tetapi seandainya tidak? Dan itu mungkin lho!" Yan menyambung, "Barangkali kita masih punya kesempatan untuk melakukan sesuatu lagi. Siapa tahu!"
Dede menghela napas dalam-dalam.
"Kak, sudah siang. Kita mau menunggu di sini terus, atau pulang?" tanya Ira.
"Sebaiknya kalian pulang dulu," kata Yaya yang muncul tiba-tiba.
Anak-anak memandang Yaya.
"Nenek mulai mempersoalkan kehadiran kalian. Aku jadi tidak enak." Febriya menjelaskan.
Yan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Tapi aku punya satu permintaan. Ya. Aku sangat ingin tahu akhir peristiwa ini. Maukah kamu segera memberi tahu kami setelah urusannya beres?" Yan membuka tangan. "Termasuk kalau terjadi perkembangan lain."
Febriya mengangguk. "Akan kuusahakan. Asa! aku punya kesempatan. Sekarang cepatlah pulang! Tuh, lihat, Nenek sedang memperhatikan kita," Yaya mendesak dengan gugup.
"Baik, baik! Ayo, sampai ketemu!"
Ketiga anak itu segera mengayunkan langkah, meninggalkan rumah keluarga Gumarang. Mereka terus pulang.
VIII. INFORMASI KEDUA DARI YAYA
19
Sepanjang siang sampai sore itu Yan dan kawan-kawan merasa gelisah. Kelakuan mereka tidak bisa tenang. Mereka serasa tak sabar, ingin mengetahui akhir drama penculikan Huri Gumarang, tetapi tidak tahu caranya.
Pada suatu saat mereka memutuskan untuk mendatangi lagi rumah keluarga Gumarang. Bertanya pada Yaya, bagaimana hasilnya? Namun kemudian niat itu batal dengan sendirinya. Sesudah mereka mempertimbangkan bahwa tindakan semacam itu bisa merugikan Yaya. Sebab, mungkin saja Yaya dimarahi gara-gara mereka bolak-balik datang.
Pada saat yang lain mereka mengatakan lebih baik kita menjumpai Letnan Dipa, dan mencari keterangan. Akan tetapi niat ini pun akhirnya mengendur. Gara-gara perasaan sungkan. Letnan Dipa sedang sibuk. Masa mereka mau mengganggunya dengan pertanyaan yang sebenarnya masih bisa ditunda? Tidak enak, ah!
Akhirnya mereka tidak melakukan apa-apa. Dede lalu pulang, ia mau tidur sebentar, katanya.
Yan juga masuk ke kamar, mencoba memicingkan mata. Sementara Ira membantu Ibu mendandani gorden jendela. Ibu mencoba mempraktekkan cara mendandani gorden menurut petunjuk buklet dari sebuah majalah.
Sekitar pukul lima sore, Dede kembali ke rumah Yan. Anak itu datang dengan sepeda, ia memakai jaket dan rambutnya tersisir rapi. Sesampainya di rumah Yan, Dede langsung menuju kamar temannya itu.
"Yan, bangun!" serunya.
Yan - yang baru bangun - menggeliat. Tubuhnya dimiringkannya menghadap pintu.
"Yan, antarkan aku ke rumah Danu." Dede berdiri di pinggir dipan.
"Ogah, ah!" Yan merentangkan lengannya. "Pergilah sendiri!"
"Ayo!" sentak Dede. "Kamu toh tidak punya acara."
"Mau apa ke sana?"
"Mengambil buku Pahlawan Lingkungan Hidup. Danu sudah berjanji mau meminjamkan padaku. Katanya, bagus!" Dede memiringkan mukanya. "Ayolah!"
Akhirnya Yan mau. ia berdiri. Dilemaskannya otot-ototnya dengan cara memutar punggung ke kiri dan ke kanan. Lalu sambil berjalan ke kamar mandi, ia berkata, "Tunggu sebentar."
Sementara menunggu, Dede Sofyan menggabungkan diri dengan Ira dan ibunya. Dede memperhatikan gorden yang baru diatur, lalu memuji. Selanjutnya bahan percakapan tertuju lagi pada peristiwa penculikan Huri.
Ira mengatakan bahwa ia tadi mendengarkan Warta Berita Daerah dari radio, ia berharap akan mendengar berita yang melegakan tentang Huri. Namun lagi-lagi radio tidak menyiarkan berita tentang penculikan itu.
Dede heran melihat Ira berbangkis bangkis "Kenapa, Ir?"
"Rupanya mau pilek," sahut Ira. Lubang hibungnya, sebelah, ditutupnya dengan ibu jari, lalu menyedot-nyedot. "Hidungku buntu."
"Itu namanya mau flu. Keluyuran terus sih!" celetuk Bu Minta.
"Keluyur
Gaung Keheningan - Eloquent Silence - Sandra Brown Gue Anak SMA - Benny Rhamdany Jingga Dalam Elegi - Esti Kinasih Jingga untuk Matahari - Esti Kinasih Karena Aku Mencintai Manusia Setengah Dewa
ah itu Anda harus cepat-cepat menyingkir. Uang itu sudah harus berada di makam itu pukul satu siang ini! Pukul satu siang ini! Anda mengerti?"
"Ya, ya!"
"Ingat, Tuan Gumarang, Anda harus ke kuburan itu sendirian! Sendirian!" penculik mengulangi dengan penuh tekanan. "Tempat itu sudah kami awasi. Jika kami sampai melihat orang lain yang mencurigakan, atau polisi sampai ikut campur, jangan harap Anda bisa bertemu dengan putra Anda lagi!"
"Anda tidak perlu khawatir. Saya tidak akan membawa polisi."
"Bagus! Kami senang Anda tahu bagaimana caranya harus bekerja sama dengan orang macam kami."
"Lalu bagaimana dengan Huri? Kapan kami bisa mendapatkannya kembali?" tanya Pak Gumarang.
"Itu sudah kami atur. Kami pasti akan mengembalikan Huri setelah uang kami terima."
"Tapi..."
"Cuma itu yang bisa kami janjikan. Anda harus percaya pada kami!" potong suara penculik, menyentak.
Kemudian bagian akhir dari percakapan yang tadi telah didengar anak-anak. berkumandang kembali.
Suara Pak Gumarang, "Baik, akan saya turuti instruksi Anda. Tapi jangan sekali-kali Anda menipu saya. Huri harus kembali dalam keadaan selamat."
"Pasti, pasti. Tuan Gumarang. Pokoknya beres!"
"Saya ingin mendengar suara anak saya...."
"Tidak mungkin sekarang. Huri kami simpan di tempat yang jauh. Saya kira sudah cukup...."
"Tunggu! Jangan letakkan dulu!" cegah Pak Gumarang.
"KUK!"
"Setan!" Dan terdengar bunyi telepon dibanting.
Tak ada suara lagi, kecuali bunyi pita rekaman yang mendesis desis Koptu polisi Sahron mematikan alat perekam.
17
Sepi beberapa saat. Ketiga anak di luar jendela menunggu kejadian berikutnya. Lalu, Pak Gumarang berkata kepada istrinya, "Aku harus segera berangkat." Laki-laki itu melirik arlojinya. "Jam 12.10... waktu kita tinggal 50 menit." Pak Gumarang berjalan ke kamar untuk mengambil uang yang sudah disediakannya.
"Tunggu, Pak," cegah Koptu Sahron. "Kita harus mengatur rencana."
"Rencana? Rencana apa?" Pak Bob Gumarang berbalik. menghadap polisi muda itu. "Dengar! Saya tidak ingin polisi ikut campur dalam urusan ini. Anda sendiri sudah mendengar ancaman komplotan itu. Saya tidak menghendaki anak saya celaka!"
"Tentu saja. Kami juga tidak!" jawab Koptu Sahron tersinggung. "Ingat, Pak, Anda sudah berjanji pada Letnan Dipa untuk bekerja sama. Kita harus meringkus komplotan itu. Dan sekaranglah saatnya yang paling baik!"
"Tidak, tidak bisa! Saya berkeberatan kalau Anda ikut campur dalam urusan ini. Kopral!" Pak Bob melanjutkan dengan suara makin nyaring. Tangannya bergerak-gerak. "Penculik itu cukup cerdik. Buktinya mereka sengaja memberi waktu yang sempit pada saya untuk pergi ke makam Pungkasan. Tentu maksudnya supaya saya tidak punya waktu lagi untuk menghubungi polisi."
"Saya tahu...."
"Dan mereka mengatakan telah mengawasi kuburan itu. Mereka tentu tahu kalau polisi datang, meskipun Anda memakai pakaian preman. Tidak, saya tidak ingin anak saya celaka. Huri anak saya. Anak saya satu-satunya! Saya tidak berkeberatan kehilangan uang itu, asal Huri kembali dengan selamat!"
"Soalnya bukan itu. Bukan Anda rela atau tidak kehilangan uang lima puluh juta. Tapi - polisi tidak mungkin membiarkan penjahat-penjahat itu berkeliaran dengan bebas, setelah menerima uang Anda," sahut Pak Sahron. Darah muda membuat polisi itu kurang sabar.
"Urusan penangkapan adalah urusan Anda. Tapi saya minta jangan lakukan itu sekarang. Huri bisa celaka!"
"Kalau tidak sekarang, nanti pasti sulit," tukas Koptu Sahron berkeras. "Anda tidak perlu khawatir. Apakah Anda pikir polisi akan bergerak secara sembrono? Kami tahu caranya. Pak Gumarang!"
Pak Gumarang mengangkat telunjuknya ke muka. lalu menggerakkannya ke arah Koptu Sahron. "Saya peringatkan Anda, Kopral. Saya sudah menolak kerja sama ini..."
"Maaf, kami harus segera bertindak." Tanpa mengacuhkan Pak Gumarang lebih lanjut, Koptu Sahron berjalan ke luar. ia mau mengatur rencana sendiri karena Pak Gumarang tetap menolak uluran bantuannya.
"Kopral! Kopral!" teriak Pak Gumarang. Menyadari bahwa kopral itu tidak mungkin dicegah lagi, Pak Gumarang menghajar meja dengan kepalanya. "BRAKK!"
"Pak, tunggu apa lagi?" seru Bu Gumarang mengingatkan. "Waktumu tinggal sedikit."
Pak Gumarang tersentak. Setengah berlari ia mengambil tas kopor di kamar. Lalu ia menuju ke mobil Pak Asum memberi tahu arah ke tanah pekuburan yang dimaksudkan penculik. Setelah jelas. Pak Gumarang pun menjalankan mobilnya, ia berangkat, sendiri!
18
Ketegangan yang menyelimuti semua orang seakan memperoleh lubang penyaluran setelah Pak Gumarang berangkat. Suasana tiba-tiba berubah bising. Di dalam rumah Bu Gumarang berbicara dengan suara cepat kepada Nenek dan Mas Ariyo- Wanita itu antara berharap dan khawatir memikirkan hasil pertemuan suaminya dengan penculik. Apakah penculik sungguh sungguh akan membebaskan Huri setelah menerima uang tebusan?
Mas Ariyo khawatir usaha Pak Gumarang akan gagal. Karena sikap Koptu Sahron. Apa jadinya kalau nanti komplotan mengetahui kehadiran Koptu Sahron dan kawan-kawan?
Kata-kata yang bernada pesimis itu menambah kekhawatiran Bu Gumarang dan Nenek. Febriya dan para pembantu ketularan. Masing-masing lalu mengemukakan komentar dan pendapat yang berbeda-beda.
Sementara itu di luar-anggota Kelompok 2 & 1 tengah berunding.
Dede mengajak segera menyusul Pak Gumarang. Katanya, ia tahu letak tanah makam Pungkasan. Namun Yan - yang biasa berpikir panjang - tidak segera menanggapi usul itu. Anak berambut lebat itu tampak mempertimbangkan usul Dede dengan serius.
"Ayo, nanti kita terlambat!" ajak Dede sekali lagi.
Tiba-tiba Yan menggeleng.
Bola mata Dede seketika melebar. "Tidak?" gumamnya heran. "Kenapa, Yan? Ini kesempatan yang baik bagi kita untuk bertindak."
"Bertindak apa? Apa yang akan kaulakukan di sana - setelah urusan menjadi begini?" tukas Yan.
Dede yang tidak siap menghadapi pertanyaan itu, tidak bisa menjawab, ia memandang Yan sekilas, lalu memandang Ira.
"Urusan ini sudah berkembang menjadi sedemikian rupa sehingga kita tidak kebagian peranan lagi. Kau tahu sendiri. Pak Gumarang sudah ke sana. Polisi juga akan datang. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Paling-paling cuma melihat."
"Ya, melihat!" Dede menggerakkan telunjuk. "Kita akan bisa menyaksikan sebuah keramaian yang jarang terjadi."
"Tapi itu sangat berbahaya, De," Yan mengingatkan. "Sebab tidak mustahil di tempat itu akan terjadi tembak-menembak."
"Itulah yang kutunggu!" seru Dede keras kepala.
Yan menggeleng tegas. "Tidak, kita tidak akan ke sana!"
"Yan!" teriak Dede, kesal. "Aku sependapat dengan Kak Yan. Kita tidak perlu ke sana. Kita tunggu saja hasilnya," kata Ira.
"Apa? Menunggu? Cuma menunggu? Bah!" Dede menepiskan tangan dengan gaya menghina. Matanya menatap Ira. "Susah-susah kita menyelidiki perkara ini. Setelah penyelesaiannya di depan mata, kalian justru mau mundur. Kalau begitu - apa gunanya kita bersusah payah melibatkan diri? Dasar penakut semuanya!"
"Aku bukannya takut!" tukas Ira keras. "Tapi sebagai anak-anak mestinya kita cukup tahu diri. Perkara ini - seperti kata Kak Yan - sudah berkembang menjadi bukan urusan kita lagi. Lalu mengapa kita memaksakan diri untuk ikut menyelesaikannya?" Ira diam sebentar. "Lagi pula aku tidak ingin melanggar janji pada Ibu. Ibu sudah berpesan, kami boleh melibatkan diri dalam perkara ini, dalam batas-batas tertentu. Apabila keadaan terasa mulai berbahaya, kita harus cepat-cepat menarik diri!"
Dede mendengus. Kelakuannya itu memanaskan hati Ira. Sebaliknya Yan tetap bersikap tenang. Yan sudah sangat mengenal perangai Dede. Biarkan saja, pikirnya.
"Baiklah. Kalau kalian tetap tidak mau, aku akan ke sana sendiri," Dede menggertak sambil berpura-pura mau melangkah.
"Silakan," jawab Yan ringan. Matanya melirik arloji di pergelangan Dede.
Dede ikut melirik. Pukul 12.25. Terlambat! Untuk mencapai pekuburan itu tak cukup waktu 35 menit, kalau naik kendaraan umum. Sebab letaknya cukup jauh. Dede menggeram marah. Matanya bagai ingin menelan Yan dan Ira bulat-bulat. Namun sesaat kemudian ketegangan berangsur-angsur lenyap dari mukanya.
"Ya sudahlah, kalian yang menang," ujarnya kemudian.
Ira dan kakaknya tertawa.
"Tapi - salanjutnya bagaimana?" tanya anak berkaca meta yang gampang naik darah itu. "Masa kita akan diam melulu?"
Yan menjawab sambil tersenyum, "Ira kan sudah ngomong. Kita tunggu dulu."
"Maksudnya?"
"Kalau urusan ini selesai, Huri sudah kembali, ya sudah! Berarti kita memang tidak jodoh dengan perkara ini. Tetapi seandainya tidak? Dan itu mungkin lho!" Yan menyambung, "Barangkali kita masih punya kesempatan untuk melakukan sesuatu lagi. Siapa tahu!"
Dede menghela napas dalam-dalam.
"Kak, sudah siang. Kita mau menunggu di sini terus, atau pulang?" tanya Ira.
"Sebaiknya kalian pulang dulu," kata Yaya yang muncul tiba-tiba.
Anak-anak memandang Yaya.
"Nenek mulai mempersoalkan kehadiran kalian. Aku jadi tidak enak." Febriya menjelaskan.
Yan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Tapi aku punya satu permintaan. Ya. Aku sangat ingin tahu akhir peristiwa ini. Maukah kamu segera memberi tahu kami setelah urusannya beres?" Yan membuka tangan. "Termasuk kalau terjadi perkembangan lain."
Febriya mengangguk. "Akan kuusahakan. Asa! aku punya kesempatan. Sekarang cepatlah pulang! Tuh, lihat, Nenek sedang memperhatikan kita," Yaya mendesak dengan gugup.
"Baik, baik! Ayo, sampai ketemu!"
Ketiga anak itu segera mengayunkan langkah, meninggalkan rumah keluarga Gumarang. Mereka terus pulang.
VIII. INFORMASI KEDUA DARI YAYA
19
Sepanjang siang sampai sore itu Yan dan kawan-kawan merasa gelisah. Kelakuan mereka tidak bisa tenang. Mereka serasa tak sabar, ingin mengetahui akhir drama penculikan Huri Gumarang, tetapi tidak tahu caranya.
Pada suatu saat mereka memutuskan untuk mendatangi lagi rumah keluarga Gumarang. Bertanya pada Yaya, bagaimana hasilnya? Namun kemudian niat itu batal dengan sendirinya. Sesudah mereka mempertimbangkan bahwa tindakan semacam itu bisa merugikan Yaya. Sebab, mungkin saja Yaya dimarahi gara-gara mereka bolak-balik datang.
Pada saat yang lain mereka mengatakan lebih baik kita menjumpai Letnan Dipa, dan mencari keterangan. Akan tetapi niat ini pun akhirnya mengendur. Gara-gara perasaan sungkan. Letnan Dipa sedang sibuk. Masa mereka mau mengganggunya dengan pertanyaan yang sebenarnya masih bisa ditunda? Tidak enak, ah!
Akhirnya mereka tidak melakukan apa-apa. Dede lalu pulang, ia mau tidur sebentar, katanya.
Yan juga masuk ke kamar, mencoba memicingkan mata. Sementara Ira membantu Ibu mendandani gorden jendela. Ibu mencoba mempraktekkan cara mendandani gorden menurut petunjuk buklet dari sebuah majalah.
Sekitar pukul lima sore, Dede kembali ke rumah Yan. Anak itu datang dengan sepeda, ia memakai jaket dan rambutnya tersisir rapi. Sesampainya di rumah Yan, Dede langsung menuju kamar temannya itu.
"Yan, bangun!" serunya.
Yan - yang baru bangun - menggeliat. Tubuhnya dimiringkannya menghadap pintu.
"Yan, antarkan aku ke rumah Danu." Dede berdiri di pinggir dipan.
"Ogah, ah!" Yan merentangkan lengannya. "Pergilah sendiri!"
"Ayo!" sentak Dede. "Kamu toh tidak punya acara."
"Mau apa ke sana?"
"Mengambil buku Pahlawan Lingkungan Hidup. Danu sudah berjanji mau meminjamkan padaku. Katanya, bagus!" Dede memiringkan mukanya. "Ayolah!"
Akhirnya Yan mau. ia berdiri. Dilemaskannya otot-ototnya dengan cara memutar punggung ke kiri dan ke kanan. Lalu sambil berjalan ke kamar mandi, ia berkata, "Tunggu sebentar."
Sementara menunggu, Dede Sofyan menggabungkan diri dengan Ira dan ibunya. Dede memperhatikan gorden yang baru diatur, lalu memuji. Selanjutnya bahan percakapan tertuju lagi pada peristiwa penculikan Huri.
Ira mengatakan bahwa ia tadi mendengarkan Warta Berita Daerah dari radio, ia berharap akan mendengar berita yang melegakan tentang Huri. Namun lagi-lagi radio tidak menyiarkan berita tentang penculikan itu.
Dede heran melihat Ira berbangkis bangkis "Kenapa, Ir?"
"Rupanya mau pilek," sahut Ira. Lubang hibungnya, sebelah, ditutupnya dengan ibu jari, lalu menyedot-nyedot. "Hidungku buntu."
"Itu namanya mau flu. Keluyuran terus sih!" celetuk Bu Minta.
"Keluyur