,Cerita The Broker | Sang Broker | by John Grisham | Sang Broker | Cersil Sakti | Sang Broker pdf
Iblis Dunia Persilatan - Bung Aone Penunggu Jenazah - Abdullah Harahap Seducing Cinderella - Gina L. Maxwell Tangan Tangan Setan - Abdullah Harahap Sepasang Mata Iblis - Abdullah Harahap
h, satu di Italia dan tiga di Swiss. Ulayah negara mana yang
lebih menguntungkan?
Ia tidak bisa mengambil risiko dibuntuti lagi sebiang. Kalau orang-orang itu
ada di kereta, mereka sudah mengikutinya sejak Bologna, lalu Modena, dan
Milano, dengan berbagai penyamaran. Mereka profesional, dan Marco tak
sebanding dengan me-teka. Sambil menghirup birnya, Marco merasa seperti
amatir yang payah.
Madame memandangi ujung celana pantalonnya yang tercincang. Kemudian
Marco melihatnya melirik sepatu boling modifikasi itu, dan Marco sama sekali
tidak menyalahkannya. Lalu jam tangan bertali merah menarik perhatian
Madame. Mimik wajahnya menyatakan apa yang sudah jelas-ia tidak setuju
dengan selera mode Marco yang rendah. Biasalah, orang Amerika, atau Kanada,
atau dari mana pun dia. Mral
Marco melihat sekilas cahaya yang berkelip-kelip dari Danau Lugano. Mereka
mehuk-liuk melalui wilayah sekitar danau itu, semakin menanjak. Swiss tidak
jauh lagi.
Sesekali ada orang lewat di gang di luar bbin. Mereka menoleh, memandang
melalui pintu kaca, lalu terus ke belakang, mencari kamar kecil. Madame
menumpangkan kedua kakinp di kursi di depannya, tidak jauh dari Marco. Sam
jam sesudah berangkat, ia menebarkan wadah, majalah,
dan pakaiannya di seluruh kabin. Marco takut me ninggalkan tempat
duduknya.
Akhirnya keletihan menguasainya, dan Marco 1 jatuh tertidur. Ia terbangun
karena keriuhan di stasiun Bellinzona, perhentian pertama di Swiss. | Seorang
penumpang memasuki gerbong kelas satu j dan tidak bisa menemukan tempat.
Ia membuka , pintu kabin Madame, mengedarkan pandang, tidak menyukai
yang dilihatnya, lalu keluar untuk memanggil kondektur. Mereka menemukan
kursi untuknya di tempat lain. Madame nyaris tidak mendongak dari majalah
mode yang dibacanya.
Perjalanan berikut satu jam empat puluh menit lamanya, dan ketika
Madame kembali mengambil termos, Marco berkata, "Aku mau sedikit." Wanita
itu tersenyum untuk pertama kalinya selama berjam-jam. Walau ia tidak
keberatan minum sendiri, selalu lebih menyenangkan menikmati minuman
bersama teman. Namun dua gelas kemudian, Marco kembali terangguk-angguk
oleh kantuk.
Kereta tersentak-sentak ketika melambat di perhentian Arth-Goldau. Kepala
Marco ikut tersentak, dan topinya jatuh. Madame mengawasinya Wm-lekat.
Sewaktu Marco akhirnya berhasil membuka mau, wanita itu memberitahu, "Ada
orani aneh yang udi memandangimu."
"Di mana?"
"Di mana? Ya di sini, tentu saja, di atas kereta Ia lewat paling tidak tiga
kali. Berhenti di pintu, memandangimu dengan teliti, lalu menyelinap pergi."
Mungkin karena sepatuku, pikir Marco. Atau celana pantalonku. Arlojiku? Ia
menggosok-gosok mata dan betlagak seolah itu sering terjadi. "Seperti apa
tampangnya?" "Rambut pirang, sekitar tiga puluh lima, manis, jaket cokelat.
Kau kenal dia?"
"Tidak, aku tidak kenal." Pria di bus di Modena itu rambutnya tidak pitang
dan ia tidak mengenakan jaket cokelat, tapi hal-hal kecil itu tidak relevan
sekarang. Marco sudah cukup ketakutan sehingga ingin mengubah rencananya.
2^
Zug tinggal 25 menit lagi, perhentian terakhir sebelum Zurich. Ia tidak bisa
mengambil risiko membawa mereka ke Zurich. Sepuluh menit ke-I mudian, ia
mengumumkan ia perlu ke kamar kecil. Di antata kursinya dan pintu tersebar
segala 1 halangan milik Madame. Ketika melompat-lompat I mencari jalan,
ia meletakkan koper dan tongkatnya 1 di kursi.
Ia melewati empat kabin, masing-masing berisi I sedikitnya tiga penumpang,
tak seorang pun 1 tampak mencurigakan. Ia pergi ke kamar kecil,
j menguncinya, dan menunggu sampai kereta mulai
melambat. Lalu kereta itu berhenti. Perhentian di Zug ini cuma dua menit,
dan sejauh ini kereta 1 selalu tepat waktu. Satu menit ia biarkan berlalu, 1 lalu
ia kembali ke kabin, membuka pintu, tidak 1 mengucapkan apa pun pada
Madame, mengambil 1 koper dan tongkatnya, yang sudah disiapkannya se- j
bagai senjata, dan berlari ke bagian belakang kereta, : lalu melompat ke
peron.
Stasiun itu kecil, lebih tinggi daripada jalan di 1 bawah. Marco berlari
menuruni tangga ke trotoar, i mendekati satu-satunya taksi dengan sopir yang i
terlelap di belakang kemud
http://cerita-silat.mywapblog.com
i. "Ke hotel," katanya j mengagetkan si sopir, yang
secara instingtif meraih kunci kontak. Ia menanyakan sesuatu dalam bahasa
Jerman dan Marco mencoba bahasa Italia. "Aku mau ke hotel kecil. Aku belum
memesan tempat."
"Tidak masalah," timpal sopir itu. Saat mereka berangkat, Marco mendongak
dan melihat kereta itu bergerak. Ia melongok ke belakang, dan tak melihat
seorang pun mengejarnya.
Perjalanan itu empat blok jauhnya, dan ketika mereka berhenti di depan
bangunan berbentuk A di jalan kecil yang sunyi, sopir taksi berkata dalam
bahasa Italia, "Hotel, ini sangat bagus."
tampaknya lumayan. Trims. Berapa lama perjalanan naik mobil ke Zurich?"
"Dua jam, kuang-lebih. Tergantung lalu lin-tas.
"Besok pagi, aku harus sampai di pusat kota Zurich pada pukul sembilan
pagi. Bisakah kau mengantarku ke sana?"
Sopir itu ragu-ragu sejenak, benaknya sudah membayangkan uang tunai.
"Barangkali," jawabnya. "Berapa ongkosnya?"
Sopir itu menggosok-gosok dagunya, lalu mengangkat bahu dan berkata,
"Dua ratus euro." "Bagus. Kita berangkat dari sini pukul enam." "Enam, ya, aku
akan ada di sini." Marco mengucapkan terima kasih lagi dan melihat taksi itu
menjauh. Bel berdering ketika ia memasuki pintu depan hotel. Meja konter
kecil itu kosong, tapi terdengar suara televisi tak jauh dari sana. Seotang
remaja dengan mata mengantuk akhirnya muncul dan berusaha tersenyum.
"Guten abend," sapanya.
"Paria inglese?" tanya Marco. Pemuda itu menggeleng, tidak. "Italiano?"
"Sedikit."
"Aku juga bisa sedikit," kata Marco dalam bahasa Italia. "Aku mau menginap
satu malam."
Petugas jaga itu memberikan formulir registrasi, dan berdasarkan ingatan,
Marco mengisi nama yang ada di paspor, juga nomornya. Ia menulis alamat
karangan di Bologna, dan nomor telepon palsu juga. Paspor itu ada di saku
mantelnya, de-kat jantungnya, dan walau enggan ia siap mengluarkannya.
Namun saat itu sudah larut dan sipetugas meja depan terpaksa kehilangan
tontonan televisi Dengan kecerobohan yang tidak sesuai dengan karakter Swiss,
ia berkata, juga dalam bahasa italia "Empat puluh dua euro," dan tidak
menyebut-nyebut soal paspor.
Giovanni meletakkan uang di meja, dan pe tugas jaga itu memberinya kunci
kamar nomor i 26. Dengan bahasa Italia yang bagus, Giovanni mengatur agar ia
dibangunkan pada pukul lima pagi. Seolah baru teringat, ia menambahkan,
"Sikat gigiku hilang. Apakah ada sikat gigi cadangan?"
Pemuda itu menarik laci dan mengambil sekotak penuh berbagai keperluan
-sikat gigi, pasta gigi, alat cukur sekali pakai, krim cukur, aspirin, tampon,
krim tangan, sisir, bahkan kondom. Giovanni , memilih beberapa di antaranya
dan memberikan sepuluh euro.
Suite mewah di Ritz pun tidak akan lebih disyukuri daripada kamar nomor
26. Kecil, bersih, BE dengan kasur yang mantap, dan pintu yang lili dua kali
untuk mengusir wajah yang telah
menghantuinya sejak dini hari. Ia mandi lama di
bawah pancuran, Lalu bercukur dan menggosok gigi
lama sekali.
Semakin ^legakan ketika ia menemukan rnini- " ai bawah televisi. Ia makan sebungkus di lemari tomya ^ botol ked
biskuit. merayap ke balik selimut, mental-wiski, * wbuhnya kelelahan. Tongkat itu
nf* tef sana di dekatnya. Konyol memang, j di atas ranjang, * t tidak
bisa menahan diri.
31
Jauh di kedalaman penjara, ia memimpikan Zurich dengan sungai-sungainya
yang biru, jalan-jalan yang bersih dan teduh, toko-toko yang modern, dan
penduduknya yang elegan, semua bangga menjadi orang Swiss, semua
mengerjakan pekerjaannya dengan kesungguhan yang menyenangkan. Di
kehidupan lain, ia pernah naik trem listrik yang berdengung pelan bersama
orang-orang itu menuju distrik keuangan. Dulu ia terlalu sibuk untuk sering
bepergian, terlalu penting untuk meninggalkan urusan-urusan yang rawan di
Washington, tapi Zuri adalah salah satu dari sedikit tempat yang Petuah
dilihatnya. Kota itu sesuai dengannya: tldak turis dan lalu lintas, tidak bersedia
m^iskan waktunya memelototi katedral dan UI sertj memuja kurun waktu
dua ratus
yang sudah berlalu- Sama sekali ^ seperti Ju Se8ala hal tentang Zurich
adalah uar,g, mana-Len uang canggih yang pernah dikuasai Backman [ingga
sempu
http://cerita-silat.mywapblog.com
Iblis Dunia Persilatan - Bung Aone Penunggu Jenazah - Abdullah Harahap Seducing Cinderella - Gina L. Maxwell Tangan Tangan Setan - Abdullah Harahap Sepasang Mata Iblis - Abdullah Harahap
h, satu di Italia dan tiga di Swiss. Ulayah negara mana yang
lebih menguntungkan?
Ia tidak bisa mengambil risiko dibuntuti lagi sebiang. Kalau orang-orang itu
ada di kereta, mereka sudah mengikutinya sejak Bologna, lalu Modena, dan
Milano, dengan berbagai penyamaran. Mereka profesional, dan Marco tak
sebanding dengan me-teka. Sambil menghirup birnya, Marco merasa seperti
amatir yang payah.
Madame memandangi ujung celana pantalonnya yang tercincang. Kemudian
Marco melihatnya melirik sepatu boling modifikasi itu, dan Marco sama sekali
tidak menyalahkannya. Lalu jam tangan bertali merah menarik perhatian
Madame. Mimik wajahnya menyatakan apa yang sudah jelas-ia tidak setuju
dengan selera mode Marco yang rendah. Biasalah, orang Amerika, atau Kanada,
atau dari mana pun dia. Mral
Marco melihat sekilas cahaya yang berkelip-kelip dari Danau Lugano. Mereka
mehuk-liuk melalui wilayah sekitar danau itu, semakin menanjak. Swiss tidak
jauh lagi.
Sesekali ada orang lewat di gang di luar bbin. Mereka menoleh, memandang
melalui pintu kaca, lalu terus ke belakang, mencari kamar kecil. Madame
menumpangkan kedua kakinp di kursi di depannya, tidak jauh dari Marco. Sam
jam sesudah berangkat, ia menebarkan wadah, majalah,
dan pakaiannya di seluruh kabin. Marco takut me ninggalkan tempat
duduknya.
Akhirnya keletihan menguasainya, dan Marco 1 jatuh tertidur. Ia terbangun
karena keriuhan di stasiun Bellinzona, perhentian pertama di Swiss. | Seorang
penumpang memasuki gerbong kelas satu j dan tidak bisa menemukan tempat.
Ia membuka , pintu kabin Madame, mengedarkan pandang, tidak menyukai
yang dilihatnya, lalu keluar untuk memanggil kondektur. Mereka menemukan
kursi untuknya di tempat lain. Madame nyaris tidak mendongak dari majalah
mode yang dibacanya.
Perjalanan berikut satu jam empat puluh menit lamanya, dan ketika
Madame kembali mengambil termos, Marco berkata, "Aku mau sedikit." Wanita
itu tersenyum untuk pertama kalinya selama berjam-jam. Walau ia tidak
keberatan minum sendiri, selalu lebih menyenangkan menikmati minuman
bersama teman. Namun dua gelas kemudian, Marco kembali terangguk-angguk
oleh kantuk.
Kereta tersentak-sentak ketika melambat di perhentian Arth-Goldau. Kepala
Marco ikut tersentak, dan topinya jatuh. Madame mengawasinya Wm-lekat.
Sewaktu Marco akhirnya berhasil membuka mau, wanita itu memberitahu, "Ada
orani aneh yang udi memandangimu."
"Di mana?"
"Di mana? Ya di sini, tentu saja, di atas kereta Ia lewat paling tidak tiga
kali. Berhenti di pintu, memandangimu dengan teliti, lalu menyelinap pergi."
Mungkin karena sepatuku, pikir Marco. Atau celana pantalonku. Arlojiku? Ia
menggosok-gosok mata dan betlagak seolah itu sering terjadi. "Seperti apa
tampangnya?" "Rambut pirang, sekitar tiga puluh lima, manis, jaket cokelat.
Kau kenal dia?"
"Tidak, aku tidak kenal." Pria di bus di Modena itu rambutnya tidak pitang
dan ia tidak mengenakan jaket cokelat, tapi hal-hal kecil itu tidak relevan
sekarang. Marco sudah cukup ketakutan sehingga ingin mengubah rencananya.
2^
Zug tinggal 25 menit lagi, perhentian terakhir sebelum Zurich. Ia tidak bisa
mengambil risiko membawa mereka ke Zurich. Sepuluh menit ke-I mudian, ia
mengumumkan ia perlu ke kamar kecil. Di antata kursinya dan pintu tersebar
segala 1 halangan milik Madame. Ketika melompat-lompat I mencari jalan,
ia meletakkan koper dan tongkatnya 1 di kursi.
Ia melewati empat kabin, masing-masing berisi I sedikitnya tiga penumpang,
tak seorang pun 1 tampak mencurigakan. Ia pergi ke kamar kecil,
j menguncinya, dan menunggu sampai kereta mulai
melambat. Lalu kereta itu berhenti. Perhentian di Zug ini cuma dua menit,
dan sejauh ini kereta 1 selalu tepat waktu. Satu menit ia biarkan berlalu, 1 lalu
ia kembali ke kabin, membuka pintu, tidak 1 mengucapkan apa pun pada
Madame, mengambil 1 koper dan tongkatnya, yang sudah disiapkannya se- j
bagai senjata, dan berlari ke bagian belakang kereta, : lalu melompat ke
peron.
Stasiun itu kecil, lebih tinggi daripada jalan di 1 bawah. Marco berlari
menuruni tangga ke trotoar, i mendekati satu-satunya taksi dengan sopir yang i
terlelap di belakang kemud
http://cerita-silat.mywapblog.com
Sang Broker - John Grisham
i. "Ke hotel," katanya j mengagetkan si sopir, yang
secara instingtif meraih kunci kontak. Ia menanyakan sesuatu dalam bahasa
Jerman dan Marco mencoba bahasa Italia. "Aku mau ke hotel kecil. Aku belum
memesan tempat."
"Tidak masalah," timpal sopir itu. Saat mereka berangkat, Marco mendongak
dan melihat kereta itu bergerak. Ia melongok ke belakang, dan tak melihat
seorang pun mengejarnya.
Perjalanan itu empat blok jauhnya, dan ketika mereka berhenti di depan
bangunan berbentuk A di jalan kecil yang sunyi, sopir taksi berkata dalam
bahasa Italia, "Hotel, ini sangat bagus."
tampaknya lumayan. Trims. Berapa lama perjalanan naik mobil ke Zurich?"
"Dua jam, kuang-lebih. Tergantung lalu lin-tas.
"Besok pagi, aku harus sampai di pusat kota Zurich pada pukul sembilan
pagi. Bisakah kau mengantarku ke sana?"
Sopir itu ragu-ragu sejenak, benaknya sudah membayangkan uang tunai.
"Barangkali," jawabnya. "Berapa ongkosnya?"
Sopir itu menggosok-gosok dagunya, lalu mengangkat bahu dan berkata,
"Dua ratus euro." "Bagus. Kita berangkat dari sini pukul enam." "Enam, ya, aku
akan ada di sini." Marco mengucapkan terima kasih lagi dan melihat taksi itu
menjauh. Bel berdering ketika ia memasuki pintu depan hotel. Meja konter
kecil itu kosong, tapi terdengar suara televisi tak jauh dari sana. Seotang
remaja dengan mata mengantuk akhirnya muncul dan berusaha tersenyum.
"Guten abend," sapanya.
"Paria inglese?" tanya Marco. Pemuda itu menggeleng, tidak. "Italiano?"
"Sedikit."
"Aku juga bisa sedikit," kata Marco dalam bahasa Italia. "Aku mau menginap
satu malam."
Petugas jaga itu memberikan formulir registrasi, dan berdasarkan ingatan,
Marco mengisi nama yang ada di paspor, juga nomornya. Ia menulis alamat
karangan di Bologna, dan nomor telepon palsu juga. Paspor itu ada di saku
mantelnya, de-kat jantungnya, dan walau enggan ia siap mengluarkannya.
Namun saat itu sudah larut dan sipetugas meja depan terpaksa kehilangan
tontonan televisi Dengan kecerobohan yang tidak sesuai dengan karakter Swiss,
ia berkata, juga dalam bahasa italia "Empat puluh dua euro," dan tidak
menyebut-nyebut soal paspor.
Giovanni meletakkan uang di meja, dan pe tugas jaga itu memberinya kunci
kamar nomor i 26. Dengan bahasa Italia yang bagus, Giovanni mengatur agar ia
dibangunkan pada pukul lima pagi. Seolah baru teringat, ia menambahkan,
"Sikat gigiku hilang. Apakah ada sikat gigi cadangan?"
Pemuda itu menarik laci dan mengambil sekotak penuh berbagai keperluan
-sikat gigi, pasta gigi, alat cukur sekali pakai, krim cukur, aspirin, tampon,
krim tangan, sisir, bahkan kondom. Giovanni , memilih beberapa di antaranya
dan memberikan sepuluh euro.
Suite mewah di Ritz pun tidak akan lebih disyukuri daripada kamar nomor
26. Kecil, bersih, BE dengan kasur yang mantap, dan pintu yang lili dua kali
untuk mengusir wajah yang telah
menghantuinya sejak dini hari. Ia mandi lama di
bawah pancuran, Lalu bercukur dan menggosok gigi
lama sekali.
Semakin ^legakan ketika ia menemukan rnini- " ai bawah televisi. Ia makan sebungkus di lemari tomya ^ botol ked
biskuit. merayap ke balik selimut, mental-wiski, * wbuhnya kelelahan. Tongkat itu
nf* tef sana di dekatnya. Konyol memang, j di atas ranjang, * t tidak
bisa menahan diri.
31
Jauh di kedalaman penjara, ia memimpikan Zurich dengan sungai-sungainya
yang biru, jalan-jalan yang bersih dan teduh, toko-toko yang modern, dan
penduduknya yang elegan, semua bangga menjadi orang Swiss, semua
mengerjakan pekerjaannya dengan kesungguhan yang menyenangkan. Di
kehidupan lain, ia pernah naik trem listrik yang berdengung pelan bersama
orang-orang itu menuju distrik keuangan. Dulu ia terlalu sibuk untuk sering
bepergian, terlalu penting untuk meninggalkan urusan-urusan yang rawan di
Washington, tapi Zuri adalah salah satu dari sedikit tempat yang Petuah
dilihatnya. Kota itu sesuai dengannya: tldak turis dan lalu lintas, tidak bersedia
m^iskan waktunya memelototi katedral dan UI sertj memuja kurun waktu
dua ratus
yang sudah berlalu- Sama sekali ^ seperti Ju Se8ala hal tentang Zurich
adalah uar,g, mana-Len uang canggih yang pernah dikuasai Backman [ingga
sempu
http://cerita-silat.mywapblog.com
Sang Broker - John Grisham