Cerita Misteri | Penunggu Jenazah | by Abdullah Harahap | Penunggu Jenazah | Cersil Sakti | Penunggu Jenazah pdf
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
r. Lewat
pekarangan sempit berpintu pagar kecil ia melihat
bayangan sesuatu dalam gelap. Sebentuk kereta yang
aneh. Dengan seekor kuda yang berdiri di atas
keempat kaki-kakinya yang kukuh, dengan kepala
tegak, memandang ke arah rumah. Parjo tak dapat
melihat sinar mata kuda itu dalam kegelapan, namun
ia bisa menangkap suara mendengusnya yang keras
dan kering. Tak jauh dari kereta, sesosok makhluk
berbaring di atas tanah berumput. Juga dengan kepala
tegak memandang ke arah rumah. Sinar matanya
tampak samar-samar membentuk sepasang bintik-
bintik kecil berwarna kuning kemerahan.
"Anjing..." desis Parjo kecut, seraya menutupkan pintu
buru-buru.
Berderak bunyinya, karena tergesa-gesa.
Sementara yang lain termasuk Parjo duduk kembali di
tempat masing-masing, Kurdi masuk ke ruang dalam
ditemani oleh tuan rumah. Lewat tirai gorden yang
terbuka sebagian waktu mereka masuk, kedua orang
itu berjalan pelan-pelan ke tengah ruangan yang
diterangi lampu bervoltase kecil. Di antara perabotan-
perabotan yang disingkirkan ke tepi, tergelar tikar
Iebar di atas mana digelarkan sebuah kasur ukuran
kecil. Selendang batik dari harga murahan menutupi
sesosok tubuh mulai dari ujung kaki sampai ke ujung
rambut.
Meskipun lampu ruang tengah cukup untuk menyinari
mayat itu, di sekelilingnya masih dipasang lilin-lilin
yang tinggal puing-puingnya saja lagi, menyala lemah.
Bau menyan campur baur dengan bunga rempah-
rempah di dekat kepala mayat.
Setelah kumat kamit sebentar, Pak Kurdi memerintah:
"Bukalah."
Orangtua itu berjongkok, lalu dengan tangan gemetar
pelan-pelan ia menyingkapkan ujung kain yang
menutupi bagian kepala. Pelan-pelan pula wajahnya
ia tolehkan ke arah lain, dengan mata yang terpejam.
Didekatnya, tamu bermuka pucat itu memandang
kebawah dengan mata terbuka lebar. Mula-mula ia
melihat rambut yang ikal, panjang bergerai, lebat dan
hitam. Disusul oleh dahi yang rekah di bagian pelipis,
meninggalkan bengkak berwarna merah kebiru-
biruan. Di bawah alis tipis, lentik dan bagus
bentuknya, sepasang mata tampak melotot diantara
kelopak-kelopak yang hancur bercampur darah
mengering.
"... terus!" sungut Kurdi waktu gerakan tangan yang
membuka kain penutup agak tersendat.
Orang tua itu terkejut, lantas menyingkapkan kain
selendang sekaligus sehingga wujud mayat itu
tampak lebih jelas.
Orang-orang yang berada di ruang depan sama-sama
menarik nafas lantas sama-sama pula memalingkan
muka dari arah ruang tengah. Orangtua yang
berjongkok di sebelah Kurdi, mulai menangis.
Tersendat-sendat. Di antara suara tangisnya ia
berkata.
".... anak malang. la... ia.... "
Kurdi manggut-manggut. Bergumam:
"Ya. Ya. Aku maklum. Aku belum mengenal menantu
bapak ini. Kalaupun ia pernah bertemu denganku, ia
tak akan kukenali kembali. Wajahnya begitu rusak.
Boleh dikata anggota-anggota tubuhnya hampir
hancur. Anak malang! Hem. Apa yang menyebabkan
ia mati dalam keadaan sedemikian rupa, Pak Marto?"
Orangtua yang sudah ubanan itu sesenggukan.
"... nekad!" jawabnya. "Ningsih nekat. Tak bisa
menahan diri. Kami tidak tahu mengapa ia tiba-tiba
menghilang tadi siang dari rumah, lalu sore hari ada
orang mengabari bahwa... bahwa ia... ia..." Pak Marto
tiba-tiba berteriak histeris:
"Mengapa, Ningsih? Mengapa? Mengapa kau lakukan
itu, anakku? Mengapa?"
"Apa yang ia lakukan, Pak Marto?"
"la... oh!" orangtua itu menahan sedu sedannya.
Suara berat Pak Kurdi memberikan pengaruh aneh
pada dirinya. "la bunuh diri!"
"Bunuh diri?"
"Ya. Terjun ke rel pada saat kereta api barang lewat....
Aduh! Orang itu bilang... ada yang melihat.... melihat
Ningsih berdiri begitu lama di pinggir rel. Mula-mula
disangka mau menyeberang, sampai kereta itu
datang dan Ningsih tiba-tiba berlari ke arah maut itu
datang. la tak sempat terjun ke tengah-tengah rel
ketika tubuhnya disambar oleh lokomotip dan.... "
Kurdi manggut-manggut lagi. Dalam.
"la terhempas ke pinggir rel, begitu? Orang yang
menjemputku ke rumah telah menceritakannya
padaku. Sangat tergesa-gesa, sehingga aku tidak
mendengar seluruh kejadiannya...."
"Ia mati seketika, Kurdi. Lalu kami buru-buru ke sana,
dan...."
"Tentu. Tetapi yang ingin kutanyakan, mengapa ia
melakukannya?"
Orangtua itu tertengadah, memandangi tamu asing
itu. Matanya tampak tidak senang.
"Anakku telah mati," sungutnya, dingin. "Tak sempat
kami kuburkan hari ini. Lalu kau kami panggil untuk
menjaganya. Itu saja. Jadi..."
Seraya geleng-geleng kepala, Kurdi bergumam:
"Lihatlah pandangan matanya. la mati penasaran.
Karena itulah aku kalian panggil, Pak Marto!" Kurdi
tersenyum renyah. Dan erang kaku:
"Kalian penakut!"
"Nak...."
"Kalian penakut. Karena kalian merasa bersalah, kalian
jadi penakut!"
Berkata demikian, sepasang mata Kurdi berkilau-
kilauan di wajahnya yang pucat. Pak Marto
terbungkam, lalu merundukkan kepala dengan patuh,
seolah-olah mengakui tuduhan yang dilemparkan
padanya.
"Perempuan ini punya kamar sendiri?" tanya Kurdi
kemudian.
Orangtua itu manggut-manggut.
"Tidak bisakah kalian memberi penghormatan
padanya barang sedikit? Baringkanlah anak bapak di
atas ranjangnya sendiri!"
Pak Marto memandang Kurdi dengan heran. Matanya
beradu dengan sepasang mata yang bersinar ganjil.
Dengan kecut, Pak Marto bangkit lalu memanggil
orang-orang di ruang depan.
Bersama-sama mereka masuk ke dalam. Enggan.
Bersama-sama pula mereka pindahkan mayat yang
sudah rusak wajah dan bagian-bagian tubuhnya itu
ke kamar tidur. Teramat enggan. Selesai melakukan
tugasnya orang-orang itu cepat-cepat berlalu ke ruang
depan. Kepada Parjo yang duduk termangu tanpa ikut
masuk ke dalam, orang-orang itu pamit. Tak lama
kemudian Pak Marto menyusul. la menggamit Parjo,
mengajaknya ke luar seraya menjelaskan:
"Orang itu minta dibiarkan sendirian. la ada di kamar
tidur bersama mayat isterimu."
***
Wajah Kurdi yang pucat diam tak bergerak-gerak
setelah ia mengambil tempat duduk di sebuah kursi
dekat kepala tempat tidur. Dihadapannya, terbaring
mayat yang baru saja dipindahkan dari ruang tengah.
Bagian-bagian wajah yang masih utuh tampak lebih
pucat lagi. Di beberapa tempat malah sudah kebiru-
biruan, demikian pula sebahagian lehernya yang
jenjang.
Seraya bibirnya yang kering kumat-kamit membaca
mantera, perlahan-lahan Kurdi membungkukkan
badannya ke depan. Kain selendang yang menutupi
mayat itu ia singkapkan seluruhnya. Mata Kurdi
terpejam. Mulutnya kumat-kamit lebih cepat.
Terkadang disertai keluhan-keluhan berat dan rintihan-
rintihan seperti kesakitan. Waktu ia buka matanya
kembali, dua berkas sinar hijau kemerah-merahan
membersit dari sepasang mata Kurdi, menatap
langsung ke arah di mana seharusnya terletak
sepasang mata di wajah mayat yang sudah rusak itu.
Tubuh Kurdi mulai bergetar. Keringat sebesar jagung
membercik dari jidatnya waktu pelan-pelan ia
berbisik:
".... kembalilah. Kembalilah kau. wahai arwah yang
telah pergi!"
Sepi sejenak.
Kurdi menggeram. "Kubilang, kembalilah! Aku tahu
kau masih gentayangan di sekitar jasadmu. Kau
belum tiba di padang yang semestinya, karena kau
tak rela. Kembalilah, arwah yang telah hilang,
kembalilah!"
Sosok tubuh yang hampir hancur di atas kasur
bergerak sedikit. Hanya sedikit.
"Jangan enggan. Kembalilah!" Kurdi membentak
dengan suara kesal.
Tiba-tiba, gelembung-gelembung payudara di tubuh
perempuan telanjang yang sudah menjadi mayat itu,
naik turun dengan gerakan-gerakan lambat mula-
mula, lantas makin lama makin kencang, lambat lagi,
kencang kembali dan setelah helaan nafas berat
terluncur dari bibir pecah-pecah yang sebagian sudah
somplak dagingnya sehingga tampak beberapa buah
gigi bertonjolan ke luar, gerakan naik turun dada
mayat itu mulai teratur. Tanda-tanda kehidupan sudah
terlihat nyata, biarpun anggota-anggota tubuh lainnya
masih diam, tidak bergerak-gerak. Orang-orang yang
telah memandikan mayat itu senja hari-harinya
tampaknya tergesa-gesa atau demikian ketakutan
sehingga pekerjaan mereka tidak sempurna. Darah
kering masih melekat di bahu yang bengkak
kebiru-biruan. Juga dipertengahan lengan kanan yang
hampir putus. Lutut kanan yang pecah, letaknya
menyimpang. Mungkin tidak ada yang teringat untuk
membetulkannya. Mungkin pula karena tulang-tulang
lutut itu sudah hancur berantakan sehingga sukar
membetulkannya dalam posisi semula.
"Anak malang!" desah Kurdi. Serak. Ia menelan ludah.
Dan:
".... mereka benar-benar menterlantarkan engkau.
Tentu kau begitu penasaran, bukan?"
Helaan nafas berat keluar dari mulut mayat yang
rusak itu. Dadanya bergelombang. Cepat. Seperti
marah.
"Tidak!" gumam Kurdi seraya menyeringai. "Aku tidak
bermaksud menyakiti dirimu."
Wajah mayat yang rusak itu, terangkat dari bantal.
Sekejap cuma, karena kemudian terhempas kembali
dengan keras.
Kurdi tertawa kecil.
"Tulang lehermu patah? Nah. Jadi, diamlah. Kau tidak
bisa bergerak. Kau akan menurut segala perintahku.
Sekarang jawablah. Siapa namamu, anak manis?"
Helaan nafas dari mulut mayat berubah jadi desau
angin.
Sayup-sayup terdengar suara memelas. S uara seorang
perempuan. Setengah marah. setengah menangis.
"... Marni..."
"Umurmu?"
".... buat apa... kau tahu?"
"Harus kuketahui yang sekecil-kecilnya mengenai
mayat-mayat yang kutunggui."
"... tiga puluh tahun, dua bulan dan... dan...."
"Cukup. Tak usah kau sebutkan harinya. Lahirmu?"
"Ya?"
"Siang? Atau malam?"
"... senja."
"Patut. Patut matimu penasaran. Orang yang lahir
senja hari seperti kau, umumnya berhati penasaran.
Apa yang terjadi pagi? Mengapa begitu cepat
datangnya malam? Kau tak tahu. Karena kau lahir
senja hari lalu kau ingin tahu. ltulah sifatmu yang
lebih menonjol dari silat-sifat lain. Sangat penasaran,
serba ingin tahu, dan tidak sabaran!"
Dada mayat itu berbuncah-buncah.
Kurdi memperhatikannya. Dan mulutnya tersenyum
senang.
"Sifat jelek itulah yang menyebabkan kematianmu.
Benar, bukan?"
Suara sayup-sayup itu bersungut-sungut kini:
"He-eh. Lantas apa perdulimu?"
Kurdi angkat bahu.
"Sudahi pertanyaan-pertanyaanmu, manusia terkutuk.
Sudahilah aku sangat lelah dan kesakitan..." Tubuh
mayat itu bergerak-gerak kekiri kanan menyertai
permintaannya yang teramat memelas. "Aku telah
memenuhi panggilanmu. Karena itu, sudahilah siksaan
ini. Cukuplah sudah siksaan yang kuterima menjelang
saat-saat terakhir hidupku. Jangan tambah-tambah
lagi... Hentikan, hentikan, kau manusia pengabdi
setan. Aku telah datang. Kau tentunya puas, pengabdi
setan. Karena itu, katakanlah sekarang. Maukah kau
menolongku."
Kurdi menyeringai lebar. "Tentu," sahutnya.
"Bangkitkan aku kembali. Bangkitkan aku, untuk
membalas sakit hatiku!"
"Sakit hati? Pada siapa kau sakit hati?"
"Perempuan laknat itu!"
Alis mata Kurdi yang berbentuk golok. menyipit. "Kau
dimadu?"
"Ya. Aku dimadu. Haram jadah benar, aku dimadu.
Perempuan laknat itu telah merenggut
kebahagiaanku. Merenggut cintaku. Merenggut
suamiku. Kemudian merenggut hidupku!"
"la tak bersalah apa-apa terhadapmu," Kurdi
keberatan. "Tak patut aku libatkan dirinya, siapapun
juga perempuan itu...."
"Tolonglah," suara sayup-sayup itu berubah jadi jeritan
sayup-sayup. "Tolonglah. Kau bangkitkan aku dan
biarkan aku yang melakukannya. Kau tak usah turun
tangan!"
"Hem. Caranya?"
"Lewat tangan suamiku!"
"Tetapi...."
"Demi setan yang kau puja, tolonglah aku!"
Kurdi mengeluh. Lalu terdiam. Lama.
"Bagaimana? Bersediakah kau?"
Lama pula baru Kurdi m
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
r. Lewat
pekarangan sempit berpintu pagar kecil ia melihat
bayangan sesuatu dalam gelap. Sebentuk kereta yang
aneh. Dengan seekor kuda yang berdiri di atas
keempat kaki-kakinya yang kukuh, dengan kepala
tegak, memandang ke arah rumah. Parjo tak dapat
melihat sinar mata kuda itu dalam kegelapan, namun
ia bisa menangkap suara mendengusnya yang keras
dan kering. Tak jauh dari kereta, sesosok makhluk
berbaring di atas tanah berumput. Juga dengan kepala
tegak memandang ke arah rumah. Sinar matanya
tampak samar-samar membentuk sepasang bintik-
bintik kecil berwarna kuning kemerahan.
"Anjing..." desis Parjo kecut, seraya menutupkan pintu
buru-buru.
Berderak bunyinya, karena tergesa-gesa.
Sementara yang lain termasuk Parjo duduk kembali di
tempat masing-masing, Kurdi masuk ke ruang dalam
ditemani oleh tuan rumah. Lewat tirai gorden yang
terbuka sebagian waktu mereka masuk, kedua orang
itu berjalan pelan-pelan ke tengah ruangan yang
diterangi lampu bervoltase kecil. Di antara perabotan-
perabotan yang disingkirkan ke tepi, tergelar tikar
Iebar di atas mana digelarkan sebuah kasur ukuran
kecil. Selendang batik dari harga murahan menutupi
sesosok tubuh mulai dari ujung kaki sampai ke ujung
rambut.
Meskipun lampu ruang tengah cukup untuk menyinari
mayat itu, di sekelilingnya masih dipasang lilin-lilin
yang tinggal puing-puingnya saja lagi, menyala lemah.
Bau menyan campur baur dengan bunga rempah-
rempah di dekat kepala mayat.
Setelah kumat kamit sebentar, Pak Kurdi memerintah:
"Bukalah."
Orangtua itu berjongkok, lalu dengan tangan gemetar
pelan-pelan ia menyingkapkan ujung kain yang
menutupi bagian kepala. Pelan-pelan pula wajahnya
ia tolehkan ke arah lain, dengan mata yang terpejam.
Didekatnya, tamu bermuka pucat itu memandang
kebawah dengan mata terbuka lebar. Mula-mula ia
melihat rambut yang ikal, panjang bergerai, lebat dan
hitam. Disusul oleh dahi yang rekah di bagian pelipis,
meninggalkan bengkak berwarna merah kebiru-
biruan. Di bawah alis tipis, lentik dan bagus
bentuknya, sepasang mata tampak melotot diantara
kelopak-kelopak yang hancur bercampur darah
mengering.
"... terus!" sungut Kurdi waktu gerakan tangan yang
membuka kain penutup agak tersendat.
Orang tua itu terkejut, lantas menyingkapkan kain
selendang sekaligus sehingga wujud mayat itu
tampak lebih jelas.
Orang-orang yang berada di ruang depan sama-sama
menarik nafas lantas sama-sama pula memalingkan
muka dari arah ruang tengah. Orangtua yang
berjongkok di sebelah Kurdi, mulai menangis.
Tersendat-sendat. Di antara suara tangisnya ia
berkata.
".... anak malang. la... ia.... "
Kurdi manggut-manggut. Bergumam:
"Ya. Ya. Aku maklum. Aku belum mengenal menantu
bapak ini. Kalaupun ia pernah bertemu denganku, ia
tak akan kukenali kembali. Wajahnya begitu rusak.
Boleh dikata anggota-anggota tubuhnya hampir
hancur. Anak malang! Hem. Apa yang menyebabkan
ia mati dalam keadaan sedemikian rupa, Pak Marto?"
Orangtua yang sudah ubanan itu sesenggukan.
"... nekad!" jawabnya. "Ningsih nekat. Tak bisa
menahan diri. Kami tidak tahu mengapa ia tiba-tiba
menghilang tadi siang dari rumah, lalu sore hari ada
orang mengabari bahwa... bahwa ia... ia..." Pak Marto
tiba-tiba berteriak histeris:
"Mengapa, Ningsih? Mengapa? Mengapa kau lakukan
itu, anakku? Mengapa?"
"Apa yang ia lakukan, Pak Marto?"
"la... oh!" orangtua itu menahan sedu sedannya.
Suara berat Pak Kurdi memberikan pengaruh aneh
pada dirinya. "la bunuh diri!"
"Bunuh diri?"
"Ya. Terjun ke rel pada saat kereta api barang lewat....
Aduh! Orang itu bilang... ada yang melihat.... melihat
Ningsih berdiri begitu lama di pinggir rel. Mula-mula
disangka mau menyeberang, sampai kereta itu
datang dan Ningsih tiba-tiba berlari ke arah maut itu
datang. la tak sempat terjun ke tengah-tengah rel
ketika tubuhnya disambar oleh lokomotip dan.... "
Kurdi manggut-manggut lagi. Dalam.
"la terhempas ke pinggir rel, begitu? Orang yang
menjemputku ke rumah telah menceritakannya
padaku. Sangat tergesa-gesa, sehingga aku tidak
mendengar seluruh kejadiannya...."
"Ia mati seketika, Kurdi. Lalu kami buru-buru ke sana,
dan...."
"Tentu. Tetapi yang ingin kutanyakan, mengapa ia
melakukannya?"
Orangtua itu tertengadah, memandangi tamu asing
itu. Matanya tampak tidak senang.
"Anakku telah mati," sungutnya, dingin. "Tak sempat
kami kuburkan hari ini. Lalu kau kami panggil untuk
menjaganya. Itu saja. Jadi..."
Seraya geleng-geleng kepala, Kurdi bergumam:
"Lihatlah pandangan matanya. la mati penasaran.
Karena itulah aku kalian panggil, Pak Marto!" Kurdi
tersenyum renyah. Dan erang kaku:
"Kalian penakut!"
"Nak...."
"Kalian penakut. Karena kalian merasa bersalah, kalian
jadi penakut!"
Berkata demikian, sepasang mata Kurdi berkilau-
kilauan di wajahnya yang pucat. Pak Marto
terbungkam, lalu merundukkan kepala dengan patuh,
seolah-olah mengakui tuduhan yang dilemparkan
padanya.
"Perempuan ini punya kamar sendiri?" tanya Kurdi
kemudian.
Orangtua itu manggut-manggut.
"Tidak bisakah kalian memberi penghormatan
padanya barang sedikit? Baringkanlah anak bapak di
atas ranjangnya sendiri!"
Pak Marto memandang Kurdi dengan heran. Matanya
beradu dengan sepasang mata yang bersinar ganjil.
Dengan kecut, Pak Marto bangkit lalu memanggil
orang-orang di ruang depan.
Bersama-sama mereka masuk ke dalam. Enggan.
Bersama-sama pula mereka pindahkan mayat yang
sudah rusak wajah dan bagian-bagian tubuhnya itu
ke kamar tidur. Teramat enggan. Selesai melakukan
tugasnya orang-orang itu cepat-cepat berlalu ke ruang
depan. Kepada Parjo yang duduk termangu tanpa ikut
masuk ke dalam, orang-orang itu pamit. Tak lama
kemudian Pak Marto menyusul. la menggamit Parjo,
mengajaknya ke luar seraya menjelaskan:
"Orang itu minta dibiarkan sendirian. la ada di kamar
tidur bersama mayat isterimu."
***
Wajah Kurdi yang pucat diam tak bergerak-gerak
setelah ia mengambil tempat duduk di sebuah kursi
dekat kepala tempat tidur. Dihadapannya, terbaring
mayat yang baru saja dipindahkan dari ruang tengah.
Bagian-bagian wajah yang masih utuh tampak lebih
pucat lagi. Di beberapa tempat malah sudah kebiru-
biruan, demikian pula sebahagian lehernya yang
jenjang.
Seraya bibirnya yang kering kumat-kamit membaca
mantera, perlahan-lahan Kurdi membungkukkan
badannya ke depan. Kain selendang yang menutupi
mayat itu ia singkapkan seluruhnya. Mata Kurdi
terpejam. Mulutnya kumat-kamit lebih cepat.
Terkadang disertai keluhan-keluhan berat dan rintihan-
rintihan seperti kesakitan. Waktu ia buka matanya
kembali, dua berkas sinar hijau kemerah-merahan
membersit dari sepasang mata Kurdi, menatap
langsung ke arah di mana seharusnya terletak
sepasang mata di wajah mayat yang sudah rusak itu.
Tubuh Kurdi mulai bergetar. Keringat sebesar jagung
membercik dari jidatnya waktu pelan-pelan ia
berbisik:
".... kembalilah. Kembalilah kau. wahai arwah yang
telah pergi!"
Sepi sejenak.
Kurdi menggeram. "Kubilang, kembalilah! Aku tahu
kau masih gentayangan di sekitar jasadmu. Kau
belum tiba di padang yang semestinya, karena kau
tak rela. Kembalilah, arwah yang telah hilang,
kembalilah!"
Sosok tubuh yang hampir hancur di atas kasur
bergerak sedikit. Hanya sedikit.
"Jangan enggan. Kembalilah!" Kurdi membentak
dengan suara kesal.
Tiba-tiba, gelembung-gelembung payudara di tubuh
perempuan telanjang yang sudah menjadi mayat itu,
naik turun dengan gerakan-gerakan lambat mula-
mula, lantas makin lama makin kencang, lambat lagi,
kencang kembali dan setelah helaan nafas berat
terluncur dari bibir pecah-pecah yang sebagian sudah
somplak dagingnya sehingga tampak beberapa buah
gigi bertonjolan ke luar, gerakan naik turun dada
mayat itu mulai teratur. Tanda-tanda kehidupan sudah
terlihat nyata, biarpun anggota-anggota tubuh lainnya
masih diam, tidak bergerak-gerak. Orang-orang yang
telah memandikan mayat itu senja hari-harinya
tampaknya tergesa-gesa atau demikian ketakutan
sehingga pekerjaan mereka tidak sempurna. Darah
kering masih melekat di bahu yang bengkak
kebiru-biruan. Juga dipertengahan lengan kanan yang
hampir putus. Lutut kanan yang pecah, letaknya
menyimpang. Mungkin tidak ada yang teringat untuk
membetulkannya. Mungkin pula karena tulang-tulang
lutut itu sudah hancur berantakan sehingga sukar
membetulkannya dalam posisi semula.
"Anak malang!" desah Kurdi. Serak. Ia menelan ludah.
Dan:
".... mereka benar-benar menterlantarkan engkau.
Tentu kau begitu penasaran, bukan?"
Helaan nafas berat keluar dari mulut mayat yang
rusak itu. Dadanya bergelombang. Cepat. Seperti
marah.
"Tidak!" gumam Kurdi seraya menyeringai. "Aku tidak
bermaksud menyakiti dirimu."
Wajah mayat yang rusak itu, terangkat dari bantal.
Sekejap cuma, karena kemudian terhempas kembali
dengan keras.
Kurdi tertawa kecil.
"Tulang lehermu patah? Nah. Jadi, diamlah. Kau tidak
bisa bergerak. Kau akan menurut segala perintahku.
Sekarang jawablah. Siapa namamu, anak manis?"
Helaan nafas dari mulut mayat berubah jadi desau
angin.
Sayup-sayup terdengar suara memelas. S uara seorang
perempuan. Setengah marah. setengah menangis.
"... Marni..."
"Umurmu?"
".... buat apa... kau tahu?"
"Harus kuketahui yang sekecil-kecilnya mengenai
mayat-mayat yang kutunggui."
"... tiga puluh tahun, dua bulan dan... dan...."
"Cukup. Tak usah kau sebutkan harinya. Lahirmu?"
"Ya?"
"Siang? Atau malam?"
"... senja."
"Patut. Patut matimu penasaran. Orang yang lahir
senja hari seperti kau, umumnya berhati penasaran.
Apa yang terjadi pagi? Mengapa begitu cepat
datangnya malam? Kau tak tahu. Karena kau lahir
senja hari lalu kau ingin tahu. ltulah sifatmu yang
lebih menonjol dari silat-sifat lain. Sangat penasaran,
serba ingin tahu, dan tidak sabaran!"
Dada mayat itu berbuncah-buncah.
Kurdi memperhatikannya. Dan mulutnya tersenyum
senang.
"Sifat jelek itulah yang menyebabkan kematianmu.
Benar, bukan?"
Suara sayup-sayup itu bersungut-sungut kini:
"He-eh. Lantas apa perdulimu?"
Kurdi angkat bahu.
"Sudahi pertanyaan-pertanyaanmu, manusia terkutuk.
Sudahilah aku sangat lelah dan kesakitan..." Tubuh
mayat itu bergerak-gerak kekiri kanan menyertai
permintaannya yang teramat memelas. "Aku telah
memenuhi panggilanmu. Karena itu, sudahilah siksaan
ini. Cukuplah sudah siksaan yang kuterima menjelang
saat-saat terakhir hidupku. Jangan tambah-tambah
lagi... Hentikan, hentikan, kau manusia pengabdi
setan. Aku telah datang. Kau tentunya puas, pengabdi
setan. Karena itu, katakanlah sekarang. Maukah kau
menolongku."
Kurdi menyeringai lebar. "Tentu," sahutnya.
"Bangkitkan aku kembali. Bangkitkan aku, untuk
membalas sakit hatiku!"
"Sakit hati? Pada siapa kau sakit hati?"
"Perempuan laknat itu!"
Alis mata Kurdi yang berbentuk golok. menyipit. "Kau
dimadu?"
"Ya. Aku dimadu. Haram jadah benar, aku dimadu.
Perempuan laknat itu telah merenggut
kebahagiaanku. Merenggut cintaku. Merenggut
suamiku. Kemudian merenggut hidupku!"
"la tak bersalah apa-apa terhadapmu," Kurdi
keberatan. "Tak patut aku libatkan dirinya, siapapun
juga perempuan itu...."
"Tolonglah," suara sayup-sayup itu berubah jadi jeritan
sayup-sayup. "Tolonglah. Kau bangkitkan aku dan
biarkan aku yang melakukannya. Kau tak usah turun
tangan!"
"Hem. Caranya?"
"Lewat tangan suamiku!"
"Tetapi...."
"Demi setan yang kau puja, tolonglah aku!"
Kurdi mengeluh. Lalu terdiam. Lama.
"Bagaimana? Bersediakah kau?"
Lama pula baru Kurdi m