Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pertemuan Di Sebuah Motel - 7

$
0
0
Cerita online | Pertemuan Di Sebuah Motel | by V. Lestari | Pertemuan Di Sebuah Motel | Cersil Sakti | Pertemuan Di Sebuah Motel pdf

Kelompok 2 & 1 - Pencuri Intelek Kemuning - Maria A Sardjono Love Me Twice - Gebetan Lama Rasa Baru - Billy Homario Tesa - Marga T Mawar Merah - Roses are Red - James Patterson

te Del lagi keluar, ya?"
  Erna menatap heran hingga Donna jadi heran juga.
  "Mbak Donna nggak tahu, ya?" Erna balas bertanya.
  "Nggak. Tahu apa sih?" Donna menjadi cemas.
  "Ibu Del sudah menjual toko ini. Itu pemilik baru," Erna menunjuk ke belakang.
  "Hah?" Donna terkejut. "Ke mana Tante sekarang?"
  "Wah, Bu Del nggak bilang-bilang, ya?"
  "Ke mana dia?"
  "Cari aja di rumahnya, Mbak."
  Donna segera berlari ke luar lalu melompat ke dalam angkot. Tanpa ketemu dengan Delia berarti ia tak punya uang untuk jajan padahal ia lapar sekali. Biasanya kalau datang ke toko ia dibelikan mi bakso. Sekarang uangnya terpakai untuk ongkos angkot. Memang ia bisa saja pulang dulu ke rumah untuk makan dulu, sesudah itu baru pergi ke rumah Delia, tapi kecemasannya terlalu besar. Siapa tahu Delia sakit, terkapar sendirian di rumahnya.
  Penyesalan Donna bertubi-tubi. Pikirannya mencoba mencari hubungan antara penjualan toko dan kebohongan lewat telepon itu. Apakah memang ada? Kenapa pula toko yang jadi penunjang hidup itu dijual?
  Akhirnya ia tiba di depan rumah Delia. Di halaman tak ada mobil milik Delia. Biasanya mobilnya diparkir di situ. Pintu pagar tidak digembok jadi ia terus saja masuk sampai pintu depan. Ia mengetuk pelan lalu
  64
  keras. Sesudah itu ia memanggil nama Delia, dari pelan sampai keras. Biarpun sudah yakin rumah itu tidak berpenghuni, Donna terus saja menge tuk dan memanggil. Ia sudah capek dan ingin menangi s, tapi tak mau berhenti. Siapa tahu Delia ada di rumah dan sedang tidur. Jadi perlu waktu untuk membangunk an.
  Hasil dari kegaduhan yang ditimbulkannya adalah kemunculan seorang perempuan dari rumah sebelah.
  "Cari siapa, Dik?" tanya perempuan itu.
  "Tante Delia, Bu. Saya keponakannya."
  "Oh, Mbak Del nggak ada. Perginya tadi pagi."
  "Ke mana dan sama siapa, Bu?"
  "Dia pergi sendirian pakai mobil. Tapi ke mana nggak bilang. Saya kan nggak mungkin nanya-nanya, Dik."
  "Kapan kembalinya, Bu? Bilang nggak?"
  "Nggak sih. Tapi mungkin nggak cepat-cepat. Soalnya dia nitip kunci sama saya."
  Wajah Donna yang semula lesu menjadi segar! "Apa saya bisa pinjam kuncinya, Bu? Buku saya ketinggalan di sini padahal mau ulangan."
  "Tunggu sebentar ya."
  Ibu itu pergi lalu kembali membawa kunci. "Nanti kembaliin ya, Dik, kalau bukunya udah ketemu." "Tentu aja, Bu."
  Setelah masuk ke dalam rumah, Donna berlari ke dapur. Tujuannya adalah mencari makanan. Ia membuka tudung saji di atas meja makan. Hanya ada beberapa potong roti tawar di dalam kantong plastik, dan di sampingnya ada sebotol selai stroberi. Ia memperkirakan makanan itu sisa yang dimakan Delia tadi pagi. Tidak ada makanan lain. Lemari juga kosong. Karena rasa lapar sudah menggerogoti perut-
  65
  nya, ia menghabiskan makanan itu. Masih untung ada sisa, pikirnya. Sesudah itu ia mencari minum di kulkas yang sudah karatan di bagian bawahnya. Ternyata kulkas itu sudah diputuskan aliran listriknya. Tak ada apa-apa di dalamnya. Kosong melompong. Hanya ada sebotol air putih. Masih untung ada yang bisa diminum, pikirnya.
  Setelah kenyang baru ia mengamati sekitarnya. Ia menyadari, bukan cuma kulkas, lemari, dan meja makan yang kosong, tapi juga ruangan sekitarnya. Tidak ada hiasan dinding dan gambar yang sebelumnya pernah ia lihat. Ia segera melompat dan memeriksa ruangan lain. Di setiap ruang kesannya sama. Hanya ada perabot besar. Di ruang tamu hanya ada sofa dan perangkat meja-kursi. Memang tidak kosong sama sekali. Tapi ia ingat cerita Delia bahwa rumah itu dikontraknya berikut perabotan, termasuk kulkas butut itu. Perabotan Delia yang ada di rumahnya yang dulu sudah dijual berikut rumahnya.
  Ia menuju kamar tidur Delia. Tidak dikunci. Seperti sudah diduganya, kamar itu sama saja keadaannya seperti ruangan lain. Kasur di ranjang tidak berseprai, bantal-guling tidak bersarung, dinding kosong, dan di atas meja tidak ada apa-apanya. Lemari pakaian pun kosong. Demikian pula laci-lacinya.
  Donna sadar, Delia tidak bermaksud pergi sebentar. Ke mana perginya? Kenapa tidak bilang-bilang? Begitu sakitkah hatinya hingga ia berbuat seperti ini? Penyesalan Donna kembali muncul. Pasti apa yang dilakukan Delia ini ada hubungannya dengan apa yang telah ia lakukan. Delia sangat kecewa kepadanya. Bukankah selama ini Delia memperlakukannya dengan baik seperti anak sendiri?
  66
  Donna kembali ke rumah tetangga sebelah untuk mengembalikan kunci.
  "Bu, apakah Tante Del pernah cerita tentang rencana pindah rumah?" ia bertanya.
  "Pindah? Nggak tuh. Emangnya kenapa?" ibu tetangga balik bertanya.
  "Ah, nggak. Nanya aja, Bu."
  Donna tak mau menceritakan apa yang dilihatnya tadi di dalam rumah Delia. Nanti ketahuan bohongnya.
  Ia harus cepat pulang untuk menceritakan apa yang telah terjadi.
  * * *
  Sore itu juga Ramli, Mila, dan putri mereka Donna, berkunjung ke rumah Rama. Tujuannya untuk menyampaikan kepada Ratna mengenai menghilangnya Delia.
  Sebenarnya Mila dan Donna tidak setuju akan niat itu, tapi Ramli mengatakan ia tidak bermaksud menyudutkan Delia tapi berkewajiban untuk memberitahu Rama apa yang telah terjadi seb agai akibat penipuan yang melibatkan dirinya itu.
  "Apa kalian tidak takut akan akibatnya bila dia tahu bahwa kita tahu tapi diam-diam saja?" tanya Ramli kepada anak dan istrinya. "Dia pasti akan menyumpahi kita habis-habisan."
  "Kasihan Delia," kata Mila.
  "Kasihan memang. Tapi salah dia sendiri juga sih. Kenapa dia nggak mau merendah sedikit terhadap Mama? Sudah tahu orangnya kayak gitu. Nggak bisa dilawan atau ditentang. Kasihlah Mama uang sedikit. Kan nggak rugi buat dia. Benar juga kesim-
  67
  pulan Mama. Kalau benar Del bokek, masa bisa memberikan sepuluh juta begitu saja."
  "Begitu saja katamu, Pa?" bantah Mila kesal. "Mungkin saja dia pun merasa berat, tapi karena ingin menolong dia berikan juga. Mestinya kita berterima kasih kepadanya. Coba kalau aku benar-benar sakit dan perlu bantuan."
  "Aku berterima kasih kepadanya. Tapi aku takut sama Mama. Kita kan harus menentukan pilihan kepada siapa kita harus berpihak. Mama adalah ibuku sedang Delia orang lain."
  "Tante Del orang yang baik, sedang Nenek..." Donna tidak meneruskan ucapannya karena dipelototi ayahnya.
  "Hati-hati kalau bicara. Bukankah kamu juga ikut berkomplot?"
  "Tapi aku nyesel, Pa! Nyesel banget!"
  "Sudahlah. Nyesel pun percuma," sahut Ramli.
  "Kalau ketemu, aku mesti minta maaf. Apakah Papa nggak mau minta maaf juga kepadanya?"
  "Kalau kau banyak omong, lebih baik nggak usah ikut. Nanti di depan nenekmu kau ngomong semba-rangan. Aku nggak mau kau dikutuk."
  Donna tak mau dilarang ikut. Ia ingin melihat bagaimana reaksi neneknya setelah mengetahui ke-pergian Delia yang diam-diam itu. Ia ingin tahu seperti apa rupa neneknya kalau sedang marah besar. Selama ini ia hanya mendengar cerita saja. Katanya rambut si nenek yang putih itu jadi setengah berdiri seperti habis diblow dan mukanya merah. Matanya juga merah. Hiii, seperti apakah itu?
  Begitu bertemu Ratna, mereka bertiga terpesona. Ratna berpenampilan ceria dan berkilauan. Ia mengenakan daster baru berwarna merah. Wajahnya
  68
  yang sudah berkeriput itu berbedak hingga tampak semakin putih. Alisnya yang sudah gundul ditimpa pensil alis menjadi dua garis melengkung. Bibirnya pun disaput lipstik. Rambutnya masih putih dan pendek, tapi dikeriting! Tapi bukan itu yang membuat Ratna berkilau. Ia mengenakan semua perhiasannya! Hampir semua adalah pemberian anak-anaknya. Tapi ada satu yang tampak paling mencolok. Di lehernya menjuntai sebuah kalung emas bertabur berlian!
  "Lihat ini!" katanya sambil meraba kalungnya. "Uang sepuluh juta itu kubelikan ini. Bagus nggak?"
  Donna merasa mual.
  "Bagus," kata Ramli.
  "Bagus," Mila mengikuti.
  "Nah, ada apa kalian ke sini? Pasti ada sesuatu. Bukan karena kangen padaku, kan?" Ratna tertawa. "Kulihat kalian nggak bawa oleh-oleh."
  Mila tersipu. Donna memalingkan muka. Di matanya, neneknya ini benar-benar tak ubahnya nenek sihir. Menakutkan dan memuakkan, tapi juga menggelikan! Di mata Ramli, ibunya bukan cuma menakutkan tapi mengagumkan! Licik, tapi pintar. Sedang di mata Mila, ibu mertuanya itu seperti setan!
  Sebagai orang tua berusia tujuh puluh tahun, Ratna sangat sehat. Biasanya orang seusianya bertubuh tambun, tapi ia tetap ramping meskipun perutnya sedikit buncit. Kecuali sel-sel tubuhnya yang memang sudah aus, semua organ vitalnya masih berfungsi sempurna. Dokter yang pernah memeriksanya memujinya sebagai orang tua yang langka. Biasanya orang setua itu sudah didekati dan dihinggapi penyakit. Bahkan orang yang jauh lebih muda pun banyak yang tidak sesehat dirinya.
  Gerak-geriknya pun gesit. "Tak tampak kesan lam-
  69
  ban atau loyo. Tulang-tulangnya kuat berkat rajin minum susu sejak muda. Kesempurnaan fisiknya memang bukan tanpa sebab. Makanannya selalu penuh gizi. Ia sangat memerhatikan soal itu untuk dirinya, tapi tak peduli pada apa yang dimakan keluarga anaknya. Biar saja mereka makan tahu dan tempe asal ia selalu makan daging, telur, dan susu!
  Sayangnya, fisiknya yang sehat itu tidak dibarengi dengan jiwa dan mental yang sehat juga.
  * * *
  Usai mendengar cerita Ramli bahwa Delia pergi tanpa jejak, bangkitlah amarah Ratna. Ekspresinya yang mengerikan diamati dengan terpesona oleh Donna. Tak mengherankan kalau ayahnya dan lain-lainnya begitu ketakutan. Ia jadi bertanya-tanya dalam hati, seperti apakah Ratna semasa mudanya. Untunglah ia tidak memiliki ibu seperti Ratna.
  "Kalian harus mencarinya!" seru Ratna.
  Rama dan Ramli berpandangan. Maunya membantah, tapi kenyataannya mereka mengangguk-angguk. "Ya, Ma. Nanti dicari."
  "Dasar licik! Jual rumah! Jual toko! Sekarang kabur! Diapain uangnya?" teriak Ratna.
  Sebenarnya semua orang di seputar Ratna sama-sama berkata dalam hati, "Itu adalah hak Delia sendiri!" Tapi tentu saja tak ada yang berani berkata begitu. Mereka cuma mengangguk-angguk dengan wajah lesu.
  "Dia membawa lari harta anakku! Dia membawa lari bagian warisanku!"
  Orang-orang tercenung dan bingung. Meskipun sudah diberitahu bahwa warisan suami jatuh pada
  70
  istri, apalagi Delia ikut berusaha bahu-membahu bersama Agus, tetap saja Ratna tidak mau mengerti. Ia kukuh pada pendiriannya. Tapi semua paham sesungguhnya Ratna bukan tak bisa mengerti. Ia kukuh karena keinginannya sendiri.
  Tiba-tiba Donna nyeletuk, "Kan Nenek udah dapat ini!" katanya sambil menunjuk lehernya sendiri.
  Ayah-ibunya terkejut. Benar saja, anak itu ngomong sembarangan. Sebenarnya itu bukan sembarangan, tapi bagi Ratna maknanya adalah kelancangan. Benar saja.
  "Apa kau bilang? Anak kecil kamu!" bentak Ratna kepada Donna.
  "Sudah, Ma. Sudah," bujuk Ramli. "Namanya juga anak kecil."
  Tapi Donna tidak menyatakan penyesalan. "Biarpun anak kecil, aku kan udah bantuin Nenek."
  "Hei, diam kamu!" bentak Ramli. Ia sangat takut kalau-kalau anaknya kena kutuk. Ia percaya benar mulut ibunya bertuah.
  "Sudah, Don. Keluarlah," bujuk Mila.
  Sambil memonyongkan mulutnya, Donna melangkah ke luar ruangan. Tapi ia tidak benar-benar pergi. Ia cuma bersandar di balik dinding dan memasang kupingnya.
  "Si Del itu lagi sakit, tahu! Dia nggak bakal selamat! Hartanya yang mesti diselamatkan. Kalau dapat, kalian akan dapat bagian!" seru Ratna.
  Donna tersentak kaget. Delia sakit? Bagaimana neneknya bisa tahu?
  Dalam perjalanan pulang, Ramli bertanya, "Tante Del sakit apa, Don?"
  Donna tahu, ia harus berpura-pura. "Sakit? Kata siapa, Pa?"
  71
  "Nenek bilang Del sakit. Sakit apa sih?" "Nggak tahu, Pa. Nenek tahu dari mana?" "Bukan dari kamu?"
  "Bukan. Aku kan udah lama nggak ketemu Tante Del. Malu. Tadi aku ke sana karena dorongan hati nurani. Pengen minta maaf."
  "Habis, dia tahu dari mana?"
  "Nggak tahu. Mungkin ada informan lain, Pa."
  "Jangan-jangan..." Ramli tak melanjutkan ucapannya karena merasa takut.
  "Jangan-jangan apa?" desak Mila.
  "Mungkin Mama mengutuk Del!"
  72
  BAB 7
  Delia bangun keesokan paginya dengan perasaan segar. Sesaat ia perlu mengingat lagi keberadaannya dan apa yang mau dikerjakannya. Ada juga rasa heran bagaimana ia bisa tidur nyenyak dalam kondisi seperti itu. Apakah karena ia sudah pasrah dan merasa tak punya beban lagi? Padahal kemarin-kemarin, justru di rumah sendiri ia sering sulit tidur.
  Usai mandi ia mengenakan celana panjang hitam dengan blus lengan pendek motif kembang-kembang warna biru muda yang cerah. Pakaian itu membuatnya kelihatan ramping dan wajahnya bersinar cerah, padahal ia tak mengenakan riasan. Ia sama sekali tak peduli apa ia kelihatan cantik atau tid

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles