Cerita Romantis | Seducing Cinderella | by Gina L. Maxwell | Seducing Cinderella | Cersil Sakti | Seducing Cinderella pdf
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
ka. Reid tak sabar menunggu.
Kemudian hal itu menyadarkannya. Tak banyak waktu yang tersisa untuk bercinta dengan Lucie. Berdasarkan jadwal mereka, Lucie dan Reid hanya memiliki beberapa waktu lagi untuk bersama, maksimal. Kenyataan itu menghantam Reid layaknya pukulan ke solar plexus, hampir membuat Reid pingsan.
Jangan pikirkan hal itu sekarang. Reid tak ingin apapun mengganggu waktu berharga yang ia miliki dengan Lucie. Reid akan membuat tiap detiknya berharga hingga bel terakhir dibunyikan.
"Sesuai keinginan anda, tuan putri."
Satu kancing lainnya terbuka, bersamaan dengan tawa hangat Lucie. "Aku suka film itu. Jadi sekarang kau adalah farm boy-ku, begitu kah?" Reid menaik-naikan satu alisnya sebagai jawaban membuat Lucie terkiki lagi, tapi kemudian Lucie menggerakkan kepalanya ke samping dan berekspresi tenang kembali. "Kau tahu, semanis dan seheroik Wesley, aku tak bisa membuat diriku sendiri berpura-pura kau adalah orang lain." Kancing terakhir yang menyatukan kemeja itu, tergelincir dari lubangnya dan kemeja itu terbuka menunjukkan payudara Lucie yang sempurna. "Kau, Reid Andrews, adalah yang kuinginkan."
Meskipun otaknya mencoba untuk berkata bahwa yang Lucie maksud adalah disini dan saat ini-karena bukanlah rahasia siapa yang Lucie inginkan sebenarnya selama ini-Reid tak bisa menghentikan jantungnya berdetak kencang seakan melompat dari dadanya.
"Itu bagus, Luce. Karena kau adalah yang kuinginkan juga." Sekarang dan setiap hari setelahnya.
Sialan, Reid harus berhenti berpikir seperti itu. Reid harus berhenti berpikir panjang dan membiarkan dirinya bebas untuk saat itu. Untuk wanita yang ia miliki saat itu.
"Mmm," Lucie mengerang saat ia memainkan puting di antara jempol dan jari telunjuknya. "Seberapa besar?"
Mata pria itu melekat pada payudara Lucie saat gadis itu melanjutkan memainkan dan memanjakan payudaranya. "Seberapa besar apanya?" katanya serak.
Lucie bersender di dinding. Satu tangan turun keperutnya yang rata menuju kemaluannya dan mengelus kain biru nan tipis disana. "Seberapa besar kau menginginkanku?"
Seluruh tubuh Reid bergetar karena menahan tubuhnya tetap berada di tempat. Tangannya mengepal karena rasa gatal untuk menyentuh kulit Lucie yang lembut. Mulut Reid berair karena memikirkan menghisap tonjolan dipayudaranya dan menjilati cairan di antara kakinya.
Menarik celana dalam itu ke samping Lucie menggunakan tangannya yang lain untuk mengelus bibir lembut kemaluannya, menyisipkan satu jari diantaranya untuk menyentuh pusat basah. Lucie terlihat seperti keluar dari mimpi basah Reid. Pantat yang bertengger di pinggir kuris dan bersandar dengan bahu yang menekan dinding. Kemejanya terbuka dan tergantung dibahunya dengan rambut yang terbagi di sisi lehernya. Dan kaki jenjang Lucie terbuka lebar, tertumpu pada tumitnya, sementara jemarinya mengeksplor surga dunia bagi Reid.
"Sangat ingin." Suara Reid lebih rendah dari biasanya dan Reid menyadari suara itu lebih terdengar seperti geraman. Wanita itu mengeluarkan sisi binatang Reid lebih dari wanita lainnya.
Jari tengah Lucie dimasukkan ke dalam, matanya menutup dan punggungnya melenting bersamaan dengan gerakan memutar yang jarinya lakukan. Saat Lucie mengeluarkan jarinya, tubuhnya kembali rileks dan matanya berkedip terbuka. Kemudian Lucie menatap Reid dengan pandangan genit sembari membawa jari itu kemulutnya dan melumasi bibir bawahnya dengan cairannya sendiri.
Reid mendengar raungan keras dan membutuhkan waktu satu detik baginya untuk menyadari bahwa raungan itu berasal dari dalam dirinya sendiri.
"Seberapa ingin?" Lucie bertanya sebelum menjilat bibirnya dengan ujung dari lidah raspberry-nya.
"Sangat ingin hingga terasa menyakitkan." Reid melirik kejantanannya yang sudah tegang lagi dengan begitu cepat setelah Lucie membuatnya orgasme dengan mulutnya, kemudian kembali melihat pada Lucie. "Secara harafiah."
Senyuman menggoda terkuak di wajah Lucie. "Kalau begitu kemarilah dan tangkap aku, tampan."
Reid bergerak secapat yang ia lakukan di octagon, membuat jarak beberapa kaki di antara mereka terasa seperti hanya beberapa inchi. Tangan Reid menyusup ke dalam rambut Lucie di sisi lain wajahnya dan ia membungkuk untuk menaklukkan bibir Lucie dan menghisap sisa-sisa yang Lucie tinggalkan dibibirnya.
Ciuman mereka tidaklah pelan ataupun lembut, tapi dalam dan dahsyat, secara konstan merubah posisi saat mereka menikmati satu sama lain.
Akhirnya Reid melepaskan mulutnya dari mulut Lucie untuk bersimpuh di antara kakinya. Reid menarik tangannya ke bawah tubuh Lucie hingga mereka mencapai kedua payudaranya yang sempurna dimana kedua tangan itu mulai menangkup dan meremas dan mencubit putingnya yang membengkak, membuat Lucie menggeliat di kursi dan napasnya semakin cepat.
"Kau sangat indah," kata Reid, sesaat sebelum ia menutup mulutnya di sekitar puting yang mengeras dan menghisapnya keras.
Lucie merintih dan memegangi kepala Reid, kukunya menggores kulit kepalanya melewati rambut Reid yang pendek, mencoba untuk menariknya lebih dekat. Reid meletakan tangannya di punggung Lucie, memegangin ya agar tak terjatuh. Bergantian satu dengan lainnya, R eid mencium bagian itu sama seperti ketika ia mencium mulut Lucie, dengan lidah menjilat, gigi yang menyentuh kulit, bibir menghisap.
"Oh, Tuhan, Reid..."
Perut Lucie menekan dada Reid dengan kakinya yang mengait di punggung Reid tepat di bawah tangan Reid. Dan diantaranya, pinggul lucie menempelkan kemaluannya yang panas di otot Reid, mencari-cari orgasme.
Reid mencium jalannya ke atas tubuh Lucie, menguak suara erotis dari dalam tenggorokan wanitanya. Menyematkan satu ciuman terakhir tepat di atas jantung Lucie, Reid mengangkat kepalanya dan menemukan Lucie sedang menatapnya dengan Tatapan Itu-tatapan yang memberi isyarat pada seorang pria ketika seorang wanita meninggalkan Kota Mari Bersenang-Senang dan berjalan lurus menuju Mari Pilih China Town-tertulis di seluruh wajahnya yang cantik.
Normalnya, Tatapan Itu membuat Reid melupakan keperluan yang mendesak dan berlari ke arah sebaliknya. Reid menyampirkan rambut Lucie ke belakang telinganya dan memperlajari ekspresi Lucie untuk beberapa saat, menunggu untuk respon familiar untuk melaju lebih jauh. Tapi semua yang Reid rasakan adalah keinginan untuk memeluknya erat. Kebutuhan untuk bercinta dengan Lucie hingga otot terasa lelah dan memaksa mereka beristirahat.
Itu adalah saat yang Reid maksud, Reid tahu bahwa meskipun ia memiliki janji sungguhan, ia akan mengabaikannya hanya untuk tetap tinggal bersama Lucie. Itu adalah saat dimana ia tahu bahwa ia mencintai Lucie.
"Reid?" kata Lucie lembut. "Kau menatapku dengan aneh."
"Benarkah?"
Lucie mengangguk.
Reid melepas kaosnya, kemudian mengangkat Lucie dengan tangannya saat ia berdiri dan berjalan ke arah tempat tidur. Setelah Lucie diletakkan di tengah tempat tidur, Reid memanjat ke atas ke samping Lucie dan meletakkan satu tangan ke bawah kepalanya sementara tangannya yang lain menggambar pola sederhana di atas tubuh Lucie. "Aneh bagaimana?"
"Aku tak yakin. Aku bahkan belum pernah melihat tatapan itu sebelumnya."
Napas Lucie menjadi lebih dalam dan putingnya mencuat saat Reid memainkan jemarinya di sekitar bukit lembut payudaranya. "Aku tak yakin ada sembarang orang yang pernah melihat tatapanku itu...tapi kau bukan sembarang orang, benar kan?" Reid mengecup bahu Lucie dan mengangkat kepalanya untuk melihat alis mata Lucie yang membeku dan bibir bawahnya yang terpenjara di antara giginya. "Kau spesial. Kau tahu itu kan, Lucie?"
Lucie tersenyum dan mengangguk.
Lucie berbohong.
Senyumannya adalah salah satu senyuman yang paling sedih yang pernah Reid lihat dan itu membunuhnya karena ia tahu Lucie masih merasakan ketidakamanan. Ketidakamanan yang tidak ada urusan dengan seorang wanita yang luar biasa seperti Lucie.
Reid menganggap itu sebagai hinaan pribadi. Satu hinaan yang akan ia benahi.
***
Sebelumnya, ketika Lucie sedang menunggu Reid pulang ke rumah dengan gelisah, Lucie sudah membuat keputusan. Tak akan lagi ia mengabaikan apa yang ada didepannya hanya karena teori kecocokan yang menggelikan yang didasarkan oleh hubungan yang gagal. Itu adalah saat untuk jujur dengan dirinya sendiri jujur pada Reid dan memeluk perasaan yang sebenarnya untuk pria yang mengenalnya lebih dari pria lain.
Dan waktunya adalah sekarang.
Reid memperhatikan Lucie dengan intensitas yang tak pernah Lucie sadari. Mata Reid, lingkaran berwarna hijau lumut dengan campuran warna topaz, menatap ke dalam mata Lucie. Insting Lucie begitu kuat untuk mengalihkan pandangannya, untuk melindungi dirinya sendiri bukan hanya untuk melawan Reid, tapi untuk melawan apa yang ia rasakan pada pria itu. Itu semua karena insting yang dia pegang teguh...dan membiarkan Reid masuk.
Lucie bergetar pelan saat ia berbaring di sana, jantung dan jiwanya terekspos pada seorang pria dengan kekuatan yang dapat menghancurkan keduanya. Tak pernah ada keraguan bahwa Lucie mencintainya, tidak saat ia merasa begitu peka, begitu takut.
Kulit tebal di ujung jemari Reid mengelus pipi Lucie sebelum masuk ke dalam rimbunan rambutnya. Wajah tampannya hanya beberapa inchi jauhnya dari wajah Lucie namun rasanya seperti bermil-mil jaraknya.
"Sayang, kau gemetar," Reid berbisik.
"Tidak, aku tidak gemetar."
Reid tersenyum sembari menyundul pipi Lucie dengan hidungnya dan mengecup rahangnya. "Yeah, kau gemetar. Jangan khawatir...Aku akan mengurusmu."
Sebelum otak Lucie bingung akan yang di maksud oleh Reid tentang mengurusnya selama enam puluh menit atau enam puluh tahun dari saat itu, Reid sudah mengklaim bibir Lucie dalam ciuman yang sangat sensual abad itu dan menghancurkan segala harapan aktifitas otaknya selama beberapa saat ke depan.
Bibir Reid bergerak di atas bibir Lucie, mengeksplor lekukan dan kontur, giginya mengigit lembut, merasakan penuhnya bibir bawah Lucie, dan lidahnya menelusuri lekukan dalam bibir atas Lucie. Setiap kali lidah Lucie bergerak maju, Reid mundur, tak membiarkan Lucie berpartisipasi dengannya. Berkali-kali Lucie mencoba untuk membalas ciuman Reid, tapi dengan ahli Reid menghindari usaha Lucie sambil melanjutkan eksplorasinya.
Frustasi dan gairah seksual meningkat di dalam intiya. Tangan Lucie memegangi kepala pria itu untuk menahannya di tempat dan Lucie menghadiahkannya dengan ciuman yang begitu dalam. Lucie mengerang, merasakan dirinya sendiri di lidah Reid. Sebelum Reid, Lucie tak pernah tahu betapa nikmat yang seorang pria dapat berikan pada kemaluannya. Dan Lucie tak pernah berimajinasi betapa ia sangat suka mencium Reid setelah ia melakukan hal itu.
Kemenangan kecil Lucie tak bertahan lama. Setelah beberapa saat, Reid memegang kedua pergelangan tangan Lucie dan menahannya di matras di atas kepalanya sembari Reid bergerak ke atas Lucie. Pinggul Reid ditempatkan di tengah paha Lucie, ereksinya yang besar meringkuk di antara lipatannya.
Reid merundukkan kepalanya untuk mengecup leher Lucie dan membuat jalur dengan jilatan menuju telinganya. Reid mengigit lembut telinga Lucie dan menghisapnya untuk menghilangkan rasa sakit yang ditimbulkan. Melepaskannya, kemudian Reid berbicara, napasnya yang hangat menyapu lembut rambut Lucie. "Lucie, sayang, kau membuatku gila, kau tahu itu? Kau tak tahu seberapa berat aku mengontrol diriku sendiri agar tidak menyetubuhimu dengan kasar layaknya pria gila."
Lucie melentingkan tubuhnya, mendukung Reid. "Tak perlu menahan diri. Setubuhi aku," Lucie memohon.
Menaikkan tubuhnya ke atas untuk melihat ke dalam mata Lucie, Reid berkata, "Oh, tentu aku akan melakukannya. Tapi kali ini aku akan menikmati tiap momen yang terjadi. Aku akan menikmati waktuku dalam menyayangimu malam ini."
Lucie membuka mulutnya untuk berargumen saat Reid memposisikan pinggulnya, memasukkan ereksinya hingga menyentuh dan menggosok klitoris Lucie, dan argumen wanita itu berubah menjadi erangan nada tinggi.
"Tak boleh bicara. Hanya merasakan." Reid mengulangi gerakan itu, membuat Lucie melihat bintang-bintang. "Mengerti?"
Lucie mengangguk. Dia akan menyetujui apapun selama Reid tetap melakukan gerakan itu padanya.
Reid mencium ke bawah tubuh Lucie, meninggalkan jejak basah di atas payudaranya, turun ke bawah rusuknya, dan melewati perutnya. Tangan Reid membuka paha Lucie lebar, membuka selebar-lebarnya. Lucie melirik tubuhnya sa
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
ka. Reid tak sabar menunggu.
Kemudian hal itu menyadarkannya. Tak banyak waktu yang tersisa untuk bercinta dengan Lucie. Berdasarkan jadwal mereka, Lucie dan Reid hanya memiliki beberapa waktu lagi untuk bersama, maksimal. Kenyataan itu menghantam Reid layaknya pukulan ke solar plexus, hampir membuat Reid pingsan.
Jangan pikirkan hal itu sekarang. Reid tak ingin apapun mengganggu waktu berharga yang ia miliki dengan Lucie. Reid akan membuat tiap detiknya berharga hingga bel terakhir dibunyikan.
"Sesuai keinginan anda, tuan putri."
Satu kancing lainnya terbuka, bersamaan dengan tawa hangat Lucie. "Aku suka film itu. Jadi sekarang kau adalah farm boy-ku, begitu kah?" Reid menaik-naikan satu alisnya sebagai jawaban membuat Lucie terkiki lagi, tapi kemudian Lucie menggerakkan kepalanya ke samping dan berekspresi tenang kembali. "Kau tahu, semanis dan seheroik Wesley, aku tak bisa membuat diriku sendiri berpura-pura kau adalah orang lain." Kancing terakhir yang menyatukan kemeja itu, tergelincir dari lubangnya dan kemeja itu terbuka menunjukkan payudara Lucie yang sempurna. "Kau, Reid Andrews, adalah yang kuinginkan."
Meskipun otaknya mencoba untuk berkata bahwa yang Lucie maksud adalah disini dan saat ini-karena bukanlah rahasia siapa yang Lucie inginkan sebenarnya selama ini-Reid tak bisa menghentikan jantungnya berdetak kencang seakan melompat dari dadanya.
"Itu bagus, Luce. Karena kau adalah yang kuinginkan juga." Sekarang dan setiap hari setelahnya.
Sialan, Reid harus berhenti berpikir seperti itu. Reid harus berhenti berpikir panjang dan membiarkan dirinya bebas untuk saat itu. Untuk wanita yang ia miliki saat itu.
"Mmm," Lucie mengerang saat ia memainkan puting di antara jempol dan jari telunjuknya. "Seberapa besar?"
Mata pria itu melekat pada payudara Lucie saat gadis itu melanjutkan memainkan dan memanjakan payudaranya. "Seberapa besar apanya?" katanya serak.
Lucie bersender di dinding. Satu tangan turun keperutnya yang rata menuju kemaluannya dan mengelus kain biru nan tipis disana. "Seberapa besar kau menginginkanku?"
Seluruh tubuh Reid bergetar karena menahan tubuhnya tetap berada di tempat. Tangannya mengepal karena rasa gatal untuk menyentuh kulit Lucie yang lembut. Mulut Reid berair karena memikirkan menghisap tonjolan dipayudaranya dan menjilati cairan di antara kakinya.
Menarik celana dalam itu ke samping Lucie menggunakan tangannya yang lain untuk mengelus bibir lembut kemaluannya, menyisipkan satu jari diantaranya untuk menyentuh pusat basah. Lucie terlihat seperti keluar dari mimpi basah Reid. Pantat yang bertengger di pinggir kuris dan bersandar dengan bahu yang menekan dinding. Kemejanya terbuka dan tergantung dibahunya dengan rambut yang terbagi di sisi lehernya. Dan kaki jenjang Lucie terbuka lebar, tertumpu pada tumitnya, sementara jemarinya mengeksplor surga dunia bagi Reid.
"Sangat ingin." Suara Reid lebih rendah dari biasanya dan Reid menyadari suara itu lebih terdengar seperti geraman. Wanita itu mengeluarkan sisi binatang Reid lebih dari wanita lainnya.
Jari tengah Lucie dimasukkan ke dalam, matanya menutup dan punggungnya melenting bersamaan dengan gerakan memutar yang jarinya lakukan. Saat Lucie mengeluarkan jarinya, tubuhnya kembali rileks dan matanya berkedip terbuka. Kemudian Lucie menatap Reid dengan pandangan genit sembari membawa jari itu kemulutnya dan melumasi bibir bawahnya dengan cairannya sendiri.
Reid mendengar raungan keras dan membutuhkan waktu satu detik baginya untuk menyadari bahwa raungan itu berasal dari dalam dirinya sendiri.
"Seberapa ingin?" Lucie bertanya sebelum menjilat bibirnya dengan ujung dari lidah raspberry-nya.
"Sangat ingin hingga terasa menyakitkan." Reid melirik kejantanannya yang sudah tegang lagi dengan begitu cepat setelah Lucie membuatnya orgasme dengan mulutnya, kemudian kembali melihat pada Lucie. "Secara harafiah."
Senyuman menggoda terkuak di wajah Lucie. "Kalau begitu kemarilah dan tangkap aku, tampan."
Reid bergerak secapat yang ia lakukan di octagon, membuat jarak beberapa kaki di antara mereka terasa seperti hanya beberapa inchi. Tangan Reid menyusup ke dalam rambut Lucie di sisi lain wajahnya dan ia membungkuk untuk menaklukkan bibir Lucie dan menghisap sisa-sisa yang Lucie tinggalkan dibibirnya.
Ciuman mereka tidaklah pelan ataupun lembut, tapi dalam dan dahsyat, secara konstan merubah posisi saat mereka menikmati satu sama lain.
Akhirnya Reid melepaskan mulutnya dari mulut Lucie untuk bersimpuh di antara kakinya. Reid menarik tangannya ke bawah tubuh Lucie hingga mereka mencapai kedua payudaranya yang sempurna dimana kedua tangan itu mulai menangkup dan meremas dan mencubit putingnya yang membengkak, membuat Lucie menggeliat di kursi dan napasnya semakin cepat.
"Kau sangat indah," kata Reid, sesaat sebelum ia menutup mulutnya di sekitar puting yang mengeras dan menghisapnya keras.
Lucie merintih dan memegangi kepala Reid, kukunya menggores kulit kepalanya melewati rambut Reid yang pendek, mencoba untuk menariknya lebih dekat. Reid meletakan tangannya di punggung Lucie, memegangin ya agar tak terjatuh. Bergantian satu dengan lainnya, R eid mencium bagian itu sama seperti ketika ia mencium mulut Lucie, dengan lidah menjilat, gigi yang menyentuh kulit, bibir menghisap.
"Oh, Tuhan, Reid..."
Perut Lucie menekan dada Reid dengan kakinya yang mengait di punggung Reid tepat di bawah tangan Reid. Dan diantaranya, pinggul lucie menempelkan kemaluannya yang panas di otot Reid, mencari-cari orgasme.
Reid mencium jalannya ke atas tubuh Lucie, menguak suara erotis dari dalam tenggorokan wanitanya. Menyematkan satu ciuman terakhir tepat di atas jantung Lucie, Reid mengangkat kepalanya dan menemukan Lucie sedang menatapnya dengan Tatapan Itu-tatapan yang memberi isyarat pada seorang pria ketika seorang wanita meninggalkan Kota Mari Bersenang-Senang dan berjalan lurus menuju Mari Pilih China Town-tertulis di seluruh wajahnya yang cantik.
Normalnya, Tatapan Itu membuat Reid melupakan keperluan yang mendesak dan berlari ke arah sebaliknya. Reid menyampirkan rambut Lucie ke belakang telinganya dan memperlajari ekspresi Lucie untuk beberapa saat, menunggu untuk respon familiar untuk melaju lebih jauh. Tapi semua yang Reid rasakan adalah keinginan untuk memeluknya erat. Kebutuhan untuk bercinta dengan Lucie hingga otot terasa lelah dan memaksa mereka beristirahat.
Itu adalah saat yang Reid maksud, Reid tahu bahwa meskipun ia memiliki janji sungguhan, ia akan mengabaikannya hanya untuk tetap tinggal bersama Lucie. Itu adalah saat dimana ia tahu bahwa ia mencintai Lucie.
"Reid?" kata Lucie lembut. "Kau menatapku dengan aneh."
"Benarkah?"
Lucie mengangguk.
Reid melepas kaosnya, kemudian mengangkat Lucie dengan tangannya saat ia berdiri dan berjalan ke arah tempat tidur. Setelah Lucie diletakkan di tengah tempat tidur, Reid memanjat ke atas ke samping Lucie dan meletakkan satu tangan ke bawah kepalanya sementara tangannya yang lain menggambar pola sederhana di atas tubuh Lucie. "Aneh bagaimana?"
"Aku tak yakin. Aku bahkan belum pernah melihat tatapan itu sebelumnya."
Napas Lucie menjadi lebih dalam dan putingnya mencuat saat Reid memainkan jemarinya di sekitar bukit lembut payudaranya. "Aku tak yakin ada sembarang orang yang pernah melihat tatapanku itu...tapi kau bukan sembarang orang, benar kan?" Reid mengecup bahu Lucie dan mengangkat kepalanya untuk melihat alis mata Lucie yang membeku dan bibir bawahnya yang terpenjara di antara giginya. "Kau spesial. Kau tahu itu kan, Lucie?"
Lucie tersenyum dan mengangguk.
Lucie berbohong.
Senyumannya adalah salah satu senyuman yang paling sedih yang pernah Reid lihat dan itu membunuhnya karena ia tahu Lucie masih merasakan ketidakamanan. Ketidakamanan yang tidak ada urusan dengan seorang wanita yang luar biasa seperti Lucie.
Reid menganggap itu sebagai hinaan pribadi. Satu hinaan yang akan ia benahi.
***
Sebelumnya, ketika Lucie sedang menunggu Reid pulang ke rumah dengan gelisah, Lucie sudah membuat keputusan. Tak akan lagi ia mengabaikan apa yang ada didepannya hanya karena teori kecocokan yang menggelikan yang didasarkan oleh hubungan yang gagal. Itu adalah saat untuk jujur dengan dirinya sendiri jujur pada Reid dan memeluk perasaan yang sebenarnya untuk pria yang mengenalnya lebih dari pria lain.
Dan waktunya adalah sekarang.
Reid memperhatikan Lucie dengan intensitas yang tak pernah Lucie sadari. Mata Reid, lingkaran berwarna hijau lumut dengan campuran warna topaz, menatap ke dalam mata Lucie. Insting Lucie begitu kuat untuk mengalihkan pandangannya, untuk melindungi dirinya sendiri bukan hanya untuk melawan Reid, tapi untuk melawan apa yang ia rasakan pada pria itu. Itu semua karena insting yang dia pegang teguh...dan membiarkan Reid masuk.
Lucie bergetar pelan saat ia berbaring di sana, jantung dan jiwanya terekspos pada seorang pria dengan kekuatan yang dapat menghancurkan keduanya. Tak pernah ada keraguan bahwa Lucie mencintainya, tidak saat ia merasa begitu peka, begitu takut.
Kulit tebal di ujung jemari Reid mengelus pipi Lucie sebelum masuk ke dalam rimbunan rambutnya. Wajah tampannya hanya beberapa inchi jauhnya dari wajah Lucie namun rasanya seperti bermil-mil jaraknya.
"Sayang, kau gemetar," Reid berbisik.
"Tidak, aku tidak gemetar."
Reid tersenyum sembari menyundul pipi Lucie dengan hidungnya dan mengecup rahangnya. "Yeah, kau gemetar. Jangan khawatir...Aku akan mengurusmu."
Sebelum otak Lucie bingung akan yang di maksud oleh Reid tentang mengurusnya selama enam puluh menit atau enam puluh tahun dari saat itu, Reid sudah mengklaim bibir Lucie dalam ciuman yang sangat sensual abad itu dan menghancurkan segala harapan aktifitas otaknya selama beberapa saat ke depan.
Bibir Reid bergerak di atas bibir Lucie, mengeksplor lekukan dan kontur, giginya mengigit lembut, merasakan penuhnya bibir bawah Lucie, dan lidahnya menelusuri lekukan dalam bibir atas Lucie. Setiap kali lidah Lucie bergerak maju, Reid mundur, tak membiarkan Lucie berpartisipasi dengannya. Berkali-kali Lucie mencoba untuk membalas ciuman Reid, tapi dengan ahli Reid menghindari usaha Lucie sambil melanjutkan eksplorasinya.
Frustasi dan gairah seksual meningkat di dalam intiya. Tangan Lucie memegangi kepala pria itu untuk menahannya di tempat dan Lucie menghadiahkannya dengan ciuman yang begitu dalam. Lucie mengerang, merasakan dirinya sendiri di lidah Reid. Sebelum Reid, Lucie tak pernah tahu betapa nikmat yang seorang pria dapat berikan pada kemaluannya. Dan Lucie tak pernah berimajinasi betapa ia sangat suka mencium Reid setelah ia melakukan hal itu.
Kemenangan kecil Lucie tak bertahan lama. Setelah beberapa saat, Reid memegang kedua pergelangan tangan Lucie dan menahannya di matras di atas kepalanya sembari Reid bergerak ke atas Lucie. Pinggul Reid ditempatkan di tengah paha Lucie, ereksinya yang besar meringkuk di antara lipatannya.
Reid merundukkan kepalanya untuk mengecup leher Lucie dan membuat jalur dengan jilatan menuju telinganya. Reid mengigit lembut telinga Lucie dan menghisapnya untuk menghilangkan rasa sakit yang ditimbulkan. Melepaskannya, kemudian Reid berbicara, napasnya yang hangat menyapu lembut rambut Lucie. "Lucie, sayang, kau membuatku gila, kau tahu itu? Kau tak tahu seberapa berat aku mengontrol diriku sendiri agar tidak menyetubuhimu dengan kasar layaknya pria gila."
Lucie melentingkan tubuhnya, mendukung Reid. "Tak perlu menahan diri. Setubuhi aku," Lucie memohon.
Menaikkan tubuhnya ke atas untuk melihat ke dalam mata Lucie, Reid berkata, "Oh, tentu aku akan melakukannya. Tapi kali ini aku akan menikmati tiap momen yang terjadi. Aku akan menikmati waktuku dalam menyayangimu malam ini."
Lucie membuka mulutnya untuk berargumen saat Reid memposisikan pinggulnya, memasukkan ereksinya hingga menyentuh dan menggosok klitoris Lucie, dan argumen wanita itu berubah menjadi erangan nada tinggi.
"Tak boleh bicara. Hanya merasakan." Reid mengulangi gerakan itu, membuat Lucie melihat bintang-bintang. "Mengerti?"
Lucie mengangguk. Dia akan menyetujui apapun selama Reid tetap melakukan gerakan itu padanya.
Reid mencium ke bawah tubuh Lucie, meninggalkan jejak basah di atas payudaranya, turun ke bawah rusuknya, dan melewati perutnya. Tangan Reid membuka paha Lucie lebar, membuka selebar-lebarnya. Lucie melirik tubuhnya sa