Cerita Misteri | Tangan Tangan Setan | by Abdullah Harahap | Tangan Tangan Setan | Cersil Sakti | Tangan Tangan Setan pdf
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
mendadak ditelan kegelapan yang sangat gulita.
Di dalam kegelapan itu. aku merangkak sendirian.
Mencari jalan ke luar, yang selalu sia-sia. Lalu
kemudian kudengar suara seseorang. Sangat jauh
dan samar, sehingga aku tak pasti apakah itu
suara seorang lelaki atau seorang wanita. Orang
itu memanggil-manggil namaku. Jelas, suaranya
bernada takut dan mengharapkan aku dapat menolong dan melindunginya. Kemudian, dalam kegelapan itu, samar-samar aku lihat bayangan
seseorang mendatangi dari kejauhan. Sosoknya
begitu kabur. la berlari tunggang lenggang, sambil
menjerit-jerit ketakutan. Aku merasa ia melarikan
diri dari sesuatu. Sesuatu yang teramat mengerikan. Ketika ia hampir mencapai diriku... mendadak
kegelapan itu menelannya. Sayup-sayup, kudengar jerit tangisnya yang memilukan hati. la seperti
mengalami siksaan azab yang tidak tertan ggungkan. Sementara aku hanya terpaku kaku di temp atku. Kejang oleh ketegangan. beku oleh kengerian.
putus asa oleh tiadanya sesuatu usaha yang dapat
kuperbuat untuk menolong dia. Setelah itu, semuanya berakhir....'
"Tambah minumannya?" bisik ajengan Zakaria, lembut.
Januar yang bergemetaran membayangkan
gambaran buruk yang menghantuinya itu, menggelengkan kepala .la tidak terperangkap oleh
lorong gelap, atau terancam oleh bahaya mengerikan itu. Melihat senyum di bibir si orangtua.
Januar merasa aman dan terlindungi. 'Apalagi
yang ingin Bapak ketahui?" tanyanya hati-hati.
'orang yang berupa bayang-bayang itu. Kau
tak pasti. apakah la laki-laki atau perempuan,
suaranya pun tidak begitu jelas. Tetapi coba
'ingat-lngat, Nak. Apakah selama bayangan peristiwa itu berlangsung, kau merasa orang itu kau
kenali. atau paling kurang, ada ikatan batin
dengan dirimu?"
Sekujur tubuh Januar mendadak terasa
dingin,
'Baru kuingat," bisiknya tersentak. 'Rasanya
aku mengenali dia. Seolah, aku dan dia, tak
terpisahkan."
"Dia siapa, Nak Nuar?'
”Entahlah”
"Jangan ragu-ragu, Nak!
'Yang pasti, begitu la lenyap... rasanya ada
sesuatu yang hilang dari diriku. Sesuatu yang
sangat besar artinya...”
”Dari alam pikiran, atau alam akalmu?
"Saya tak mengerti, maksud Pak Zakaria."
_"Begini. Alam akal, sifatnya mutlak, Kau menerima atau menolak sesuatu, karena kau ada,-
itu merupakan suatu kodrat. Bila alam pikiran,
sifatnya tidak tetap. Karena apa yang dipikirkan,
belum tentu dapat kita miliki. Kaitannya dengan
manusia, alam akal menunjuk pertalian darah,
Segudang alam pikiran. baru merupakan pertalian
batin...."
Paru-paru Januar terasa kering. Dia dapat
menangkap penjelasan ajengan Zakaria. Dan,
kenyataan itu membuatnya tidak enak hati. Katanya setengah berbisik: 'Kalau tidak salah. dia ada
dalam alam pikian saya”
'Sekarang. Nak. Dia itu. siapa?
Sebelum menyebut nama, dan pertalian antara dirinya dengan si orang punya nama. Januar
geleng-geieng kepala. Dan suaranya riang ketika
ia menjelaskan: "Hubungan kami baik-baik saja.
Tak ada sesuatu yang perlu dicemaskan. Sekarang ia sedang pulang-kampung. Dijemput
orangtuanya. Dan...."
Dingin lagi sekujur tubuh Januar. Nada riang
lenyap dari suaranya ketika melanjutkan: “Waktu
dijemput, ia tak sempat pamit padaku. Kepulangannya begitu tiba-tiba, dan agaknya teramat
mendesak. Bahkan Oomnya dengan siapa ia tinggal di kota ini. tidak diberitahu apa-apa. Oomnya
itu menjelaskan padaku, bahwa ia dijemput ayahnya sendiri... yang tampaknya merasa cemas akan
sesuatu..."
"Jadi dia itu... seorang kekasih? tanya ajengan Zakaria. lembut.
Januar menganggukkan kepala dengan kulit
muka bersemu merah. "Kami suddl berencana
untuk menikah, Pak Zakaria. Mengenai sikap
orang tuanya, tidak ada kesulitan. Meski kami
jarang bertemu, orangtuanya sudah memberi lampu hijau. Pendeknya. semua beres-beres saja..."
"Suaramu sumbang." Ajengan Zakaria berkata
tajam.
Januar mau tak mau menelan ludah. la menjelaskan: 'Tadinya aku bermaksud menyusul, begitu kudengar kekasihku dibawa... tepatnya, di
nasihatkan. agar aku bersabar. Sang ayah meninggalkan pesan, bahwa puterinya akan diantar
kembali pada waktunya...!
'Kalau kau terus menunggu. Nak!” ajengan
Zakaria berubah sungguh-sungguh. Balk wajah
maupun setiap tekanan katanya 'Maka, besar
kemungkinan bayangan menakutkan itu akan
menjadi kenyataan.”
'Maksud Bapak..."
'Kekaslhmu sedang menuju sesuatu," kata
orangtua itu. kuatir. "Mata hatiku dapat melihatnya
Ia menuju sesuatu yang besar dan jahat. Sesuatu.
yang akan menelannya hiduphidup dan membiarkan rohnya sengsara sampai ke akhir jaman.
Hidungku mencium bau busuk, Nak. Busuk dan
terkutuk!"
DUA
lSMIATY bersin lagi. Tiga kali berturut-turut.
Begitu kerasnya, sampai sekujur tubuh gadis itu
terguncang-guncang di bawah selimut. Perempuan setengah baya yang duduk terkantuk-kantuk
di sebelah tempat tidur, seketika membuka mata
lebar-lebar. Bertanya cemas: 'Masih kedinginan,
Nak?"
"Dingin sekali, Bu...l" sahut lsmlaty dengan
nafas tersengal-sengal seraya mengurut-urut
dada yang terasa perih.
'Ibu balur lagi, ya?”
'Jangan, Bu. Kulitku tak tahan."Tetapi..., Astaga, barangkali apinya sudah
padam!" perempuan setengah baya itu bergegas
meninggalkan tempat duduknya. Dalam sekejap
ia telah berjongkok di pojok kamar dekat pintu.
Sambil menyesali diri bahwa tadi ia telah terlelap
selagi menunggui lsmlaty, perempuan itu mengais-ngais tumpukan abu dalam sebuah anglo
besi. Dengan pengungkit ia mengumpulkan sisa
barang yang masih menyala setelah lebih dulu
tumpukan abu ia singkirkan ke luar anglo. sehingga berserakan di lantai. la tambahkan beberapa potong lagi arang besar-besar ke dalam
anglo. Lalu meniupnya berulang-ulang sampai
bara api semakin membesar. Ketika ia kembali lagi
ke dekat lsmiaty. sebagian rambut perempuan itu
ditempati abu. sementara sudut-sudut matanya
tampak berair.
"Lebih hangat sekarang, Nak?" tanyanya
penuh harap.
Sebenarnya lsmiaty hampir bersln lagi. Namun
melihat keadaan ibunya. lsmiaty bertahan sekuat
tenaga. la memaksakan senyum di bibir, lantas
mengangguk pelan. Pada saat bersamaan, dari
kamar sebelah terdengar suara batuk-batuk kering. "Jangan-jangan ayah pun sakit, Bu." desah
lsmiaty kuatir.
"Biarkan saja dia,” ibunya menjawab datar.
Ada nada tak senang dalam suaranya ketika
menambahkan: "la dapat mengurus diri sendiri!"
'Barangkali ayah perlu ini...” lsmlaty bermaksud menyingkirkan salah satu selimut tebal yang
berlapis-lapis membungkus tubuhnya dan kaki
sampai sebatas leher. Tetapi ibunya mencegah
dengan pelototan mata. Sekilas lsmlaty menangkap warna kemerahan pada manik-manik mata
ibunya. Lebih merah dari bara api di anglo, sorot
mata ibunya tajam menghunjam. Dan senyum sinis
ibunya sungguh tak enak dipandang. lsmiaty
menggigil. ta keriapkan mata beberapa kali. Lalu
kembali memandang ke mata ibunya. Takut-takut
Sepasang mata perempuan setengah baya itu
ternyata saat la lihat, bening dan menyejukkan
hati. Senyuman bibirnya pun tak kurang menyamankan perasaan.
Perempuan itu berujar lembut: 'Hari sudah hampir pagi, Nak. Anglo itu tak perlu lagi ditunggui.
Biarlah aku tidur denganmu. Kalau kudekap, tubuhmu akan tetap hangat..." ia kemudian naik ke
tempat tidur, menyelusup ke bawah selimut, lalu
mendekap tubuh anaknya dengan kehangatan
kasih sayang seorang ibu. Dipeluk sedemikian
rupa, Ismiaty perlahan lahan kembali tertidur. la
lelap beberapa jam. Dan ketika membuka matanya, matahari siang hampir meninggalkan jendela
kamarnya yang terpentang lebar, memberi kesempatan pada hawa pegunungan yang hangat
merembes masuk ke dalam kamar.
Kamarnya telah dibersihkan dan di atas meja
kecil dekat tempat tidur tampak terhidang segelas
susu dan beberapa potong ubi goreng. Mungkin
telah diletakkan di situ semenjak pagi, karena
waktu disentuh Ismiaty ternyata minuman dan
penganan itu sudah dingin. Di kota, demi menjaga
kondisi tubuhnya Ismiaty memang sudah terbiasa
meminum segelas air, putih dingin setiap kali
bangun tidur. Tetapi susu, ia belum pernah. Mana
permukaannya sudah mengental pekat, karena itu
tentunya susu sapi murni. Namun setelah berpikir
sejenak, ia teguk juga minuman itu sedikit agar
ibunya yang telah bersusah payah membuatnya.
tidak berkecil hati.
Seraya mengunyah sepotong ubi goreng, ia
bersalin pakaian. Keluar dari kamar ia bersijinjit ke
kamar. Ternyata tempat tidur di situ kosong dan
segala sesuatu di dalam kamar tampak sudah
rapih. Jadi ia tak perlu menguatirkan bahwa ayahnya memang sakit. la lalu beranjak ke kamar mandi
untuk mencuci pakaiannya yang kotor. Di koridor
belakang ia berpapasan dengan ibunya yang baru
saja keluar dari dapur. Perempuan itu tersenyum
lega ketika melihat kehadiran puterinya. 'Mau
mandi sekarang. Mia?” ia bertanya.
'Mandi?!" Ismiaty tertegun. Sesaat tubuhnya
bergetar. 'Setelah apa yang kualami selama tiga
malam berturut-turut, Bu... kukira aku tak usah
mandi lagi siang hari... entah sampai kapan...” ia
mengawasi wajah ibunya, kemudian bertanya dengan suara tersendat: “Sampai kapan semua ini
harus kujalani, Bu?”
Wajah ibunya yang tadi ceria, mendadak berubah suram. la mendekati Ismiaty lantas memeluk
puterinya dengan air mata berlinang. Ada gambaran ketakutan dalam suaranya waktu la membujuk: "Seharian, Anakku. Ayahmu bilang, semuanya akan segera berakhir. Kau boleh pulang
kembali ke kota, dan..."
'Kalau aku bisa pulang..'
'Aduh, Nak. Jangan berkata seperti itu....'
”Lalu? Aku harus berkata apa lagi, Elu? Di kota
aku telah mengalami peristiwa-peristiwa menakutkan. Ayah kemudian datang. Memaksaku pulang
ke kampung, tanpa diperbolehkan memberitahu
siapa pun juga. Dan di sini, aku terus disuguhi
cerita-cerita yang lebih menakutkan lagi. Dipaksa
pula keluyuran tengah malam. Berendam di sungai
yang tidak saja airnya sedingin es, tetapi juga di
sekelilingku begitu gelap mengerikan. Andai saja
Ibu dengar bagaimana suara air terjun di depanku
berderum-derum seram, ibu pasti dapat merasakan jiwaku sangat terguncang. Dan....'
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
mendadak ditelan kegelapan yang sangat gulita.
Di dalam kegelapan itu. aku merangkak sendirian.
Mencari jalan ke luar, yang selalu sia-sia. Lalu
kemudian kudengar suara seseorang. Sangat jauh
dan samar, sehingga aku tak pasti apakah itu
suara seorang lelaki atau seorang wanita. Orang
itu memanggil-manggil namaku. Jelas, suaranya
bernada takut dan mengharapkan aku dapat menolong dan melindunginya. Kemudian, dalam kegelapan itu, samar-samar aku lihat bayangan
seseorang mendatangi dari kejauhan. Sosoknya
begitu kabur. la berlari tunggang lenggang, sambil
menjerit-jerit ketakutan. Aku merasa ia melarikan
diri dari sesuatu. Sesuatu yang teramat mengerikan. Ketika ia hampir mencapai diriku... mendadak
kegelapan itu menelannya. Sayup-sayup, kudengar jerit tangisnya yang memilukan hati. la seperti
mengalami siksaan azab yang tidak tertan ggungkan. Sementara aku hanya terpaku kaku di temp atku. Kejang oleh ketegangan. beku oleh kengerian.
putus asa oleh tiadanya sesuatu usaha yang dapat
kuperbuat untuk menolong dia. Setelah itu, semuanya berakhir....'
"Tambah minumannya?" bisik ajengan Zakaria, lembut.
Januar yang bergemetaran membayangkan
gambaran buruk yang menghantuinya itu, menggelengkan kepala .la tidak terperangkap oleh
lorong gelap, atau terancam oleh bahaya mengerikan itu. Melihat senyum di bibir si orangtua.
Januar merasa aman dan terlindungi. 'Apalagi
yang ingin Bapak ketahui?" tanyanya hati-hati.
'orang yang berupa bayang-bayang itu. Kau
tak pasti. apakah la laki-laki atau perempuan,
suaranya pun tidak begitu jelas. Tetapi coba
'ingat-lngat, Nak. Apakah selama bayangan peristiwa itu berlangsung, kau merasa orang itu kau
kenali. atau paling kurang, ada ikatan batin
dengan dirimu?"
Sekujur tubuh Januar mendadak terasa
dingin,
'Baru kuingat," bisiknya tersentak. 'Rasanya
aku mengenali dia. Seolah, aku dan dia, tak
terpisahkan."
"Dia siapa, Nak Nuar?'
”Entahlah”
"Jangan ragu-ragu, Nak!
'Yang pasti, begitu la lenyap... rasanya ada
sesuatu yang hilang dari diriku. Sesuatu yang
sangat besar artinya...”
”Dari alam pikiran, atau alam akalmu?
"Saya tak mengerti, maksud Pak Zakaria."
_"Begini. Alam akal, sifatnya mutlak, Kau menerima atau menolak sesuatu, karena kau ada,-
itu merupakan suatu kodrat. Bila alam pikiran,
sifatnya tidak tetap. Karena apa yang dipikirkan,
belum tentu dapat kita miliki. Kaitannya dengan
manusia, alam akal menunjuk pertalian darah,
Segudang alam pikiran. baru merupakan pertalian
batin...."
Paru-paru Januar terasa kering. Dia dapat
menangkap penjelasan ajengan Zakaria. Dan,
kenyataan itu membuatnya tidak enak hati. Katanya setengah berbisik: 'Kalau tidak salah. dia ada
dalam alam pikian saya”
'Sekarang. Nak. Dia itu. siapa?
Sebelum menyebut nama, dan pertalian antara dirinya dengan si orang punya nama. Januar
geleng-geieng kepala. Dan suaranya riang ketika
ia menjelaskan: "Hubungan kami baik-baik saja.
Tak ada sesuatu yang perlu dicemaskan. Sekarang ia sedang pulang-kampung. Dijemput
orangtuanya. Dan...."
Dingin lagi sekujur tubuh Januar. Nada riang
lenyap dari suaranya ketika melanjutkan: “Waktu
dijemput, ia tak sempat pamit padaku. Kepulangannya begitu tiba-tiba, dan agaknya teramat
mendesak. Bahkan Oomnya dengan siapa ia tinggal di kota ini. tidak diberitahu apa-apa. Oomnya
itu menjelaskan padaku, bahwa ia dijemput ayahnya sendiri... yang tampaknya merasa cemas akan
sesuatu..."
"Jadi dia itu... seorang kekasih? tanya ajengan Zakaria. lembut.
Januar menganggukkan kepala dengan kulit
muka bersemu merah. "Kami suddl berencana
untuk menikah, Pak Zakaria. Mengenai sikap
orang tuanya, tidak ada kesulitan. Meski kami
jarang bertemu, orangtuanya sudah memberi lampu hijau. Pendeknya. semua beres-beres saja..."
"Suaramu sumbang." Ajengan Zakaria berkata
tajam.
Januar mau tak mau menelan ludah. la menjelaskan: 'Tadinya aku bermaksud menyusul, begitu kudengar kekasihku dibawa... tepatnya, di
nasihatkan. agar aku bersabar. Sang ayah meninggalkan pesan, bahwa puterinya akan diantar
kembali pada waktunya...!
'Kalau kau terus menunggu. Nak!” ajengan
Zakaria berubah sungguh-sungguh. Balk wajah
maupun setiap tekanan katanya 'Maka, besar
kemungkinan bayangan menakutkan itu akan
menjadi kenyataan.”
'Maksud Bapak..."
'Kekaslhmu sedang menuju sesuatu," kata
orangtua itu. kuatir. "Mata hatiku dapat melihatnya
Ia menuju sesuatu yang besar dan jahat. Sesuatu.
yang akan menelannya hiduphidup dan membiarkan rohnya sengsara sampai ke akhir jaman.
Hidungku mencium bau busuk, Nak. Busuk dan
terkutuk!"
DUA
lSMIATY bersin lagi. Tiga kali berturut-turut.
Begitu kerasnya, sampai sekujur tubuh gadis itu
terguncang-guncang di bawah selimut. Perempuan setengah baya yang duduk terkantuk-kantuk
di sebelah tempat tidur, seketika membuka mata
lebar-lebar. Bertanya cemas: 'Masih kedinginan,
Nak?"
"Dingin sekali, Bu...l" sahut lsmlaty dengan
nafas tersengal-sengal seraya mengurut-urut
dada yang terasa perih.
'Ibu balur lagi, ya?”
'Jangan, Bu. Kulitku tak tahan."Tetapi..., Astaga, barangkali apinya sudah
padam!" perempuan setengah baya itu bergegas
meninggalkan tempat duduknya. Dalam sekejap
ia telah berjongkok di pojok kamar dekat pintu.
Sambil menyesali diri bahwa tadi ia telah terlelap
selagi menunggui lsmlaty, perempuan itu mengais-ngais tumpukan abu dalam sebuah anglo
besi. Dengan pengungkit ia mengumpulkan sisa
barang yang masih menyala setelah lebih dulu
tumpukan abu ia singkirkan ke luar anglo. sehingga berserakan di lantai. la tambahkan beberapa potong lagi arang besar-besar ke dalam
anglo. Lalu meniupnya berulang-ulang sampai
bara api semakin membesar. Ketika ia kembali lagi
ke dekat lsmiaty. sebagian rambut perempuan itu
ditempati abu. sementara sudut-sudut matanya
tampak berair.
"Lebih hangat sekarang, Nak?" tanyanya
penuh harap.
Sebenarnya lsmiaty hampir bersln lagi. Namun
melihat keadaan ibunya. lsmiaty bertahan sekuat
tenaga. la memaksakan senyum di bibir, lantas
mengangguk pelan. Pada saat bersamaan, dari
kamar sebelah terdengar suara batuk-batuk kering. "Jangan-jangan ayah pun sakit, Bu." desah
lsmiaty kuatir.
"Biarkan saja dia,” ibunya menjawab datar.
Ada nada tak senang dalam suaranya ketika
menambahkan: "la dapat mengurus diri sendiri!"
'Barangkali ayah perlu ini...” lsmlaty bermaksud menyingkirkan salah satu selimut tebal yang
berlapis-lapis membungkus tubuhnya dan kaki
sampai sebatas leher. Tetapi ibunya mencegah
dengan pelototan mata. Sekilas lsmlaty menangkap warna kemerahan pada manik-manik mata
ibunya. Lebih merah dari bara api di anglo, sorot
mata ibunya tajam menghunjam. Dan senyum sinis
ibunya sungguh tak enak dipandang. lsmiaty
menggigil. ta keriapkan mata beberapa kali. Lalu
kembali memandang ke mata ibunya. Takut-takut
Sepasang mata perempuan setengah baya itu
ternyata saat la lihat, bening dan menyejukkan
hati. Senyuman bibirnya pun tak kurang menyamankan perasaan.
Perempuan itu berujar lembut: 'Hari sudah hampir pagi, Nak. Anglo itu tak perlu lagi ditunggui.
Biarlah aku tidur denganmu. Kalau kudekap, tubuhmu akan tetap hangat..." ia kemudian naik ke
tempat tidur, menyelusup ke bawah selimut, lalu
mendekap tubuh anaknya dengan kehangatan
kasih sayang seorang ibu. Dipeluk sedemikian
rupa, Ismiaty perlahan lahan kembali tertidur. la
lelap beberapa jam. Dan ketika membuka matanya, matahari siang hampir meninggalkan jendela
kamarnya yang terpentang lebar, memberi kesempatan pada hawa pegunungan yang hangat
merembes masuk ke dalam kamar.
Kamarnya telah dibersihkan dan di atas meja
kecil dekat tempat tidur tampak terhidang segelas
susu dan beberapa potong ubi goreng. Mungkin
telah diletakkan di situ semenjak pagi, karena
waktu disentuh Ismiaty ternyata minuman dan
penganan itu sudah dingin. Di kota, demi menjaga
kondisi tubuhnya Ismiaty memang sudah terbiasa
meminum segelas air, putih dingin setiap kali
bangun tidur. Tetapi susu, ia belum pernah. Mana
permukaannya sudah mengental pekat, karena itu
tentunya susu sapi murni. Namun setelah berpikir
sejenak, ia teguk juga minuman itu sedikit agar
ibunya yang telah bersusah payah membuatnya.
tidak berkecil hati.
Seraya mengunyah sepotong ubi goreng, ia
bersalin pakaian. Keluar dari kamar ia bersijinjit ke
kamar. Ternyata tempat tidur di situ kosong dan
segala sesuatu di dalam kamar tampak sudah
rapih. Jadi ia tak perlu menguatirkan bahwa ayahnya memang sakit. la lalu beranjak ke kamar mandi
untuk mencuci pakaiannya yang kotor. Di koridor
belakang ia berpapasan dengan ibunya yang baru
saja keluar dari dapur. Perempuan itu tersenyum
lega ketika melihat kehadiran puterinya. 'Mau
mandi sekarang. Mia?” ia bertanya.
'Mandi?!" Ismiaty tertegun. Sesaat tubuhnya
bergetar. 'Setelah apa yang kualami selama tiga
malam berturut-turut, Bu... kukira aku tak usah
mandi lagi siang hari... entah sampai kapan...” ia
mengawasi wajah ibunya, kemudian bertanya dengan suara tersendat: “Sampai kapan semua ini
harus kujalani, Bu?”
Wajah ibunya yang tadi ceria, mendadak berubah suram. la mendekati Ismiaty lantas memeluk
puterinya dengan air mata berlinang. Ada gambaran ketakutan dalam suaranya waktu la membujuk: "Seharian, Anakku. Ayahmu bilang, semuanya akan segera berakhir. Kau boleh pulang
kembali ke kota, dan..."
'Kalau aku bisa pulang..'
'Aduh, Nak. Jangan berkata seperti itu....'
”Lalu? Aku harus berkata apa lagi, Elu? Di kota
aku telah mengalami peristiwa-peristiwa menakutkan. Ayah kemudian datang. Memaksaku pulang
ke kampung, tanpa diperbolehkan memberitahu
siapa pun juga. Dan di sini, aku terus disuguhi
cerita-cerita yang lebih menakutkan lagi. Dipaksa
pula keluyuran tengah malam. Berendam di sungai
yang tidak saja airnya sedingin es, tetapi juga di
sekelilingku begitu gelap mengerikan. Andai saja
Ibu dengar bagaimana suara air terjun di depanku
berderum-derum seram, ibu pasti dapat merasakan jiwaku sangat terguncang. Dan....'