Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pertemuan Di Sebuah Motel - 8

$
0
0
Cerita online | Pertemuan Di Sebuah Motel | by V. Lestari | Pertemuan Di Sebuah Motel | Cersil Sakti | Pertemuan Di Sebuah Motel pdf

Lintang Kemukus Dini Hari - Ahmad Tohari Jantera Bianglala - Ahmad Tohari Cinta itu Asyik Tapi jangan Asyik Bercinta Keberanian Manusia - Kumpulan Cerpen Kelompok 2 & 1 - Sang Pengintai

ak. Sekarang hal itu tak ada gunanya.
  Ada kesan baru yang diperolehnya. Ternyata menjelang akhir hidup bukanlah akhir harapan. Sebaliknya, justru merupakan harapan. Betapa senangnya bisa mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan dalam keadaan siap!
  Pintunya diketuk.
  "Bu Delia, nasi gorengnya sudah siap!"
  Ia membuka pintu. Lalu terheran-heran melihat Kosmas memegang baki berisi sepiring nasi goreng dengan sendok-garpu dibungkus tisu bersama segelas
  73
  teh panas. Bukankah Kosmas itu pemilik motel? Atau cuma karyawan?
  "Kok Bapak yang bawain?"
  "Memangnya nggak boleh?"
  "Lagi kekurangan karyawan rupanya."
  "Ah, nggak juga. Tapi kalau Ibu keberatan..."
  Kosmas berlagak akan membawa pergi barang bawaannya.
  "Tentu saja nggak keberatan, Pak. Terima kasih.".
  Delia mengulurkan tangannya untuk menyambut baki di tangan Kosmas. Tapi Kosmas masuk lalu meletakkannya di atas meja. "Silakan, Bu. Selamat makan. Mudah-mudahan enak. Ini bikinan warung di depan."
  "Kayaknya sih enak ya. Bapak udah makan?" "Saya sih gampang. Makan gantian dengan adik saya atau makan bareng kalau karyawan yang jaga." "Yang mana adik Bapak?"
  "Itu, yang kemarin sore nerima Ibu bareng saya." "Oh itu. Tapi kok..."
  Delia tidak meneruskan ucapannya yang meluncur begitu saja. Apa urusannya?
  Kosmas melanjutkan kalimat Delia, "Kok nggak sama, ya? Memang banyak yang bilang begitu. Tapi kami memang bersaudara kandung. Satu ayah, satu ibu."
  "Ya. Itu memang bisa. Maaf ya, Pak. Saya mungkin usil."
  "Ah nggak. Wah, saya kelamaan ngomong. Nanti nasinya menjadi dingin. Ayo silakan makan."
  "Terima kasih, Pak... siapa ya?"
  Kosmas mengulurkan tangannya. Senang diberi kesempatan. "Saya Kosmas. Adik saya Erwin."
  "Saya Delia," kata Delia bergurau. "Udah tahu. ya?"
  74
  "Ya." Kosmas tersenyum. "Silakan, Bu. Kalau sudah selesai, Ibu bisa hubungi kami lewat interkom. Nanti karyawan yang ambil. Di situ ada bonnya. Ibu bisa titip uang padanya. Oh ya, apakah Ibu bisa tidur nyenyak semalam?"
  "Wah, nyenyak sekali. Bangun-bangun saya bingung ada di mana," sahut Delia dengan sebenarnya.
  "Jadi nggak ada mimpi buruk atau gangguan apa-apa?"
  "Nggak."
  "Syukurlah. Mari, Bu..."
  Ketika Delia menikmati nasi gorengnya, ia ter-senyum-senyum sendiri. Gila, pikirnya. Ternyata aku masih senang mendapat perhatian lelaki! Itu tidak fair. Tidak boleh terjadi. Apalagi lelaki itu jelek. Wajahnya seperti preman. Beda sekali bila dibandingkan dengan Agus. Ah, aku tidak boleh macam-macam!
  Tapi ada sesuatu pada diri lelaki itu yang membuat Delia terkesan. Tampang sangar tapi perilaku santun dan perhatian. Mungkin pura-pura saja?
  * * *
  Kosmas menemui Erwin dengan wajah gembira. "Aku sudah berkenalan dengan dia," ia melaporkan. "Dia siapa?" "Ibu Delia, kamar 14." "Wah. Gimana ceritanya?"
  Kosmas bercerita seadanya. "Ternyata dia bisa tidur nyenyak semalam. Justru aku yang jadi nggak bisa tidur mikirin dia."
  Erwin tertawa. "Benar, kan? Aku sudah bilang kamar itu bersih. Tapi harus dibuktikan supaya orang percaya."
  75
  "Mestinya jangan diberikan kepadanya, tapi orang lain."
  "Jangan-jangan kalau dia diberi kamar lain, kau malah nggak simpati kepadanya."
  "Ah, masa karena soal kamar. Orangnya dong."
  "Hati-hati, Bang. Jangan terburu-buru menyukainya. Kenal dulu."
  "Tentu saja. Aku lagi mikirin caranya. Yang pasti dia orang baik-baik. Dan tidak bermaksud bunuh diri!"
  "Ya. Itu melegakan."
  "Win, tolong bantu cari ide bagaimana bisa mendekatinya. Eh, jangan kritis dulu. Aku memang harus mengenalnya dulu sebelum bersikap. Tapi kalau nggak mendekati, bagaimana bisa kenal?"
  "Oke. Nanti aku pikirin. Dia toh masih dua malam di sini."
  Kosmas percaya akan kemampuan Erwin. Adiknya itu punya perbendaharaan ide yang lebih banyak daripadanya.
  Delia merapikan uangnya. Semua dibagi dalam amplop-amplop cokelat yang sudah disiapkan. Hari ini ia akan mencari informasi lebih dulu mengenai berbagai panti asuhan dan panti wreda yang ada di Jakarta. Lalu sambil jalan ia akan menyumbangkan uangnya kepada panti-panti terdekat yang dilaluinya.
  Selanjutnya, sebagian besar amplop-amplop itu dimasukkannya ke dalam tas jinjing sedang sebagian kecil masuk ke dalam tas tangan. Seperti sebelumnya, yang sebagian besar itu ditaruh di bagian dasar, lalu atasnya ditutupi pakaian. Tas itu akan dimasukkan ke
  76
  dalam mobil di tempat yang tidak mencolok. Ia tidak mau meninggalkannya di motel karena takut ada yang menggerayangi. Padahal ia juga ngeri membawanya ke mana-mana di dalam mobil. Tapi kalau dikir-pikir, mungkin itu lebih aman. Bukankah ia berhasil membawanya dengan selamat dari Bandung?
  Ia memutuskan untuk mempercantik penampilannya. Ia berdandan dengan rapi. Sebagai seorang penyumbang yang tak dikenal, ia perlu kelihatan bonafide. Kalau penampilannya sembarangan, mungkin saja orang menyangka buruk perihal dirinya. Siapa tahu ada yang mencurigai bahwa ia akan menyebar uang palsu atau uang hasil kejahatan.
  Sesudah itu ia tersenyum kepada cermin. Rasanya sudah lama benar ia tidak mengamati wajahnya atau berdandan dengan cermat. Ada perasaan tidak peduli. Tapi sekarang ia bisa bergaya. Ia merasa dirinya masih cukup cantik. Memang tak ada gunanya lagi semua itu kalau satu kakinya sudah berada di tepi liang kubur. Tapi ia membayangkan dirinya akan berpenampilan seperti itu bila nanti "ditemukan". Siapa yang "menemukan" dirinya nanti? Apakah karyawan motel, Kosmas, atau Erwin?
  Tiba-tiba ia terkejut. Tubuhnya menegang. Ia memekik kaget. Di cermin ia tidak hanya melihat wajahnya sendiri, tapi wajah Ratna! Wajah berkeriput itu tersenyum sinis kepadanya dan sorot matanya terlihat kejam dan benci. Delia cepat-cepat menoleh ke belakang. Entah kenapa ia melakukannya karena ia tahu ia cuma sendirian. Memang benar. Tidak ada siapa pun di belakangnya. Ia kembali memandang cermin. Kali ini di cermin hanya ada wajahnya. Ditatapnya lama-lama, tapi penampakan wajah Ratna tak ada lagi.
  77
  Ia menenangkan diri. Pasti itu halusinasi belaka. Ia meyakinkan dirinya untuk tidak lagi merasa takut. Sekarang ini ia sudah siap untuk kehilangan segalanya. Termasuk nyawanya sendiri. Bukan karena ketakutan, tapi sebagai perlawanan. Apa lagi yang mau dilakukan Ratna kepadanya?
  Ia menatap cermin.
  "Mama, jangan ganggu aku lagi! Aku tidak takut kepadamu!" serunya.
  Tidak ada yang tampak di cermin.
  Ketika ia sedang memasukkan tasnya ke dalam mobil, Kosmas mendekat. Entah dari mana munculnya. Tahu-tahu sudah ada.
  "Mau pergi, Bu?" sapa Kosmas.
  "Iya. Ada urusan."
  "Oh ya, apa Ibu perlu peta Jakarta? Kalau Ibu kurang paham jalan-jalan di sini, tinggal cari saja."
  Delia berpikir sejenak. "Boleh juga, Pak. Saya boleh pinjam?"
  "Tentu saja boleh. Sebentar ya. Saya ambil dulu."
  Kosmas berlari ke kantor. Delia tersenyum melihatnya. Gaya larinya lucu, pikirnya.
  Tak lama kemudian Kosmas muncul dengan buku peta di tangannya. Ia menyodorkannya kepada Delia.
  "Terima kasih, Pak. Nanti saya kembalikan."
  "Hati-hati di jalan, Bu."
  Kosmas melambaikan tangan. Senang bisa berbuat sesuatu. Ia juga berterima kasih kepada Erwin. Yang tadi itu idenya.
  "Berikan perhatian pada hal-hal kecil, maka dia akan terkesan!" begitu kata Erwin.
  Delia melirik kaca spion. Ia melihat Kosmas masih saja berdiri memandangi kepergiannya. Baru ketika ia keluar dari pintu gerbang, lelaki itu berjalan
  78
  menuju kantor. Ternyata di hari-hari akhir hidupnya ia masih mendapatkan perhatian dari seseorang. Rasanya menyenangkan. Tapi kemudian ia terkejut sendiri. Tidak seharusnya ia memberi harapan kepada siapa pun karena ia tidak bisa memberi apa-ap a. Bukan tidak mau, tapi memang tidak bisa!
  Saat mengemudi, Delia teringat kembali kepada penglihatannya di cermin tadi. Ia meyakinkan diri bahwa itu cuma halusinasi, tapi masih saja ia merasa risau. Mungkin bukan takut, tapi khawatir rencananya tak bisa terwujud dengan mulus. Sepertinya apa yang tampak tadi, halusinasi atau bukan, bisa dianggap sebagai peringatan. Sekarang ini, boleh dikata ia seolah sedang berperang dengan Ratna. Ia berusaha supaya Ratna tidak berhasil memperoleh hartanya, bukan dengan mempertahankannya karena hidupnya mungkin saja lebih singkat daripada Ratna. Maka ia menghabiskannya hingga pada akhirnya nanti Ratna hanya mendapatkan tubuhnya yang sudah tak bernyawa! Bukankah Ratna sering mengutuknya supaya ia cepat mati? Bila hal itu benar-benar terjadi, dan memang akan terjadi, ternyata dirinya sudah tidak berharta lagi. Oh, betapa marahnya Ratna! Membayangkan kemarahan Ratna membuat Delia senang.
  "Bukankah lebih baik bila uang itu diberikan pada mereka yang menderita daripada dibelikan emas berlian, Ma?" katanya, bicara sendiri. "Mama nggak bisa membawanya ke liang kubur. Pergi ke akhirat tak perlu bekal. Bisa aja sih dibawa ke liang kubur, tapi buat apa? Yang pasti Mama nggak bisa menikmatinya."
  Delia merasa, geli membayangkan sosok Ratna yang kaku dan kemudian membusuk itu dipenuhi perhiasan. Menilik tabiatnya, mungkin saja memang
  79
  itulah yang akan diperintahkannya kepada anak-anaknya. Relakah Ratna mewariskan hartanya pada mereka? Sedang mereka tentunya tidak rela juga bila harta itu ikut dikubur padahal bisa dimanfaatkan dalam kehidupan. Tapi beranikah mereka untuk tidak melaksanakan perintah Ratna, biarpun Ratna sudah tidak ada hingga tak bisa menyaksikan? Sayang Delia sendiri juga sudah tidak ada nanti supaya bisa memantau apa yang terjadi.
  Orang sekuat Ratna kemungkinan berusia panjang. Masih hidupkah ia sepuluh, bahkan dua puluh tahun lagi? Bila hal itu terjadi, kasihan sekali anak-anak dan menantunya, terutama mereka yang hidup bersamanya.
  80
  BAB 8
  Ratna duduk di kursi goyangnya sambil bergoyang pelan. Matanya terpejam. Kedua tangannya mencengkeram pinggiran kursi. Tubuhnya terlihat tegang. Benaknya yang sudah tua itu sedang berpikir keras. Ia juga sedang kesal. Konsentrasi pikirannya tertuju kepada Delia. Firasatnya mengatakan, menantunya itu sedang bermain kucing-kucingan dengannya. Mempermainkan dirinya. Tapi ia juga diliputi perasaan takjub mengenai dirinya sendiri. Belakangan ini ia merasa dirinya seperti mendapat tambahan kekuatan, baik fisik maupun pikiran. Tak pernah ada lagi kepikunan yang kadang-kadang dialaminya. Bersamaan dengan itu, berbagai keinginan pun melonjak-lonjak lebih besar daripada biasanya. Keinginan-keinginan yang tak mungkin terpenuhi.
  Ia teringat kepada sang Tuan. Kenapa tak pernah muncul lagi? Bukankah ia belum memberikan jawaban terhadap permintaannya itu? Apakah sang Tuan tidak berminat lagi kepadanya? Ia merasa takut, tapi keinginan-keinginan itu terasa mendera. Padahal umurnya mungkin tak lama lagi. Sedang hidup cuma sekali.
  Bila ia sedang duduk di kursi goyangnya ini, tak ada yang mau mendekatinya kecuali pembantunya yang bernama Ipah. Di depannya pesawat televisi
  81
  menyala. Cuma Ipah yang menonton. Ipah memang pembantu khusus Ratna. Pekerjaannya hanya melayani Ratna. Sementara keluarga Rama tidak memiliki pembantu. Maya, istri Rama, mengerjakan sendiri pekerjaan rumah tangganya. Terkadang Ipah membantunya di waktu luang, bila Ratna tidak memerlukannya. Maya tidak berani menggunakan tenaga Ipah terlalu sering biarpun Ipah menawarkan diri. Ia takut mertuanya tidak senang. Ratna sendiri tidak pernah menyuruh Ipah membantunya.
  Ratna tahu betul perihal ketakutan menantunya itu. Ia tidak berusaha meredakan, tapi justru menikmati. Biar sajalah anak, menantu, dan cucunya menjulukinya sebagai nenek sihir. Ia menyukai julukan itu. Ketakutan mereka menjadi kekuatannya. Bila ia tidak punya kekuatan, padahal ia sudah tua, cepat atau lambat mereka akan melemparkannya ke panti jompo!
  * * *
  Maya berada di belakang kursi goyang. Ia tak melihat sosok Ratna. Tapi kursi yang bergoyang itu menandakan ada yang mendudukinya. Jelas yang duduk di situ adalah pemiliknya. Tidak ada orang lain yang berani duduk di situ. Maya tidak tahu apakah Ratna sedang tidur atau menonton teve. Ipah sudah pergi ke belakang.
  Maya bermaksud pergi ke belakang. Untuk itu ia harus melewati kursi goyang Ratna. Ia tak ingin dipanggil Ratna yang nantinya minta ditemani lalu dijadikan tempat curhat. Ia tahu apa yang akan dijadikan topik pembicaraan. Pasti soal Delia yang belum ketahuan ke mana perginya. Padahal ia benci sekali mendengarkannya. Ia tidak pernah menanggapi
  82
  karena tahu tanggapannya memang tidak diperlukan. Ia cuma mengangguk-angguk membenarkan.
  Sama seperti yang lain, Maya membenci Ratna. Ia juga takut kepada

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>