Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Tangan Tangan Setan - 7

$
0
0
Cerita Misteri | Tangan Tangan Setan | by Abdullah Harahap | Tangan Tangan Setan | Cersil Sakti | Tangan Tangan Setan pdf

Mahkota Cinta - Habiburrahman El-Shirazy Josep Sang Mualaf - Fajar Agustanto Namaku Izrail ! - Atmonadi Keluarga Flood - Tetangga Menyebalkan - Colin Thomphson Kumpulan Dongeng Anak

belum kemudian bergumam patah-patah:
  'Maafkan, Pak Santika Seharusnya... aku
  tadi... mengendalikan diri. Dan syarat yang tadi
  Bapak haruskah. membuatku sangat malu pada
  diriku sendiri."
  'Nasi telah menjadi bubur. Madi!
  'Ya. Yaa. Nasi telah menjadi bubur..." keluh
  Dumadi, menyetujui.
  'Tetapi, Madi. Sekurang-kurangnya, masih
  bisa dimakan. bukan?"
  'Ah...."
  'lsmiaty harus kita selamatkan. Madi. Lagipula,
  aib itu tidak perlu diketahui orang lain..."
  Tidak? Bagaimana kelak, dengan suaminya?"
  'Suaminya dapat diberi berbagai alasan yang
  masuk akal. Lagipula, mengapa kita harus berpikir
  mengenai sesuatu yang belum pasti? Karena
  upaya terakhir kita pun, masih berupa rencana.
  Karena itu, berdo'alah. Semoga aku diberi petunjuk lain yang dapat merubah rencana itu. Atau
  paling kurang, tidak akan berakibat separah itu..."
  Dumadi mengurut dadanya, yang bagaikan
  ditusuk-tusuk ribuan jarum. Mengendus, gelisah:
  “Yah... apa yang terjadi, terjadilah. Hanya, bagaimana aku harus mengutarakannya pada anakku
  dan ibunya.:
  Santika lalu memberinya saran yang ganjil:
  'Pada lsmi , barulah boleh.,kau katakan pada
  saat-saat terakhir. Ada pun pada Saniah, isterimu,... Ajaklah ia berbincang-blncang malam ini
  juga. Jangan di dalam rumah, agar tidak keburu
  dikuping lsmiaty. Duduk-duduklah di luar rumah.
  Pura-pura menikmati sinar rembulan. Lalu. besok.
  beritahukan aku reaksi isterimu. Sampai ke reaksi
  yang sekecil-kecilnya!”
  Pikiran Dumadi masih kalut, sehingga keganjilan saran itu tidak diperhatikannya benar. Ia
  hanya mengingat cara-caranya saja, kemudian
  bangkit dan pamit untuk pulang. Di pintu, ia
  mendadak membalikkan tubuh dan memandang
  tuan rumah dengan wajah malu-malu.
  "Ada yang terlupa. Madi?" tanya Santika. tersenyum.
  'Aku kehabisan uang untuk ongkos pulang,"
  jawab Dumadi, tersipu. 'Tolonglah Bapak pinjami
  aku barang lima ratus rupiah."
  LIMA
  CUKUP lama Dumadi menunggu sebelum ada
  bis lewat. Turun dari bis dl mulut desa, ia kehabisan ojek pula sehingga terpaksa meneruskan
  sisa perjalanan dengan mengandalkan kedua
  kakinya yang boleh dibilang sudah kehabisan
  tenaga Larut malam barulah ia tiba di rumah. Pintu
  dibuka oleh Saniah yang tidak bertanya apa-apa.
  kecuali memperlihatkan senyuman lega karena
  sang suami akhirnya pulang juga.
  'Akang tentunya lapar ya,' gumam Saniah
  lembut. "Tunggulah sebentar, Biar kupanaskan
  dulu gulainya." Dan sesaat kemudian Saniah
  sudah menghilang ke dapur.
  Dumadi menghenyakkan tubuhnya yang seakan sudah hancur berantakan di sebuah kursi.
  Sambil menunggu ia kembali berpikir dengan
  gelisah: “Kepada isteri semacam itukah harus
  kuminta ijin melakukan perbuatan yang pasti di
  kutuknya habis-habisan !'
  la berpaling kaget mendengar ada pintu dlbuka dan tahu-tahu Ismiaty sudah ada di depannya. dengan sebuah pertanyaan yang mengagetkan; "Ayah menyesalinya, bukan?” Sebelum Du-
  madi sempat mencerna pertanyaan itu, Ismiaty
  sudah mengajukan pertanyaan lain: "Bagaimana
  Ayah menghapusnya?
  Bingung, Dumadi balas bertanya: “Menghapus apa. Nak?"
  'Kaos oblong itu,' jawab anaknya seraya tersenyum.
  Oh. oh! Ismiaty tersenyum! Setelah anaknya
  yang malang itu hampir seminggu ini selalu murung, ketakutan, atau marah-rnarah tanpa sebab.
  Ada apa ini?
  "Apa tadi kau bilang, Nak?”
  'Kaos oblong. Masa Ayah lupa!""Aku tak punya...”
  "Bukan punya Ayah. Tetapi punya... Januar
  jawab Ismiaty, dengan kedua pipi mendadak bersemu merah. 'Sebentar, kuambilkanl' Lantas gadis itu berlari-lari masuk kembali ke kamar tidurnya. Secepat ia pergi. secepat itu pula ia sudah
  datang lagi. Katanya: 'Untuk menghibur-hibur diri.
  tadi aku membaca salah satu buku saku yang
  sengaja kubawa dari kota. Rupanya ke buku itulah
  sempat kuselipkan foto Januar. lni, Ayah. Perhatikanlah..! Ismiaty menyodorkan selembar loto
  setengah badan seorang pemuda tampan dan
  enerjik. Pemuda itu bertelanjang sebatas pinggang, menonjolkan otot otot muda dan kuat serta
  wajah ditetesi keringat.
  Sambil mengamat-amati foto si pemuda, Dumadi bergumam heran: "Kau tadi bicara soal kaos
  oblong, Mia."
  "Hei !" Ismiaty lebih heran lagi. "Lupakah Ayah.
  kalau Ayah telah mencoret-coret foto ini dengan
  mempergunakan spidolku?"
  "Kapan?"
 
  Waktu Ayah menjemputku. Di rumah oom
  Tarian. Aduh. Ayah main kurakura dalam perahu.
  ya? Karena diam diam Ayah telah menyesali sifat
  usil Ayah yang sempat membuatku merajuk tak
  mau dibawa pulang? Tak usah malu-malu.
  Sesekali mengakui kesalahan. tak apa toh?”
  'Tetapi, Nak..."
  lsmiaty merenggut tak sabar foto itu dari
  tangan ayahnya. la letakkan di meja makan. Lalu
  dengan ujung-ujung kuku jari telunjuknya, la
  menggores-gates di lembaran loto itu. Goresan
  meliuk-liuk. Satu goresan melingkar dl bawah
  leher. Satu ia tarik dari pundak kiri sampai kepinggang. Tarikan yang sama ia lakukan pula dari
  pundak kanan, juga sampai ke pinggang. Tarikan
  meliuk-liuk. Untuk menguatkan maksud goresan
  kukunya. ia menjelaskan "Secara beginilah Ayah
  mencoretkan spidolku waktu itu. Karena aku
  ngambeg, Ayah lalu menghiburku dengan mengatakan, seorang gadis remaja tak pantas menyimpan foto pemuda telanjang. Karena itu Ayah
  mencoret coretnya sedemikian rupa untuk menutupi ketelanjangannya. Lalu kupikir-pikir, tak
  apalah. Coretan-coretan Ayah membuat Januar
  seakan akan tengah memakai kaos oblong. Kaos
  transparan..."
  “Ah... ah ya. Baru kuingat sekarang! komentar
  Dumadi. Wajahnya memperlihatkan perasaan
  malu karena perbuatannya yang kekanak kanakan itu. “Jadi diam diam kau bawa juga foto pacarmu ya?”
  "Tak boleh orangnya, fotonya pun jadilah."
  bisik lsmiaty tersinggung. la teringat betul pesan
  ayahnya waktu itu. agar tidak memberitahu Januar
  bahwa ia akan pulang kampung seminggu dua
  minggu. Januar tak boleh tahu. Kuatir Januar
  memaksa ikut, paling tidak, datang menjemput.
  Kalau datangnya setelah semua urusan beres dan
  segala sesuatunya berjalan lancar dan selamat.
  tak apalah. Ayahnya tidak berkeberatan. Tetapi
  kalau Januar tiba-tiba muncul selagi mereka masih
  melakukan pekerjaan mereka yang aneh di kampung ini, bisa berantakan semuanya. Karena jangankan kehadiran orangnya. Memikirkan Januar
  saja, Ismiaty tidak diperbolehkan. lsmiaty. sebagaimana diingatkan oleh ayahnya, harus benar-
  benar memusatkan diri serta pikirannya hanya
  pada apa yang harus ia jalani. demi keselamatan
  jiwanya sendiri.
  Teringat ke situ, lsmiaty mempergunakan kelengahan ayahnya yang tampak tengah berpikir-
  pikir, untuk menyambar potret Januar dari' meja.
  Potret itu ia pegang erat~erat di tangan yang ia
  silangkan di balik punggungnya. Setengah hati,
  ia lalu berkata: 'Ayah sudah melihatnya. bukan?
  Garis-garis spidol itu sudah hilang. Jadi Ayah
  diam-diam sudah mengetahui, potret Januar kubawa. Lalu Ayah mengambilnya, menghapus coretan-coretan itu, dan menyimpannya kembali di
  dalam buku sakuku. Yang kuherankan, Ayah.
  Bagaimana cara Ayah menghapus coretan spidol
  itu. sehingga tidak sedikit pun meninggalkan
  bekas."
  "Aku tak pernah..."
  Ucapan Dumadi diputus oleh isterinya yang
  rupanya telah muncul dari dapur semenjak tadi
  dan diam-diam menguping pembicaraan mereka.
  “Sudahlah, Mia. Ayahmu capai dan lapar. Besok
  sajalah hal itu kalian bicarakan lagi. Mau makan
  di sini saja, Kang Madi? Atau di dapur, sambil
  menghangatkan tubuh dekat tungku?”
  "Di dapur saja," jawab Dumadi, sambil memperhatikan ke dua lengan anaknya yang menghilang di balik punggung gadis itu. Sebelum bangkit dari kursinya, Dumadi berkata hati-hati: 'Tinggal
  kau seorang anak kami yang masih tersisa, lsmiaty. Sudah cukup banyak usaha yang aku dan
  ibumu lakukan selama ini untuk menyelamatkan
  empat orang saudara-saudaramu yang kami sangat cintai. Maka dari itu. jawablah, Anakku. Haruskah gagal pula usaha kami untuk menyelamatkan
  satu-satunya yang masih tersisa itu?”
  Duk! Terpukul keras dada lsmiaty mendengar
  pertanyaan itu. Lebih-lebih setelah melihat sudut-sudut mata ayahnya basah dilinangi butir-bulir air
  bening. Sementara di belakangnya, ia dengar
  suara ibunya menarik nafas berat dan getir. Setelah menimbang-nimbang sejenak, kedua lengan
  ia tarik dari punggung. Lalu foto Januar ia letakkan
  di meja, seraya bergumam lirih: "Maafkan aku,
  Ayah. ini, simpanlah oleh Ayah."
  Dumadi merasa dirinya semakin tua dan renta,
  manakala ia saksikan anak perempuannya membalikkan tubuh dengan lesu lalu berjalan tertatih-tatih masuk ke kamar tidurnya. Baru setelah pintu
  kamar tidur itu ditutup dari dalam, ia mampu
  bernafas meski tidak terlalu normal. la menghindari pandangan duka di mata isterinya. dengan
  mengamat-amati potret Januar yang tergeletak di
  meja makan. Sepasang mata pemuda itu bersinar
  terang dan tajam, seakan menegur dan mempersalahkan Dumadi. Bibir pemuda itu yang ter-
  senyum tipis, seakan melontarkan ejekan menantang: "Kalau memang tak suka padaku, me-
  ngapa aku tak kau bakar saja?"
  Marah karena kebingungan dan kegelisahannya, Dumadi bangkit dari kursi sembari menyambar potret itu dan membawanya serta ke dapur,
  dilringkan oleh Saniah yang tampak cemas. Duduk
  di depan tungku perapian yang masih menyala.
  Dumadi tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
  Menyimpan potret itu baik-baik, atau melemparkannya ke tungku. Saniah mengawasi diam-diam
  selagi menyendukkan gulai panas ke nasi yang
  sebelumnya telah ia sediakan di piring. la tambahkan pula dua potong tempe goreng. Lalu piring
  itu ia sodorkan ke tangan suaminya, tanpa berkata
  sepatah pun juga.
  Dumadi akan meletakkan potret Januar di
  lantai. dan telah memutuskan untuk menyimpannya nanti baik-baik demi menjaga perasaan puterinya tersayang, ketika ia teringat sesuatu. Diamat-amatinya potret itu dengan teliti. la bayangkan,
  pemuda bertelanjang dada itu kini mengenakan
  celana jean dengan baju kaos lusuh akibat perjalanan jauh. la bayangkan pula ada sebuah
  ransel, model tentara di punggungnya. Dan tiba-tiba, Dumadi dijangkiti perasaan jengkel tiada
 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>