Cerita Misteri | Tangan Tangan Setan | by Abdullah Harahap | Tangan Tangan Setan | Cersil Sakti | Tangan Tangan Setan pdf
Mahkota Cinta - Habiburrahman El-Shirazy Josep Sang Mualaf - Fajar Agustanto Namaku Izrail ! - Atmonadi Keluarga Flood - Tetangga Menyebalkan - Colin Thomphson Kumpulan Dongeng Anak
belum kemudian bergumam patah-patah:
'Maafkan, Pak Santika Seharusnya... aku
tadi... mengendalikan diri. Dan syarat yang tadi
Bapak haruskah. membuatku sangat malu pada
diriku sendiri."
'Nasi telah menjadi bubur. Madi!
'Ya. Yaa. Nasi telah menjadi bubur..." keluh
Dumadi, menyetujui.
'Tetapi, Madi. Sekurang-kurangnya, masih
bisa dimakan. bukan?"
'Ah...."
'lsmiaty harus kita selamatkan. Madi. Lagipula,
aib itu tidak perlu diketahui orang lain..."
Tidak? Bagaimana kelak, dengan suaminya?"
'Suaminya dapat diberi berbagai alasan yang
masuk akal. Lagipula, mengapa kita harus berpikir
mengenai sesuatu yang belum pasti? Karena
upaya terakhir kita pun, masih berupa rencana.
Karena itu, berdo'alah. Semoga aku diberi petunjuk lain yang dapat merubah rencana itu. Atau
paling kurang, tidak akan berakibat separah itu..."
Dumadi mengurut dadanya, yang bagaikan
ditusuk-tusuk ribuan jarum. Mengendus, gelisah:
“Yah... apa yang terjadi, terjadilah. Hanya, bagaimana aku harus mengutarakannya pada anakku
dan ibunya.:
Santika lalu memberinya saran yang ganjil:
'Pada lsmi , barulah boleh.,kau katakan pada
saat-saat terakhir. Ada pun pada Saniah, isterimu,... Ajaklah ia berbincang-blncang malam ini
juga. Jangan di dalam rumah, agar tidak keburu
dikuping lsmiaty. Duduk-duduklah di luar rumah.
Pura-pura menikmati sinar rembulan. Lalu. besok.
beritahukan aku reaksi isterimu. Sampai ke reaksi
yang sekecil-kecilnya!”
Pikiran Dumadi masih kalut, sehingga keganjilan saran itu tidak diperhatikannya benar. Ia
hanya mengingat cara-caranya saja, kemudian
bangkit dan pamit untuk pulang. Di pintu, ia
mendadak membalikkan tubuh dan memandang
tuan rumah dengan wajah malu-malu.
"Ada yang terlupa. Madi?" tanya Santika. tersenyum.
'Aku kehabisan uang untuk ongkos pulang,"
jawab Dumadi, tersipu. 'Tolonglah Bapak pinjami
aku barang lima ratus rupiah."
LIMA
CUKUP lama Dumadi menunggu sebelum ada
bis lewat. Turun dari bis dl mulut desa, ia kehabisan ojek pula sehingga terpaksa meneruskan
sisa perjalanan dengan mengandalkan kedua
kakinya yang boleh dibilang sudah kehabisan
tenaga Larut malam barulah ia tiba di rumah. Pintu
dibuka oleh Saniah yang tidak bertanya apa-apa.
kecuali memperlihatkan senyuman lega karena
sang suami akhirnya pulang juga.
'Akang tentunya lapar ya,' gumam Saniah
lembut. "Tunggulah sebentar, Biar kupanaskan
dulu gulainya." Dan sesaat kemudian Saniah
sudah menghilang ke dapur.
Dumadi menghenyakkan tubuhnya yang seakan sudah hancur berantakan di sebuah kursi.
Sambil menunggu ia kembali berpikir dengan
gelisah: “Kepada isteri semacam itukah harus
kuminta ijin melakukan perbuatan yang pasti di
kutuknya habis-habisan !'
la berpaling kaget mendengar ada pintu dlbuka dan tahu-tahu Ismiaty sudah ada di depannya. dengan sebuah pertanyaan yang mengagetkan; "Ayah menyesalinya, bukan?” Sebelum Du-
madi sempat mencerna pertanyaan itu, Ismiaty
sudah mengajukan pertanyaan lain: "Bagaimana
Ayah menghapusnya?
Bingung, Dumadi balas bertanya: “Menghapus apa. Nak?"
'Kaos oblong itu,' jawab anaknya seraya tersenyum.
Oh. oh! Ismiaty tersenyum! Setelah anaknya
yang malang itu hampir seminggu ini selalu murung, ketakutan, atau marah-rnarah tanpa sebab.
Ada apa ini?
"Apa tadi kau bilang, Nak?”
'Kaos oblong. Masa Ayah lupa!""Aku tak punya...”
"Bukan punya Ayah. Tetapi punya... Januar
jawab Ismiaty, dengan kedua pipi mendadak bersemu merah. 'Sebentar, kuambilkanl' Lantas gadis itu berlari-lari masuk kembali ke kamar tidurnya. Secepat ia pergi. secepat itu pula ia sudah
datang lagi. Katanya: 'Untuk menghibur-hibur diri.
tadi aku membaca salah satu buku saku yang
sengaja kubawa dari kota. Rupanya ke buku itulah
sempat kuselipkan foto Januar. lni, Ayah. Perhatikanlah..! Ismiaty menyodorkan selembar loto
setengah badan seorang pemuda tampan dan
enerjik. Pemuda itu bertelanjang sebatas pinggang, menonjolkan otot otot muda dan kuat serta
wajah ditetesi keringat.
Sambil mengamat-amati foto si pemuda, Dumadi bergumam heran: "Kau tadi bicara soal kaos
oblong, Mia."
"Hei !" Ismiaty lebih heran lagi. "Lupakah Ayah.
kalau Ayah telah mencoret-coret foto ini dengan
mempergunakan spidolku?"
"Kapan?"
Waktu Ayah menjemputku. Di rumah oom
Tarian. Aduh. Ayah main kurakura dalam perahu.
ya? Karena diam diam Ayah telah menyesali sifat
usil Ayah yang sempat membuatku merajuk tak
mau dibawa pulang? Tak usah malu-malu.
Sesekali mengakui kesalahan. tak apa toh?”
'Tetapi, Nak..."
lsmiaty merenggut tak sabar foto itu dari
tangan ayahnya. la letakkan di meja makan. Lalu
dengan ujung-ujung kuku jari telunjuknya, la
menggores-gates di lembaran loto itu. Goresan
meliuk-liuk. Satu goresan melingkar dl bawah
leher. Satu ia tarik dari pundak kiri sampai kepinggang. Tarikan yang sama ia lakukan pula dari
pundak kanan, juga sampai ke pinggang. Tarikan
meliuk-liuk. Untuk menguatkan maksud goresan
kukunya. ia menjelaskan "Secara beginilah Ayah
mencoretkan spidolku waktu itu. Karena aku
ngambeg, Ayah lalu menghiburku dengan mengatakan, seorang gadis remaja tak pantas menyimpan foto pemuda telanjang. Karena itu Ayah
mencoret coretnya sedemikian rupa untuk menutupi ketelanjangannya. Lalu kupikir-pikir, tak
apalah. Coretan-coretan Ayah membuat Januar
seakan akan tengah memakai kaos oblong. Kaos
transparan..."
“Ah... ah ya. Baru kuingat sekarang! komentar
Dumadi. Wajahnya memperlihatkan perasaan
malu karena perbuatannya yang kekanak kanakan itu. “Jadi diam diam kau bawa juga foto pacarmu ya?”
"Tak boleh orangnya, fotonya pun jadilah."
bisik lsmiaty tersinggung. la teringat betul pesan
ayahnya waktu itu. agar tidak memberitahu Januar
bahwa ia akan pulang kampung seminggu dua
minggu. Januar tak boleh tahu. Kuatir Januar
memaksa ikut, paling tidak, datang menjemput.
Kalau datangnya setelah semua urusan beres dan
segala sesuatunya berjalan lancar dan selamat.
tak apalah. Ayahnya tidak berkeberatan. Tetapi
kalau Januar tiba-tiba muncul selagi mereka masih
melakukan pekerjaan mereka yang aneh di kampung ini, bisa berantakan semuanya. Karena jangankan kehadiran orangnya. Memikirkan Januar
saja, Ismiaty tidak diperbolehkan. lsmiaty. sebagaimana diingatkan oleh ayahnya, harus benar-
benar memusatkan diri serta pikirannya hanya
pada apa yang harus ia jalani. demi keselamatan
jiwanya sendiri.
Teringat ke situ, lsmiaty mempergunakan kelengahan ayahnya yang tampak tengah berpikir-
pikir, untuk menyambar potret Januar dari' meja.
Potret itu ia pegang erat~erat di tangan yang ia
silangkan di balik punggungnya. Setengah hati,
ia lalu berkata: 'Ayah sudah melihatnya. bukan?
Garis-garis spidol itu sudah hilang. Jadi Ayah
diam-diam sudah mengetahui, potret Januar kubawa. Lalu Ayah mengambilnya, menghapus coretan-coretan itu, dan menyimpannya kembali di
dalam buku sakuku. Yang kuherankan, Ayah.
Bagaimana cara Ayah menghapus coretan spidol
itu. sehingga tidak sedikit pun meninggalkan
bekas."
"Aku tak pernah..."
Ucapan Dumadi diputus oleh isterinya yang
rupanya telah muncul dari dapur semenjak tadi
dan diam-diam menguping pembicaraan mereka.
“Sudahlah, Mia. Ayahmu capai dan lapar. Besok
sajalah hal itu kalian bicarakan lagi. Mau makan
di sini saja, Kang Madi? Atau di dapur, sambil
menghangatkan tubuh dekat tungku?”
"Di dapur saja," jawab Dumadi, sambil memperhatikan ke dua lengan anaknya yang menghilang di balik punggung gadis itu. Sebelum bangkit dari kursinya, Dumadi berkata hati-hati: 'Tinggal
kau seorang anak kami yang masih tersisa, lsmiaty. Sudah cukup banyak usaha yang aku dan
ibumu lakukan selama ini untuk menyelamatkan
empat orang saudara-saudaramu yang kami sangat cintai. Maka dari itu. jawablah, Anakku. Haruskah gagal pula usaha kami untuk menyelamatkan
satu-satunya yang masih tersisa itu?”
Duk! Terpukul keras dada lsmiaty mendengar
pertanyaan itu. Lebih-lebih setelah melihat sudut-sudut mata ayahnya basah dilinangi butir-bulir air
bening. Sementara di belakangnya, ia dengar
suara ibunya menarik nafas berat dan getir. Setelah menimbang-nimbang sejenak, kedua lengan
ia tarik dari punggung. Lalu foto Januar ia letakkan
di meja, seraya bergumam lirih: "Maafkan aku,
Ayah. ini, simpanlah oleh Ayah."
Dumadi merasa dirinya semakin tua dan renta,
manakala ia saksikan anak perempuannya membalikkan tubuh dengan lesu lalu berjalan tertatih-tatih masuk ke kamar tidurnya. Baru setelah pintu
kamar tidur itu ditutup dari dalam, ia mampu
bernafas meski tidak terlalu normal. la menghindari pandangan duka di mata isterinya. dengan
mengamat-amati potret Januar yang tergeletak di
meja makan. Sepasang mata pemuda itu bersinar
terang dan tajam, seakan menegur dan mempersalahkan Dumadi. Bibir pemuda itu yang ter-
senyum tipis, seakan melontarkan ejekan menantang: "Kalau memang tak suka padaku, me-
ngapa aku tak kau bakar saja?"
Marah karena kebingungan dan kegelisahannya, Dumadi bangkit dari kursi sembari menyambar potret itu dan membawanya serta ke dapur,
dilringkan oleh Saniah yang tampak cemas. Duduk
di depan tungku perapian yang masih menyala.
Dumadi tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Menyimpan potret itu baik-baik, atau melemparkannya ke tungku. Saniah mengawasi diam-diam
selagi menyendukkan gulai panas ke nasi yang
sebelumnya telah ia sediakan di piring. la tambahkan pula dua potong tempe goreng. Lalu piring
itu ia sodorkan ke tangan suaminya, tanpa berkata
sepatah pun juga.
Dumadi akan meletakkan potret Januar di
lantai. dan telah memutuskan untuk menyimpannya nanti baik-baik demi menjaga perasaan puterinya tersayang, ketika ia teringat sesuatu. Diamat-amatinya potret itu dengan teliti. la bayangkan,
pemuda bertelanjang dada itu kini mengenakan
celana jean dengan baju kaos lusuh akibat perjalanan jauh. la bayangkan pula ada sebuah
ransel, model tentara di punggungnya. Dan tiba-tiba, Dumadi dijangkiti perasaan jengkel tiada
Mahkota Cinta - Habiburrahman El-Shirazy Josep Sang Mualaf - Fajar Agustanto Namaku Izrail ! - Atmonadi Keluarga Flood - Tetangga Menyebalkan - Colin Thomphson Kumpulan Dongeng Anak
belum kemudian bergumam patah-patah:
'Maafkan, Pak Santika Seharusnya... aku
tadi... mengendalikan diri. Dan syarat yang tadi
Bapak haruskah. membuatku sangat malu pada
diriku sendiri."
'Nasi telah menjadi bubur. Madi!
'Ya. Yaa. Nasi telah menjadi bubur..." keluh
Dumadi, menyetujui.
'Tetapi, Madi. Sekurang-kurangnya, masih
bisa dimakan. bukan?"
'Ah...."
'lsmiaty harus kita selamatkan. Madi. Lagipula,
aib itu tidak perlu diketahui orang lain..."
Tidak? Bagaimana kelak, dengan suaminya?"
'Suaminya dapat diberi berbagai alasan yang
masuk akal. Lagipula, mengapa kita harus berpikir
mengenai sesuatu yang belum pasti? Karena
upaya terakhir kita pun, masih berupa rencana.
Karena itu, berdo'alah. Semoga aku diberi petunjuk lain yang dapat merubah rencana itu. Atau
paling kurang, tidak akan berakibat separah itu..."
Dumadi mengurut dadanya, yang bagaikan
ditusuk-tusuk ribuan jarum. Mengendus, gelisah:
“Yah... apa yang terjadi, terjadilah. Hanya, bagaimana aku harus mengutarakannya pada anakku
dan ibunya.:
Santika lalu memberinya saran yang ganjil:
'Pada lsmi , barulah boleh.,kau katakan pada
saat-saat terakhir. Ada pun pada Saniah, isterimu,... Ajaklah ia berbincang-blncang malam ini
juga. Jangan di dalam rumah, agar tidak keburu
dikuping lsmiaty. Duduk-duduklah di luar rumah.
Pura-pura menikmati sinar rembulan. Lalu. besok.
beritahukan aku reaksi isterimu. Sampai ke reaksi
yang sekecil-kecilnya!”
Pikiran Dumadi masih kalut, sehingga keganjilan saran itu tidak diperhatikannya benar. Ia
hanya mengingat cara-caranya saja, kemudian
bangkit dan pamit untuk pulang. Di pintu, ia
mendadak membalikkan tubuh dan memandang
tuan rumah dengan wajah malu-malu.
"Ada yang terlupa. Madi?" tanya Santika. tersenyum.
'Aku kehabisan uang untuk ongkos pulang,"
jawab Dumadi, tersipu. 'Tolonglah Bapak pinjami
aku barang lima ratus rupiah."
LIMA
CUKUP lama Dumadi menunggu sebelum ada
bis lewat. Turun dari bis dl mulut desa, ia kehabisan ojek pula sehingga terpaksa meneruskan
sisa perjalanan dengan mengandalkan kedua
kakinya yang boleh dibilang sudah kehabisan
tenaga Larut malam barulah ia tiba di rumah. Pintu
dibuka oleh Saniah yang tidak bertanya apa-apa.
kecuali memperlihatkan senyuman lega karena
sang suami akhirnya pulang juga.
'Akang tentunya lapar ya,' gumam Saniah
lembut. "Tunggulah sebentar, Biar kupanaskan
dulu gulainya." Dan sesaat kemudian Saniah
sudah menghilang ke dapur.
Dumadi menghenyakkan tubuhnya yang seakan sudah hancur berantakan di sebuah kursi.
Sambil menunggu ia kembali berpikir dengan
gelisah: “Kepada isteri semacam itukah harus
kuminta ijin melakukan perbuatan yang pasti di
kutuknya habis-habisan !'
la berpaling kaget mendengar ada pintu dlbuka dan tahu-tahu Ismiaty sudah ada di depannya. dengan sebuah pertanyaan yang mengagetkan; "Ayah menyesalinya, bukan?” Sebelum Du-
madi sempat mencerna pertanyaan itu, Ismiaty
sudah mengajukan pertanyaan lain: "Bagaimana
Ayah menghapusnya?
Bingung, Dumadi balas bertanya: “Menghapus apa. Nak?"
'Kaos oblong itu,' jawab anaknya seraya tersenyum.
Oh. oh! Ismiaty tersenyum! Setelah anaknya
yang malang itu hampir seminggu ini selalu murung, ketakutan, atau marah-rnarah tanpa sebab.
Ada apa ini?
"Apa tadi kau bilang, Nak?”
'Kaos oblong. Masa Ayah lupa!""Aku tak punya...”
"Bukan punya Ayah. Tetapi punya... Januar
jawab Ismiaty, dengan kedua pipi mendadak bersemu merah. 'Sebentar, kuambilkanl' Lantas gadis itu berlari-lari masuk kembali ke kamar tidurnya. Secepat ia pergi. secepat itu pula ia sudah
datang lagi. Katanya: 'Untuk menghibur-hibur diri.
tadi aku membaca salah satu buku saku yang
sengaja kubawa dari kota. Rupanya ke buku itulah
sempat kuselipkan foto Januar. lni, Ayah. Perhatikanlah..! Ismiaty menyodorkan selembar loto
setengah badan seorang pemuda tampan dan
enerjik. Pemuda itu bertelanjang sebatas pinggang, menonjolkan otot otot muda dan kuat serta
wajah ditetesi keringat.
Sambil mengamat-amati foto si pemuda, Dumadi bergumam heran: "Kau tadi bicara soal kaos
oblong, Mia."
"Hei !" Ismiaty lebih heran lagi. "Lupakah Ayah.
kalau Ayah telah mencoret-coret foto ini dengan
mempergunakan spidolku?"
"Kapan?"
Waktu Ayah menjemputku. Di rumah oom
Tarian. Aduh. Ayah main kurakura dalam perahu.
ya? Karena diam diam Ayah telah menyesali sifat
usil Ayah yang sempat membuatku merajuk tak
mau dibawa pulang? Tak usah malu-malu.
Sesekali mengakui kesalahan. tak apa toh?”
'Tetapi, Nak..."
lsmiaty merenggut tak sabar foto itu dari
tangan ayahnya. la letakkan di meja makan. Lalu
dengan ujung-ujung kuku jari telunjuknya, la
menggores-gates di lembaran loto itu. Goresan
meliuk-liuk. Satu goresan melingkar dl bawah
leher. Satu ia tarik dari pundak kiri sampai kepinggang. Tarikan yang sama ia lakukan pula dari
pundak kanan, juga sampai ke pinggang. Tarikan
meliuk-liuk. Untuk menguatkan maksud goresan
kukunya. ia menjelaskan "Secara beginilah Ayah
mencoretkan spidolku waktu itu. Karena aku
ngambeg, Ayah lalu menghiburku dengan mengatakan, seorang gadis remaja tak pantas menyimpan foto pemuda telanjang. Karena itu Ayah
mencoret coretnya sedemikian rupa untuk menutupi ketelanjangannya. Lalu kupikir-pikir, tak
apalah. Coretan-coretan Ayah membuat Januar
seakan akan tengah memakai kaos oblong. Kaos
transparan..."
“Ah... ah ya. Baru kuingat sekarang! komentar
Dumadi. Wajahnya memperlihatkan perasaan
malu karena perbuatannya yang kekanak kanakan itu. “Jadi diam diam kau bawa juga foto pacarmu ya?”
"Tak boleh orangnya, fotonya pun jadilah."
bisik lsmiaty tersinggung. la teringat betul pesan
ayahnya waktu itu. agar tidak memberitahu Januar
bahwa ia akan pulang kampung seminggu dua
minggu. Januar tak boleh tahu. Kuatir Januar
memaksa ikut, paling tidak, datang menjemput.
Kalau datangnya setelah semua urusan beres dan
segala sesuatunya berjalan lancar dan selamat.
tak apalah. Ayahnya tidak berkeberatan. Tetapi
kalau Januar tiba-tiba muncul selagi mereka masih
melakukan pekerjaan mereka yang aneh di kampung ini, bisa berantakan semuanya. Karena jangankan kehadiran orangnya. Memikirkan Januar
saja, Ismiaty tidak diperbolehkan. lsmiaty. sebagaimana diingatkan oleh ayahnya, harus benar-
benar memusatkan diri serta pikirannya hanya
pada apa yang harus ia jalani. demi keselamatan
jiwanya sendiri.
Teringat ke situ, lsmiaty mempergunakan kelengahan ayahnya yang tampak tengah berpikir-
pikir, untuk menyambar potret Januar dari' meja.
Potret itu ia pegang erat~erat di tangan yang ia
silangkan di balik punggungnya. Setengah hati,
ia lalu berkata: 'Ayah sudah melihatnya. bukan?
Garis-garis spidol itu sudah hilang. Jadi Ayah
diam-diam sudah mengetahui, potret Januar kubawa. Lalu Ayah mengambilnya, menghapus coretan-coretan itu, dan menyimpannya kembali di
dalam buku sakuku. Yang kuherankan, Ayah.
Bagaimana cara Ayah menghapus coretan spidol
itu. sehingga tidak sedikit pun meninggalkan
bekas."
"Aku tak pernah..."
Ucapan Dumadi diputus oleh isterinya yang
rupanya telah muncul dari dapur semenjak tadi
dan diam-diam menguping pembicaraan mereka.
“Sudahlah, Mia. Ayahmu capai dan lapar. Besok
sajalah hal itu kalian bicarakan lagi. Mau makan
di sini saja, Kang Madi? Atau di dapur, sambil
menghangatkan tubuh dekat tungku?”
"Di dapur saja," jawab Dumadi, sambil memperhatikan ke dua lengan anaknya yang menghilang di balik punggung gadis itu. Sebelum bangkit dari kursinya, Dumadi berkata hati-hati: 'Tinggal
kau seorang anak kami yang masih tersisa, lsmiaty. Sudah cukup banyak usaha yang aku dan
ibumu lakukan selama ini untuk menyelamatkan
empat orang saudara-saudaramu yang kami sangat cintai. Maka dari itu. jawablah, Anakku. Haruskah gagal pula usaha kami untuk menyelamatkan
satu-satunya yang masih tersisa itu?”
Duk! Terpukul keras dada lsmiaty mendengar
pertanyaan itu. Lebih-lebih setelah melihat sudut-sudut mata ayahnya basah dilinangi butir-bulir air
bening. Sementara di belakangnya, ia dengar
suara ibunya menarik nafas berat dan getir. Setelah menimbang-nimbang sejenak, kedua lengan
ia tarik dari punggung. Lalu foto Januar ia letakkan
di meja, seraya bergumam lirih: "Maafkan aku,
Ayah. ini, simpanlah oleh Ayah."
Dumadi merasa dirinya semakin tua dan renta,
manakala ia saksikan anak perempuannya membalikkan tubuh dengan lesu lalu berjalan tertatih-tatih masuk ke kamar tidurnya. Baru setelah pintu
kamar tidur itu ditutup dari dalam, ia mampu
bernafas meski tidak terlalu normal. la menghindari pandangan duka di mata isterinya. dengan
mengamat-amati potret Januar yang tergeletak di
meja makan. Sepasang mata pemuda itu bersinar
terang dan tajam, seakan menegur dan mempersalahkan Dumadi. Bibir pemuda itu yang ter-
senyum tipis, seakan melontarkan ejekan menantang: "Kalau memang tak suka padaku, me-
ngapa aku tak kau bakar saja?"
Marah karena kebingungan dan kegelisahannya, Dumadi bangkit dari kursi sembari menyambar potret itu dan membawanya serta ke dapur,
dilringkan oleh Saniah yang tampak cemas. Duduk
di depan tungku perapian yang masih menyala.
Dumadi tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Menyimpan potret itu baik-baik, atau melemparkannya ke tungku. Saniah mengawasi diam-diam
selagi menyendukkan gulai panas ke nasi yang
sebelumnya telah ia sediakan di piring. la tambahkan pula dua potong tempe goreng. Lalu piring
itu ia sodorkan ke tangan suaminya, tanpa berkata
sepatah pun juga.
Dumadi akan meletakkan potret Januar di
lantai. dan telah memutuskan untuk menyimpannya nanti baik-baik demi menjaga perasaan puterinya tersayang, ketika ia teringat sesuatu. Diamat-amatinya potret itu dengan teliti. la bayangkan,
pemuda bertelanjang dada itu kini mengenakan
celana jean dengan baju kaos lusuh akibat perjalanan jauh. la bayangkan pula ada sebuah
ransel, model tentara di punggungnya. Dan tiba-tiba, Dumadi dijangkiti perasaan jengkel tiada