Cerita online | Pertemuan Di Sebuah Motel | by V. Lestari | Pertemuan Di Sebuah Motel | Cersil Sakti | Pertemuan Di Sebuah Motel pdf
Kelompok 2 & 1 - Pencuri Intelek Kemuning - Maria A Sardjono Love Me Twice - Gebetan Lama Rasa Baru - Billy Homario Tesa - Marga T Mawar Merah - Roses are Red - James Patterson
nya. Ia takut dikutuk. Ia tak mau kehilangan suami dan anak-anaknya, seperti Delia kehilangan Agus dan Adam Awalnya mereka tidak percaya bahwa kutukan Ratna bisa ampuh. Ratna cuma bermulut tajam. Tapi lama-kelamaan mereka merasakan berbagai kejanggalan yang tampaknya membenarkan keampuhan kutukan Ratna. Jadi sebaiknya tidak mengambil risiko.
Ada satu hal yang membuat Maya mampu bertahan. Sebagai orang yang sudah tua tentunya Ratna tidak akan hidup lama-lama. Pasti tidak selamanya. Biarpun fisiknya sehat, tetap saja dia sudah tua.
Berulang-ulang dalam setiap kesempatan Ratna berkata, "Aku bisa hidup sampai seratus tahun! Bisa juga lebih!"
"Kalau begitu, mungkin aku mati duluan," keluh Rama diam-diam.
Maya tidak memercayainya. Pasti Ratna akan mati duluan. Ia yakin akan hal itu. Dan bila itu terjadi, pastilah perhiasan Ratna akan jatuh kepadanya! Bukankah dia tinggal serumah, paling tertekan dibanding yang lain? Dan karena tinggal serumah ia juga punya akses yang lebih gampang ke lemari Ratna! Jadi ia bisa bersabar dan bertahan meskipun khawatir tidak bisa terlalu lama.
Dengan memberanikan diri Maya pindah ke sisi yang lain, di mana ia bisa melihat Ratna dari pinggir. Jelas kelihatan mata Ratna terpejam. Maka Maya pindah lebih ke depan supaya bisa melihat lebih jelas. Biasanya ia tidak berani melakukan hal itu. Ia melihat kelopak mata Ratna berdenyut-denyut. Lidahnya men-
83
julur sedikit dari mulutnya yang terkatup. Cuping hidungnya bergerak-gerak seperti tengah mencium bau. Wajahnya tampak aneh, tapi menggelikan.
Ayo segera pergi! begitu kata hati Maya. Tapi ia tetap saja di situ. Entah apa daya tariknya.
Tiba-tiba Ratna berteriak keras dengan nada penuh amarah dan benci. Maya terkejut bukan main. Kakinya tak mau disuruh berlari, malah gemetaran. Kedua lututnya lemah sekali sampai kemudian tak lagi sanggup menanggung beban tubuhnya. Ia terjerembap seperti karung kehilangan isi!
Ratna melihatnya, tapi tak peduli. Ia malah berseru, "Sial kamu, Del! Siii...aaal!" Kedua tinjunya dikepalkan. Sumpah serapahnya berhamburan ditujukan kepada Delia. Baru sesudah itu ia mengarahkan tatapannya kepada Maya yang masih terduduk lemas di lantai.
"Ngapain kamu di situ?" bentaknya.
Bi Ipah berlari dari belakang, tapi tak berani mendekat. Jauh-jauh saja. Asal bisa melihat.
Maya berdiri dengan susah payah. Semangat dan tenaganya anjlok. Tapi ia masih bisa mencari alasan.
"A-a... aku ke...kebetulan lewat. Tiba-tiba Mama menjerit. Aku jadi kaget, Ma."
Sesaat Ratna mengamati Maya penuh selidik. Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh, geli sekali.
"Aku lagi mikirin si Del," kata Ratna.
"Oh."
"Kayaknya dia ada di Jakarta." "Oh!" Maya kaget.
"Apaan sih kamu? Dongo amat! Ah-oh melulu!" bentak Ratna.
Rama datang tergopoh-gopoh dari bengkelnya di bagian depan rumah. Walaupun rumah itu cukup
84
besar dan sudah diberi sekat tebal berbatasan dengan ruang yang dijadikan bengkel, lengking jeritan Ratna sampai juga ke situ. Ia merasa malu terhadap para karyawan, montir-montir di situ.
"Ada apa, Ma?" tanyanya kepada Ratna dan Maya bergantian.
"Katanya... katanya..." Maya tak meneruskan ucapannya karena segera disela oleh Ratna.
"Delia ada di Jakarta! Cari ke sana!"
"Mama tahu dari mana?" tanya Rama.
"Dari iblis!" seru Rama sambil tertawa.
Kedengarannya ucapan itu seperti guyon belaka, tapi Rama merasa bulu romanya berdiri. Maya mendekatinya lalu memegangi lengannya. Tangan Maya terasa dingin.
"Jakarta-nya di mana, Ma?" tanya Rama.
"Pokoknya Jakarta. Cari aja. Susah-susah amat! Minta bantuan saudara-saudaramu! Suruh mereka kumpul di sini nanti malam!"
Rama termangu. Gampang amat kesan dari ucapan Ratna itu. Mencari satu orang di Jakarta itu sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Kalau Rama memang tahu, kenapa tidak dikatakannya dengan pasti di mana alamat Delia di Jakarta?
Setelah pergi sejauh mungkin dari Ratna, baru Rama membicarakannya dengan Maya. Itu pun dengan berbisik-bisik.
"Heran, kenapa Mama semakin aneh saja?" kata Maya.
"Bagaimana dia bisa tahu Del ada di Jakarta?" "Mana aku tahu. Dari i...iblis, katanya. Apa itu betul, Pa?"
"Ah, jangan bikin aku takut, Ma. Biar gimanapun dia kan ibuku."
85
Bagi mereka, antara percaya dan tidak tampaknya lebih aman percaya!
* * *
Belum sampai tengah hari Delia sudah selesai menyalurkan sebagian sumbangan yang sudah dijadwalkannya. Satu-satunya penghalang hanya kemacetan lalu lintas. Setelah mendapatkan alamat yang dituju, maka semuanya lancar. Ia tinggal menyerahkan amplop tanpa perlu memberikan identitasnya. Yang diberi tentunya sangat senang. Mustahil penderma ditanyai macam-macam.
Ia makan siang dulu sebelum kembali ke motel. Ia juga membawa bekal beberapa potong roti untuk makan malam. Dengan demikian ia bisa menghindari Kosmas yang kemungkinan akan menawarinya makanan. Dugaannya benar. Setelah memarkir mobilnya, ia melihat Kosmas mendekat.
"Sudah makan siang, Bu?" tanya Kosmas.
"Sudah, Pak. Tadi ada yang traktir," Delia berbohong.
Kosmas tampak kecewa sejenak, lalu tersenyum. "Jadi sudah kenyang dong."
Delia menepuk perutnya. "Iya. Sudah penuh. Buku petanya boleh pinjam lagi, Pak? Besok perlu pakai lagi."
"Oh, pakai saja, Bu."
Kosmas tampak ragu-ragu seperti memikirkan sesuatu.
"Ada apa, Pak?" tanya Delia. Jangan-jangan sebenarnya Kosmas membutuhkan petanya tapi malu mengatakan.
86
"Begini, Bu. Saya dan Erwin ingin mengundang Ibu makan malam."
Delia keheranan sejenak.
"Tapi bukan di luar, Bu. Di sini. Di ruang makan kami. Makanannya pesan dari luar. Apa Ibu bersedia?" tanya Kosmas dengan pandang memohon.
"Wah, saya sudah beli roti, Pak."
"Masa makan malamnya roti? Itu sih buat sarapan, Bu. Mana kenyang? Oke ya. Bu? Pukul enam saya jemput."
Delia jadi serbasalah. "Begini saja, Pak. Nanti saya kasih tahu kalau jadi, ya? Jangan pesan makanan dulu."
Kosmas tak bisa memaksa. Tapi merasa tidak patut kecewa.
"Baiklah. Silakan Ibu istirahat. Pasti capek, bukan?"
Kosmas berlalu diiringi tatapan sesal Delia. Ada kesan tambahan di hatinya. Meskipun berwajah sangar, tatapan Kosmas tampak tulus. Bukan tatapan lelaki yang melulu tertarik secara fisik. Masih ada lainnya. Tatapannya seperti menyelidik dan mempelajari. Apakah Kosmas punya insting atau firasat akan apa yang mau dilakukannya?
Delia masuk ke kamarnya dengan pikiran yang lain lagi. Ia merasa iba kepada Kosmas bukan karena tak bisa menerima perhatiannya, tapi karena apa yang akan dilakukannya nanti. Baru sekitar dua minggu lalu ada orang bunuh diri di motelnya, masa kejadian lagi? Motel itu akan mendapat citra buruk. Pelanggan semakin berkurang. Baru sekarang terpikir. Tadinya ia tak peduli. Seharusnya ia tidak menyusahkan orang lain. Tapi membatalkannya juga tidak mungkin. Mau ke mana lagi?
Setelah berpikir lama, ia mulai menulis surat yang
87
ditujukan kepada Kosmas. Dalam surat itu ia memohon maaf karena telah menyusahkan. Ia juga mohon supaya Kosmas sudi mengurus jenazahnya karena ia tidak punya keluarga atau kerabat lagi. Untuk keperluan itu ia menyertakan sejumlah uang untuk biayanya. Sebagai penutup, ia mengucapkan terima kasih dan mendoakan semoga Kosmas mendapat pahala sebagai imbalan atas budi baiknya. Surat beserta uang ia masukkan ke dalam amplop yang sudah ditulisi nama Kosmas dengan alamat Motel Marlin. Lalu amplop itu ia masukkan ke dalam laci.
Delia menangis. Pengakuan bahwa ia tidak punya keluarga atau kerabat sesungguhnya tidak benar. Tapi dalam situasi sekarang ia memang sendirian. Biarlah para kerabat itu tidak tahu.. Dan kalaupun nanti tahu juga, ia tak lagi ada untuk mengetahui reaksi mereka. Kemungkinan mereka tak mau mengakuinya dan lebih suka membiarkan ia dikubur sebagai orang sebatang kara. Tapi masih ada kemungkinan lain. Kalau Ratna masih mengincar hartanya dan mengira ia menyimpannya di bank, pastilah Ratna mengakui dirinya kerabat supaya bisa menuntut warisannya.
Sebenarnya masih ada hartanya yang tertinggal yaitu mobilnya. Tapi besok, setelah selesai dengan urusannya membagikan uang, ia akan menjual mobilnya. Bila dijual murah pasti cepat laku. Setelah itu ia akan pulang ke motel dengan taksi. Uang hasil penjualan mobil bisa untuk menambah biaya pengurusan jenazahnya. Kalau misalnya tidak laku, ia akan menyerahkannya kepada Kosmas. Tentang hal itu bisa ia tambahkan di bawah surat yang telah ditulisnya.
88
"Sikapnya itu justru menaikkan martabatnya, Bang," kata Erwin mengomentari sikap Delia. "Kok gitu?"
"Iya. Itu menandakan dia bukan orang yang gampang diajak."
"Oh begitu. Ya, benar juga. Tapi kalau dia nggak mau, berarti aku nggak mendapat kesempatan untuk mengenalnya lebih baik."
"Jangan pesimis begitu, Bang. Kita kan sudah punya alamatnya di Bandung. Teleponnya juga ada. Dia tidak akan menghilang begitu saja kalau sudah keluar dari sini."
"Betul sih. Tapi kan jadi susah lagi."
"Susah gimana? Kau bertingkah aneh, Bang."
"Aku? Dialah yang aneh, Win! Dia sering sekali terlihat kontradiktif. Sekali terlihat ceria dan optimis, tapi lain kali dia murung.
"Kurasa setiap orang begitu. Ada saat sedih, ada saat senang."
"Tapi tidak dalam waktu berdekatan, kan?"
"Kau terlalu intens memerhatikannya, Bang!"
Kosmas tidak puas. Apakah Erwin merasa prihatin atau menyesali?
89
BAB 9
Yasmin sudah berketetapan hati. Sebenarnya, sebelum memutuskan, ia ingin sekali bisa curhat dengan seseorang, berkonsultasi, dan minta saran. Tapi ia tidak punya siapa-siapa. Paling ada beberapa teman arisan, bekas teman kuliah. Tapi mereka pasti tidak cocok dijadikan teman curhat. Harus orang yang dekat. Padahal menjalin kedekatan itu butuh waktu dan kecocokan. Bukan itu saja. Permasalahannya adalah sesuatu yang sensitif. Memalukan. Jangan-jangan bukan simpati yang didapat, malah cemoohan.
Kalau saja ibunya masih ada, pasti kepadanyalah ia berlari, minta dukungan dan perlindungan. Ibunya memang tidak sempat tahu bagaimana kehidupan perkawinannya karena keburu meninggal sebelum ia menikah. Tapi ibunya menyukai Hendri dan menganggapnya sebagai calon suami ideal bagi putrinya. Pasti ibunya akan terheran-heran bagaimana pemuda ideal itu ternyata bisa begitu sadis. Tapi pasti ibunya tidak akan mencemoohnya atau menyalahkannya. Meskipun mungkin tidak bisa memberi jalan keluar, setidaknya ibunya bisa diajak berbagi.
Sebenarnya Yasmin masih punya ayah. Tapi sudah bertahun-tahun ia dan ibunya menjauh dari ayahnya setelah si ayah kawin lagi. Kemudian kedua orangtua-nya itu bercerai dan Yasmin memilih bersama ibunya.
90
Mereka berdua sama-sama mendendam kepada si ayah karena merasa dikhianati. Mungkin saja ayahnya itu masih menyayanginya. Tapi untuk masalah nya ini Yasmin tak mungkin mengajaknya berbagi. Seb agai lelaki hampir pasti ayahnya memihak Hendri. Masa begitu saja kesakitan sih? Bukan saja tak ada gunanya, ia juga tak ingin mendekati ayahnya lagi.
Ia masih merasa nyeri. Jalannya masih tertatih-tatih. Kalau dipaksakan berjalan normal, maka nyerinya bertambah. Mestinya ia menunggu dulu barang beberapa hari untuk pemulihan. Tapi bagaimana kalau Hendri memerkosanya lagi nanti malam? Atau besok?
Ia mengemasi barang-barangnya. Hanya yang perlu saja. Yang penting adalah gaun tidurnya yang terbagus, sikat gigi, odol, sabun, handuk, dan satu setel pakaian dalam. Ia tidak memerlukan baju ganti untuk besok karena besok ia sudah tiada. Semua uang yang dimilikinya dan perhiasannya ia bawa. Siapa tahu diperlukan sebelum saat itu tiba. Masih ada satu benda lagi yang tidak boleh ketinggalan. Kartu nama Motel Marlin!
Bila nanti sore Hendri pulang dan tak menemukannya, pasti Hendri tak segera menyangka jelek karena pakaiannya masih ada. Bila Yasmin bermaksud pergi untuk waktu yang lama atau tak punya niat kembali, pastilah ia akan membawa semua pakaiannya. Tanpa prasangka, maka Hendri tidak tergerak untuk segera mencarinya. Andaikata bermaksud mencari pun ia tidak akan punya ide ke mana tujuannya. Paling-paling bertanya pada ayahnya yang pasti akan mengatakan tidak tahu.
Hendri pun tidak akan mencemburuinya. Jadi ia tidak perlu merasa risau. Dengan sedih ia menyadari
91
bahwa hal itu pasti karena sekarang ia sudah menjadi tua prematur, seperti yang dikatakan Hendri.
Yasmin menunggu saat terbaik, yaitu ketika Inem masuk ke kamarnya untuk tidur siang. Itulah kebiasaan Inem setiap hari. Pada saat itulah Yasmin segera berdandan serapi mungkin. Ia tahu, penampilan yang berantakan bisa membuat orang menaruh curiga. Apa
Kelompok 2 & 1 - Pencuri Intelek Kemuning - Maria A Sardjono Love Me Twice - Gebetan Lama Rasa Baru - Billy Homario Tesa - Marga T Mawar Merah - Roses are Red - James Patterson
nya. Ia takut dikutuk. Ia tak mau kehilangan suami dan anak-anaknya, seperti Delia kehilangan Agus dan Adam Awalnya mereka tidak percaya bahwa kutukan Ratna bisa ampuh. Ratna cuma bermulut tajam. Tapi lama-kelamaan mereka merasakan berbagai kejanggalan yang tampaknya membenarkan keampuhan kutukan Ratna. Jadi sebaiknya tidak mengambil risiko.
Ada satu hal yang membuat Maya mampu bertahan. Sebagai orang yang sudah tua tentunya Ratna tidak akan hidup lama-lama. Pasti tidak selamanya. Biarpun fisiknya sehat, tetap saja dia sudah tua.
Berulang-ulang dalam setiap kesempatan Ratna berkata, "Aku bisa hidup sampai seratus tahun! Bisa juga lebih!"
"Kalau begitu, mungkin aku mati duluan," keluh Rama diam-diam.
Maya tidak memercayainya. Pasti Ratna akan mati duluan. Ia yakin akan hal itu. Dan bila itu terjadi, pastilah perhiasan Ratna akan jatuh kepadanya! Bukankah dia tinggal serumah, paling tertekan dibanding yang lain? Dan karena tinggal serumah ia juga punya akses yang lebih gampang ke lemari Ratna! Jadi ia bisa bersabar dan bertahan meskipun khawatir tidak bisa terlalu lama.
Dengan memberanikan diri Maya pindah ke sisi yang lain, di mana ia bisa melihat Ratna dari pinggir. Jelas kelihatan mata Ratna terpejam. Maka Maya pindah lebih ke depan supaya bisa melihat lebih jelas. Biasanya ia tidak berani melakukan hal itu. Ia melihat kelopak mata Ratna berdenyut-denyut. Lidahnya men-
83
julur sedikit dari mulutnya yang terkatup. Cuping hidungnya bergerak-gerak seperti tengah mencium bau. Wajahnya tampak aneh, tapi menggelikan.
Ayo segera pergi! begitu kata hati Maya. Tapi ia tetap saja di situ. Entah apa daya tariknya.
Tiba-tiba Ratna berteriak keras dengan nada penuh amarah dan benci. Maya terkejut bukan main. Kakinya tak mau disuruh berlari, malah gemetaran. Kedua lututnya lemah sekali sampai kemudian tak lagi sanggup menanggung beban tubuhnya. Ia terjerembap seperti karung kehilangan isi!
Ratna melihatnya, tapi tak peduli. Ia malah berseru, "Sial kamu, Del! Siii...aaal!" Kedua tinjunya dikepalkan. Sumpah serapahnya berhamburan ditujukan kepada Delia. Baru sesudah itu ia mengarahkan tatapannya kepada Maya yang masih terduduk lemas di lantai.
"Ngapain kamu di situ?" bentaknya.
Bi Ipah berlari dari belakang, tapi tak berani mendekat. Jauh-jauh saja. Asal bisa melihat.
Maya berdiri dengan susah payah. Semangat dan tenaganya anjlok. Tapi ia masih bisa mencari alasan.
"A-a... aku ke...kebetulan lewat. Tiba-tiba Mama menjerit. Aku jadi kaget, Ma."
Sesaat Ratna mengamati Maya penuh selidik. Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh, geli sekali.
"Aku lagi mikirin si Del," kata Ratna.
"Oh."
"Kayaknya dia ada di Jakarta." "Oh!" Maya kaget.
"Apaan sih kamu? Dongo amat! Ah-oh melulu!" bentak Ratna.
Rama datang tergopoh-gopoh dari bengkelnya di bagian depan rumah. Walaupun rumah itu cukup
84
besar dan sudah diberi sekat tebal berbatasan dengan ruang yang dijadikan bengkel, lengking jeritan Ratna sampai juga ke situ. Ia merasa malu terhadap para karyawan, montir-montir di situ.
"Ada apa, Ma?" tanyanya kepada Ratna dan Maya bergantian.
"Katanya... katanya..." Maya tak meneruskan ucapannya karena segera disela oleh Ratna.
"Delia ada di Jakarta! Cari ke sana!"
"Mama tahu dari mana?" tanya Rama.
"Dari iblis!" seru Rama sambil tertawa.
Kedengarannya ucapan itu seperti guyon belaka, tapi Rama merasa bulu romanya berdiri. Maya mendekatinya lalu memegangi lengannya. Tangan Maya terasa dingin.
"Jakarta-nya di mana, Ma?" tanya Rama.
"Pokoknya Jakarta. Cari aja. Susah-susah amat! Minta bantuan saudara-saudaramu! Suruh mereka kumpul di sini nanti malam!"
Rama termangu. Gampang amat kesan dari ucapan Ratna itu. Mencari satu orang di Jakarta itu sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami. Kalau Rama memang tahu, kenapa tidak dikatakannya dengan pasti di mana alamat Delia di Jakarta?
Setelah pergi sejauh mungkin dari Ratna, baru Rama membicarakannya dengan Maya. Itu pun dengan berbisik-bisik.
"Heran, kenapa Mama semakin aneh saja?" kata Maya.
"Bagaimana dia bisa tahu Del ada di Jakarta?" "Mana aku tahu. Dari i...iblis, katanya. Apa itu betul, Pa?"
"Ah, jangan bikin aku takut, Ma. Biar gimanapun dia kan ibuku."
85
Bagi mereka, antara percaya dan tidak tampaknya lebih aman percaya!
* * *
Belum sampai tengah hari Delia sudah selesai menyalurkan sebagian sumbangan yang sudah dijadwalkannya. Satu-satunya penghalang hanya kemacetan lalu lintas. Setelah mendapatkan alamat yang dituju, maka semuanya lancar. Ia tinggal menyerahkan amplop tanpa perlu memberikan identitasnya. Yang diberi tentunya sangat senang. Mustahil penderma ditanyai macam-macam.
Ia makan siang dulu sebelum kembali ke motel. Ia juga membawa bekal beberapa potong roti untuk makan malam. Dengan demikian ia bisa menghindari Kosmas yang kemungkinan akan menawarinya makanan. Dugaannya benar. Setelah memarkir mobilnya, ia melihat Kosmas mendekat.
"Sudah makan siang, Bu?" tanya Kosmas.
"Sudah, Pak. Tadi ada yang traktir," Delia berbohong.
Kosmas tampak kecewa sejenak, lalu tersenyum. "Jadi sudah kenyang dong."
Delia menepuk perutnya. "Iya. Sudah penuh. Buku petanya boleh pinjam lagi, Pak? Besok perlu pakai lagi."
"Oh, pakai saja, Bu."
Kosmas tampak ragu-ragu seperti memikirkan sesuatu.
"Ada apa, Pak?" tanya Delia. Jangan-jangan sebenarnya Kosmas membutuhkan petanya tapi malu mengatakan.
86
"Begini, Bu. Saya dan Erwin ingin mengundang Ibu makan malam."
Delia keheranan sejenak.
"Tapi bukan di luar, Bu. Di sini. Di ruang makan kami. Makanannya pesan dari luar. Apa Ibu bersedia?" tanya Kosmas dengan pandang memohon.
"Wah, saya sudah beli roti, Pak."
"Masa makan malamnya roti? Itu sih buat sarapan, Bu. Mana kenyang? Oke ya. Bu? Pukul enam saya jemput."
Delia jadi serbasalah. "Begini saja, Pak. Nanti saya kasih tahu kalau jadi, ya? Jangan pesan makanan dulu."
Kosmas tak bisa memaksa. Tapi merasa tidak patut kecewa.
"Baiklah. Silakan Ibu istirahat. Pasti capek, bukan?"
Kosmas berlalu diiringi tatapan sesal Delia. Ada kesan tambahan di hatinya. Meskipun berwajah sangar, tatapan Kosmas tampak tulus. Bukan tatapan lelaki yang melulu tertarik secara fisik. Masih ada lainnya. Tatapannya seperti menyelidik dan mempelajari. Apakah Kosmas punya insting atau firasat akan apa yang mau dilakukannya?
Delia masuk ke kamarnya dengan pikiran yang lain lagi. Ia merasa iba kepada Kosmas bukan karena tak bisa menerima perhatiannya, tapi karena apa yang akan dilakukannya nanti. Baru sekitar dua minggu lalu ada orang bunuh diri di motelnya, masa kejadian lagi? Motel itu akan mendapat citra buruk. Pelanggan semakin berkurang. Baru sekarang terpikir. Tadinya ia tak peduli. Seharusnya ia tidak menyusahkan orang lain. Tapi membatalkannya juga tidak mungkin. Mau ke mana lagi?
Setelah berpikir lama, ia mulai menulis surat yang
87
ditujukan kepada Kosmas. Dalam surat itu ia memohon maaf karena telah menyusahkan. Ia juga mohon supaya Kosmas sudi mengurus jenazahnya karena ia tidak punya keluarga atau kerabat lagi. Untuk keperluan itu ia menyertakan sejumlah uang untuk biayanya. Sebagai penutup, ia mengucapkan terima kasih dan mendoakan semoga Kosmas mendapat pahala sebagai imbalan atas budi baiknya. Surat beserta uang ia masukkan ke dalam amplop yang sudah ditulisi nama Kosmas dengan alamat Motel Marlin. Lalu amplop itu ia masukkan ke dalam laci.
Delia menangis. Pengakuan bahwa ia tidak punya keluarga atau kerabat sesungguhnya tidak benar. Tapi dalam situasi sekarang ia memang sendirian. Biarlah para kerabat itu tidak tahu.. Dan kalaupun nanti tahu juga, ia tak lagi ada untuk mengetahui reaksi mereka. Kemungkinan mereka tak mau mengakuinya dan lebih suka membiarkan ia dikubur sebagai orang sebatang kara. Tapi masih ada kemungkinan lain. Kalau Ratna masih mengincar hartanya dan mengira ia menyimpannya di bank, pastilah Ratna mengakui dirinya kerabat supaya bisa menuntut warisannya.
Sebenarnya masih ada hartanya yang tertinggal yaitu mobilnya. Tapi besok, setelah selesai dengan urusannya membagikan uang, ia akan menjual mobilnya. Bila dijual murah pasti cepat laku. Setelah itu ia akan pulang ke motel dengan taksi. Uang hasil penjualan mobil bisa untuk menambah biaya pengurusan jenazahnya. Kalau misalnya tidak laku, ia akan menyerahkannya kepada Kosmas. Tentang hal itu bisa ia tambahkan di bawah surat yang telah ditulisnya.
88
"Sikapnya itu justru menaikkan martabatnya, Bang," kata Erwin mengomentari sikap Delia. "Kok gitu?"
"Iya. Itu menandakan dia bukan orang yang gampang diajak."
"Oh begitu. Ya, benar juga. Tapi kalau dia nggak mau, berarti aku nggak mendapat kesempatan untuk mengenalnya lebih baik."
"Jangan pesimis begitu, Bang. Kita kan sudah punya alamatnya di Bandung. Teleponnya juga ada. Dia tidak akan menghilang begitu saja kalau sudah keluar dari sini."
"Betul sih. Tapi kan jadi susah lagi."
"Susah gimana? Kau bertingkah aneh, Bang."
"Aku? Dialah yang aneh, Win! Dia sering sekali terlihat kontradiktif. Sekali terlihat ceria dan optimis, tapi lain kali dia murung.
"Kurasa setiap orang begitu. Ada saat sedih, ada saat senang."
"Tapi tidak dalam waktu berdekatan, kan?"
"Kau terlalu intens memerhatikannya, Bang!"
Kosmas tidak puas. Apakah Erwin merasa prihatin atau menyesali?
89
BAB 9
Yasmin sudah berketetapan hati. Sebenarnya, sebelum memutuskan, ia ingin sekali bisa curhat dengan seseorang, berkonsultasi, dan minta saran. Tapi ia tidak punya siapa-siapa. Paling ada beberapa teman arisan, bekas teman kuliah. Tapi mereka pasti tidak cocok dijadikan teman curhat. Harus orang yang dekat. Padahal menjalin kedekatan itu butuh waktu dan kecocokan. Bukan itu saja. Permasalahannya adalah sesuatu yang sensitif. Memalukan. Jangan-jangan bukan simpati yang didapat, malah cemoohan.
Kalau saja ibunya masih ada, pasti kepadanyalah ia berlari, minta dukungan dan perlindungan. Ibunya memang tidak sempat tahu bagaimana kehidupan perkawinannya karena keburu meninggal sebelum ia menikah. Tapi ibunya menyukai Hendri dan menganggapnya sebagai calon suami ideal bagi putrinya. Pasti ibunya akan terheran-heran bagaimana pemuda ideal itu ternyata bisa begitu sadis. Tapi pasti ibunya tidak akan mencemoohnya atau menyalahkannya. Meskipun mungkin tidak bisa memberi jalan keluar, setidaknya ibunya bisa diajak berbagi.
Sebenarnya Yasmin masih punya ayah. Tapi sudah bertahun-tahun ia dan ibunya menjauh dari ayahnya setelah si ayah kawin lagi. Kemudian kedua orangtua-nya itu bercerai dan Yasmin memilih bersama ibunya.
90
Mereka berdua sama-sama mendendam kepada si ayah karena merasa dikhianati. Mungkin saja ayahnya itu masih menyayanginya. Tapi untuk masalah nya ini Yasmin tak mungkin mengajaknya berbagi. Seb agai lelaki hampir pasti ayahnya memihak Hendri. Masa begitu saja kesakitan sih? Bukan saja tak ada gunanya, ia juga tak ingin mendekati ayahnya lagi.
Ia masih merasa nyeri. Jalannya masih tertatih-tatih. Kalau dipaksakan berjalan normal, maka nyerinya bertambah. Mestinya ia menunggu dulu barang beberapa hari untuk pemulihan. Tapi bagaimana kalau Hendri memerkosanya lagi nanti malam? Atau besok?
Ia mengemasi barang-barangnya. Hanya yang perlu saja. Yang penting adalah gaun tidurnya yang terbagus, sikat gigi, odol, sabun, handuk, dan satu setel pakaian dalam. Ia tidak memerlukan baju ganti untuk besok karena besok ia sudah tiada. Semua uang yang dimilikinya dan perhiasannya ia bawa. Siapa tahu diperlukan sebelum saat itu tiba. Masih ada satu benda lagi yang tidak boleh ketinggalan. Kartu nama Motel Marlin!
Bila nanti sore Hendri pulang dan tak menemukannya, pasti Hendri tak segera menyangka jelek karena pakaiannya masih ada. Bila Yasmin bermaksud pergi untuk waktu yang lama atau tak punya niat kembali, pastilah ia akan membawa semua pakaiannya. Tanpa prasangka, maka Hendri tidak tergerak untuk segera mencarinya. Andaikata bermaksud mencari pun ia tidak akan punya ide ke mana tujuannya. Paling-paling bertanya pada ayahnya yang pasti akan mengatakan tidak tahu.
Hendri pun tidak akan mencemburuinya. Jadi ia tidak perlu merasa risau. Dengan sedih ia menyadari
91
bahwa hal itu pasti karena sekarang ia sudah menjadi tua prematur, seperti yang dikatakan Hendri.
Yasmin menunggu saat terbaik, yaitu ketika Inem masuk ke kamarnya untuk tidur siang. Itulah kebiasaan Inem setiap hari. Pada saat itulah Yasmin segera berdandan serapi mungkin. Ia tahu, penampilan yang berantakan bisa membuat orang menaruh curiga. Apa