Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Mawar Merah - 8

$
0
0
Roses are Red | Mawar Merah | by James Patterson | Mawar Merah | Roses are Red | Mawar Merah pdf

Gaung Keheningan - Eloquent Silence - Sandra Brown Gue Anak SMA - Benny Rhamdany Jingga Dalam Elegi - Esti Kinasih Jingga untuk Matahari - Esti Kinasih Karena Aku Mencintai Manusia Setengah Dewa

lakukan kesalahan."
  Kami berbelok memasuki High Street di Rosslyn. Lingkungan tersebut tampak damai, tenang, makmur: halaman berumput yang dirawat rapi, garasi dua mobil, rumah-rumah besar baru dan lama.
  Mereka selalu membunuh seseorang, aku tidak mampu menahan pemikiran tersebut. Mereka sudah melakukannya terhadap satu keluarga sebelumnya.
  90
  Kami memarkir mobil di depan rumah dengan nomor 315 besar berwarna merah pada kotak pos kuning pucat. Sedan kedua meluncur di tepi jalan di belakang kami-membawa agen-agen yang lain. Lebih banyak agar lebih menakutkan.
  "Kru perampok mungkin sudah pergi," kata Kyle kepada walkie-talkie. "Tapi ingat, kau tidak pernah tahu. Orang-orang ini pembunuh. Mereka tampaknya juga menyukainya."
  Bab 27
  Kau tidak pernah tahu, pikirku. Betapa benar kata-kata itu, dan betapa menakutkannya kata-kata itu terkadang.
  Apakah pemikiran tersebut merupakan bagian dari apa yang mempertahankan diriku dalam pekerjaan ini? Tusukan adrenalin seperti yang belum pernah kualami sebelumnya? Ketidakpastian setiap kasus baru? Gairah berburu? Sisi gelap diriku? Apa? Kebaikan sesekali menang atas kejahatan? Kejahatan sering kali menang atas kebaikan?
  Saat aku mencabut Glock, kucoba untuk membersihkan benakku dari apa pun yang akan mencampuri pengaturan waktu atau refleksku selama beberapa saat ke depan. Kyle, Betsey Cavalierre, dan aku bergegas menuju pintu depan. Kami telah mencabut pistol masing-masing. Semua orang tampak mantap, profesional, dan gugup.
  Kau tidak pernah tahu.
  Rumah tersebut tampak sangat sunyi dari luar. Dari suatu tempat di lingkungan tersebut seekor anjing melolong. Seorang bayi menangis. Tangisan bayi tersebut tidak berasal dari rumah manajer bank.
  Ada yang tewas dalam kedua perampokan pertama.
  92
  Hanya itu satu-satunya pola sejauh ini. Ritual pembunuh? Peringatan? Apa? Mungkinkah perampokan-perampokan bank ini dilakukan oleh seorang pembunuh berpola? Demi Tuhan, apa yang terjadi?
  "Aku masuk dulu," kataku kepada Kyle. Aku tidak meminta izinnya. "Kita di Washington. Paling tidak, dekat."
  Kyle memilih untuk tidak berdebat denganku. Agen Cavalierre membisu. Matanya yang gelap memerhatikan wajahku. Apa ia pernah berada di garis depan sebelumnya? pikirku penasaran. Apa yang dirasakannya sekarang ini? Apa ia pernah menggunakan pistolnya?
  Pintu rumah tidak dikunci. Mereka mening galkannya dalam keadaan terbuka. Sengaja? Atau kare na mereka pergi tergesa-gesa?
  Aku bergerak ke dalam. Bergegas, tanpa suara, mengharapkan yang terbaik, memperkirakan yang terburuk. Ruang depan, ruang duduk, dan dapur di belakangnya gelap. Kecuali pancaran cahaya merah lemah yang berkedap-kedip dari jam digital di atas kompor. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah dengung lemari es.
  Agen Cavalierre memberi isyarat kepada kami bertiga untuk berpencar. Bahkan bisikan pun tidak terdengar dalam rumah ini. Ini tidak bagus. Di mana keluarga itu?
  Aku maju ke dapur sambil berjongkok rendah. Aku mengintip ke dalam. Tidak ada orang di sana.
  Kubuka pintu kayu di bagian belakang dapur: lemari. Bau tajam bumbu dan rempah-rempah.
  Kubuka pintu kedua: tangga belakang menuju lantai dua.
  93
  Pintu ketiga: tangga menuju gudang bawah tanah.
  Gudang bawah tanah harus diperiksa. Kujentikkan sakelar lampu. Tidak ada lampu yang menyala. Sialan.
  "Polisi," seruku. Tidak ada jawaban.
  Aku menghela napas dalam-dalam. Aku tidak melihat adanya bahaya terhadap diriku, tapi aku takut apa yang mungkin akan kutemukan di bawah sana. Aku ragu-ragu selama satu atau dua detik, lalu melangkah ke anak tangga kayu yang berderit. Aku membenci gudang bawah tanah, sejak dulu.
  "Polisi," ulangku. Sekali lagi tidak ada jawaban dari bawah sana. Memeriksa tempat-tempat gelap dalam rumah tidaklah menyenangkan. Bahkan kalau kau membawa pistol dan tahu cara menggunakannya dengan cukup baik. Kunyalakan senter Maglite-ku. Oke, ini dia.
  Jantungku berdebar-debar liar saat aku bergegas menuruni tangga. Pistolku siap ditembakkan. Kutandukkan kepala dan aku memandang sekitarku dengan baik. Ya Tuhan!
  Aku melihat mereka begitu meninggalkan balkon kayu. Aku merasakan sentakan adrenalin.
  "Aku Detektif Cross. Aku polisi!"
  Istri dan bayi perempuannya ada di sana. Ibunya terikat dan disumpal dengan selotip hitam di atas pakaian berbagai warna. Matanya membelalak dan seterang lampu sorot. Mulut bayinya tertutup selotip hitam. Dada bayi tersebut bergelombang karena isakan bisu.
  Tapi mereka masih hidup. Tidak ada seorang yang pun yang disakiti di sini maupun di bank. Kenapa begitu? Polanya berubah!
  "Apa yang terjadi di bawah sana? Kau baik-baik
  94
  saja, Alex?" kudengar panggilan Kyle Craig. Kuarah-kan senterku ke atas dan kulihat Kyle dan Agen Cavalierre berdiri di puncak tangga.
  "Mereka di sini. Mereka aman. Semuanya masih hidup."
  Apa yang terjadi?
  Bab 28
  Mastermind-benar-benar nama yang aneh dan konyol. Bahkan nyaris seperti nama yang sinting. Ia menyukainya justru karena alasan itu.
  Ia sebenarnya menyaksikan adegan di rumah manajer bank, dan ia merasa seperti sedang berada di luar tubuhnya sendiri. Ia teringat acara TV dari masa mudanya: You Are There. Dia ada di sana, bukan?
  Ia mendapati kegiatan mengamati para teknisi FBI memasuki rumah sambil membawa kotak-kotak hitam ajaib mereka sangat menggairahkan. Ia tahu segala sesuatu tentang mereka, para VCU, atau Unit Kejahatan Brutal.
  Ia mengamati dengan teliti wajah-wajah serius para agen yang berlalu-lalang.
  Lalu polisi Rosslyn tiba. Enam mobil patroli dengan lampu atap berbinar-binar. Cantik juga.
  Akhirnya, ia melihat Detektif Alex Cross meninggalkan rumah. Cross jangkung dan kekar. Pria itu berusia awal empat puluhan, mirip petinju Muhammad Ali di puncak kejayaannya. Tapi wajah Cross tidak rata. Mata cokelatnya berkilau terus-menerus. Sebenarnya ia lebih tampan dibandingkan Ali.
  Cross merupakan salah seorang lawan utamanya.
  96
  Dan ini perkelahian hingga mati, bukan? Ini merupakan pertempuran kecerdasan yang ketat, tapi bahkan lebih dari itu, ini adalah pertempuran kemauan.
  Mastermind yakin ia akan menang melawan Cross. Bagaimanapun juga, ini pertandingan yang tidak adil. Mastermind selalu menang, bukan? Namun, ia merasa tidak terlalu yakin. Cross juga memancarkan keyakinan, dan hal itu memicu kemarahannya. Beraninya dia? Memangnya detektif ini menganggap siapa dirinya?
  Ia mengawasi rumah tersebut sedikit lebih lama lagi, dan tahu bahwa keadaan aman sepenuhnya bagi dirinya untuk berada di sana.
  Aman sepenuhnya.
  Pada skala numerik 9,9999 dari 10.
  Lalu ia mendapat pemikiran sinting, dan ia tahu dari mana asal pemikiran tersebut. Sewaktu masih kanak-kanak, ia sangat menyukai berbagai acara TV dan film koboi-dan Indian Ia selalu berpihak pada Indian. Dan ia sangat menyukai satu trik luar biasa orang-orang Indian-mereka akan menyelinap ke dalam kamp musuh dan menyentuh musuh sewaktu tidur. Ia percaya trik itu disebut uji keberanian.
  Mastermind ingin menguji keberanian atas Alex Cross.
  Bab 29
  Begitu kami tahu bahwa semua orang di dalam rumah telah aman, kuhubungi Rumah Sakit St. Anthony's untuk memeriksa keadaan Jannie. Perasaan bersalah, takut, dan kewajiban semuanya menarik diriku sekuat tenaga. Kemurkaan menyebabkan aku sangat kesal. Keluarga manajer bank aman. Bagaimana dengan keluargaku sendiri?
  Aku dihubungkan dengan pos perawat di lantai Jannie. Aku berbicara dengan perawat jaga, Julietta Newton, yang terkadang mampir ke kamar Jannie sewaktu aku datang berkunjung. Julietta mengingatkanku pada seorang teman lama, seorang perawat yang meninggal setahun sebelumnya, Nina Childs.
  "Ini Alex Cross. Maaf mengganggumu, Julietta, tapi aku mencoba menghubungi nenekku. Atau putriku, Jannie."
  "Nana sedang tidak di lantai ini sekarang," kata perawat tersebut. "Jannie baru saja turun untuk menjalani MRI. Ada kesempatan dan Dr. Petito ingin Jannie memanfaatkannya. Nenekmu menemaninya ke bawah."
  "Aku dalam perjalanan ke sana. Jannie baik-baik saja?"
  98
  Perawat tersebut ragu-ragu, lalu berbicara. "Dia mendapat serangan ayan lagi, Detektif. Tapi sudah stabil."
  Aku bergegas kembali ke rumah sakit dari Rosslyn dan tiba di sana sekitar lima belas menit kemudian. Aku bergegas menuju B-l dan menemukan kawasan bertanda PENGUJIAN DIAGNOSTIK. Saat itu sudah larut, hampir pukul sepuluh. Tidak ada seorang pun di meja depan, jadi aku berjalan masuk begitu saja melewati lorong biru cerah yang tampak menakutkan dan terlarang pada malam hari.
  Saat mendekati ruangan bertanda TOMOGRAFI KOMPUTER dan MRI di pintunya, seorang teknisi, muncul dari ambang pintu di seberang lorong. Ia mengagetkanku-aku sedang linglung. Berpikir dan mengkhawatirkan Jannie.
  "Bisa kubantu? Apa kepentingan Anda berada di sini, Sir?"
  "Aku ayah Jannie Cross. Aku Detektif Cross. Putriku sedang menjalani MRI. Dia mendapat serangan ayan malam ini."
  Pria tersebut mengangguk. "Dia ada di sini. Aku akan mengantar Anda. Kurasa tesnya baru setengah jalan. Pasien terakhir kami malam ini."
  Bab 30
  Teknisi rumah sakit tersebut mengantarku memasuki ruangan MRI, di sana Nana duduk diam. Ia berusaha menampilkan sikap tenang, berusaha menjaga kendali dirinya seperti biasa. Untuk sekali ini, usahanya gagal. Aku melihat ketakutan terpancar di matanya, atau mun gkin aku hanya memantulkan perasaanku sendiri.
  Aku memandang ke mesin MRI yang canggih. Mesin tersebut lebih terbuka dan tidak semengikat mesin-mesin lain yang pernah kulihat. Aku pernah dua kali menjalani MRI, jadi aku mengetahui prosedurnya. Jannie berbaring telentang di dalam. Kepalanya akan. dimantapkan dengan "karung pasir" di kedua sisinya. Bayangan Jannie seorang diri di dalam mesin yang besar tersebut terasa mengganggu. Tapi begitu pula serangan ayan ketiganya dalam dua hari.
  "Dia bisa mendengar kita?" tanyaku.
  Nana menangkupkan tangan ke telinga. "Dia mendengarkan musik di dalam sana. Tapi kau bisa memegang tangannya, Alex. Dia mengenal sentuhanmu."
  Kuulurkan tangan dan meraih salah satu tangan Jannie. Kuremas tangan Jannie dengan lembut, dan ia balas meremasnya. Ia tahu aku yang memegang tangannya.
  100
  "Apa yang terjadi selama aku pergi?" tanyaku kepada Nana.
  "Kita beruntung, begitu beruntung," katanya. "Dr. Petito mampir dalam tugas kelilingnya. Dia sedang mengobrol dengan Jannie sewaktu ayannya kumat lagi. Dia memerintahkan MRI, dan ada kesempatan untuk itu. Sebenarnya, mereka membuka kesempatannya terus untuk Jannie."
  Aku duduk karena memerlukannya. Hari ini panjang dan sangat melelahkan, dan masih belum berakhir. Jantungku masih berdebar-debar; kepalaku juga masih pusing. Seluruh anggota tubuhku lainnya berjuang untuk menyamai.
  "Jangan mulai menyalahkan dirimu sendiri," kata Nana kepadaku. "Seperti yang sudah kukatakan, kita sangat beruntung. Dokter terbaik di rumah sakit sedang berada tepat di kamarnya."
  "Aku tidak menyalahkan siapa pun," gumamku, tahu bahwa kata-kataku tidak benar.
  Nana mengerutkan kening. "Kalau kau ada di sana sewaktu ayannya menyerang, dia masih tetap di sini menjalani MRI. Dan kalau menurutmu mungkin tinju yang menyebabkannya, Dr. Petito mengatakan hal itu hampir tidak mungkin. Kontaknya terlalu minim. Penyebabnya lain, Alex."
  Justru itulah yang kutakutkan. Kami menunggu selesainya pengujian, dan penantian tersebut lama dan sulit. Akhirnya, Jannie perlahan-lahan bergeser keluar dari mesin. Wajah kecilnya berubah cerah saat melihatku.
  "Fugees," katanya, lalu menanggalkan earphone agar aku bisa turut mendengar. "Killing me softly with his song" Jannie turut bernyanyi seiring lagunya. "Halo, Daddy. Katamu kau akan kembali. Kau menepati janji."
  101
  "Benar." Aku membungkuk untuk menciu mnya. "Bagaimana kabarmu, Manis?" tanyaku. "Kau mer asa lebih baik sekarang?"
  "Mereka memainkan musik yang benar-benar menyenangkan untukku," kata Jannie. "Aku bertahan, bertahan dengan kuat. Tapi aku tidak sabar untuk melihat gambar-gambar otakku."
  Aku juga tidak sabar, aku juga tidak sabar. Dr. Petito juga menunggu kemunculan gambar-gambarnya. Ia tampaknya tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Aku menemuinya di ruangannya pukul setengah dua belas lewat sedikit. Aku sudah lebih dari kelelahan. Kami berdua begitu.
  "Hari yang panjang bagimu," kataku. Setiap hari terasa seperti itu bagi Petito. Jam kerja ahli saraf tersebut dimulai pukul setengah delapan pagi, dan ia masih berkeliaran di rumah sakit pada pukul sembilan dan sepuluh malam, terkadang lebih larut lagi. Ia benar-benar

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>