Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423
↧

Gebetan Lama Rasa Baru - 7

$
0
0
Love Me Twice | Gebetan Lama Rasa Baru | by Billy Homario | Gebetan Lama Rasa Baru | Cersil Sakti | Gebetan Lama Rasa Baru pdf

Lintang Kemukus Dini Hari - Ahmad Tohari Jantera Bianglala - Ahmad Tohari Cinta itu Asyik Tapi jangan Asyik Bercinta Keberanian Manusia - Kumpulan Cerpen Kelompok 2 & 1 - Sang Pengintai

aja."
  "Oh..."
  "Tante panggilin dulu, ya, Lydia-nya LYDIA!!!"
  Yang dipanggil tak berapa lama kemudian turun. Mamanya kembali menuju dapur untuk meneruskan masaknya yang sempat tertunda tadi. Lydia pun terkejut melihat sosok Nico sedang duduk di sofa sambil tetsenyum kepadanya.
  Pasti dia udah maafin aku.
  Baru saja dia menurunkan satu kakinya pada anak tangga, tulang keringnya terasa nyeri lagi. Untung gak jatuh.
  "Hai, Cinta!" sapa Lydia sambil tersenyum. "Hai, Cinta!" balas Nico yang membuat senyum Lydia tambah lebar.
 
  Ternyata benar! Nico sudah memaafkannya!
  "Eh. kamu mau ajak aku pergi?"
  "Enggak kok. Aku mau buktiin omongan kamu aja di kertas itu tadi siang. Dan ternyata benar!" kata Nico yang kemudian diam.
  "Aku pulang dulu, ya?"
  "Kok, sebentar banget?"
  "Iya. Kayla mau ajakin aku makan."
  "Kayla? Siapa tuh?" tanya Lydia curiga.
  "Dia pacar baru aku!"
  "HAH?!" Lydia jadi histeris.
  "Hehehehe... dia kakak aku kok!"
  "Oh," jawab Lydia lega.
  "Kamu mau ikut?"
  "Boleh."
  "Ya, udah. Kamu siap-siap sana!"
 
 
 
 
  6. Lydia's Pain
 
 
 
  Dua tahun sudah, hubungan Nico dan Lydia berjalan dengan baik setelah konflik itu. Kini, mereka sudah duduk di kelas XII IPA SMU Harapan Kasih. penghalang dalam hubungan mereka tetap saja ada, terutama dari Villa. Penghalang yang paling utama adalah masalah penyakit Lydia. Dia semakin sering jatuh-jatuh tanpa sebab dan tulang keringnya terlihat semakin membengkak.
 
  Lydia sedang tidur-tiduran di kamarnya sambil memegangi kepalanya yang pusing. Matanya terpejam, mengingat momen-momen dia terjatuh.
 
  Aneh, kenapa gue bisa sering jatuh begitu ya? Tulang kering gue nyeri-nyeri melulu lagi. Kok nambah bengkak, ya? Ada yang gak beres, nih! Gue harus ke dokter.
 
  Lydia mengangkat tubuhnya dari ranjang. Dia segera mencari buku telepon di laci meja belajarnya untuk mengetahui nomor telepon dokter langganan keluarganya. Setelah menemukannya, Lydia segera membuka index 'D' pada buku telepon itu. Dilihatnya nama-nama kontak satu per satu dengan jantung yang berdebar.
  Ketemu!
  Klinik Dokter Juko, 66841802
 
  Lydia segera turun untuk menelepon nomor itu.
 
  Dokter Juko adalah dokter langganan dan kepercayaan keluarganya sejak dia dan Valen masih bayi.
 
  Setelah menekan nomor teleponnya, Lydia menunggu sampai telepon itu diangkat oleh sang pemilik klinik.
  "Halo, ini Tante Felicia, ya?" sapa Lydia.
  "Betul. dengan siapa ini? ada perlu apa?" tanya Tante Felicia sopan.
  "Saya Lydia, Tante. anaknya Grace Donovan."
  "Oh, Lydia? Apa kabar?" tanya Tante Felicia yang seketika menjadi akrab.
  "Tidak terlalu baik sih, Tan."
  "Lho, kok?"
  "Iya, nih. Aku agak gak enak badan gitu."
  "Mau daftar ke dokter?"
  "Iya."
  "Oke, Tante daftarin dulu, ya?" kata Tante Felicia sambil menuliskan nama Lydia di urutan ke-18 karena sebelumnya sudah ada tujuh belas orang yang mendaftar terlebih dahulu.
  "Sudah, Tan?" tanya Lydia setelah beberapa detik menunggu.
  "Sudah, Nomor delapan belas sih. Kamu datang kesini kira-kira jam tujuh aja," jelas Tante Felicia dengan suara yang menyiratkan kebaikan hatinya.
  "Oh, gitu. Ya sudah, Tan. Nanti saya datang, ya."
  "Mama yang anterin?"
  "Barangkali nggak, Tan."
  "Kok?"
  "Iya... Eh, mungkin... mama lagi sibuk," jawab Lydia mencari-cari alasan.
  "Oh, ngomong-ngomong kamu sakit biasa aja, kan? Gak parah? Kok gak mau dianter mama!" tanya tante Felicia khawatir.
  "Bukan gak mau dianter mama sih, Tan. Emang mama lagi sibuk aja." kata Lydia, terpaksa berbohong.
  "Oh, ya sudah. Nanti jangan lupa datang, ya! Nanti penyakitnya bisa tambah parah lho!" pesan Tante Felicia.
  "Oke deh, Tan! Sampai ketemu, ya...," kata Lydia sambil menutup teleponnya.
 
  Lydia pun bangkit dari duduknya. Baru saja dia melangkah beberapa langkah, telepon rumahnya berdering.
  "Halo?" jawab Lydia sambil kembali duduk di sofa.
  "Halo, Cinta! Lagi ngapain? Jalan yuk," sapa orang di seberang, Nico.
  "Aku lagi nunggu sore nih. Aku lagi sibuk, Nic. So, sori banget aku gak bisa pergi sama kamu," kata Lydia dengan perasaan bersalah.
  "Yah, Cinta. Sayang banget lho kamu gak bisa pergi. Ngapain nunggu sore? tanya Nico dengan nada yang curiga.
  Lydia diam sejenak, berpikir, "Adaaaa aja!"
  "Ya udah deh, Bye!"
  "Bye!"
 
  Lydia menutup telepon dengan setengah membantingnya. Lydia segera berlari ke kamarnya dan membanting tubuhnya di kasur. Otaknya terasa amat berat. pikirannya kacau. Hatinya gelisah. Dia memegangi kepalanya dan menjambak-jambak rambutnya untuk menghilangkan rasa pusingnya.
 
  What's the matter with me?
 
 
  Lydia melangkah masuk ke dalam klinik dengan perasaan gugup. Klinik terlihat sangat ramai. Tante Felicia terlihat sibuk mengabsen pasien-pasien Dokter Juko.
 
  Lydia sudah menginjakkan kakinya di depan pintu klinik. Tante Felicia melihatnya dan tersenyum seketika, lalu kembali mengabsen. Lydia membalasnya dengan tersenyum pula.
 
  Lydia mengambil tempat duduk di ruang tunggu yang supersteril itu. Di sebelahnya, telah duduk seseorang yang dikenalnya. Lydia menoleh ke arah orang itu sebentar. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat sosok itu, Sella! Pipinya terlihat bengkak dan biru seperti habis dipukul orang.
  "Hai..." sapa Sella dengan bersahabat sambil memegangi pipinya.
  Lydia menatap Sella heran.
  Aneh gak biasanya dia begini? Mana pipinya bonyok kaya semangka jatoh lagi! kenapa, ya?
 
  "Hai juga!" jawab Lydia.
  "Lo sakit apa, Lyd?" tanya Sella semakin bersahabat sehingga Lydia beranggapan bahwa Villa telah bermusuhan dengannya.
  "Nggak tau, Gue juga baru mau periksa sih," jawab Lydia yang kemudian menggigit bibirnya. "Lo sakit apa?"
  Hening.
  Sella tidak menjawabnya. Dia malah tertunduk dan air mata mulai menetes di pipinya. Wajahnya menyiratkan penyesalan.
  "Sel, lo kenapa?" tanya Lydia sambil menaikkan kepala Sella sehingga Lydia bisa melihat tangisnya. "Kok lo nagis sih?"
  Sella memeluk Lydia, Yang dipeluk hanya bisa melotot keheranan. Tangis Sella semakin pecah dalam pelukannya.
  "Lyd... Gue... gue...," jawab Sella sambil tersedu.
  "Kenapa, Sel?" tanya Lydia khawatir.
  "Gue ditonjoj orang suruhan Villa, Lyd!" jawab Sella setelah melepaskan pelukannya. Walaupun menunduk lagi.
  "APA?!" tanya Lydia kaget. "Lo bilang sama gue. Alasan dia nyuruh orang mukulin lo apa, Sel?" tanyanya lagi.
 
  Bener, kan! Pasti ada yang gak beres sama dia dan Villa, kasihan Sella... pipinya sampe bonyok gitu.
 
  "Gue gak mau ngobat, Lyd. Tapi, dia maksa. Walaupun dia maksa, gue tetep gak mau. Eh, dia malah nyuruh anak buahnya mukulin gue, Lyd!"
  "Ngobat? Narkoba maksud lo?" tanya Lydia lagi sambil melotot.
  Sella hanya mengangguk, beberapa lama kemudian, dia menghapus air matanya. Mereka berdua sama-sama terdiam sampai nama Sella dipanggil Tante Felicia untuk menemui dokter.
  Nomor tujuh belas. Sella. Silakan masuk! Siap-siap Lydia sehabis Sella, kata Tante Felicia.
  Tan. aku boleh bareng gak? Kebetulan dia temen aku?" tanya Lvdia.
  "Oh. ya udah. jawab Tante Felicia singkat, lalu kembali mengabsen.
  Sella memasuki ruang Dokter Juko. Setelah diperiksa, kata dokter, bengkak di pipinya akan hilang dalam waktu beberapa hari lagi. Sella tenang sekarang, tapi tidak dengan Lydia. Lydia merasakan dunia akan runtuh di kepalanya.
  Dokter Juko memeriksa tulang kering Lydia yang bengkak setelah Lydia menjelaskan kejanggalannya selama ini. Matanya selalu menyipit dengan dahi yang juga sering dikerutkan saat memeriksa Lydia. Sella yang menyaksikan hal ini memberikan isyarat kepada Lydia agar tenang saja. Dokter Juko menyudahi pemeriksaan-nya. Lydia duduk di samping Sella. Sekarang, mereka sedang face to face dengan dokter.
  "Sejak kapan kamu sering merasa nyeri pada tulang kering kamu?" tanya Dokter Juko sambil mengayun-ayunkan pulpennya.
  "Sejak masuk SMA. Tepatnya dua setengah tahun lalu, Dok," jawab Lydia sambil deg-degan.
  "Oke, gini saja. Besok kamu datang ke rumah sakit saya. Kira-kira pukul dua belas sampai pukul tiga. Tulang keringmu perlu di-rongent terlebih dahulu. Saya tidak dapat menyimpulkannya sekarang."
  "Memang, penyakit teman saya parah, ya, Dok?" tanya Sella.
  "Belum tentu. Saya harus menyimpulkannya di rumah sakit dulu,"' jawah Dokter Juko.
  "Baik, Dok. Besok saya akan datang habis pulang
  sekolah," jawab Lydia.
  Setelah Sella dan Lydia pamit mereka pun pulang ke rumah masing-masing. Di tengah perjalanan, Sella bilang kalau dia mau temenan lagi sama Lydia. Lydia dengan senang hati menyetujuinya. Dia percaya kepada Sella.
  Tapi, hatinya kini belum tenang. Besok dia harus menghadapi kenyataan bahwa penyakitnya memang sepertinya parah. Saat Dokter Juko menekankan kata 'belum tentu' di klinik tadi, Lydia sudah berfirasat bahwa penyakitnya memang parah.
  Kepala Lydia kini benar-benar berat. Dia terjatuh lagi. Tulang keringnya nyeri lagi. Dia berusaha bangkit sambil menahan tangis.
 
  Ada apa dengan diriku ini? Aku takut. Tuhan.
 
 
  LYDIA sudah berada di RS Budi Asih - tempat Dokter Juko praktik.
  "Apa saja yang sering kamu rasakan belakangan ini?" tanya Dokter Juko.
  "Aku sering jatuh-jatuh. Tulang keringku nyeri Udah, sih, itu aja," jawab Lydia jelas singkat, dan padat.
  Dokter Juko menganggukkan kepalanya. "Orang tua kamu tau?"
  Lydia menggeleng.
  "Coba saya lihat dulu, ya." kata Dokter Juko sambil mengamati kebengkakan pada tulang kering Lydia. "Ataxia bukan, Dok?"
  "Pada saat kamu jatuh, kamu refleks menahan pake tangan atau tidak?" tanya Dokter Juko.
  "Nahan sih, Menangkap objek yang dekat pun gak ada masalah."
  "Berarti kamu tidak terkena ataxia." Fuiiihhh... Lydia mengembuskan napas pertanda lega di dalam hatinya. "Lantas, penyakit saya ini apa, Dok?" tanya Lydia lagi yang kembali deg-degan.
  "Kayaknya serius nih." kata Dokter Juko yang mem-buat Lydia mau pingsan. "Orang tuamu harus tau." "Eh, jangan Dok! Aku takut mereka jadi kepikiran."
  "Tapi, bagi saya itu melanggar etika kedokteran lho," Dokter Juko yang masih sibuk mengamati tulang kering Lydia. "Kamu harus di-rongent dulu. Mari, ikut saya ke ruang rongent!"
  Lydia meletakkan betisnya di depan cermin peneri-ma objek rongent. Dokter Juko mulai bersiap memfoto tulang keringnya. PRET!
  Jepretan kamera rongent terdengar jelas di telinganya. Lydia memegangi dadanya karena jantungnya berdetak sangat kencang.
  Dokter Juko membereskan hasil rongent-an yang belum bisa dipastikan itu. Lydia baru akan mengetahui basilnya besok.
 
  "Besok kamu datang lagi ke sini untuk mengambil foto-foto hasil rongent kamu. Kalau bisa, ajak orang tuamu," pesan Dokter Juko.
  "Baik, Dok!" jawab Lydia,
  Lydia meninggalkan ruangan Dokter Juko dengan perasaaan yang sangat gelisah. Melihat ekspresi Dokte Juko pada saat memeriksanya tadi, Lydia sudah berfirasat bahwa penyakitnya memang parah.
 
 
  ESOK harinya, Lydia dan keluarganya sudah berada di ruang praktik Dokter Juko.
  "Kenapa di tulang kering anak saya ada benjolannya, Dok?" tanya mamanya Lydia khawatir.
  Lydia hanya bisa mendekap mulutnya. Perasaan nya mulai tak enak, walaupun Dokter Juko belum memvonisnya. Lydia mulai menitikkan air matanya. Valen mengusap-usap punggung Lydia dengan maksud menenangkan nya.
  "Jadi, anak saya terkena penyakit apa. Dok!" tanya papa Lydia lagi yang membuat Dokter Juko merasa bimbang untuk memberitahunya.
  "Dok, jawab. Dok! Penyakit adik saya apa?" tanya Valen mulai sewot.
  Hening.
  Dokter Juko masih belum siap memberitahunya.
  Dia masih memikirkan reaksi yang berikutnya akan terjadi. Keluarga itu menatapnya penuh harapan. Dia menunduk, lalu melepaskan kacamatanya.
  Dia menaikkan mukanya lagi. "Penyakit Lydia adalah..."
 
  Lydia berhenti menangis. Dia menatap Dokter Juko dengan mata sembap penuh harapan. Mama, papa, dan Valen melakukan hal yang sama.
  "Osteosarcoma." sambung Dokter Juko lagi yang kemudian menundukkan kepalanya dengan perasaan bersalah.
  "Osteosarcoma? Penyakit apa itu, Dok?" tanya Lydia dengan suara bergetar, kemudian menangis lagi.
  "Osteosarcoma adalah salah satu jenis kanker tulang. Kanker ini menumbuhkan tumor pada tulang kering atau biasanya tulang paha. Gejalanya sering terjatuh dan sering terasa nyeri di tulang yang bersangkutan," jawab Dokter Juko yang menjelaskannya dengan perasaan campur aduk.
  "A-a-a-apa? Kanker? Kanker tulang, Dok?" tanya Lydia terbata.
  Dokter Juko menganggukkan kepalanya. Lydia speechless.
  "Apa bisa diobati, Dok?" tanya Valen dan mamanya berbarengan.
  "Kanker ini tidak ada obatnya. Satu-
↧

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

Trending Articles

<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>