Cerita online | Pertemuan Di Sebuah Motel | by V. Lestari | Pertemuan Di Sebuah Motel | Cersil Sakti | Pertemuan Di Sebuah Motel pdf
Lintang Kemukus Dini Hari - Ahmad Tohari Jantera Bianglala - Ahmad Tohari Cinta itu Asyik Tapi jangan Asyik Bercinta Keberanian Manusia - Kumpulan Cerpen Kelompok 2 & 1 - Sang Pengintai
lagi kalau jalannya tertatih-tatih begitu.
Setelah berusaha dengan saksama, ia cukup puas dengan penampilannya. Ia masih harus memperbaiki ekspresinya yang murung supaya tidak kelihatan seperti orang sedang stres. Lalu ia berupaya bisa berjalan dengan wajar tanpa meringis. Itulah yang sulit. Tapi ia yakin bisa. Ia hanya perlu melakukannya di depan pemilik motel. Itu tidak memerlukan waktu lama. Kalau sudah berada di dalam kamar, ia bisa melepaskan semua kepura-puraan.
Ada juga rasa ibanya kepada pemilik motel. Bisa jadi motel itu akan terkenal sebagai tempat orang bunuh diri. Kalau mengikuti perasaan itu mungkin lebih baik ia melakukannya di rumah saja. Biarlah Hendri dan Inem kerepotan. Tapi ia takut tidak berhasil kalau mereka cepat menolongnya. Bila itu sampai terjadi, ia akan semakin sengsara. Hendri makin tak senang kepadanya dan Inem akan mengejeknya. Akan jadi apa dirinya nanti? Hidup tak ingin, mati tak bisa?
Pilihannya kepada Motel Marlin juga sebagai balas dendam karena bisa dipastikan Hendri kerap berkencan di situ. Kalau nanti Hendri dibuat terkejut karena mayat istrinya ditemukan di situ, ada kemungkinan pria itu akan kapok melakukannya lagi. Memang Yasmin bisa saja memilih tempat lain, tapi ia masih berharap makna hidup bagi Hendri bukan melulu seputar seks belaka.
92
Barangkali kematiannya yang menggegerkan bisa memberi pelajaran berharga bagi Hendri.
Siapa yang memilih mati selama kehidupan menyenangkan untuknya? Mereka yang mengatakan bahwa cuma orang picik yang melakukan bunuh diri pasti adalah orang-orang yang takut mati!
Di depan kamar Inem, Yasmin mendengarkan sejenak. Terdengar dengkur perempuan itu. Dalam hati Yasmin merasa nelangsa ketika berpikir nanti malam pastilah Hendri bisa bebas tidur bersama Inem. Barangkali di ranjangnya sendiri. Membayangkan hal itu ia merasa mual. Cepat-cepat ia ke luar rumah. Ia mengunci pintu dari luar lalu melemparkannya ke dalam lewat lubang angin. Dengan demikian Inem akan tahu bahwa ia pergi.
Erwin sedang berjaga di kantornya. Kosmas baru saja keluar dari kamarnya yang terletak di belakang kantor. Ada pintu yang membatasi. Jadi gampang keluar-masuk kantor. Sedang satu pintu lagi keluar ke ruang makan. Kamar itu digunakan mereka berdua. Keakraban membuat mereka merasa tidak perlu memiliki kamar sendiri untuk privasi.
Kosmas mengerjakan pembukuan sedang Erwin di belakang meja penerimaan tamu. Pada saat itulah sebuah taksi dengan Yasmin sebagai penumpangnya memasuki halaman lalu berhenti di depan kantor. Erwin dan Kosmas mengarahkan pandangan ke sana. Tamu baru.
Yasmin turun, lalu mengamati sekitarnya, kemudian beralih ke kantor. Sikap yang memperlihatkan bahwa kedatangannya ke situ adalah untuk pertama kalinya.
93
Wanita itu berjalan dengan langkah pelan. Seperti takut tersandung atau kakinya baru keseleo.
"Selamat siang, Bu," Erwin menyapa.
Kosmas mengikuti sapaan Erwin sambil mengangguk, tapi ia tetap di tempatnya dan meneruskan pekerjaannya. Cukup Erwin seorang yang menerima tamu. Pekerjaannya yang menghitung-hitung sungguh menjemukan.
"Selamat siang," Yasmin membalas. "Ada yang kosong? Saya mau nginap semalam. Besok keluar jam sembilan."
"Baik, Bu. Bisa saya catat KTP-nya?"
Yasmin menyerahkan yang diminta. Pada saat menandatangani buku tamu, Erwin melihat jari-jari Yasmin tidak memakai cincin.
"Kamar nomor 15, Bu? Oke? Masih ada pilihan nomor lain."
"Lima belas juga boleh."
"Mari saya antarkan," Erwin menawarkan diri sambil menyerahkan kunci.
"Ah, nggak usah. Ke kiri atau ke kanan?" "Ke kiri, Bu."
Mulanya Yasmin melangkah cepat karena ingin segera menghilang ke dalam kamarnya, tapi terpaksa memperlambatnya karena rasa nyeri yang menyerang. Ia bisa merasakan tatapan Erwin di punggungnya.
"Kelihatannya kakinya sakit," kata Erwin kepada Kosmas.
"Pincang?"
"Jalannya pelan-pelan. Seperti diseret."
"Jangan-jangan sakit, ya?" Kosmas khawatir.
"Wajahnya sih nggak kelihatan seperti orang sakit. Kalau sakit pasti pergi ke rumah sakit. Bukan ke motel."
94
"Kok lagi-lagi dapat tamu cewek sendirian ya, Win?"
"Curiga lagi, Bang? Sudahlah. Buktinya, Ibu Delia baik-baik saja."
"Wanita tadi orang Jakarta, Win. Alamatnya nggak jauh-jauh amat." Kosmas mengamati buku tamu.
"Emang kenapa?"
"Dia orang Jakarta dan datang sendiri. Sama kayak si Yuli."
"Sudahlah, Bang. Biarpun dia orang Jakarta, pasti ada alasannya kenapa nginap di motel dan bukan di rumah sendiri. Barangkali rumahnya lagi direnovasi. Atau gimana, gitu. Kita nggak tahu alasannya. Bukan urusan kita, Bang."
"Iya. Habis trauma sih. Takut kejadian lagi. Kita juga termasuk orang kolot. Lihat cewek sendirian pikirannya jadi macam-macam. Oh ya, tadi kauberi dia nomor 15. Apa kau sengaja supaya dia bertetangga dengan Delia?"
"Ya. Supaya masing-masing punya teman. Siapa tahu keduanya berkenalan."
"Bagus juga ide itu."
"Gimana ajakan makan malam itu, Bang? Perlu ditanyain lagi atau dia akan memberitahu?"
"Katanya dia yang akan memberitahu. Kita jangan pesan makanan dulu."
"Biarpun belum pasti, aku akan menyuruh Tono membersihkan ruang makan. Jadi nggak terburu-buru nanti. Kalau dia mau, akan kupasang taplak meja kesayangan Mama. Tolong jaga sebentar ya. Bang. Aku pergi dulu."
Kosmas terharu atas perhatian yang diberikan Erwin. Pikirannya sendiri tidak sampai ke situ. Ia
95
sama sekali tidak ingat akan taplak meja kesayangan ibunya itu.
* * *
Delia menarik gorden tebal yang menutup jendela hingga tinggal gorden vitrage yang tembus pandang. Lalu ia duduk di depan jendela memandang ke luar. Ia bukan sedang menikmati pemandangan karena di luar tak ada yang menarik untuk diamati. Ia sedang memikirkan rencana hari esok. Apa saja yang belum dikerjakan dan terlupakan. Rasanya ingin sekali waktu cepat berlalu supaya ia bisa mengakhiri semuanya dengan tuntas.
Tiba-tiba ia tersentak oleh perasaan menyengat di perutnya. Sakit itu datang lagi setelah beberapa hari sempat hilang. Ia merasa tidak pasti juga. Memang sakitnya hilang atau tidak terasa karena kesibukannya? Sekarang muncul lagi. Tapi ia tidak peduli. Ia masih bisa menanggungnya. Lusa tak akan ada rasa apa-apa lagi. Ia merasa bersyukur bisa mati dengan tubuh lengkap. Rahimnya masih ada. Dia komplet sebagai perempuan.
Perhatiannya beralih. Ia melihat seorang perempuan muda berjalan pelan-pelan dengan menjinjing sebuah tas yang tak terlalu besar dan tidak kelihatan penuh. Tampaknya ringan. Yang menarik perhatiannya adalah ekspresi perempuan itu seperti menahan sakit. Lalu ia berhenti di depan jendelanya dan bersandar. Terdengar keluhan panjang keluar dari mulutnya.
Delia tidak mengamati lama-lama. Ia segera berlari ke luar kemudian merangkul perempuan itu.
Yasmin juga kaget. Ia tidak menyangka ada orang yang mengamati gerak-geriknya.
96
"Kenapa, Dik? Sakit?" tanya Delia.
"Nggak apa-apa, Kak. Cuma pusing sedikit."
"Mau ke mana? Kamarnya di mana? Ayo kuantar."
Yasmin menatap nomor di pintu. "Nomor lima belas, Kak. Tuh di sebelah."
Delia menggandeng lengan Yasmin. Ia juga mengulurkan tangan satunya untuk mengambil alih tas Yasmin. Tapi Yasmin mempertahankan. "Nggak berat kok. Terima kasih."
Meskipun tidak memaksa, Delia tetap menggandeng lengan Yasmin dan membimbingnya ke kamar sebelah. Langkah Yasmin tetap pelan. Delia memandang ke belakang. Ia masih berpikir Yasmin tidak sendirian. Tapi memang tidak ada siapa-siapa di belakang Yasmin.
Setelah pintu terbuka, Delia tak segera pergi.
"Terima kasih, Kak," kata Yasmin, sebagai isyarat bahwa ia ingin ditinggalkan.
"Namaku Delia. Kamarku di sebelah. Kalau perlu bantuan, panggil saja."
"Oh ya. Namaku Yasmin, Kak."
Yasmin menyambut uluran tangan Delia.
"Itu ada interkom. Kau juga bisa menghubungi kantor kalau mau memesan makanan atau butuh apa-apa."
"Ya, Kak."
Delia belum mau pergi. "Berapa lama nginepnya, Yas?"
"Cuma satu malam. Besok pulang." "Asal mana?"
"Jakarta," sahut Yasmin. Tak merasa perlu berbohong.
"Sendirian?"
"Ya. Kak Del sendiri?"
97
"Sendirian juga.. Sama dong, ya?"
Yasmin mengangguk. Ternyata ada juga perempuan yang menginap sendirian di motel. Jadi dia tidak perlu khawatir akan dicurigai. Ia baru merasa lega setelah Delia pergi. Ia khawatir Delia akan bertanya macam-macam. Bisa saja ia keseleo lidah atau salah bicara. Bila hal itu terjadi, orang pertama yang akan mencurigainya adalah Delia.
Belum sempat Yasmin melakukan sesuatu, pintunya diketuk. Semula ia berpikir Delia kembali lagi dan menjadi kesal. Tapi ia melihat Erwin di depan pintu, tersenyum dengan amat sopan. Tampak ganteng dengan tubuhnya yang tinggi semampai, bercelana jins dan berkemeja putih lengan panjang yang lengannya digulung.
"Maaf mengganggu, Bu. Tadi saya lupa memberitahu. Kalau Ibu perlu apa-apa..."
"Pakai interkom," Yasmin menunjuk. "Saya sudah tahu."
"Oh begitu. Jangan ragu menggunakannya, Bu. Mau pesan makanan juga bisa. Tak usah turun sendiri ke jalan."
"Ya. Terima kasih."
Yasmin merasa senang dengan keramahan itu tapi juga bosan. Siapa yang bernafsu makan bila hidupnya akan berakhir beberapa jam lagi?
"Silakan beristirahat, Bu."
Erwin menyadari sikap kurang ramah yang diperlihatkan Yasmin. Ia cepat pamitan. Sebenarnya ia masih ingin menanyakan apakah Yasmin sakit dan memerlukan dokter. Tadi ia sempat melihat Delia membimbing Yasmin. Tapi kelihatannya Yasmin tidak suka ditanyai.
Setelah Erwin pergi, Yasmin menyesali sikap
98
dinginnya. Seharusnya ia menggunakan saat-saat akhirnya dengan perilaku yang baik. Apalagi ia akan berbuat buruk pada motel ini. Perbuatannya akan membuat motel ini menanggung kesulitan. Polisi akan datang menyelidiki. Media akan menyebarkannya. Bagaimana kalau orang-orang di motel ini dicurigai? Ia sendiri tidak tahu apa-apa lagi. Yang menanggung adalah yang masih hidup. Ternyata sudah mati pun ia masih menyusahkan orang lain. Sama sekali tidak mudah untuk mati. Seharusnya ia pergi ke tengah hutan lalu membiarkan dirinya dimakan binatang buas. Setidaknya ia memberi kebaikan bagi binatang itu. Sayang di sini tidak ada hutan dan binatang buas. Di sini hanya ada manusia yang terkadang juga buas. Mereka tidak memangsa daging, tapi perasaan.
Ia tahu, untuk memberi kepastian kepada polisi ia harus meninggalkan surat. Dengan demikian ia bisa menghindarkan kecurigaan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Dalam setiap kasus dugaan bunuh diri, surat yang ditulis sendiri selalu dicari lebih dulu. Bila itu berhasil ditemukan dan diyakini memang ditulis oleh pelaku, kasusnya tidak akan berpanjang-panjang.
Kertas sudah ia siapkan, berikut bolpoin beberapa buah kalau-kalau ada yang macet. Ia menujukan suratnya kepada Hendri. Tulisannya dibuat sebagus mungkin agar jelas terbaca. Ia mengucapkan selamat tinggal dan permohonan maaf karena tidak bisa terus mendampinginya sebagai istri. Ia menyesal tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri yang baik, dan berharap Hendri bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik daripada dirinya. Ia tidak mau menyinggung masalah seks atau persoalan sebenarnya karena ingin menjaga nama baik Hendri. Biarlah soal itu tidak pernah diketahui orang lain.
99
Usai menulis, ia melipatnya lalu memasukkannya ke dalam laci. Nanti malam, sebelum menjalankan aksinya, barulah surat itu ia taruh di atas meja supaya gampang terlihat.
Sesudah itu ia merebahkan diri di tempat tidur. Tanpa dikehendaki, pikirannya mengembara lagi. Padahal ia merasa sudah mantap. Pelan-pelan ia mulai merasa takut. Bagaimana rasanya mati? Sakitkah? Apakah lebih sakit daripada yang dirasakannya sekarang? Tapi bagaimanapun, sakit itu cuma sekali. Sesudah itu selesai. Beda dengan sekarang yang berulang dan berulang terus.
Seharusnya ia bisa berkata "tidak" kepada Hendri. Tapi mustahil juga. Ia seorang istri, jadi berkewajiban melayani suami. Mana ada suami yang mau ditolak terus? Atau ditentukan frekuensi kegiatan seksnya? Bukankah biasanya hal itu tergantung kapan gairah suami muncul? Kalau dia ingin sekarang, sekarang pulalah istri harus melayaninya. Demikian pula kalau dia menginginkannya tiap hari, atau lebih dari sekali dalam sehari!
Ia juga tidak bisa mengatur cara dan gayanya. Sekali lagi itu terserah kepada suami. Ia sudah memberi saran pada Hendri agar berlaku lebih lembut dan melakukannya pelan-pelan. Tapi Hendri mengatakan hal itu terjadi secara otomatis dan spontan. Jadi tidak bisa. Benarkah? Ia tidak tahu karena tidak merasakan jadi lelaki. Tapi terpikir, apakah seks yang
Lintang Kemukus Dini Hari - Ahmad Tohari Jantera Bianglala - Ahmad Tohari Cinta itu Asyik Tapi jangan Asyik Bercinta Keberanian Manusia - Kumpulan Cerpen Kelompok 2 & 1 - Sang Pengintai
lagi kalau jalannya tertatih-tatih begitu.
Setelah berusaha dengan saksama, ia cukup puas dengan penampilannya. Ia masih harus memperbaiki ekspresinya yang murung supaya tidak kelihatan seperti orang sedang stres. Lalu ia berupaya bisa berjalan dengan wajar tanpa meringis. Itulah yang sulit. Tapi ia yakin bisa. Ia hanya perlu melakukannya di depan pemilik motel. Itu tidak memerlukan waktu lama. Kalau sudah berada di dalam kamar, ia bisa melepaskan semua kepura-puraan.
Ada juga rasa ibanya kepada pemilik motel. Bisa jadi motel itu akan terkenal sebagai tempat orang bunuh diri. Kalau mengikuti perasaan itu mungkin lebih baik ia melakukannya di rumah saja. Biarlah Hendri dan Inem kerepotan. Tapi ia takut tidak berhasil kalau mereka cepat menolongnya. Bila itu sampai terjadi, ia akan semakin sengsara. Hendri makin tak senang kepadanya dan Inem akan mengejeknya. Akan jadi apa dirinya nanti? Hidup tak ingin, mati tak bisa?
Pilihannya kepada Motel Marlin juga sebagai balas dendam karena bisa dipastikan Hendri kerap berkencan di situ. Kalau nanti Hendri dibuat terkejut karena mayat istrinya ditemukan di situ, ada kemungkinan pria itu akan kapok melakukannya lagi. Memang Yasmin bisa saja memilih tempat lain, tapi ia masih berharap makna hidup bagi Hendri bukan melulu seputar seks belaka.
92
Barangkali kematiannya yang menggegerkan bisa memberi pelajaran berharga bagi Hendri.
Siapa yang memilih mati selama kehidupan menyenangkan untuknya? Mereka yang mengatakan bahwa cuma orang picik yang melakukan bunuh diri pasti adalah orang-orang yang takut mati!
Di depan kamar Inem, Yasmin mendengarkan sejenak. Terdengar dengkur perempuan itu. Dalam hati Yasmin merasa nelangsa ketika berpikir nanti malam pastilah Hendri bisa bebas tidur bersama Inem. Barangkali di ranjangnya sendiri. Membayangkan hal itu ia merasa mual. Cepat-cepat ia ke luar rumah. Ia mengunci pintu dari luar lalu melemparkannya ke dalam lewat lubang angin. Dengan demikian Inem akan tahu bahwa ia pergi.
Erwin sedang berjaga di kantornya. Kosmas baru saja keluar dari kamarnya yang terletak di belakang kantor. Ada pintu yang membatasi. Jadi gampang keluar-masuk kantor. Sedang satu pintu lagi keluar ke ruang makan. Kamar itu digunakan mereka berdua. Keakraban membuat mereka merasa tidak perlu memiliki kamar sendiri untuk privasi.
Kosmas mengerjakan pembukuan sedang Erwin di belakang meja penerimaan tamu. Pada saat itulah sebuah taksi dengan Yasmin sebagai penumpangnya memasuki halaman lalu berhenti di depan kantor. Erwin dan Kosmas mengarahkan pandangan ke sana. Tamu baru.
Yasmin turun, lalu mengamati sekitarnya, kemudian beralih ke kantor. Sikap yang memperlihatkan bahwa kedatangannya ke situ adalah untuk pertama kalinya.
93
Wanita itu berjalan dengan langkah pelan. Seperti takut tersandung atau kakinya baru keseleo.
"Selamat siang, Bu," Erwin menyapa.
Kosmas mengikuti sapaan Erwin sambil mengangguk, tapi ia tetap di tempatnya dan meneruskan pekerjaannya. Cukup Erwin seorang yang menerima tamu. Pekerjaannya yang menghitung-hitung sungguh menjemukan.
"Selamat siang," Yasmin membalas. "Ada yang kosong? Saya mau nginap semalam. Besok keluar jam sembilan."
"Baik, Bu. Bisa saya catat KTP-nya?"
Yasmin menyerahkan yang diminta. Pada saat menandatangani buku tamu, Erwin melihat jari-jari Yasmin tidak memakai cincin.
"Kamar nomor 15, Bu? Oke? Masih ada pilihan nomor lain."
"Lima belas juga boleh."
"Mari saya antarkan," Erwin menawarkan diri sambil menyerahkan kunci.
"Ah, nggak usah. Ke kiri atau ke kanan?" "Ke kiri, Bu."
Mulanya Yasmin melangkah cepat karena ingin segera menghilang ke dalam kamarnya, tapi terpaksa memperlambatnya karena rasa nyeri yang menyerang. Ia bisa merasakan tatapan Erwin di punggungnya.
"Kelihatannya kakinya sakit," kata Erwin kepada Kosmas.
"Pincang?"
"Jalannya pelan-pelan. Seperti diseret."
"Jangan-jangan sakit, ya?" Kosmas khawatir.
"Wajahnya sih nggak kelihatan seperti orang sakit. Kalau sakit pasti pergi ke rumah sakit. Bukan ke motel."
94
"Kok lagi-lagi dapat tamu cewek sendirian ya, Win?"
"Curiga lagi, Bang? Sudahlah. Buktinya, Ibu Delia baik-baik saja."
"Wanita tadi orang Jakarta, Win. Alamatnya nggak jauh-jauh amat." Kosmas mengamati buku tamu.
"Emang kenapa?"
"Dia orang Jakarta dan datang sendiri. Sama kayak si Yuli."
"Sudahlah, Bang. Biarpun dia orang Jakarta, pasti ada alasannya kenapa nginap di motel dan bukan di rumah sendiri. Barangkali rumahnya lagi direnovasi. Atau gimana, gitu. Kita nggak tahu alasannya. Bukan urusan kita, Bang."
"Iya. Habis trauma sih. Takut kejadian lagi. Kita juga termasuk orang kolot. Lihat cewek sendirian pikirannya jadi macam-macam. Oh ya, tadi kauberi dia nomor 15. Apa kau sengaja supaya dia bertetangga dengan Delia?"
"Ya. Supaya masing-masing punya teman. Siapa tahu keduanya berkenalan."
"Bagus juga ide itu."
"Gimana ajakan makan malam itu, Bang? Perlu ditanyain lagi atau dia akan memberitahu?"
"Katanya dia yang akan memberitahu. Kita jangan pesan makanan dulu."
"Biarpun belum pasti, aku akan menyuruh Tono membersihkan ruang makan. Jadi nggak terburu-buru nanti. Kalau dia mau, akan kupasang taplak meja kesayangan Mama. Tolong jaga sebentar ya. Bang. Aku pergi dulu."
Kosmas terharu atas perhatian yang diberikan Erwin. Pikirannya sendiri tidak sampai ke situ. Ia
95
sama sekali tidak ingat akan taplak meja kesayangan ibunya itu.
* * *
Delia menarik gorden tebal yang menutup jendela hingga tinggal gorden vitrage yang tembus pandang. Lalu ia duduk di depan jendela memandang ke luar. Ia bukan sedang menikmati pemandangan karena di luar tak ada yang menarik untuk diamati. Ia sedang memikirkan rencana hari esok. Apa saja yang belum dikerjakan dan terlupakan. Rasanya ingin sekali waktu cepat berlalu supaya ia bisa mengakhiri semuanya dengan tuntas.
Tiba-tiba ia tersentak oleh perasaan menyengat di perutnya. Sakit itu datang lagi setelah beberapa hari sempat hilang. Ia merasa tidak pasti juga. Memang sakitnya hilang atau tidak terasa karena kesibukannya? Sekarang muncul lagi. Tapi ia tidak peduli. Ia masih bisa menanggungnya. Lusa tak akan ada rasa apa-apa lagi. Ia merasa bersyukur bisa mati dengan tubuh lengkap. Rahimnya masih ada. Dia komplet sebagai perempuan.
Perhatiannya beralih. Ia melihat seorang perempuan muda berjalan pelan-pelan dengan menjinjing sebuah tas yang tak terlalu besar dan tidak kelihatan penuh. Tampaknya ringan. Yang menarik perhatiannya adalah ekspresi perempuan itu seperti menahan sakit. Lalu ia berhenti di depan jendelanya dan bersandar. Terdengar keluhan panjang keluar dari mulutnya.
Delia tidak mengamati lama-lama. Ia segera berlari ke luar kemudian merangkul perempuan itu.
Yasmin juga kaget. Ia tidak menyangka ada orang yang mengamati gerak-geriknya.
96
"Kenapa, Dik? Sakit?" tanya Delia.
"Nggak apa-apa, Kak. Cuma pusing sedikit."
"Mau ke mana? Kamarnya di mana? Ayo kuantar."
Yasmin menatap nomor di pintu. "Nomor lima belas, Kak. Tuh di sebelah."
Delia menggandeng lengan Yasmin. Ia juga mengulurkan tangan satunya untuk mengambil alih tas Yasmin. Tapi Yasmin mempertahankan. "Nggak berat kok. Terima kasih."
Meskipun tidak memaksa, Delia tetap menggandeng lengan Yasmin dan membimbingnya ke kamar sebelah. Langkah Yasmin tetap pelan. Delia memandang ke belakang. Ia masih berpikir Yasmin tidak sendirian. Tapi memang tidak ada siapa-siapa di belakang Yasmin.
Setelah pintu terbuka, Delia tak segera pergi.
"Terima kasih, Kak," kata Yasmin, sebagai isyarat bahwa ia ingin ditinggalkan.
"Namaku Delia. Kamarku di sebelah. Kalau perlu bantuan, panggil saja."
"Oh ya. Namaku Yasmin, Kak."
Yasmin menyambut uluran tangan Delia.
"Itu ada interkom. Kau juga bisa menghubungi kantor kalau mau memesan makanan atau butuh apa-apa."
"Ya, Kak."
Delia belum mau pergi. "Berapa lama nginepnya, Yas?"
"Cuma satu malam. Besok pulang." "Asal mana?"
"Jakarta," sahut Yasmin. Tak merasa perlu berbohong.
"Sendirian?"
"Ya. Kak Del sendiri?"
97
"Sendirian juga.. Sama dong, ya?"
Yasmin mengangguk. Ternyata ada juga perempuan yang menginap sendirian di motel. Jadi dia tidak perlu khawatir akan dicurigai. Ia baru merasa lega setelah Delia pergi. Ia khawatir Delia akan bertanya macam-macam. Bisa saja ia keseleo lidah atau salah bicara. Bila hal itu terjadi, orang pertama yang akan mencurigainya adalah Delia.
Belum sempat Yasmin melakukan sesuatu, pintunya diketuk. Semula ia berpikir Delia kembali lagi dan menjadi kesal. Tapi ia melihat Erwin di depan pintu, tersenyum dengan amat sopan. Tampak ganteng dengan tubuhnya yang tinggi semampai, bercelana jins dan berkemeja putih lengan panjang yang lengannya digulung.
"Maaf mengganggu, Bu. Tadi saya lupa memberitahu. Kalau Ibu perlu apa-apa..."
"Pakai interkom," Yasmin menunjuk. "Saya sudah tahu."
"Oh begitu. Jangan ragu menggunakannya, Bu. Mau pesan makanan juga bisa. Tak usah turun sendiri ke jalan."
"Ya. Terima kasih."
Yasmin merasa senang dengan keramahan itu tapi juga bosan. Siapa yang bernafsu makan bila hidupnya akan berakhir beberapa jam lagi?
"Silakan beristirahat, Bu."
Erwin menyadari sikap kurang ramah yang diperlihatkan Yasmin. Ia cepat pamitan. Sebenarnya ia masih ingin menanyakan apakah Yasmin sakit dan memerlukan dokter. Tadi ia sempat melihat Delia membimbing Yasmin. Tapi kelihatannya Yasmin tidak suka ditanyai.
Setelah Erwin pergi, Yasmin menyesali sikap
98
dinginnya. Seharusnya ia menggunakan saat-saat akhirnya dengan perilaku yang baik. Apalagi ia akan berbuat buruk pada motel ini. Perbuatannya akan membuat motel ini menanggung kesulitan. Polisi akan datang menyelidiki. Media akan menyebarkannya. Bagaimana kalau orang-orang di motel ini dicurigai? Ia sendiri tidak tahu apa-apa lagi. Yang menanggung adalah yang masih hidup. Ternyata sudah mati pun ia masih menyusahkan orang lain. Sama sekali tidak mudah untuk mati. Seharusnya ia pergi ke tengah hutan lalu membiarkan dirinya dimakan binatang buas. Setidaknya ia memberi kebaikan bagi binatang itu. Sayang di sini tidak ada hutan dan binatang buas. Di sini hanya ada manusia yang terkadang juga buas. Mereka tidak memangsa daging, tapi perasaan.
Ia tahu, untuk memberi kepastian kepada polisi ia harus meninggalkan surat. Dengan demikian ia bisa menghindarkan kecurigaan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Dalam setiap kasus dugaan bunuh diri, surat yang ditulis sendiri selalu dicari lebih dulu. Bila itu berhasil ditemukan dan diyakini memang ditulis oleh pelaku, kasusnya tidak akan berpanjang-panjang.
Kertas sudah ia siapkan, berikut bolpoin beberapa buah kalau-kalau ada yang macet. Ia menujukan suratnya kepada Hendri. Tulisannya dibuat sebagus mungkin agar jelas terbaca. Ia mengucapkan selamat tinggal dan permohonan maaf karena tidak bisa terus mendampinginya sebagai istri. Ia menyesal tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri yang baik, dan berharap Hendri bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik daripada dirinya. Ia tidak mau menyinggung masalah seks atau persoalan sebenarnya karena ingin menjaga nama baik Hendri. Biarlah soal itu tidak pernah diketahui orang lain.
99
Usai menulis, ia melipatnya lalu memasukkannya ke dalam laci. Nanti malam, sebelum menjalankan aksinya, barulah surat itu ia taruh di atas meja supaya gampang terlihat.
Sesudah itu ia merebahkan diri di tempat tidur. Tanpa dikehendaki, pikirannya mengembara lagi. Padahal ia merasa sudah mantap. Pelan-pelan ia mulai merasa takut. Bagaimana rasanya mati? Sakitkah? Apakah lebih sakit daripada yang dirasakannya sekarang? Tapi bagaimanapun, sakit itu cuma sekali. Sesudah itu selesai. Beda dengan sekarang yang berulang dan berulang terus.
Seharusnya ia bisa berkata "tidak" kepada Hendri. Tapi mustahil juga. Ia seorang istri, jadi berkewajiban melayani suami. Mana ada suami yang mau ditolak terus? Atau ditentukan frekuensi kegiatan seksnya? Bukankah biasanya hal itu tergantung kapan gairah suami muncul? Kalau dia ingin sekarang, sekarang pulalah istri harus melayaninya. Demikian pula kalau dia menginginkannya tiap hari, atau lebih dari sekali dalam sehari!
Ia juga tidak bisa mengatur cara dan gayanya. Sekali lagi itu terserah kepada suami. Ia sudah memberi saran pada Hendri agar berlaku lebih lembut dan melakukannya pelan-pelan. Tapi Hendri mengatakan hal itu terjadi secara otomatis dan spontan. Jadi tidak bisa. Benarkah? Ia tidak tahu karena tidak merasakan jadi lelaki. Tapi terpikir, apakah seks yang