Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Tangan Tangan Setan - 2

$
0
0
Cerita Misteri | Tangan Tangan Setan | by Abdullah Harahap | Tangan Tangan Setan | Cersil Sakti | Tangan Tangan Setan pdf

Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga


  mendadak ditelan kegelapan yang sangat gulita.
  Di dalam kegelapan itu. aku merangkak sendirian.
  Mencari jalan ke luar, yang selalu sia-sia. Lalu
  kemudian kudengar suara seseorang. Sangat jauh
  dan samar, sehingga aku tak pasti apakah itu
  suara seorang lelaki atau seorang wanita. Orang
  itu memanggil-manggil namaku. Jelas, suaranya
  bernada takut dan mengharapkan aku dapat menolong dan melindunginya. Kemudian, dalam kegelapan itu, samar-samar aku lihat bayangan
  seseorang mendatangi dari kejauhan. Sosoknya
  begitu kabur. la berlari tunggang lenggang, sambil
  menjerit-jerit ketakutan. Aku merasa ia melarikan
  diri dari sesuatu. Sesuatu yang teramat mengerikan. Ketika ia hampir mencapai diriku... mendadak
  kegelapan itu menelannya. Sayup-sayup, kudengar jerit tangisnya yang memilukan hati. la seperti
  mengalami siksaan azab yang tidak tertan ggungkan. Sementara aku hanya terpaku kaku di temp atku. Kejang oleh ketegangan. beku oleh kengerian.
  putus asa oleh tiadanya sesuatu usaha yang dapat
  kuperbuat untuk menolong dia. Setelah itu, semuanya berakhir....'
  "Tambah minumannya?" bisik ajengan Zakaria, lembut.
  Januar yang bergemetaran membayangkan
  gambaran buruk yang menghantuinya itu, menggelengkan kepala .la tidak terperangkap oleh
  lorong gelap, atau terancam oleh bahaya mengerikan itu. Melihat senyum di bibir si orangtua.
  Januar merasa aman dan terlindungi. 'Apalagi
  yang ingin Bapak ketahui?" tanyanya hati-hati.
 
  'orang yang berupa bayang-bayang itu. Kau
  tak pasti. apakah la laki-laki atau perempuan,
  suaranya pun tidak begitu jelas. Tetapi coba
  'ingat-lngat, Nak. Apakah selama bayangan peristiwa itu berlangsung, kau merasa orang itu kau
  kenali. atau paling kurang, ada ikatan batin
  dengan dirimu?"
  Sekujur tubuh Januar mendadak terasa
  dingin,
  'Baru kuingat," bisiknya tersentak. 'Rasanya
  aku mengenali dia. Seolah, aku dan dia, tak
  terpisahkan."
  "Dia siapa, Nak Nuar?'
  ”Entahlah”
  "Jangan ragu-ragu, Nak!
  'Yang pasti, begitu la lenyap... rasanya ada
  sesuatu yang hilang dari diriku. Sesuatu yang
  sangat besar artinya...”
  ”Dari alam pikiran, atau alam akalmu?
  "Saya tak mengerti, maksud Pak Zakaria."
  _"Begini. Alam akal, sifatnya mutlak, Kau menerima atau menolak sesuatu, karena kau ada,-
  itu merupakan suatu kodrat. Bila alam pikiran,
  sifatnya tidak tetap. Karena apa yang dipikirkan,
  belum tentu dapat kita miliki. Kaitannya dengan
  manusia, alam akal menunjuk pertalian darah,
  Segudang alam pikiran. baru merupakan pertalian
  batin...."
  Paru-paru Januar terasa kering. Dia dapat
  menangkap penjelasan ajengan Zakaria. Dan,
  kenyataan itu membuatnya tidak enak hati. Katanya setengah berbisik: 'Kalau tidak salah. dia ada
  dalam alam pikian saya”
  'Sekarang. Nak. Dia itu. siapa?
  Sebelum menyebut nama, dan pertalian antara dirinya dengan si orang punya nama. Januar
  geleng-geieng kepala. Dan suaranya riang ketika
  ia menjelaskan: "Hubungan kami baik-baik saja.
  Tak ada sesuatu yang perlu dicemaskan. Sekarang ia sedang pulang-kampung. Dijemput
  orangtuanya. Dan...."
  Dingin lagi sekujur tubuh Januar. Nada riang
  lenyap dari suaranya ketika melanjutkan: “Waktu
  dijemput, ia tak sempat pamit padaku. Kepulangannya begitu tiba-tiba, dan agaknya teramat
  mendesak. Bahkan Oomnya dengan siapa ia tinggal di kota ini. tidak diberitahu apa-apa. Oomnya
  itu menjelaskan padaku, bahwa ia dijemput ayahnya sendiri... yang tampaknya merasa cemas akan
  sesuatu..."
  "Jadi dia itu... seorang kekasih? tanya ajengan Zakaria. lembut.
  Januar menganggukkan kepala dengan kulit
  muka bersemu merah. "Kami suddl berencana
  untuk menikah, Pak Zakaria. Mengenai sikap
  orang tuanya, tidak ada kesulitan. Meski kami
  jarang bertemu, orangtuanya sudah memberi lampu hijau. Pendeknya. semua beres-beres saja..."
  "Suaramu sumbang." Ajengan Zakaria berkata
  tajam.
  Januar mau tak mau menelan ludah. la menjelaskan: 'Tadinya aku bermaksud menyusul, begitu kudengar kekasihku dibawa... tepatnya, di
  nasihatkan. agar aku bersabar. Sang ayah meninggalkan pesan, bahwa puterinya akan diantar
  kembali pada waktunya...!
  'Kalau kau terus menunggu. Nak!” ajengan
  Zakaria berubah sungguh-sungguh. Balk wajah
  maupun setiap tekanan katanya 'Maka, besar
  kemungkinan bayangan menakutkan itu akan
  menjadi kenyataan.”
  'Maksud Bapak..."
  'Kekaslhmu sedang menuju sesuatu," kata
  orangtua itu. kuatir. "Mata hatiku dapat melihatnya
  Ia menuju sesuatu yang besar dan jahat. Sesuatu.
  yang akan menelannya hiduphidup dan membiarkan rohnya sengsara sampai ke akhir jaman.
  Hidungku mencium bau busuk, Nak. Busuk dan
  terkutuk!"
  DUA
  lSMIATY bersin lagi. Tiga kali berturut-turut.
  Begitu kerasnya, sampai sekujur tubuh gadis itu
  terguncang-guncang di bawah selimut. Perempuan setengah baya yang duduk terkantuk-kantuk
  di sebelah tempat tidur, seketika membuka mata
  lebar-lebar. Bertanya cemas: 'Masih kedinginan,
  Nak?"
  "Dingin sekali, Bu...l" sahut lsmlaty dengan
  nafas tersengal-sengal seraya mengurut-urut
  dada yang terasa perih.
  'Ibu balur lagi, ya?”
  'Jangan, Bu. Kulitku tak tahan."Tetapi..., Astaga, barangkali apinya sudah
  padam!" perempuan setengah baya itu bergegas
  meninggalkan tempat duduknya. Dalam sekejap
  ia telah berjongkok di pojok kamar dekat pintu.
  Sambil menyesali diri bahwa tadi ia telah terlelap
  selagi menunggui lsmlaty, perempuan itu mengais-ngais tumpukan abu dalam sebuah anglo
  besi. Dengan pengungkit ia mengumpulkan sisa
  barang yang masih menyala setelah lebih dulu
  tumpukan abu ia singkirkan ke luar anglo. sehingga berserakan di lantai. la tambahkan beberapa potong lagi arang besar-besar ke dalam
  anglo. Lalu meniupnya berulang-ulang sampai
  bara api semakin membesar. Ketika ia kembali lagi
  ke dekat lsmiaty. sebagian rambut perempuan itu
  ditempati abu. sementara sudut-sudut matanya
  tampak berair.
  "Lebih hangat sekarang, Nak?" tanyanya
  penuh harap.
  Sebenarnya lsmiaty hampir bersln lagi. Namun
  melihat keadaan ibunya. lsmiaty bertahan sekuat
  tenaga. la memaksakan senyum di bibir, lantas
  mengangguk pelan. Pada saat bersamaan, dari
  kamar sebelah terdengar suara batuk-batuk kering. "Jangan-jangan ayah pun sakit, Bu." desah
  lsmiaty kuatir.
  "Biarkan saja dia,” ibunya menjawab datar.
  Ada nada tak senang dalam suaranya ketika
  menambahkan: "la dapat mengurus diri sendiri!"
  'Barangkali ayah perlu ini...” lsmlaty bermaksud menyingkirkan salah satu selimut tebal yang
  berlapis-lapis membungkus tubuhnya dan kaki
  sampai sebatas leher. Tetapi ibunya mencegah
  dengan pelototan mata. Sekilas lsmlaty menangkap warna kemerahan pada manik-manik mata
  ibunya. Lebih merah dari bara api di anglo, sorot
  mata ibunya tajam menghunjam. Dan senyum sinis
  ibunya sungguh tak enak dipandang. lsmiaty
  menggigil. ta keriapkan mata beberapa kali. Lalu
  kembali memandang ke mata ibunya. Takut-takut
  Sepasang mata perempuan setengah baya itu
  ternyata saat la lihat, bening dan menyejukkan
  hati. Senyuman bibirnya pun tak kurang menyamankan perasaan.
  Perempuan itu berujar lembut: 'Hari sudah hampir pagi, Nak. Anglo itu tak perlu lagi ditunggui.
  Biarlah aku tidur denganmu. Kalau kudekap, tubuhmu akan tetap hangat..." ia kemudian naik ke
  tempat tidur, menyelusup ke bawah selimut, lalu
  mendekap tubuh anaknya dengan kehangatan
  kasih sayang seorang ibu. Dipeluk sedemikian
  rupa, Ismiaty perlahan lahan kembali tertidur. la
  lelap beberapa jam. Dan ketika membuka matanya, matahari siang hampir meninggalkan jendela
  kamarnya yang terpentang lebar, memberi kesempatan pada hawa pegunungan yang hangat
  merembes masuk ke dalam kamar.
  Kamarnya telah dibersihkan dan di atas meja
  kecil dekat tempat tidur tampak terhidang segelas
  susu dan beberapa potong ubi goreng. Mungkin
  telah diletakkan di situ semenjak pagi, karena
  waktu disentuh Ismiaty ternyata minuman dan
  penganan itu sudah dingin. Di kota, demi menjaga
  kondisi tubuhnya Ismiaty memang sudah terbiasa
  meminum segelas air, putih dingin setiap kali
  bangun tidur. Tetapi susu, ia belum pernah. Mana
  permukaannya sudah mengental pekat, karena itu
  tentunya susu sapi murni. Namun setelah berpikir
  sejenak, ia teguk juga minuman itu sedikit agar
  ibunya yang telah bersusah payah membuatnya.
  tidak berkecil hati.
  Seraya mengunyah sepotong ubi goreng, ia
  bersalin pakaian. Keluar dari kamar ia bersijinjit ke
  kamar. Ternyata tempat tidur di situ kosong dan
  segala sesuatu di dalam kamar tampak sudah
  rapih. Jadi ia tak perlu menguatirkan bahwa ayahnya memang sakit. la lalu beranjak ke kamar mandi
  untuk mencuci pakaiannya yang kotor. Di koridor
  belakang ia berpapasan dengan ibunya yang baru
  saja keluar dari dapur. Perempuan itu tersenyum
  lega ketika melihat kehadiran puterinya. 'Mau
  mandi sekarang. Mia?” ia bertanya.
  'Mandi?!" Ismiaty tertegun. Sesaat tubuhnya
  bergetar. 'Setelah apa yang kualami selama tiga
  malam berturut-turut, Bu... kukira aku tak usah
  mandi lagi siang hari... entah sampai kapan...” ia
  mengawasi wajah ibunya, kemudian bertanya dengan suara tersendat: “Sampai kapan semua ini
  harus kujalani, Bu?”
  Wajah ibunya yang tadi ceria, mendadak berubah suram. la mendekati Ismiaty lantas memeluk
  puterinya dengan air mata berlinang. Ada gambaran ketakutan dalam suaranya waktu la membujuk: "Seharian, Anakku. Ayahmu bilang, semuanya akan segera berakhir. Kau boleh pulang
  kembali ke kota, dan..."
  'Kalau aku bisa pulang..'
  'Aduh, Nak. Jangan berkata seperti itu....'
  ”Lalu? Aku harus berkata apa lagi, Elu? Di kota
  aku telah mengalami peristiwa-peristiwa menakutkan. Ayah kemudian datang. Memaksaku pulang
  ke kampung, tanpa diperbolehkan memberitahu
  siapa pun juga. Dan di sini, aku terus disuguhi
  cerita-cerita yang lebih menakutkan lagi. Dipaksa
  pula keluyuran tengah malam. Berendam di sungai
  yang tidak saja airnya sedingin es, tetapi juga di
  sekelilingku begitu gelap mengerikan. Andai saja
  Ibu dengar bagaimana suara air terjun di depanku
  berderum-derum seram, ibu pasti dapat merasakan jiwaku sangat terguncang. Dan....'
 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>