Cerita Misteri | Tangan Tangan Setan | by Abdullah Harahap | Tangan Tangan Setan | Cersil Sakti | Tangan Tangan Setan pdf
Mahkota Cinta - Habiburrahman El-Shirazy Josep Sang Mualaf - Fajar Agustanto Namaku Izrail ! - Atmonadi Keluarga Flood - Tetangga Menyebalkan - Colin Thomphson Kumpulan Dongeng Anak
Apabila ada nama, tempat kejadian
ataupun cerita yang bersamaan,itu hanyalah suatu kebetulan belaka.Cerita ini adalah fiktif
'TANGAN-TANGAN SETAN
Oleh: Abdullah Harahap
Diterbitkan oleh : Gultom Agency, Jakarta
Cetakan pertama : 1993
Setting : M. Yohandl.
Hak penerbitan :ada pada Gultom Agency
Dilarang memproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit
SATU
MALAM belum begitu larut. Baru sekitar pukul
sembilan lewat beberapa menit. Di ruang tengah
sebuah rumah kost untuk kaum bujangan. tiga
orang pemuda tengah asyik menekuni siaran
warta berita di televisi Demikian tercurah perhatian
mereka kelayar tivi, sehingga tak seorang pun
menyadari adanya perubahan sikap seekor kucing
belang jantan yang meringkuk di jok satu-satunya
kursi kosong di ruangan itu.
Semula si kucing belang tidur mendengkur.
lalu mendadak. sepasang matanya nyalang terbuka. Binatang rumah itu peian~pelan berdiri.
Moncongnya mengeluarkan suara menggeram,
sementara bulu-bulu tubuhnya pada berdiri tegak.
Matanya yang bening berwarna kehijau-hijauan
menatap liar ke arah sebuah kamar tidur yang
pintunya terbuka. Orang yang seharusnya duduk
di kursi yang ditempati si kucing. tampak rebah
menelentang di atas sebuah ranjang kecil. la
adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
lima-an, tidak terlalu tampan tetapi dengan dagu
yang kokoh pertanda kemauan keras.
Saat itu, Januar berbaring tanpa bergerak-gerak. Tubuhnya terbujur. Kaku. tak ubahnya
sesosok mayat yang dibiarkan dingin membeku.
Tetapi jelas ia masih hidup. Karena dadanya
kelihatan turun naik, Keras. tidak beraturan. Mulut
nya terbuka. memperdengarkan suara megap
megap. sementara dari lubang-lubang hidungnya
keluar suara nafas memburu. Sebenarnya, posisi
Januar ketika itu tidaklah persis benar posisi orang
mati. Kedua lengannya tergeletak horizontal di
atas perut. la memegang sebuah buku tebal.
dengan kesepuluh jarinya mencengkeram kedua
tepian buku. Betapa kuatnya ia mencengkeram
terlihat dari buku jari-jarinya yang memutih. Bah kan tekanan kukunya menyebabkan salah satu
bagian buku yang ia pegang, tampak lengkung
dan agaknya sudah robek sebagian tanpa ia
sadari.
Tetapi Januar tidaklah sedang membaca buku
yang dimaksud. Betul ia membacanya. namun itu
beberapa detik sebelumnya. Kini. sepasang bola
matanya yang membelalak tanpa berkedip tidak
lagi terarah ke buku. Melainkan. ke langit-langit
kamar tidurnya. Tidak ada sesuatu yang aneh di
sana. Kecuali salah satu eternit telah retak, lalu
bercak kekuningan bekas air hujan yang menetes
dari bocoran atap. Walau demikian, Januar tetap
saja berbaring dengan posisi yang aneh itu. Terbujur kaku mencengkeram buku sekuat-kuatnya.
mulutnya megap dan nafas terengah-engah. Lalu.
matanya. Mata itu diwarnai teror!
Jauh di dalam sanubarinya. Januar ingin memekik. "Tolooongl" Namun lidahnya terasa kelu.
teramat kelu. Jauh di hati kecil. Januar ingin
meronta lantas lari terbirit-birit. Namun persendian
tubuh. kejang bagai disetrum. Telinganya menangkap suara hingar bingar televisi dl ruang
tengah. Lalu suara salah seorang temannya yang
juga mahasiswa
"... wah. Itu sungguh pembunuhan biadab ..'
Seorang lainnya -Januar tahu itu pasti si
Naungan yang bekerja sebagai redaktur salah
satu surat kabar mingguan. memperdengarkan
komentar bernada pahit:
'Terlalu !'
'Namanya juga pembunuhan. Tentu saja...”
'Yang keterlaluan, bukan pembunuhnya !'
rungut Naungan.
"Jadi?' '
"Banjir darahnya itu!”
"Namanya juga...”
"tak mengerti juga kau yang kumaksud. Begini. Koran atau majalah dilarang keras memuat
ganbar-gambar sadis. Tetapi mengapa televisi
yang notabene adalah milik...
Astaga! Apa pula yang mereka bicarakan itu !
"Tidakkah mereka dengar suaraku minta tolong?
jerit Januar. tertekan dalam hati. Oh, andai saja
dia bisa beringsut barang sedikit Atau, lepaskan
saja buku itu. Biar jatuh ke lantai. dan mereka
dengar! Hampir putus asa. Januar lalu teringat
pada Yang Maha Kuasa. Hanya Dia yang dapat
menolong. begitu keluh Januar... mula kesakitan
karena kekejangan yang terus mendera tubuhnya.
Jantungnya pun seakan sudah akan meledak, tak
_mampu membendung perjuangan raga maupun
jiwanya untuk melakukan sesuatu, walaupun itu
misalnya cuma suatu erangan lemah saja.
'Aku harus mengucapkan sesuatu. Biar dalam hati.
penguslr setan jahanam... tetapi...
! Apa bunyi ayat kitab suci itu? Padahal.
sehari-hari aku membacanya. Apakah...” Januar
semakin sesak nafas. Apakah ia akan mati dalam
beberapa detik mendatang ini; mati penasaran,
dengan rupa yang akan membuat ngeri setiap
orang? "Ayat suci itu... satu kalimat pendek saja.
Bismillah... aduh, bukan Sebelumnya! istigfar...
astaghfirulah... aduh. apa,... Audzubillah dan, tibatiba
Januar mendapatkannya- Dan dia melafazkannya
dengan suara yang di telinganya merupakan suatu
jeritan keras yang mampu menggoncangkan seisi
- rumah: 'Ya Allah. Jauhkan aku dari godaan setan' terkutukl'
Bersamaan dengan itu, di balik eternit terdengar suara berisik liar. Hanya sepersekian detik
terdengarnya bunyi yang aneh 'itu, lalu kemudian
disusul bunyi lain yang aneh itu, lalu kemudian
disusui bunyi lain yang lebih keras buku di tangan
Januar terhumbalang ke lantai. Pelan-pelan Januar mengusapkan telapak tangannya ke wajahnya yang pucat pasi. Menyadari, bahwa wajahnya
telah bersimbah peluh. Begitu pula sekujur tubuh.
la akhirnya dapat beringsut. Lunglai dan letih
sekali perasaan Januar, manakala ia mencoba
duduk di tepi ranjang. Mengatur nafas. Kelopak
matanya mengedip ngedip. memperhatikan teman-ternannya satu kost yang tertawa serempak.
Rupanya ada sesuatu yang lucu mereka lihat di
pesawat televisi warna ukuran 14 inci itu. ia juga
melihat sang kucing. Si belang, setelah menggeram lemah, bulu-bulu dl sekujur tubuhnya kembali ke posisi nommal. Tetapi mata kucing itu masih
tetap misterius. Tidak ke wajah Januar yang melangkah tersuruk-suruk keluar dari kamar. Kucing
itu justru menatap ke eternit di dalam kamar tidur
Januar. Setelah menggeram sekali lagi kucing itu
kemudian meluncur dari kursi dan menghilang di
dapur.
Naungan yang pertama melihat kehadiran
Januar. Terbelalak sejenak, ia kemudian bertanya
setengah bergumam: "Mimpi buruk lagi, kawan?
Januar menarik nafas panjang. Lalu berkata
letih: "Aku sadar. Sesadar-sadarnya !'
Yang lain-lain segera berpaling, ikut memperhatikan wajah Januar yang masih memperlihatkan
sisa-sisa ketegangan. Sebelum seorang pun
membuka mulut, Januar sudah menjelaskan: 'Barusan tadi, aku mengalaminya lagi."
Tigor, teman satu kuliah Januar, menelan
ludah. Lantas bertanya setengah berbisik: 'Dimana. kali ini?"
'Di para-para' jawab Januar.
Ketiga orang temannya satu kost, sama mengawasi Januar. Seterusnya, mereka saling meng-
awasi satu sama lain. Cemas dan kuatir. Tigor
menyarankan: "Sebaiknya kita tunggu sampai
pagi tiba."
Amsar. pemuda satunya lagi yang juga mahasiswa te tapi di perguruan tinggi lain, bergumam .
lirih
"Apakah tidak lebih baik, kalau...”
ucapannya terputus manakala terdengar
ra ribut-ribut dari kamar tidur Januar. Datangnya
suara itu, tak mungkin lain: para-para. Si belang
entah sejak kapan telah naik rupanya ke para-para
dan kini mengeong dan menggeram liar. Ngeong
dan geraman kucing itu masih terdengar sampai
matahari terbit keesokan harinya. Sementara Januar duduk merungkut dengan wajah pucat di luar
rumah, tiga orang temannya bersama-sama naik
ke atap. Salah seorang dari mereka memekik
tertahan. Tigor yang paling berani. la menyodokk an kaitan bambu ke bagian atap yang gentingnya
telah mereka singkirkan.
Kaitan itu diangkat Tigor lagi dengan hati-hati.
Lalu matahari pagi, seakan tersentak kaget
ketika tampak di ujung kait bambu itu meliuk lemah
bangkai seekor ular hitam berbintik-bintik kuning.
----
Meskipun tubuhnya kecil mana kurus pula,
orangtua itu memiliki kulit yang sehat dengan
wajah jernih berseri-seri. la eratkan ikatan sorbannya yang agak longgar. sambil matanya mengawasi Januar yang duduk berslia di atas sehelai
tikar. Cangkir teh di depan pemuda itu masih terisi
penuh.
"Minumlah selagi masih hangat." orangtua itu
mempersilahkan. Setelah Januar mematuhi perintahnya. ia melanjutkan dengan nada bimbang
'Nak Nuar yakin bahwa semua itu bukan suatu
kebetutan belaka?
Januar mengangguk. 'Yakin, Pak Zakaria,"
katanya berdesah. "sudah tiga kali aku mengalami
peristiwa serupa. Mengalami mimpi buruk di kala
pikiran dan jiwaku sadar. Ketiga-tiganya dengan
buntut yang sama: kami temukan bangkai-bangkai ular." Januar menghela nalas berat, terengah-engah sebentar. Wajahnya keruh ketika la mengingat kejadian-kejadian yang menimpa dirinya.
lanjut Januar, lirih: "tiga malam berturut-turut, Pak
Zakaria. Dan tiga ekor bangkai ular. Bangkai
pertama, di bawah jendela kamarku. Malam berikutnya, dl luar phtu... aku punya pintu keluar
masuk sendrl. Terakhir, yang di atas para itu."
"Bukan bangkai ular yang sama?"
"Jelas bukan, Pak. Besar maupun warna sisiknya berlain-lainan."
'Dan, kau melihat ular-ular itu dalam mimpimu....'
"Bukan mlmpl biasa, Pak Kecuali, bayangan
gaib di kala kita sadar dapat dikatakan mimpi..."
"Bayangan ular?"
'Sesuatu menyerupai ular. Sesuatu yang besar, hitam pekat Bagaikan lorong gelap. yang kian
dimasuki kian bertambah lebar, juga kian bertambah gulita. Rasanya aku terjebak ke lorong
gelap mengerikan itu. Pada saat bersamaan, aku
sadar bahwa suasana di sekelilingku terang benderang, atau ada-orangorang yang kukenal di
sekitarku. Apa yang terjadi di sekeliling. juga
kuketahui. Namun, arwahnya... segala sesuatu itu
Mahkota Cinta - Habiburrahman El-Shirazy Josep Sang Mualaf - Fajar Agustanto Namaku Izrail ! - Atmonadi Keluarga Flood - Tetangga Menyebalkan - Colin Thomphson Kumpulan Dongeng Anak
Apabila ada nama, tempat kejadian
ataupun cerita yang bersamaan,itu hanyalah suatu kebetulan belaka.Cerita ini adalah fiktif
'TANGAN-TANGAN SETAN
Oleh: Abdullah Harahap
Diterbitkan oleh : Gultom Agency, Jakarta
Cetakan pertama : 1993
Setting : M. Yohandl.
Hak penerbitan :ada pada Gultom Agency
Dilarang memproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit
SATU
MALAM belum begitu larut. Baru sekitar pukul
sembilan lewat beberapa menit. Di ruang tengah
sebuah rumah kost untuk kaum bujangan. tiga
orang pemuda tengah asyik menekuni siaran
warta berita di televisi Demikian tercurah perhatian
mereka kelayar tivi, sehingga tak seorang pun
menyadari adanya perubahan sikap seekor kucing
belang jantan yang meringkuk di jok satu-satunya
kursi kosong di ruangan itu.
Semula si kucing belang tidur mendengkur.
lalu mendadak. sepasang matanya nyalang terbuka. Binatang rumah itu peian~pelan berdiri.
Moncongnya mengeluarkan suara menggeram,
sementara bulu-bulu tubuhnya pada berdiri tegak.
Matanya yang bening berwarna kehijau-hijauan
menatap liar ke arah sebuah kamar tidur yang
pintunya terbuka. Orang yang seharusnya duduk
di kursi yang ditempati si kucing. tampak rebah
menelentang di atas sebuah ranjang kecil. la
adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
lima-an, tidak terlalu tampan tetapi dengan dagu
yang kokoh pertanda kemauan keras.
Saat itu, Januar berbaring tanpa bergerak-gerak. Tubuhnya terbujur. Kaku. tak ubahnya
sesosok mayat yang dibiarkan dingin membeku.
Tetapi jelas ia masih hidup. Karena dadanya
kelihatan turun naik, Keras. tidak beraturan. Mulut
nya terbuka. memperdengarkan suara megap
megap. sementara dari lubang-lubang hidungnya
keluar suara nafas memburu. Sebenarnya, posisi
Januar ketika itu tidaklah persis benar posisi orang
mati. Kedua lengannya tergeletak horizontal di
atas perut. la memegang sebuah buku tebal.
dengan kesepuluh jarinya mencengkeram kedua
tepian buku. Betapa kuatnya ia mencengkeram
terlihat dari buku jari-jarinya yang memutih. Bah kan tekanan kukunya menyebabkan salah satu
bagian buku yang ia pegang, tampak lengkung
dan agaknya sudah robek sebagian tanpa ia
sadari.
Tetapi Januar tidaklah sedang membaca buku
yang dimaksud. Betul ia membacanya. namun itu
beberapa detik sebelumnya. Kini. sepasang bola
matanya yang membelalak tanpa berkedip tidak
lagi terarah ke buku. Melainkan. ke langit-langit
kamar tidurnya. Tidak ada sesuatu yang aneh di
sana. Kecuali salah satu eternit telah retak, lalu
bercak kekuningan bekas air hujan yang menetes
dari bocoran atap. Walau demikian, Januar tetap
saja berbaring dengan posisi yang aneh itu. Terbujur kaku mencengkeram buku sekuat-kuatnya.
mulutnya megap dan nafas terengah-engah. Lalu.
matanya. Mata itu diwarnai teror!
Jauh di dalam sanubarinya. Januar ingin memekik. "Tolooongl" Namun lidahnya terasa kelu.
teramat kelu. Jauh di hati kecil. Januar ingin
meronta lantas lari terbirit-birit. Namun persendian
tubuh. kejang bagai disetrum. Telinganya menangkap suara hingar bingar televisi dl ruang
tengah. Lalu suara salah seorang temannya yang
juga mahasiswa
"... wah. Itu sungguh pembunuhan biadab ..'
Seorang lainnya -Januar tahu itu pasti si
Naungan yang bekerja sebagai redaktur salah
satu surat kabar mingguan. memperdengarkan
komentar bernada pahit:
'Terlalu !'
'Namanya juga pembunuhan. Tentu saja...”
'Yang keterlaluan, bukan pembunuhnya !'
rungut Naungan.
"Jadi?' '
"Banjir darahnya itu!”
"Namanya juga...”
"tak mengerti juga kau yang kumaksud. Begini. Koran atau majalah dilarang keras memuat
ganbar-gambar sadis. Tetapi mengapa televisi
yang notabene adalah milik...
Astaga! Apa pula yang mereka bicarakan itu !
"Tidakkah mereka dengar suaraku minta tolong?
jerit Januar. tertekan dalam hati. Oh, andai saja
dia bisa beringsut barang sedikit Atau, lepaskan
saja buku itu. Biar jatuh ke lantai. dan mereka
dengar! Hampir putus asa. Januar lalu teringat
pada Yang Maha Kuasa. Hanya Dia yang dapat
menolong. begitu keluh Januar... mula kesakitan
karena kekejangan yang terus mendera tubuhnya.
Jantungnya pun seakan sudah akan meledak, tak
_mampu membendung perjuangan raga maupun
jiwanya untuk melakukan sesuatu, walaupun itu
misalnya cuma suatu erangan lemah saja.
'Aku harus mengucapkan sesuatu. Biar dalam hati.
penguslr setan jahanam... tetapi...
! Apa bunyi ayat kitab suci itu? Padahal.
sehari-hari aku membacanya. Apakah...” Januar
semakin sesak nafas. Apakah ia akan mati dalam
beberapa detik mendatang ini; mati penasaran,
dengan rupa yang akan membuat ngeri setiap
orang? "Ayat suci itu... satu kalimat pendek saja.
Bismillah... aduh, bukan Sebelumnya! istigfar...
astaghfirulah... aduh. apa,... Audzubillah dan, tibatiba
Januar mendapatkannya- Dan dia melafazkannya
dengan suara yang di telinganya merupakan suatu
jeritan keras yang mampu menggoncangkan seisi
- rumah: 'Ya Allah. Jauhkan aku dari godaan setan' terkutukl'
Bersamaan dengan itu, di balik eternit terdengar suara berisik liar. Hanya sepersekian detik
terdengarnya bunyi yang aneh 'itu, lalu kemudian
disusul bunyi lain yang aneh itu, lalu kemudian
disusui bunyi lain yang lebih keras buku di tangan
Januar terhumbalang ke lantai. Pelan-pelan Januar mengusapkan telapak tangannya ke wajahnya yang pucat pasi. Menyadari, bahwa wajahnya
telah bersimbah peluh. Begitu pula sekujur tubuh.
la akhirnya dapat beringsut. Lunglai dan letih
sekali perasaan Januar, manakala ia mencoba
duduk di tepi ranjang. Mengatur nafas. Kelopak
matanya mengedip ngedip. memperhatikan teman-ternannya satu kost yang tertawa serempak.
Rupanya ada sesuatu yang lucu mereka lihat di
pesawat televisi warna ukuran 14 inci itu. ia juga
melihat sang kucing. Si belang, setelah menggeram lemah, bulu-bulu dl sekujur tubuhnya kembali ke posisi nommal. Tetapi mata kucing itu masih
tetap misterius. Tidak ke wajah Januar yang melangkah tersuruk-suruk keluar dari kamar. Kucing
itu justru menatap ke eternit di dalam kamar tidur
Januar. Setelah menggeram sekali lagi kucing itu
kemudian meluncur dari kursi dan menghilang di
dapur.
Naungan yang pertama melihat kehadiran
Januar. Terbelalak sejenak, ia kemudian bertanya
setengah bergumam: "Mimpi buruk lagi, kawan?
Januar menarik nafas panjang. Lalu berkata
letih: "Aku sadar. Sesadar-sadarnya !'
Yang lain-lain segera berpaling, ikut memperhatikan wajah Januar yang masih memperlihatkan
sisa-sisa ketegangan. Sebelum seorang pun
membuka mulut, Januar sudah menjelaskan: 'Barusan tadi, aku mengalaminya lagi."
Tigor, teman satu kuliah Januar, menelan
ludah. Lantas bertanya setengah berbisik: 'Dimana. kali ini?"
'Di para-para' jawab Januar.
Ketiga orang temannya satu kost, sama mengawasi Januar. Seterusnya, mereka saling meng-
awasi satu sama lain. Cemas dan kuatir. Tigor
menyarankan: "Sebaiknya kita tunggu sampai
pagi tiba."
Amsar. pemuda satunya lagi yang juga mahasiswa te tapi di perguruan tinggi lain, bergumam .
lirih
"Apakah tidak lebih baik, kalau...”
ucapannya terputus manakala terdengar
ra ribut-ribut dari kamar tidur Januar. Datangnya
suara itu, tak mungkin lain: para-para. Si belang
entah sejak kapan telah naik rupanya ke para-para
dan kini mengeong dan menggeram liar. Ngeong
dan geraman kucing itu masih terdengar sampai
matahari terbit keesokan harinya. Sementara Januar duduk merungkut dengan wajah pucat di luar
rumah, tiga orang temannya bersama-sama naik
ke atap. Salah seorang dari mereka memekik
tertahan. Tigor yang paling berani. la menyodokk an kaitan bambu ke bagian atap yang gentingnya
telah mereka singkirkan.
Kaitan itu diangkat Tigor lagi dengan hati-hati.
Lalu matahari pagi, seakan tersentak kaget
ketika tampak di ujung kait bambu itu meliuk lemah
bangkai seekor ular hitam berbintik-bintik kuning.
----
Meskipun tubuhnya kecil mana kurus pula,
orangtua itu memiliki kulit yang sehat dengan
wajah jernih berseri-seri. la eratkan ikatan sorbannya yang agak longgar. sambil matanya mengawasi Januar yang duduk berslia di atas sehelai
tikar. Cangkir teh di depan pemuda itu masih terisi
penuh.
"Minumlah selagi masih hangat." orangtua itu
mempersilahkan. Setelah Januar mematuhi perintahnya. ia melanjutkan dengan nada bimbang
'Nak Nuar yakin bahwa semua itu bukan suatu
kebetutan belaka?
Januar mengangguk. 'Yakin, Pak Zakaria,"
katanya berdesah. "sudah tiga kali aku mengalami
peristiwa serupa. Mengalami mimpi buruk di kala
pikiran dan jiwaku sadar. Ketiga-tiganya dengan
buntut yang sama: kami temukan bangkai-bangkai ular." Januar menghela nalas berat, terengah-engah sebentar. Wajahnya keruh ketika la mengingat kejadian-kejadian yang menimpa dirinya.
lanjut Januar, lirih: "tiga malam berturut-turut, Pak
Zakaria. Dan tiga ekor bangkai ular. Bangkai
pertama, di bawah jendela kamarku. Malam berikutnya, dl luar phtu... aku punya pintu keluar
masuk sendrl. Terakhir, yang di atas para itu."
"Bukan bangkai ular yang sama?"
"Jelas bukan, Pak. Besar maupun warna sisiknya berlain-lainan."
'Dan, kau melihat ular-ular itu dalam mimpimu....'
"Bukan mlmpl biasa, Pak Kecuali, bayangan
gaib di kala kita sadar dapat dikatakan mimpi..."
"Bayangan ular?"
'Sesuatu menyerupai ular. Sesuatu yang besar, hitam pekat Bagaikan lorong gelap. yang kian
dimasuki kian bertambah lebar, juga kian bertambah gulita. Rasanya aku terjebak ke lorong
gelap mengerikan itu. Pada saat bersamaan, aku
sadar bahwa suasana di sekelilingku terang benderang, atau ada-orangorang yang kukenal di
sekitarku. Apa yang terjadi di sekeliling. juga
kuketahui. Namun, arwahnya... segala sesuatu itu