Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Penunggu Jenazah - 2

$
0
0
Cerita Misteri | Penunggu Jenazah | by Abdullah Harahap | Penunggu Jenazah | Cersil Sakti | Penunggu Jenazah pdf

Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga

r. Lewat
  pekarangan sempit berpintu pagar kecil ia melihat
  bayangan sesuatu dalam gelap. Sebentuk kereta yang
  aneh. Dengan seekor kuda yang berdiri di atas
  keempat kaki-kakinya yang kukuh, dengan kepala
  tegak, memandang ke arah rumah. Parjo tak dapat
  melihat sinar mata kuda itu dalam kegelapan, namun
  ia bisa menangkap suara mendengusnya yang keras
  dan kering. Tak jauh dari kereta, sesosok makhluk
  berbaring di atas tanah berumput. Juga dengan kepala
  tegak memandang ke arah rumah. Sinar matanya
  tampak samar-samar membentuk sepasang bintik-
  bintik kecil berwarna kuning kemerahan.
  "Anjing..." desis Parjo kecut, seraya menutupkan pintu
  buru-buru.
  Berderak bunyinya, karena tergesa-gesa.
  Sementara yang lain termasuk Parjo duduk kembali di
  tempat masing-masing, Kurdi masuk ke ruang dalam
  ditemani oleh tuan rumah. Lewat tirai gorden yang
  terbuka sebagian waktu mereka masuk, kedua orang
  itu berjalan pelan-pelan ke tengah ruangan yang
  diterangi lampu bervoltase kecil. Di antara perabotan-
  perabotan yang disingkirkan ke tepi, tergelar tikar
  Iebar di atas mana digelarkan sebuah kasur ukuran
  kecil. Selendang batik dari harga murahan menutupi
  sesosok tubuh mulai dari ujung kaki sampai ke ujung
  rambut.
  Meskipun lampu ruang tengah cukup untuk menyinari
  mayat itu, di sekelilingnya masih dipasang lilin-lilin
  yang tinggal puing-puingnya saja lagi, menyala lemah.
  Bau menyan campur baur dengan bunga rempah-
  rempah di dekat kepala mayat.
  Setelah kumat kamit sebentar, Pak Kurdi memerintah:
  "Bukalah."
  Orangtua itu berjongkok, lalu dengan tangan gemetar
  pelan-pelan ia menyingkapkan ujung kain yang
  menutupi bagian kepala. Pelan-pelan pula wajahnya
  ia tolehkan ke arah lain, dengan mata yang terpejam.
  Didekatnya, tamu bermuka pucat itu memandang
  kebawah dengan mata terbuka lebar. Mula-mula ia
  melihat rambut yang ikal, panjang bergerai, lebat dan
  hitam. Disusul oleh dahi yang rekah di bagian pelipis,
  meninggalkan bengkak berwarna merah kebiru-
  biruan. Di bawah alis tipis, lentik dan bagus
  bentuknya, sepasang mata tampak melotot diantara
  kelopak-kelopak yang hancur bercampur darah
  mengering.
  "... terus!" sungut Kurdi waktu gerakan tangan yang
  membuka kain penutup agak tersendat.
  Orang tua itu terkejut, lantas menyingkapkan kain
  selendang sekaligus sehingga wujud mayat itu
  tampak lebih jelas.
  Orang-orang yang berada di ruang depan sama-sama
  menarik nafas lantas sama-sama pula memalingkan
  muka dari arah ruang tengah. Orangtua yang
  berjongkok di sebelah Kurdi, mulai menangis.
  Tersendat-sendat. Di antara suara tangisnya ia
  berkata.
  ".... anak malang. la... ia.... "
  Kurdi manggut-manggut. Bergumam:
  "Ya. Ya. Aku maklum. Aku belum mengenal menantu
  bapak ini. Kalaupun ia pernah bertemu denganku, ia
  tak akan kukenali kembali. Wajahnya begitu rusak.
  Boleh dikata anggota-anggota tubuhnya hampir
  hancur. Anak malang! Hem. Apa yang menyebabkan
  ia mati dalam keadaan sedemikian rupa, Pak Marto?"
  Orangtua yang sudah ubanan itu sesenggukan.
  "... nekad!" jawabnya. "Ningsih nekat. Tak bisa
  menahan diri. Kami tidak tahu mengapa ia tiba-tiba
  menghilang tadi siang dari rumah, lalu sore hari ada
  orang mengabari bahwa... bahwa ia... ia..." Pak Marto
  tiba-tiba berteriak histeris:
  "Mengapa, Ningsih? Mengapa? Mengapa kau lakukan
  itu, anakku? Mengapa?"
  "Apa yang ia lakukan, Pak Marto?"
  "la... oh!" orangtua itu menahan sedu sedannya.
  Suara berat Pak Kurdi memberikan pengaruh aneh
  pada dirinya. "la bunuh diri!"
  "Bunuh diri?"
  "Ya. Terjun ke rel pada saat kereta api barang lewat....
  Aduh! Orang itu bilang... ada yang melihat.... melihat
  Ningsih berdiri begitu lama di pinggir rel. Mula-mula
  disangka mau menyeberang, sampai kereta itu
  datang dan Ningsih tiba-tiba berlari ke arah maut itu
  datang. la tak sempat terjun ke tengah-tengah rel
  ketika tubuhnya disambar oleh lokomotip dan.... "
  Kurdi manggut-manggut lagi. Dalam.
  "la terhempas ke pinggir rel, begitu? Orang yang
  menjemputku ke rumah telah menceritakannya
  padaku. Sangat tergesa-gesa, sehingga aku tidak
  mendengar seluruh kejadiannya...."
  "Ia mati seketika, Kurdi. Lalu kami buru-buru ke sana,
  dan...."
  "Tentu. Tetapi yang ingin kutanyakan, mengapa ia
  melakukannya?"
  Orangtua itu tertengadah, memandangi tamu asing
  itu. Matanya tampak tidak senang.
  "Anakku telah mati," sungutnya, dingin. "Tak sempat
  kami kuburkan hari ini. Lalu kau kami panggil untuk
  menjaganya. Itu saja. Jadi..."
  Seraya geleng-geleng kepala, Kurdi bergumam:
  "Lihatlah pandangan matanya. la mati penasaran.
  Karena itulah aku kalian panggil, Pak Marto!" Kurdi
  tersenyum renyah. Dan erang kaku:
  "Kalian penakut!"
  "Nak...."
  "Kalian penakut. Karena kalian merasa bersalah, kalian
  jadi penakut!"
  Berkata demikian, sepasang mata Kurdi berkilau-
  kilauan di wajahnya yang pucat. Pak Marto
  terbungkam, lalu merundukkan kepala dengan patuh,
  seolah-olah mengakui tuduhan yang dilemparkan
  padanya.
  "Perempuan ini punya kamar sendiri?" tanya Kurdi
  kemudian.
  Orangtua itu manggut-manggut.
  "Tidak bisakah kalian memberi penghormatan
  padanya barang sedikit? Baringkanlah anak bapak di
  atas ranjangnya sendiri!"
  Pak Marto memandang Kurdi dengan heran. Matanya
  beradu dengan sepasang mata yang bersinar ganjil.
  Dengan kecut, Pak Marto bangkit lalu memanggil
  orang-orang di ruang depan.
  Bersama-sama mereka masuk ke dalam. Enggan.
  Bersama-sama pula mereka pindahkan mayat yang
  sudah rusak wajah dan bagian-bagian tubuhnya itu
  ke kamar tidur. Teramat enggan. Selesai melakukan
  tugasnya orang-orang itu cepat-cepat berlalu ke ruang
  depan. Kepada Parjo yang duduk termangu tanpa ikut
  masuk ke dalam, orang-orang itu pamit. Tak lama
  kemudian Pak Marto menyusul. la menggamit Parjo,
  mengajaknya ke luar seraya menjelaskan:
  "Orang itu minta dibiarkan sendirian. la ada di kamar
  tidur bersama mayat isterimu."
  ***
  Wajah Kurdi yang pucat diam tak bergerak-gerak
  setelah ia mengambil tempat duduk di sebuah kursi
  dekat kepala tempat tidur. Dihadapannya, terbaring
  mayat yang baru saja dipindahkan dari ruang tengah.
  Bagian-bagian wajah yang masih utuh tampak lebih
  pucat lagi. Di beberapa tempat malah sudah kebiru-
  biruan, demikian pula sebahagian lehernya yang
  jenjang.
  Seraya bibirnya yang kering kumat-kamit membaca
  mantera, perlahan-lahan Kurdi membungkukkan
  badannya ke depan. Kain selendang yang menutupi
  mayat itu ia singkapkan seluruhnya. Mata Kurdi
  terpejam. Mulutnya kumat-kamit lebih cepat.
  Terkadang disertai keluhan-keluhan berat dan rintihan-
  rintihan seperti kesakitan. Waktu ia buka matanya
  kembali, dua berkas sinar hijau kemerah-merahan
  membersit dari sepasang mata Kurdi, menatap
  langsung ke arah di mana seharusnya terletak
  sepasang mata di wajah mayat yang sudah rusak itu.
  Tubuh Kurdi mulai bergetar. Keringat sebesar jagung
  membercik dari jidatnya waktu pelan-pelan ia
  berbisik:
  ".... kembalilah. Kembalilah kau. wahai arwah yang
  telah pergi!"
  Sepi sejenak.
  Kurdi menggeram. "Kubilang, kembalilah! Aku tahu
  kau masih gentayangan di sekitar jasadmu. Kau
  belum tiba di padang yang semestinya, karena kau
  tak rela. Kembalilah, arwah yang telah hilang,
  kembalilah!"
  Sosok tubuh yang hampir hancur di atas kasur
  bergerak sedikit. Hanya sedikit.
  "Jangan enggan. Kembalilah!" Kurdi membentak
  dengan suara kesal.
  Tiba-tiba, gelembung-gelembung payudara di tubuh
  perempuan telanjang yang sudah menjadi mayat itu,
  naik turun dengan gerakan-gerakan lambat mula-
  mula, lantas makin lama makin kencang, lambat lagi,
  kencang kembali dan setelah helaan nafas berat
  terluncur dari bibir pecah-pecah yang sebagian sudah
  somplak dagingnya sehingga tampak beberapa buah
  gigi bertonjolan ke luar, gerakan naik turun dada
  mayat itu mulai teratur. Tanda-tanda kehidupan sudah
  terlihat nyata, biarpun anggota-anggota tubuh lainnya
  masih diam, tidak bergerak-gerak. Orang-orang yang
  telah memandikan mayat itu senja hari-harinya
  tampaknya tergesa-gesa atau demikian ketakutan
  sehingga pekerjaan mereka tidak sempurna. Darah
  kering masih melekat di bahu yang bengkak
  kebiru-biruan. Juga dipertengahan lengan kanan yang
  hampir putus. Lutut kanan yang pecah, letaknya
  menyimpang. Mungkin tidak ada yang teringat untuk
  membetulkannya. Mungkin pula karena tulang-tulang
  lutut itu sudah hancur berantakan sehingga sukar
  membetulkannya dalam posisi semula.
  "Anak malang!" desah Kurdi. Serak. Ia menelan ludah.
  Dan:
  ".... mereka benar-benar menterlantarkan engkau.
  Tentu kau begitu penasaran, bukan?"
  Helaan nafas berat keluar dari mulut mayat yang
  rusak itu. Dadanya bergelombang. Cepat. Seperti
  marah.
  "Tidak!" gumam Kurdi seraya menyeringai. "Aku tidak
  bermaksud menyakiti dirimu."
  Wajah mayat yang rusak itu, terangkat dari bantal.
  Sekejap cuma, karena kemudian terhempas kembali
  dengan keras.
  Kurdi tertawa kecil.
  "Tulang lehermu patah? Nah. Jadi, diamlah. Kau tidak
  bisa bergerak. Kau akan menurut segala perintahku.
  Sekarang jawablah. Siapa namamu, anak manis?"
  Helaan nafas dari mulut mayat berubah jadi desau
  angin.
  Sayup-sayup terdengar suara memelas. S uara seorang
  perempuan. Setengah marah. setengah menangis.
  "... Marni..."
  "Umurmu?"
  ".... buat apa... kau tahu?"
  "Harus kuketahui yang sekecil-kecilnya mengenai
  mayat-mayat yang kutunggui."
  "... tiga puluh tahun, dua bulan dan... dan...."
  "Cukup. Tak usah kau sebutkan harinya. Lahirmu?"
  "Ya?"
  "Siang? Atau malam?"
  "... senja."
  "Patut. Patut matimu penasaran. Orang yang lahir
  senja hari seperti kau, umumnya berhati penasaran.
  Apa yang terjadi pagi? Mengapa begitu cepat
  datangnya malam? Kau tak tahu. Karena kau lahir
  senja hari lalu kau ingin tahu. ltulah sifatmu yang
  lebih menonjol dari silat-sifat lain. Sangat penasaran,
  serba ingin tahu, dan tidak sabaran!"
  Dada mayat itu berbuncah-buncah.
  Kurdi memperhatikannya. Dan mulutnya tersenyum
  senang.
  "Sifat jelek itulah yang menyebabkan kematianmu.
  Benar, bukan?"
  Suara sayup-sayup itu bersungut-sungut kini:
  "He-eh. Lantas apa perdulimu?"
  Kurdi angkat bahu.
  "Sudahi pertanyaan-pertanyaanmu, manusia terkutuk.
  Sudahilah aku sangat lelah dan kesakitan..." Tubuh
  mayat itu bergerak-gerak kekiri kanan menyertai
  permintaannya yang teramat memelas. "Aku telah
  memenuhi panggilanmu. Karena itu, sudahilah siksaan
  ini. Cukuplah sudah siksaan yang kuterima menjelang
  saat-saat terakhir hidupku. Jangan tambah-tambah
  lagi... Hentikan, hentikan, kau manusia pengabdi
  setan. Aku telah datang. Kau tentunya puas, pengabdi
  setan. Karena itu, katakanlah sekarang. Maukah kau
  menolongku."
  Kurdi menyeringai lebar. "Tentu," sahutnya.
  "Bangkitkan aku kembali. Bangkitkan aku, untuk
  membalas sakit hatiku!"
  "Sakit hati? Pada siapa kau sakit hati?"
  "Perempuan laknat itu!"
  Alis mata Kurdi yang berbentuk golok. menyipit. "Kau
  dimadu?"
  "Ya. Aku dimadu. Haram jadah benar, aku dimadu.
  Perempuan laknat itu telah merenggut
  kebahagiaanku. Merenggut cintaku. Merenggut
  suamiku. Kemudian merenggut hidupku!"
  "la tak bersalah apa-apa terhadapmu," Kurdi
  keberatan. "Tak patut aku libatkan dirinya, siapapun
  juga perempuan itu...."
  "Tolonglah," suara sayup-sayup itu berubah jadi jeritan
  sayup-sayup. "Tolonglah. Kau bangkitkan aku dan
  biarkan aku yang melakukannya. Kau tak usah turun
  tangan!"
  "Hem. Caranya?"
  "Lewat tangan suamiku!"
  "Tetapi...."
  "Demi setan yang kau puja, tolonglah aku!"
  Kurdi mengeluh. Lalu terdiam. Lama.
  "Bagaimana? Bersediakah kau?"
  Lama pula baru Kurdi m

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>