Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Sang Pengintai - 8

$
0
0
Cerita Misteri | Sang Pengintai | Serial Kelompok 2 & 1 | Sang Pengintai | Cersil Sakti | Sang Pengintai pdf

5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee Lestari Gadis Pantai - Pramoedya Ananta Toer Pendekar Rajawali Sakti - 107 Titisan Anak Setan

an ke mana? Ira kan tidak ke mana-mana. Cuma tadi siang...." Ira memandang Ibu, kemudian tertawa.
 
  "Cuma tadi siang! Seharian tidak berada di rumah!" Ibu bersungut-sungut. "Sesudah ini kamu harus istirahat!"
 
  "Tapi - aku mau ikut Kak Yan dan Dede," bantah anak perempuan itu.
 
  "Ala, cuma ke rumah Danu kok mau ikut. Tidak, tidak usah!" tolak Bu Mintaraga, tegas.
 
  Ira cemberut, tapi tidak mendebat lagi.
 
  Tak lama kemudian Yan ke luar. Yan memakai kaus tebal berlengan panjang dan berleher tinggi. "Ayo," katanya pada Dede. Lalu kepada Ibu, "Yan pergi sebentar. Bu."
 
  "Jangan malam-malam."
 
  "Nggak, cuma sebentar kok," Yan memandang adiknya. "Pileknya pakai pusing-pusing, tidak?"
 
  "Sedikit," kata Ira.
 
  Yan memperhatikan wajah adiknya sebentar lagi, kemudian berpamitan, "Aku pergi dulu, ya." Kedua anak laki-laki itu pun keluar.
 
 
  20
 
 
  Kedua sahabat itu tidak terlalu lama di rumah Danu. Mengambil buku, mengobrol sebentar, lalu kembali.
 
  Petang itu angin terasa kencang. Langit tidak jernih. Hanya beberapa gelintir bintang yang kelihatan. Kedua anak itu menjalankan sepedanya dengan santai. Kadang-kadang beriring-iringan, kadang-kadang berdampingan - kalau lalu lintas kebetulan agak sepi.
 
  Mereka melewati Apotek Margi Rahayu.
 
  Dede yang asyik mengayuh sepeda, tiba-tiba mengerem. Kepalanya menoleh ke belakang, mengawasi sebuah mobil yang diparkir di muka sebuah pohon, di sebelah kiri pintu pagar apotek. Kening anak itu berkerut. Sesaat kemudian ia memandang ke depan lagi dan berteriak memanggil Hardian.
 
  Yan yang sedang meluncur beberapa meter di depan, menoleh.
 
  "Yan!" teriak Dede lagi.
 
  "Apa?" Sambil bertanya, Yan memutar arah sepeda, mendekati Dede.
 
  Dede menunjuk mobil itu dengan tolehan. "Itu kan mobil Yaya," katanya.
 
  Yan memperhatikan lebih cermat. "Oh ya!" katanya.
 
  "Yaya, atau bukan, yang di apotek?" kata Dede.
 
  "Mungkin Yaya. Ayo, kita lihat!" Yan mendahului menyeberang. Dikayuhnya sepeda memasuki halaman apotek. "Mudah-mudahan Yaya. Kalau dia ada di sini, aku bisa mencari keterangan," pikir Yan.
 
  Yan masuk ke dalam apotek itu. Dede menyusul di belakangnya.
 
  Dan benar. Ternyata Yaya! Anak perempuan itu duduk sendirian di bangku yang merapat ke dinding sebelah timur.
 
  Kedua anak laki-laki itu bergegas-gegas menghampiri Febriya.
 
  "Ahh, kalian! Kebetulan!" seru Yaya melihat kemunculan kedua temannya.
 
  Yan celingukan memperhatikan keadaan dalam apotek, serta beberapa orang yang sedang menunggu obat. Kemudian sambil menatap Yaya, ia bertanya, "Kamu sendirian?"
 
  "Dengan Pak Asum."
 
  Yan mengangguk. Berarti aman. ia bisa mengorek keterangan dari Yaya
 
  "Mengambil obatnya siapa?" tanya Dede sambil duduk dekat anak perempuan yang mukanya bulat telur itu.
 
  "Nenek. Penyakitnya kumat gara-gara terlalu khawatir."
 
  "Maksudmu..." Yan sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya. Pantatnya diletakkannya pelan-pelan ke bangku.
 
  Yaya menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng dengan muka suram. "Usaha Paman gagal. Gara-gara polisi ikut campur," katanya kemudian.
 
  Dede dan Yan berpandangan.
 
  "Apa yang terjadi? Ceritakan, Ya," pinta Dede.
 
  Febriya pun bercerita:
 
  Seperti telah diketahui. Pak Gumarang berangkat ke pekuburan Pungkasan. ia berhasil tiba di sana tepat pada waktunya, ia juga berhasil menemukan pusara yang ditentukan oleh komplotan penculik. Tanpa berlama-lama. Pak Gumarang menaruh tas berisi uang di atas makam. Kemudian dengan tidak menoleh-noleh lagi, paman Febriya itu meninggalkan tempat itu. Pak Gumarang berjalan dengan langkah lebar kembali ke mobil.
 
  Pada saat mengendarai mobil, pulang, kepala laki-laki itu dipenuhi pelbagai pikiran. Apakah si penculik sungguh-sungguh akan mengambil uang itu? Apakah sesudahnya Huri benar-benar akan dibebaskan? Bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau penculik itu hanya mau menipu saja? Mau uangnya, tapi tidak mau membebaskan Huri? Atau, bagaimana jika si penelepon yang menyuruhnya ke makam - bukan si penculik, tapi orang lain yang sengaja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan?
 
  Macam-macamlah pikirannya. Sampai-sampai ia mengemudikan mobil seperti orang melamun.
 
  Di samping itu Pak Bob Gumarang juga cemas. Mencemaskan tindakan Koptu Sahron. Tadi ia memang tidak melihat polisi di makam. Seorang pun - bahkan orang yang mencari rumput pun tidak tampak. Tapi siapa tahu Koptu Sahron dan rekan-rekannya bersembunyi, mengepung tempat itu. Kalau demikian... kalau penculik itu sampai tahu, apa yang akan terjadi? Terasa pening kepalanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi!
 
  Pak Bob tiba kembali di rumah, ia langsung duduk termangu-mangu seperti orang kehilangan kesadaran.
 
  Sementara itu waktu terus merambat. Kira-kira satu jam kemudian, tiba-tiba telepon berdering nyaring. Pak Bob Gumarang langsung meloncat dari kursi, dan menyambar gagang telepon.
 
  Telepon itu datangnya dari penculik. Dan si penelepon berbicara dengan Pak Bob dengan suara berang. Katanya, ia telah melihat kehadiran polisi di sekitar makam Pungkasan. ia benar-benar marah, ia menuduh Pak Bob melanggar janji, mau menjebak, dan oleh karena itu Pak Bob harus merasakan akibatnya!
 
  Pak Bob panik mendengar ancaman penculik itu. ia menjelaskan bahwa kehadiran polisi sungguh-sungguh di luar kehendaknya. Dengan setengah meratap ia mohon agar penculik jangan menyakiti Huri. ia minta diberi kesempatan sekali lagi, di luar pengetahuan polisi. Untuk itu Pak Bob minta agar penculik tidak memberikan instruksinya melalui telepon yang telah dipasangi alat perekam. Hendaknya penculik mencari cara lain. Untungnya, komplotan penculik itu mau mengerti. Mereka bilang, kali ini mereka masih mau memaafkan Pak Bob. Tapi hanya untuk sekali ini! Mereka berjanji akan memberi instruksi penyerahan uang tebusan melalui surat.
 
  Febriya diam setelah bercerita panjang lebar Pandangannya menerawang ke langit melalui sudut pintu apotek.
 
  "Lalu... apa yang terjadi?" tanya Dede Sofyan, setelah membiarkan Yaya diam cukup lama.
 
  "Kemudian, sorenya Letnan Dipa datang. Dia membawa tas kopor berisi uang yang tidak jadi diambil oleh penculik. Rupanya komplotan itu sungguh-sungguh mengawasi makam. Setelah tahu ada polisi, mereka pun pergi dengan diam-diam, lalu menelepon pamanku." Febriya memandang kaca mata Dede. "Lalu?"
 
  "Begitulah," Yaya menggerakkan tangannya, "Paman Gumarang langsung menyambut kedatangan Letnan Dipa dengan penuh kemarahan, ia menuduh polisi tidak mementingkan keselamatan Huri. Entah apa saja yang disemburkan Paman. Aku tidak ingat seluruhnya."
 
  "Bagaimana sikap Letnan Dipa?" tanya Yan ingin tahu.
 
  "Letnan Dipa menanggapi kemarahan Paman dengan kepala dingin. Dia minta maaf atas kecerobohan Koptu Sahron. Rupanya Koptu Sahron telah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan Letnan Dipa." Febriya melanjutkan, "Letnan Dipa berusaha menenangkan Paman. Katanya, pasti ada cara yang tepat untuk membebaskan Huri, sambil sekaligus menggulung komplotan itu."
 
  "Ya, pasti ada," gumam Yan.
 
  "Paman menyambut omongan Letnan Dipa dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Sebab, diam-diam dia sudah punya rencana sendiri." Febriya mengakhiri ceritanya dengan menegakkan punggung, ia melihat pegawai apotek mengangguk ke arahnya. "Itulah yang terjadi," katanya. Lalu ia berjalan untuk mengambil obat.
 
  Dede dan Hardian termenung.
 
  Setelah menerima obat, Yaya berjalan menuju pintu. Tetapi baru beberapa langkah, ia berhenti. Agaknya ia sedang mempertimbangkan sesuatu. Kemudian satelah memperoleh keputusan, ia berbelok kembali ke bangku tempat Yan dan Dede tetap duduk. Yaya memperhatikan kedua anak laki-laki itu. Yang diperhatikan balas memandang.
 
  "Aku tidak tahu... sebaiknya kuceritakan atau tidak," gumam Yaya, lebih tertuju pada diri sendiri.
 
  Kedua anak laki-laki itu menegakkan leher.
 
  "Apa lagi. Ya? Ayo, ceritakan!" desak Yan. Tangannya menarik anak perempuan itu sampai terduduk. "Cerita tadi masih ada kelanjutannya, bukan?"
 
  Yaya mengangguk-angguk. "Ya, memang masih ada." ia tidak segera melanjutkan. Kedua anak laki-laki itu ditatapnya dengan serius. Lalu ia mengajukan syarat, "Aku mau menceritakannya pada kalian, tapi dengan satu syarat. Kalian tidak boleh memberitahukannya kepada orang lain. Lebih-lebih pada polisi!"
 
  "Janji!" sahut Yan langsung.
 
  "Tadi kira-kira jam lima, tak lama setelah Letnan Dipa pulang. Paman Gumarang menerima surat," cerita Yaya.
 
  "Dari penculik?" sela Dede cepat.
 
  "Ya."
 
  "Wah, agaknya komplotan itu langsung memenuhi permintaan pamanmu. Menyampaikan instruksi melalui surat." Yan lebih menoleh ke arah Febriya. "Bagaimana surat itu bisa sampai?"
 
  "Tanpa sepengetahuan siapa pun surat itu dilemparkan ke halaman. Rupanya penculik itu masih sering keluyuran di sekitar rumahku." Febriya meremas-remas kantung tempat obat. "Setelah mengetahui adanya surat itu, Paman lalu mengambilnya, ia membacanya, dengan Bibi, dalam kamar. Sementara aku - yang selalu ingin tahu - tak mau ketinggalan. Diam-diam aku berusaha menguping."
 
  "Apa isi instruksi itu?" tanya Dede dengan muka tegang.
 
  "Besok jam setengah enam pagi. Paman harus sudah meletakkan uang tebusan di Jalan Tropika. Tepatnya di depan bangunan studio Radio MK-I yang belum selesai dibangun."
 
  "Cuma itu?" tanya Van.
 
  "Ya. Ditambah peringatan agar Paman tidak memberitahukan hal itu kepada siapa pun. Makanya tadi aku minta pada kalian..."
 
  "Jangan khawatir. Ya. Kami akan menjaga rahasia ini baik-baik," Yan berjanji.
 
  "Soalnya, jika kali ini gagal lagi - entah apa jadinya dengan Huri," ujar Yaya perlahan.
 
  "Aku mengerti, aku mengerti...."
 
  "Apakah pamanmu besok pasti ke sana?" Dede menyeletuk.
 
  "Sudah pasti," jawab Yaya.
 
  "Jalan Tropika, di mana itu?" gumam si Dede sambil membetulkan letak kaca matanya.
 
  "Aku tahu. Tempat itu memang masih sepi," ujar Yan.
 
  Yaya menatap kedua anak laki-laki berganti-ganti. "Apa yang akan kalian lakukan?" tanyanya waswas.
 
  Yan tidak langsung menjawab. Lehernya dimi-ringkannya. Pandangannya tertuju pada sandal Yaya. "Kami masih harus memikirkannya," ujarnya kemudian. "Tapi kami pasti akan melakukan sesuatu." Matanya memandang Dede.
 
  "Ya, pasti." Anak berkaca mata itu mengangguk mantap. Walaupun sebenarnya ia belum t ahu sama sekali apa yang bisa diperbuatnya. "Aku juga ingin melihat Huri bisa kembali dengan selamat. Ya."
 
  Yaya menghela napas panjang, lalu berdiri, ia memandang kedua temannya sekilas. Kemudian pergi tanpa menoleh-noleh lagi.
 
 
 
  IX. MENENTUKAN LANGKAH
 
 
  21
 
 
  Kedua anak laki-laki itu menunggu beberapa saat. Setelah yakin bahwa Yaya sudah beran gkat dengan mobilnya, mereka keluar.
 
  Yan tidak langsung menaiki sepedanya. Anak yang hidungnya agak pesek itu memandang Dede, lalu berkata dengan suara prihatin, "Yaya menaruh kepercayaan begitu besar kepada kita, De. Jangan sampai kita mengecewakannya."
 
  "Makanya, kita harus melakukan sesuatu." Dede menepuk-nepuk sadel. "Informasi yang paling akhir telah kita dapatkan. Soalnya, tinggal apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita sampaikan saja kepada Letnan Dipa?"
 
  "Jangan," cegah Yan cepat.
 
  "Ya..." Dede mendesah. "Kita sudah berjanji pada Febriya untuk merahasiakan masalah ini. Tapi - bagaimana dengan Ira?"
 
  "Ira lain! Dia anggota kita. Bagaimanapun dia harus mengetahui perkembangan ini." Yan mengusap-usap dagu sementara pandangannya tertuju pada neon di plafon teras apotek. "Jika polisi ikut campur lagi, memang bisa besar risikonya. Kalau berhasil sih tidak jadi soal. Tapi kalau gagal?" Yan melanjutkan, "Paling baik adalah jika komplotan itu bisa diringkus-sesudah Huri dibebaskan. Jadi tidak ada risiko lagi."
 
  "Ya...." Dede diam sebentar. Lalu dengan suara pelan ia melanjutkan, "Kalau saja kita bisa menyumbangkan sesuatu untuk memudahkan polisi meringkus komplotan itu...."
 
  "Apa katamu?" tukas Yan. Agaknya omongan Dede menimbulkan sebuah gagasan dalam pikirannya.
 
  Dede mengulangi perkataannya.
 
  "Betul!" seru Yan sambil menepuk sadel. "Kalau saja kita bisa menyumbangkan sesuatu... dan kita bisa, De, bisa!"
 
  "Bisa?" Dede mencondongkan mukanya ke arah Yan.
 
  Yan pun menguraikan gagasannya, "Kita bisa mengikuti kejadian besok pagi dengan diam-diam. Kita bersembunyi, De." Yan melanjutkan, suaranya penuh semangat, "Besok pagi kita jogging ke Tropika. Sesudah

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>