Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Seducing Cinderella - 29

$
0
0
Cerita Romantis | Seducing Cinderella | by Gina L. Maxwell | Seducing Cinderella | Cersil Sakti | Seducing Cinderella pdf

Mahkota Cinta - Habiburrahman El-Shirazy Josep Sang Mualaf - Fajar Agustanto Namaku Izrail ! - Atmonadi Keluarga Flood - Tetangga Menyebalkan - Colin Thomphson Kumpulan Dongeng Anak


  Butch. Akhirnya suara yang menyadarkannya. Reid menepis beberapa tangan terakhir yang memeganginya dan pergi mengumpulkan barang-barangnya.
  "Andrews! di kantorku, sekarang."
  Reid berputar dan menatap pelatihnya. "Aku tidak butuh ceramahmu. menenangkanku. Mengerti, pesan diterima. Aku mau pulang."
  "Hey! Aku belum memberikanmu pesan yang harus kau terima. Bawa dirimu ke kantorku."
  Mengepalkan tangan dan mengeretakkan giginya, Reid berjalan ke arah kantor pelatihnya dan menjatuhkan dirinya di salah satu kursi tamu. Butch mengikutinya, menutup pintunya dan duduk di samping kursinya, membungkuk ke depan dengan siku di lututnya.
  "Apa sebenarnya yang sedang mengganggumu, nak?"
  "Aku tak tahu apa yang kau bicarakan," Reid berkata saat sambil bersedekap. Saat pria tua itu hanya menatapnya, ia menunjuk tangannya ke arah gym. "Aku mencoba fokus dalam pertarunganku dan mereka mengejekku tentang sesuatu. Mereka lebih tahu dari pada itu, Pelatih."
  "Aku melihat apa yang terjadi. Kau hampir memotong kepala Hardy dengan medicine ball."
  Reid memalingkan kepalanya, tidak dapat menatap mata biru langit milik lelaki tua itu. Ia tahu ia bertingkah seperti orang brengsek dan ia akan minta maaf pada Brian nanti tapi Reid tak tahu apa yang harus ia katakan.
  "Reid." Nada yang Butch gunakan padanya berkata bahwa ia akan menunggu seharian sampai Reid meberikan apa yang ia mau. Dengan helaan nafas men yerah ia mengalihkan perhatiannya kembali ke pelatihn ya. "Saat kau kembali dari Reno aku kagum dengan pe ningkatan kondisi fisikmu. Aku khawatir tanpa rutinitas normalmu kau akan menjadi lemah di tengah-tengah, t api kau melakukannya dengan baik dan kau kembali p ada kami sesehat kuda dan sekuat sapi jantan."
  "Tapi secara mental " Butch menggelengkan kepala dan berdecak beberapa kali. "Secara mental kau kembali dengan sedikit bersikap aneh, dan aku punya kecurigaan ini pasti berhubungan dengan fisioterapis wanita yang bersamamu. Apa aku benar?"
  Reid tidak tahu bagaimana menjawabnya atau dimana memulainya. Jadi ia tidak menjawab.
  "Oke, baik. Aku akan mengatakan yang kukira," kata Butch, bersandar dengan tangan terlipat di dadanya. "Kau jatuh cinta dengan gadis Miller itu, tapi kau memutuskan bahwa kau tidak cukup baik untuknya, jadi bukannya mengatakan apa yang kau rasakan tapi kau mungkin malah mengatakan atau melakukan sesuatu yang mengacaukannya sebelum kau kembali ke sini. Seberapa dekat perkiraanku?"
  Menekan kakinya, Reid menggeser tangan yang masih berada di wajahnya lalu mengaitkannya di belakang leher. "Tepat sekali."
  "Kupikir juga begitu," kata Butch, bangkit dari kursinya. "Jadi apa rencanamu?"
  Reid menjatuhkan tangannya dan menyipitkan mata pada pelatihnya. "Apa yang membuatmu berpikir aku punya rencana?"
  "Kau tak pernah pergi dalam pertarungan atau masalah tanpa rencana." Butch menaikan pinggulnya ke meja dan mengeluarkan permen mint lalu mengganti dengan rokok ke mulutnya. "Tapi jika caramu bertingkah sebagai indikasinya, rencanamu pastilah buruk."
  "Apa sebenarnya maksudmu?"
  "Seperti yang kubilang. Ketika kau punya keyakinan pada rencanamu kau tak akan bersikap berbeda seperti kau yang biasanya. Rencana kita pada pertarungan sangat kuat. Tapi kau tetap mengacaukannya. Ergo (Tapi) "
  Reid menaikkan alisnya. "Apa kau benar-benar berkata 'ergo'?"
  "Ya, aku mengatakannya, sok pintar ergo, rencanamu buruk."
  Reid tak dapat membantah logika pria itu. Dia benar. Saat Reid memiliki rencana yang bagus, tak ada yang dapat mengganggunya. Bukan trik menyesatkan yang dilemparkan lawan padanya di media, bukan cedera yang ia tahu bisa ia sembuhkan setelah pertarungan, tidak ada.
  "Rencanaku buruk karena aku tak punya satu pun. Tak peduli apapun yang kucoba aku tidak menemukan solusi untuk membuat kami bahagia."
  Butch menggosok janggutnya saat ia sedang memikirkan tentang...well, apapun yang sedang ia pikirkan. "Hmm. Ya, aku bisa melihat bagaimana itu bisa mengganggumu."
  Reid melangkah kearah jendela interior kantor dan menatap keluar pada segala hal yang telah menjadi bagian dalam hidupnya selama yang bisa ia ingat. Ring untuk bertarung, alas untuk bergulat, padded dummies (sasaran pukul buatan), samsak, angkat beban, dan mesin kardio. Perasaan ketidakacuhan menetap di tengah dadanya seperti beban berat. Ia merasakannya akhir-akhir ini saat masuk ke gym. Bahkan bukan bau yang familiar dan suara yang membawa ketertarikan seperti biasanya.
  Ia mengangkat bahu, merasakan ketegangan di bahunya. "Yang sudah ya sudah, Butch. Lucie tidak akan cocok dengan kehidupan ini. jika aku membawanya kedalamnya, ia akhirnya hanya akan pergi. Ia layak mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku. Lebih baik dari seorang petarung."
  "Oh,Tuhan." Butch kembali ke kursinya dan menunjuk satu kursi untuk Reid. "Duduklah." Terlalu lelah untuk berdebat, Reid melakukan seperti yang ia bilang. "Sekarang aku ingin kau mendengarkanku baik-baik. Aku yakin kau tahu sebelumnya, tapi aku tak pernah mengatakannya secara langsung, jadi begini: Kau tau aku danMartha tidak dapat memiliki anak sendiri. Sial, itulah kenapa ia seorang guru dan aku memutuskan untuk mengurus anak muda sepertimu."
  "Sekarang aku peduli pada semua petarungku jika aku tidak, mereka akan keluar dan mencari pelatih baru tapi kau sudah lama bersamaku, dan kau sudah seperti anakku sendiri. Dan tidak ada anakku yang punya citra diri sebegitu kacaunya. Itulah yang ayahmu katakan padamu, yang terjadi terjadilah, dan itu semua adalah omong kosong."
  "Butch, sebelum aku datang dia sudah setengah jatuh cinta pada ahli bedah ortopedi. Pria itu mengajaknya berkencan dan menginginkan lebih. Dia punya uang, tampang menarik, dan memiliki kesamaan dengannya.
  "Jadi?"
  "Jadi aku sudah datang sebagai pihak yang tidak diunggulkan! Dalam skema besar apa yang wanita cari dari seorang pria, Dr. brengsek itu menang telak."
  "Di atas kertas. Dia hanya menang di atas kertas, nak." Butch condong kedepan dan tersenyum. "Apa yang selalu kukatakan padamu, kartu truf apa yang harus dimiliki dalam setiap pertarungan?"
  Reid membalas tatapan tajam pelatihnya dan mulai melihat secercah cahaya diujung lorong panjang yang gelap dimana dia berada selama berminggu-minggu ini. "Hati. Setiap petarung dapat menang melawan rintangan apapun jika ia lebih memiliki hati dibanding lawannya."
  Butch menepuk bahunya dan duduk kembali dengan seringaian puas. "Tepat. Dan kau tidak hanya memiliki hati, nak, aku bertaruh kau juga akan mendapatkan gadis itu, jika kau menginginkannya. Tapi itu terserah padamu. Sekarang, pulang dan istirahatlah. Apapun yang kau putuskan kau masih tetap punya pertarungan besok dan aku ingin pikiranmu fokus atau kau akan kalah. Mengerti?"
  "Ya, Sir," jawabnya sambil berdiri. Saat ia membuka pintu pelatihnya memanggil namanya.
  "Apapun yang terjadi, aku disini untukmu. Semoga berhasil, nak."
  Itu terdengar normal. Setiap orang mendengar berapa kali dalam hidupnya. Tapi, ini seakan pertama kalinya Reid pernah mendengar kata-kata itu.
  Ia mencoba bicara atau berguman "terima kasih" pasti sudah cukup tapi tenggorokannya benar-benar tercekat, belum lagi matanya yang mulai berair. Sebelum ia benar-benar menangis ia memberi pelatihnya anggukan singkat dan menutup pintunya.
  ***
  Reid menduduki kursi secara terbalik dengan pergelangan tangan ditopang pada sandarannya saat Scotty membalut seputar tangan dan jarinya dengan perban atletik, menyiapkan pertarungannya dengan Diaz.
  Semalaman dan hampir seharian ia mencari tahu apa yang harus dilakukannya tentang situasinya dengan Lucie. Beberapa jam yang lalu ia sudah membuat keputusan. Keputusan yang tak bisa ia putuskan beberapa bulan yang lalu, tapi ketika Reid sudah mengambil keputusan dia jadi begitu tenang.
  Ketukan pintu terdengar dan Scotty menatap Reid. Beberapa petarung benci ada gangguan sebelum bertarung. Reid tak pernah menjadi orang yang butuh menenggelamkan diri dengan musik yang meledak ditelinganya saat ia melompat-lompat disekitar ruangan, mempersiapkan diri. Ia lebih seperti ular yang bersembunyi di rerumputan. Diam, sabar, dan intropeksif sampai pintu cage tertutup di belakangnya dan itulah saatnya untuk beraksi.
  Reid mengangguk kearah Scotty yang kemudian memanggil orang itu untuk masuk.
  Beranggapan bahwa itu salah satu rekan setimnya yang ingin nongkrong diruangan itu dengannya, ia tidak mendongak. Tapi pada saat suara pertama dari pria itu, kepala Reid mendongak saat melihat ayahnya berdiri di pintu masuk, meremas topi kotak-kotak di tangannya.
  "Hei," kata Stan sebelum membersihkan tenggorokannya. "Aku tak bermaksud mengganggumu, tapi aku hanya ingin kau tahu aku disini, jadi..."
  Scotty merobek gulungan plester dan mengencangkan ujungnya dengan beberapa tepukan keras. "Kau sudah siap, Andrews. Kau punya waktu kurang lebih setengah jam." Melirik ayah Reid, Scotty menambahkan, "Aku akan mengatakan pada timmu untuk menunggu di luar aula."
  "Terima kasih Scotty." Ia menunggu pintu tertutup sebelum berdiri dan melihat pria yang belum pernah datang dalam pertarungan profesional Reid sebelumnya. "Kenapa kau disini, Pop?"
  "Dengar, jika kau ingin aku pergi "
  "Bukan itu yang kumaksud. Aku hanya ingin tahu...kena pa baru sekarang?"
  Sikap defensif Stan terpancar darinya, bahunya agak membungkuk, matanya yang ada di bawah topi sangat tersiksa di tangannya yang menua. Setelah beberapa saat, laki-laki tua itu mendesah, menggosok belakang kepalanya dengan tangan, dan menatap Reid.
  "Saat ibumu pergi, aku merasa ia merenggut jantungku dan mebawa pergi bersamanya. Aku bertekad untuk tidak akan pernah mencintai siapapun lagi. Dan kurasa termasuk padamu." Dengan berat ia berjalan di salah satu sofa dan duduk. "Aku luar biasa marah padanya, dan melihatmu sama seperti..."
  Ia menggelengkan kepalanya seperti sedang bicara pada diri sendiri untuk tidak mengutarakan pikirannya, tapi terlihat jelas apa yang ingin diucapkannya. "Kurasa aku berpikir jika aku cukup keras padamu sampai kau membuktikan teoriku benar dan menyerah...sama seperti saat dia menyerah dengan kita."
  Reid menduduki kursi yang tadi dipakainya, takut bahwa tanpa dukungannya, ia akan jatuh karena syok. Tak pernah sekalipun ia berpikir akan pernah membicarakan hal ini dengan ayahnya. Meskipun Reid selalu mengira alasan kelakuan ayahnya, untuk mendengarnya secara langsung darinya hampir seperti mimpi.
  Kekuatan merembes di tubuh kekar ayahnya, dan dengan rahang terkatup dan mata coklatnya terkunci pada Reid, keteguhannya sangat terasa. "tapi apapun yang pernah kulakukan, kau tak pernah menyerah. Dan aku sangat menghormatimu karenanya."
  Reid menolak menyadari rasa menyengat dibalik matan ya, tapi itu lebih sulit untuk memecahkan es yang men gubur perasaan untuk ayahnya bertahun-tahun yang lal u. "Kurasa aku mendapatkannya dari ayahku dalam hal itu."
  Ayahnya menelan dengan susah dan berkedip beberapa kali sampai cairan yang menyelubungi matanya tidak ada lagi disana. Lalu ia berdiri dan memakai topinya yang sekarang sudah kusut di kepalanya. "Mungkin saat kau ada di kota, kita dapat minum bir atau apapun."
  Bersosialisasi dengan ayahnya? Ide itu mengherankan. Saat ia tidak menjawabnya, pria itu melangkah ke pintu berkata, "Atau tidak, terserah. Itu hanya ide "
  Reid berdiri dengan cepat dari kursi. "Aku menyukainya."
  Stan menarik pintu sedikit dan melihat ke belakang dengan sesuatu yang hampir seperti kelegaan, lalu menutupnya dengan anggukan kaku pada Reid. "Semoga berhasil malam ini."
  "Terima kasih, Pop."
  Reid tidak yakin sudah berapa lama ia berdiri sendiri di ruang itu setelah kepergian ayahnya, tapi mungkin sudah beberapa lama karena rekannya sudah masuk dan memberitahu bahwa ini waktunya memakai sarung tangan dan keluar.
  Berpikir bahwa ia pasti sedang tersesat kedalam suatu lamunan twilight zone, Reid berbalik ke salah satu temannya dan berkata, "Pukul aku." Ketika yang ia peroleh hanyalah alis yang terangkat sebagai balasan, Reid menepuk perutnya dengan kedua tangannya. "Ayolah!"
  Pria itu hanya mengangkat bahu dan memukul perutnya sekali. Ia sudah bersiap, tapi Adam memiliki pukulan sekeras palu godam jadi tetap saja membuat udara keluar dari paru-parunya. Tidak. Sungguh-sunggu h bukan mimpi. Menggosok perutnya, Reid bersungut-s ungut, "Terima kasih. Kurasa."
  "Kapanpun, man. Kau sudah siap?"
  Reid mengangguk dan menerima sarung tangan merah

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>