Roses are Red | Mawar Merah | by James Patterson | Mawar Merah | Roses are Red | Mawar Merah pdf
Gaung Keheningan - Eloquent Silence - Sandra Brown Gue Anak SMA - Benny Rhamdany Jingga Dalam Elegi - Esti Kinasih Jingga untuk Matahari - Esti Kinasih Karena Aku Mencintai Manusia Setengah Dewa
ut mereka terbuka membentuk teriakan yang menakutkan. Lidah yang membengkak kebiruan menjulur ke luar pada sisi mulut. Sekarang ia harus mengeluarkan mayat-mayat itu dari sini. Ia harus menghilangkan mayat-mayat itu, hampir seperti mereka tidak pernah ada.
Seorang gadis bernama Gersh Adamson terbaring telentang di lantai dekat pintu depan. Ia tadi mencoba berlari keluar, bukan? Baguslah. Gadis itu adalah Ms. Green, wanita kurus berambut pirang yang mengaku berusia 21 tahun, tapi tampak tidak lebih tua dari 15 tahun. Mulutnya membeku membentuk jeritan kemarahan yang sangat disukai Mastermind. Ia nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dari bibir Gersh Adamson.
Ia memperkirakan gadis itu yang paling ringan untuk dibawa; mungkin beratnya tidak lebih dari lima puluh kilogram.
"Halo, Ms. Green. Kau tahu, aku selalu menyukaimu. Tapi aku agak pemalu. Seharusnya kukatakan aku dulu pemalu. Aku berhasil mengatasinya."
Ia mengulurkan tangan dan menyentuh payudara mungil Ms. Green. Ia terkejut mendapati Ms. Green mengenakan bra dengan busa di balik blusnya. Tidak benar-benar hippie sebagaimana tampaknya. Mastermind membuka kancing blusnya, lalu menanggalkannya dan menatap payudara Ms. Green.
159
Ia membuka kancing celana jins gadis yang sudah tewas itu. Lalu ia memasukkan jarinya ke balik celana dalam Ms. Green. Dagingnya agak dingin. Pusar Ms. Green ditindik dengan cincin perak. Ia menyentuhnya. Mencabutnya bagai tutup kaleng.
Ms. Green mengenakan sepatu tumit tinggi berwarna abu-abu mengilap, dan Mastermind menanggalkannya dengan hati-hati. Ia menurunkan celana jins yang ketat itu dan lalu menanggalkannya juga. Kuku-kuku jemari kaki Ms. Green dicat biru cerah.
Mastermind melepaskan kaitan bra dan meremas-remas payudara mungil Ms. Green. Ia menggosok-gosok keduanya dengan tangan. Lalu mencubit keras-keras putingnya yang mungil dan sempurna. Ia ingin berbuat begitu sejak pertama kali melihat Ms. Green. Ia ingin menyakiti Ms. Green sedikit, atau mungkin banyak.
Ia memandang ke luar jendela rumah pertanian, lalu kembali memandangi mayat-mayat di sekitarnya. "Aku tidak membuat kalian merasa jijik, bukan?" tanyanya.
Ia menyeret kaki Ms. Green yang telanjang ke karpet lusuh di tengah-tengah ruangan. Lalu ia menanggalkan celana panjangnya sendiri. Gairahnya bangkit. Ia belum pernah seperti ini lagi. Mungkin FBI benar: bagaimanapun juga, ia mungkin pembunuh berpola. Mungkin ia baru saja mulai memahami siapa dirinya yang sebenarnya.
"Aku setan yang melahap mayat," kata Mastermind, lalu menyingkirkan celana dalam Ms. Green dan menjejalkan dirinya ke vagina wanita yang telah menjadi mayat itu. "Aku sinting, Ms. Green, dan itu lelucon yang paling lucu. Akulah yang sinting. Kalau saja polisi mengetahuinya. Benar-benar petunjuk yang hebat."
Bagian Tiga
BERKUMPUL BERSAMA ANJING-ANJING BESAR
Bab 48
Tiga hari berlalu tanpa ada perampokan lagi. Salah satunya hari Sabtu, dan aku harus menghabiskan siang hari bersama Alex kecil. Pada sekitar pukul enam, aku akhirnya mengantar anak itu kembali ke rumah Christine.
Sebelum kami masuk, kubawa Alex kecil ke kebun bunga di belakang apartemen Christine di Mitchellville. "Lahan pedesaan," istilahku. Kebun itu megah. Christine sendiri yang menanami dan merawatnya. Kebun itu dipenuhi berbagai jenis mawar dan mengingatkanku pada Christine sebelum penculikan di Bermuda. Segala sesuatu mengenai keb un itu menyenangkan di mata. Dan mungkin itu sebabn ya aku merasa amat sedih berada di sana tanpa Christi ne.
Kugendong AIex kecil dengan mudah, sambil bercakap-cakap dengannya, menunjuk ke halaman rumput yang terpotong rapi, pohon weeping willow, langit, matahari terbenam. Lalu kutunjukkan kepadanya kemiripan wajah kami: hidung dengan hidung, mata dengan mata, mulut dengan mulut. Setiap beberapa menit aku berhenti untuk mencium pipi atau leher atau puncak kepala Alex kecil.
"Cium bau mawarnya," bisikku.
163
Aku melihat Christine bergegas keluar dari rumah beberapa menit kemudian. Aku bisa melihat ada yang membebani pemikirannya. Adiknya Natalie mengikuti dekat di belakangnya. Untuk perlindungan? Aku mendapat perasaan bahwa mereka akan bersatu melawanku.
"Alex, kita harus bicara," kata Christine saat mendekatiku di kebun. "Natalie, bisa kaujaga bayinya sebentar?"
Dengan enggan, kuberikan Alex kepada Natalie. Kedengarannya aku tidak memiliki banyak pilihan. Christine telah banyak berubah beberapa bulan terakhir. Terkadang, aku seperti tidak mengenalnya. Mungkin semua ada kaitannya dengan mimpi-mimpi buruknya. Mimpi-mimpi buruk itu tampaknya tidak bertambah baik.
"Ada yang harus kuungkapkan. Kumohon, jangan mengatakan apa-apa," katanya memulai.
Bab 49
Aku menahan keinginanku untuk berbicara. Inilah yang terjadi di antara kami selama berbulan-bulan. Kusadari mata Christine dikelilingi lingkaran merah. Ia baru menangis.
"Sekarang kau menangani kasus pembunuhan yang lain, Alex. Kurasa itu bagus-itu kehidupanmu. Kau jelas sangat ahli dalam hal ini."
Aku tidak bisa tetap berdiam diri. "Aku sudah menawarkan diri untuk meninggalkan kepolisian, untuk membuka praktik pribadi. Aku mau melakukannya, Christine."
Ia mengerutkan kening dan menggeleng. "Aku merasa tersanjung."
"Aku tidak berusaha bertengkar denganmu," kataku. "Maaf, silakan. Aku tidak bermaksud menyela."
"Aku tidak memiliki kehidupan lagi di Washington. Aku selalu ketakutan. Ngeri kata yang lebih tepat. Aku tidak suka berangkat ke sekolah sekarang. Aku merasa kehidupanku sudah dirampas dariku. Mula-mula George, kemudian kejadian di Bermuda. Aku takut Shafer datang kembali mencariku."
Aku harus berbicara. "Dia tidak akan kembali, Christine."
"Jangan berkata begitu!" Suara Christine meninggi. "Kau tidak tahu. Kau tidak bisa mengetahuinya!"
165
Udara dalam paru-paruku perlahan-lahan terisap ke luar. Aku tidak yakin ke mana arah pembicaraan Christine dengan semua ini, tapi ia tampak tegang. Seperti pada malam ia mengalami mimpi buruk Geoffrey Shafer ada di dalam rumahnya.
"Aku akan pergi dari wilayah Washington," katanya. "Aku pergi sesudah tahun ajaran selesai. Aku tidak ingin kau tahu ke mana aku pergi. Aku tidak mau kau mencariku. Tolong jangan menjadi detektif terhadapku, Alex. Atau psikiater."
Aku tidak bisa memercayai apa yang sudah kudengar. Aku tidak menduga kejadian seperti ini. Aku berdiri di sana tanpa mampu berbicara, hanya menatap Christine. Kurasa aku belum pernah merasa begitu hancur, begitu sedih dan kesepian seumur hidupku. Aku merasa kosong dan hampa.
"Bagaimana dengan bayinya?" kataku akhirnya dengan suara berbisik yang terdengar serak dan seperti tercekik.
Air mata tiba-tiba membanjir dari mata Christine yang cantik. Ia mulai terisak-isak, terguncang. Tidak terkendali. "Aku tidak bisa membawa Alex bersamaku. Tidak, dalam keadaanku ini. Tidak seperti ini. Alex kecil harus tinggal bersamamu dan Nana saat ini."
Aku hendak bicara, tapi tidak ada yang bisa kuucapkan, tidak sepatah kata pun. Sejenak Christine beradu pandang denganku. Matanya begitu sedih, begitu terluka dan kebingungan. Lalu ia berbalik dan melangkah kembali ke rumahnya. Ia menghilang ke dalam.
Bab 50
Aku merasa marah dan sedih, tapi menyimpan semuanya dalam hati. Aku tahu bahwa aku seharusnya tidak berbuat begitu, tindakan yang hanya memperburuk keadaan. Dokter, sembuhkan dirimu sendiri.
Aku kebetulan bertemu psikiaterku, Adele Finally, di gereja hari Minggu pagi. Kami menghadiri misa pukul sembilan bersama keluarga kami. Adele pasti melihat sesuatu di mataku. Tidak banyak yang dilewatkannya dan wanita itu mengenalku dengan baik, karena aku pernah berpacaran dengannya selama hampir empat tahun.
"Apa Rosie si Kucing mati?" tanyanya, dan tersenyum.
"Rosie baik-baik saja, Adele. Aku juga. Trims atas perhatianmu."
"O-oh. Kalau begitu kenapa tampangmu seperti Ali pada pagi hari sesudah bertanding melawan Joe Frazier di Manila? Bisa kaujelaskan hal itu padaku? Selain itu, kau tidak bercukur untuk pergi ke gereja."
"Pakaian yang bagus," kataku kepadanya. "Warnanya tampak cocok untukmu."
Adele mengerutkan kening dan tidak mau mendengar ocehanku. "Benar. Abu-abu memang warnaku, Alex. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa."
167
Adele menyulut sebatang lilin permohonan. "Aku menyukai keajaiban," bisiknya, dan tersenyum nakal. "Sudah lama kita tidak bertemu, Alex. Itu entah sangat bagus atau sangat buruk."
Aku juga menyulut sebatang lilin permohonan. Lalu berdoa. "Tuhan, jagalah Jannie terus. Aku juga berharap Christine tidak pindah dari Washington. Aku tahu Kau pasti sedang mengujiku lagi."
Adele mengernyit seakan-akan sedang dibakar. Ia mengalihkan pandangan dari api permohonan yang berkerlap-kerlip dan memandang lurus ke mataku. "Oh, Alex, maafkan aku. Kau tidak memerlukan ujian lagi."
"Aku baik-baik saja," kataku kepadanya. Aku tidak ingin membahasnya sekarang, dengan Adele pun tidak.
"Oh, Alex, Alex." Ia menggeleng kuat-kuat. "Kau lebih tahu daripada itu. Aku lebih tahu."
"Aku baik-baik saja, sungguh."
Adele tampaknya benar-benar jengkel menghadapi-ku. "Baik, kalau begitu. Ongkos kunjungannya seratus dolar. Kau bisa meletakkannya di keranjang kolekte."
Adele kembali ke keluarganya, yang telah duduk di pertengahan lorong tengah. Ia berpaling, dan memandangku. Ia tidak tersenyum sekarang.
Sewaktu aku tiba di bangku kami, Damon menanyakan siapa wanita cantik yang kuajak bercakap-cakap di bagian belakang gereja.
"Dia dokter. Temanku," kataku, dan kurasa aku tidak berbohong soal itu.
"Apa dia doktermu? Dokter macam apa? Dia tampaknya agak marah padamu," bisiknya. "Kesalahan apa yang kaulakukan?"
168
"Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa," bisikku. "Apa aku tidak boleh mendapat privasi?"
"Tidak. Lagi pula, kita ada di gereja. Aku sedang mendengarkan pengakuan dosamu."
"Aku tidak memiliki pengakuan dosa apa pun untukmu. Aku baik-baik saja. Sungguh. Aku berdamai dengan dunia. Tidak mungkin lebih bahagia lagi."
Damon melontarkan pandangan jengkel yang sama seperti Adele tadi. Lalu ia menggeleng dan berpaling. Ia juga tidak percaya padaku. Sewaktu keranjang kolekte tiba, kumasukkan seratus dolar ke dalamnya.
Bab 51
Mastermind melakukan segala sesuatunya berdasarkan jadwal yang ketat. Jam di dalam kepalanya berdetik dengan keras, selalu berdetik.
Kelompok perampok bank terbaik, creme de la creme, dijadwalkan untuk bertemu dengannya di suite-nya di Holiday Inn dekat Colonial Village di Washington. Mereka tiba tepat waktu, tentu saja. Ia telah menetapkan hal itu sebagai persyaratan resmi pertemuan.
Brian Macdougall melangkah ke dalam suite mendului yang lain. Mastermind tersenyum melihat pembawaan Macdougall yang sombong tapi konyol. Ia tahu bahwa Macdougall akan memimpin jalan memasuki kamar. Ia diikuti anak-anak buahnya, B. J. Stringer dan Robert Shaw. Mereka bertiga sama sekali tidak tampak seperti pencuri tingkat tinggi, pikirnya. Dua di antara ketiganya mengenakan T-shirt biru-dan-putih dari liga sofbol Long Island yang sama.
"Mr. O'Malley dan Mr. Crews?" tanya Mastermind dari balik tirai cahaya yang menghalangi mereka memandang dirinya. "Di mana mereka, kalau boleh kutanyakan?"
Macdougall berbicara mewakili kelompok. "Mereka
170
harus bekerja hari ini. Kau memberi kami waktu yang sangat singkat, partner. Tiga dari kami berangkat pagi ini. Akan tampak mencurigakan kalau kami semua mengaku sakit."
Mastermind terus mengamati ketiga pria New York yang duduk di belakang cahaya tersebut. Masing-masing tampak seperti orang biasa. Sebenarnya, mereka merupakan kelompok perampok bank paling berbahaya yang pernah digunakannya. Mereka tepat seperti yang dibutuhkannya untuk ujian berikutnya.
"Jadi apa ini, audisi?" tanya Macdougall. Ia mengenakan kemeja sutra hitam, celana panjang hitam, dan sepatu rata. Rambut hitamnya disisir licin ke belakang. Ia memiliki janggut kambing.
"Audisi? Tidak, sama sekali bukan. Pekerjaannya milikmu, kalau kau menginginkannya. Aku tahu cara kerja kalian. Aku tahu segalanya tentang kalian. Aku tahu prestasi kalian."
Macdougall menatap lurus ke depan ke cahaya yang terang benderang tersebut, seakan tatapannya mampu menembus lapisan cahaya tersebut. "Pertemuan ini seharusnya tatap muka," katanya dengan nada dingin. "Hanya itu satu-satunya cara kami melakukan pekerjaan."
Mastermind bergegas bangkit berdiri. Ia tertegun dan marah. Kaki-kaki kursinya menggeser lantai dengan suara keras. "Kau sudah diberitahu sejak awal bahwa ha
Gaung Keheningan - Eloquent Silence - Sandra Brown Gue Anak SMA - Benny Rhamdany Jingga Dalam Elegi - Esti Kinasih Jingga untuk Matahari - Esti Kinasih Karena Aku Mencintai Manusia Setengah Dewa
ut mereka terbuka membentuk teriakan yang menakutkan. Lidah yang membengkak kebiruan menjulur ke luar pada sisi mulut. Sekarang ia harus mengeluarkan mayat-mayat itu dari sini. Ia harus menghilangkan mayat-mayat itu, hampir seperti mereka tidak pernah ada.
Seorang gadis bernama Gersh Adamson terbaring telentang di lantai dekat pintu depan. Ia tadi mencoba berlari keluar, bukan? Baguslah. Gadis itu adalah Ms. Green, wanita kurus berambut pirang yang mengaku berusia 21 tahun, tapi tampak tidak lebih tua dari 15 tahun. Mulutnya membeku membentuk jeritan kemarahan yang sangat disukai Mastermind. Ia nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dari bibir Gersh Adamson.
Ia memperkirakan gadis itu yang paling ringan untuk dibawa; mungkin beratnya tidak lebih dari lima puluh kilogram.
"Halo, Ms. Green. Kau tahu, aku selalu menyukaimu. Tapi aku agak pemalu. Seharusnya kukatakan aku dulu pemalu. Aku berhasil mengatasinya."
Ia mengulurkan tangan dan menyentuh payudara mungil Ms. Green. Ia terkejut mendapati Ms. Green mengenakan bra dengan busa di balik blusnya. Tidak benar-benar hippie sebagaimana tampaknya. Mastermind membuka kancing blusnya, lalu menanggalkannya dan menatap payudara Ms. Green.
159
Ia membuka kancing celana jins gadis yang sudah tewas itu. Lalu ia memasukkan jarinya ke balik celana dalam Ms. Green. Dagingnya agak dingin. Pusar Ms. Green ditindik dengan cincin perak. Ia menyentuhnya. Mencabutnya bagai tutup kaleng.
Ms. Green mengenakan sepatu tumit tinggi berwarna abu-abu mengilap, dan Mastermind menanggalkannya dengan hati-hati. Ia menurunkan celana jins yang ketat itu dan lalu menanggalkannya juga. Kuku-kuku jemari kaki Ms. Green dicat biru cerah.
Mastermind melepaskan kaitan bra dan meremas-remas payudara mungil Ms. Green. Ia menggosok-gosok keduanya dengan tangan. Lalu mencubit keras-keras putingnya yang mungil dan sempurna. Ia ingin berbuat begitu sejak pertama kali melihat Ms. Green. Ia ingin menyakiti Ms. Green sedikit, atau mungkin banyak.
Ia memandang ke luar jendela rumah pertanian, lalu kembali memandangi mayat-mayat di sekitarnya. "Aku tidak membuat kalian merasa jijik, bukan?" tanyanya.
Ia menyeret kaki Ms. Green yang telanjang ke karpet lusuh di tengah-tengah ruangan. Lalu ia menanggalkan celana panjangnya sendiri. Gairahnya bangkit. Ia belum pernah seperti ini lagi. Mungkin FBI benar: bagaimanapun juga, ia mungkin pembunuh berpola. Mungkin ia baru saja mulai memahami siapa dirinya yang sebenarnya.
"Aku setan yang melahap mayat," kata Mastermind, lalu menyingkirkan celana dalam Ms. Green dan menjejalkan dirinya ke vagina wanita yang telah menjadi mayat itu. "Aku sinting, Ms. Green, dan itu lelucon yang paling lucu. Akulah yang sinting. Kalau saja polisi mengetahuinya. Benar-benar petunjuk yang hebat."
Bagian Tiga
BERKUMPUL BERSAMA ANJING-ANJING BESAR
Bab 48
Tiga hari berlalu tanpa ada perampokan lagi. Salah satunya hari Sabtu, dan aku harus menghabiskan siang hari bersama Alex kecil. Pada sekitar pukul enam, aku akhirnya mengantar anak itu kembali ke rumah Christine.
Sebelum kami masuk, kubawa Alex kecil ke kebun bunga di belakang apartemen Christine di Mitchellville. "Lahan pedesaan," istilahku. Kebun itu megah. Christine sendiri yang menanami dan merawatnya. Kebun itu dipenuhi berbagai jenis mawar dan mengingatkanku pada Christine sebelum penculikan di Bermuda. Segala sesuatu mengenai keb un itu menyenangkan di mata. Dan mungkin itu sebabn ya aku merasa amat sedih berada di sana tanpa Christi ne.
Kugendong AIex kecil dengan mudah, sambil bercakap-cakap dengannya, menunjuk ke halaman rumput yang terpotong rapi, pohon weeping willow, langit, matahari terbenam. Lalu kutunjukkan kepadanya kemiripan wajah kami: hidung dengan hidung, mata dengan mata, mulut dengan mulut. Setiap beberapa menit aku berhenti untuk mencium pipi atau leher atau puncak kepala Alex kecil.
"Cium bau mawarnya," bisikku.
163
Aku melihat Christine bergegas keluar dari rumah beberapa menit kemudian. Aku bisa melihat ada yang membebani pemikirannya. Adiknya Natalie mengikuti dekat di belakangnya. Untuk perlindungan? Aku mendapat perasaan bahwa mereka akan bersatu melawanku.
"Alex, kita harus bicara," kata Christine saat mendekatiku di kebun. "Natalie, bisa kaujaga bayinya sebentar?"
Dengan enggan, kuberikan Alex kepada Natalie. Kedengarannya aku tidak memiliki banyak pilihan. Christine telah banyak berubah beberapa bulan terakhir. Terkadang, aku seperti tidak mengenalnya. Mungkin semua ada kaitannya dengan mimpi-mimpi buruknya. Mimpi-mimpi buruk itu tampaknya tidak bertambah baik.
"Ada yang harus kuungkapkan. Kumohon, jangan mengatakan apa-apa," katanya memulai.
Bab 49
Aku menahan keinginanku untuk berbicara. Inilah yang terjadi di antara kami selama berbulan-bulan. Kusadari mata Christine dikelilingi lingkaran merah. Ia baru menangis.
"Sekarang kau menangani kasus pembunuhan yang lain, Alex. Kurasa itu bagus-itu kehidupanmu. Kau jelas sangat ahli dalam hal ini."
Aku tidak bisa tetap berdiam diri. "Aku sudah menawarkan diri untuk meninggalkan kepolisian, untuk membuka praktik pribadi. Aku mau melakukannya, Christine."
Ia mengerutkan kening dan menggeleng. "Aku merasa tersanjung."
"Aku tidak berusaha bertengkar denganmu," kataku. "Maaf, silakan. Aku tidak bermaksud menyela."
"Aku tidak memiliki kehidupan lagi di Washington. Aku selalu ketakutan. Ngeri kata yang lebih tepat. Aku tidak suka berangkat ke sekolah sekarang. Aku merasa kehidupanku sudah dirampas dariku. Mula-mula George, kemudian kejadian di Bermuda. Aku takut Shafer datang kembali mencariku."
Aku harus berbicara. "Dia tidak akan kembali, Christine."
"Jangan berkata begitu!" Suara Christine meninggi. "Kau tidak tahu. Kau tidak bisa mengetahuinya!"
165
Udara dalam paru-paruku perlahan-lahan terisap ke luar. Aku tidak yakin ke mana arah pembicaraan Christine dengan semua ini, tapi ia tampak tegang. Seperti pada malam ia mengalami mimpi buruk Geoffrey Shafer ada di dalam rumahnya.
"Aku akan pergi dari wilayah Washington," katanya. "Aku pergi sesudah tahun ajaran selesai. Aku tidak ingin kau tahu ke mana aku pergi. Aku tidak mau kau mencariku. Tolong jangan menjadi detektif terhadapku, Alex. Atau psikiater."
Aku tidak bisa memercayai apa yang sudah kudengar. Aku tidak menduga kejadian seperti ini. Aku berdiri di sana tanpa mampu berbicara, hanya menatap Christine. Kurasa aku belum pernah merasa begitu hancur, begitu sedih dan kesepian seumur hidupku. Aku merasa kosong dan hampa.
"Bagaimana dengan bayinya?" kataku akhirnya dengan suara berbisik yang terdengar serak dan seperti tercekik.
Air mata tiba-tiba membanjir dari mata Christine yang cantik. Ia mulai terisak-isak, terguncang. Tidak terkendali. "Aku tidak bisa membawa Alex bersamaku. Tidak, dalam keadaanku ini. Tidak seperti ini. Alex kecil harus tinggal bersamamu dan Nana saat ini."
Aku hendak bicara, tapi tidak ada yang bisa kuucapkan, tidak sepatah kata pun. Sejenak Christine beradu pandang denganku. Matanya begitu sedih, begitu terluka dan kebingungan. Lalu ia berbalik dan melangkah kembali ke rumahnya. Ia menghilang ke dalam.
Bab 50
Aku merasa marah dan sedih, tapi menyimpan semuanya dalam hati. Aku tahu bahwa aku seharusnya tidak berbuat begitu, tindakan yang hanya memperburuk keadaan. Dokter, sembuhkan dirimu sendiri.
Aku kebetulan bertemu psikiaterku, Adele Finally, di gereja hari Minggu pagi. Kami menghadiri misa pukul sembilan bersama keluarga kami. Adele pasti melihat sesuatu di mataku. Tidak banyak yang dilewatkannya dan wanita itu mengenalku dengan baik, karena aku pernah berpacaran dengannya selama hampir empat tahun.
"Apa Rosie si Kucing mati?" tanyanya, dan tersenyum.
"Rosie baik-baik saja, Adele. Aku juga. Trims atas perhatianmu."
"O-oh. Kalau begitu kenapa tampangmu seperti Ali pada pagi hari sesudah bertanding melawan Joe Frazier di Manila? Bisa kaujelaskan hal itu padaku? Selain itu, kau tidak bercukur untuk pergi ke gereja."
"Pakaian yang bagus," kataku kepadanya. "Warnanya tampak cocok untukmu."
Adele mengerutkan kening dan tidak mau mendengar ocehanku. "Benar. Abu-abu memang warnaku, Alex. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa."
167
Adele menyulut sebatang lilin permohonan. "Aku menyukai keajaiban," bisiknya, dan tersenyum nakal. "Sudah lama kita tidak bertemu, Alex. Itu entah sangat bagus atau sangat buruk."
Aku juga menyulut sebatang lilin permohonan. Lalu berdoa. "Tuhan, jagalah Jannie terus. Aku juga berharap Christine tidak pindah dari Washington. Aku tahu Kau pasti sedang mengujiku lagi."
Adele mengernyit seakan-akan sedang dibakar. Ia mengalihkan pandangan dari api permohonan yang berkerlap-kerlip dan memandang lurus ke mataku. "Oh, Alex, maafkan aku. Kau tidak memerlukan ujian lagi."
"Aku baik-baik saja," kataku kepadanya. Aku tidak ingin membahasnya sekarang, dengan Adele pun tidak.
"Oh, Alex, Alex." Ia menggeleng kuat-kuat. "Kau lebih tahu daripada itu. Aku lebih tahu."
"Aku baik-baik saja, sungguh."
Adele tampaknya benar-benar jengkel menghadapi-ku. "Baik, kalau begitu. Ongkos kunjungannya seratus dolar. Kau bisa meletakkannya di keranjang kolekte."
Adele kembali ke keluarganya, yang telah duduk di pertengahan lorong tengah. Ia berpaling, dan memandangku. Ia tidak tersenyum sekarang.
Sewaktu aku tiba di bangku kami, Damon menanyakan siapa wanita cantik yang kuajak bercakap-cakap di bagian belakang gereja.
"Dia dokter. Temanku," kataku, dan kurasa aku tidak berbohong soal itu.
"Apa dia doktermu? Dokter macam apa? Dia tampaknya agak marah padamu," bisiknya. "Kesalahan apa yang kaulakukan?"
168
"Aku tidak melakukan kesalahan apa-apa," bisikku. "Apa aku tidak boleh mendapat privasi?"
"Tidak. Lagi pula, kita ada di gereja. Aku sedang mendengarkan pengakuan dosamu."
"Aku tidak memiliki pengakuan dosa apa pun untukmu. Aku baik-baik saja. Sungguh. Aku berdamai dengan dunia. Tidak mungkin lebih bahagia lagi."
Damon melontarkan pandangan jengkel yang sama seperti Adele tadi. Lalu ia menggeleng dan berpaling. Ia juga tidak percaya padaku. Sewaktu keranjang kolekte tiba, kumasukkan seratus dolar ke dalamnya.
Bab 51
Mastermind melakukan segala sesuatunya berdasarkan jadwal yang ketat. Jam di dalam kepalanya berdetik dengan keras, selalu berdetik.
Kelompok perampok bank terbaik, creme de la creme, dijadwalkan untuk bertemu dengannya di suite-nya di Holiday Inn dekat Colonial Village di Washington. Mereka tiba tepat waktu, tentu saja. Ia telah menetapkan hal itu sebagai persyaratan resmi pertemuan.
Brian Macdougall melangkah ke dalam suite mendului yang lain. Mastermind tersenyum melihat pembawaan Macdougall yang sombong tapi konyol. Ia tahu bahwa Macdougall akan memimpin jalan memasuki kamar. Ia diikuti anak-anak buahnya, B. J. Stringer dan Robert Shaw. Mereka bertiga sama sekali tidak tampak seperti pencuri tingkat tinggi, pikirnya. Dua di antara ketiganya mengenakan T-shirt biru-dan-putih dari liga sofbol Long Island yang sama.
"Mr. O'Malley dan Mr. Crews?" tanya Mastermind dari balik tirai cahaya yang menghalangi mereka memandang dirinya. "Di mana mereka, kalau boleh kutanyakan?"
Macdougall berbicara mewakili kelompok. "Mereka
170
harus bekerja hari ini. Kau memberi kami waktu yang sangat singkat, partner. Tiga dari kami berangkat pagi ini. Akan tampak mencurigakan kalau kami semua mengaku sakit."
Mastermind terus mengamati ketiga pria New York yang duduk di belakang cahaya tersebut. Masing-masing tampak seperti orang biasa. Sebenarnya, mereka merupakan kelompok perampok bank paling berbahaya yang pernah digunakannya. Mereka tepat seperti yang dibutuhkannya untuk ujian berikutnya.
"Jadi apa ini, audisi?" tanya Macdougall. Ia mengenakan kemeja sutra hitam, celana panjang hitam, dan sepatu rata. Rambut hitamnya disisir licin ke belakang. Ia memiliki janggut kambing.
"Audisi? Tidak, sama sekali bukan. Pekerjaannya milikmu, kalau kau menginginkannya. Aku tahu cara kerja kalian. Aku tahu segalanya tentang kalian. Aku tahu prestasi kalian."
Macdougall menatap lurus ke depan ke cahaya yang terang benderang tersebut, seakan tatapannya mampu menembus lapisan cahaya tersebut. "Pertemuan ini seharusnya tatap muka," katanya dengan nada dingin. "Hanya itu satu-satunya cara kami melakukan pekerjaan."
Mastermind bergegas bangkit berdiri. Ia tertegun dan marah. Kaki-kaki kursinya menggeser lantai dengan suara keras. "Kau sudah diberitahu sejak awal bahwa ha