Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Sang Broker - 77

$
0
0
,Cerita The Broker | Sang Broker | by John Grisham | Sang Broker | Cersil Sakti | Sang Broker pdf

Iblis Dunia Persilatan - Bung Aone Penunggu Jenazah - Abdullah Harahap Seducing Cinderella - Gina L. Maxwell Tangan Tangan Setan - Abdullah Harahap Sepasang Mata Iblis - Abdullah Harahap

meraih kenop pintu, lalu teringat sesuatu yang lain. "Asal
  Anda tahu," ujarnya muram, "CIA cukup yakin bahwa Sammy Tin mendarat di
  New York siang tadi. Dengan penerbangan dari Milan." "Trims, kurang-lebih,"
  kata Joel. Sewaktu Roland meninggalkan kamar hotel itu
  dengan membawa amplop, Joel merebahkan diri di ranjang dan
  memejamkan matanya. Neal mengambil dua bir dari minibar dan duduk di kursi
  yang tak jauh dari sana. Ia menunggu beberapa menit, menyesap birnya, lalu
  akhirnya bertanya, "Dad, Sammy Tin itu siapa?" "Kau tidak ingin tahu."
  "Oh, yeah. Aku ingin tahu semuanya. Dan kau akan menceritakannya
  padaku."
  Pada pukul enam petang, mobil ibu Lisa berhenti di hiar salon tata rambut
  di Wisconsin Avenue di Georgetown. Joel turun dan mengucapkan selamat
  tinggal. Dan terima kasih. Neal melesat pergi, tak sabar ingin tiba di rumah.
  Neal telah membuat janji lewat telepon beberapa jam sebelumnya,
  menyuap resepsionis dengan janji lima ratus dolar tunai. Seorang wanita
  bertubuh gempal bernama Maureen sudah menunggu, tidak terlalu senang
  harus bekerja lembur, tapi tetap saja ingin tahu siapa yang mau membayar
  semahal itu untuk pekerjaan mengecat rambut yang cepat.
  Joel membayar di muka, berterima kasih pada resepsionis dan Maureen atas
  kesediaan mereka meluangkan waktu, lalu duduk di depan cermin. "Kau ingin
  menghapusnya?" tanya Maureen. "Tidak. Ayo cepat."
  Tangannya menyentuh rambut Joel dan bertanya, "Siapa yang
  mengerjakannya?" "Seorang wanita di Italia." "Kau mau warna apa?" "Kelabu,
  seluruhnya." "Natural?"
  "Tidak, sama sekali tidak natural. Bikin hampir putih seluruhnya."
  Maureen memutar bola matanya ke arah si resepsionis. Macam-macam jenis
  orang yang datang kemari.
  Maureen mulai bekerja. Si resepsionis pulang, mengunci pintu depan.
  Beberapa menit kemudian, Joel bertanya, "Kau masuk kerja besok?"
  "Tidak, besok aku libur. Kenapa?"
  "Karena aku perlu darang lagi besok. Aku akan menyukai warna yang lebih
  gelap besok, untuk menyembunyikan rambut kelabu yang kaubuat sekarang."
  Tangan-tangan Maureen berhenti bekerja. "Kau kenapa sih?"
  "Temui aku di sini tengah hari besok, dan aku akan membayar seribu dolar
  runai."
  "Baiklah. Bagaimana lusa?"
  "Aku sudah cukup senang kalau sebagian ubannya hilang."
  Dan Sandberg sedang duduk-duduk saja di mejanya di Post sore itu ketika
  telepon berdering. Pria di ujung sambungan telepon memperkenalkan diri
  sebagai Joel Backman, dan mengatakan ia ingin bicara. Caller ID telepon
  Sandberg memperlihatkan nomor yang tak diketahui.
  "Joel Backman sungguhan?" tanya Sandberg, gera-gapan meraih laptop-nyz.
  "Satu-satunya Joel Backman yang kukenal." "Senang bertemu denganmu.
  Terakhir kali aku melihatmu, kau ada di pengadilan, mengaku bersalah atas
  segala macam kejahatan."
  "Yang semuanya sudah dihapus bersih dengan pengampunan dari Presiden."
  "Kukira kau disembunyikan di ujung dunia." 'Yeah, aku sudah bosan dengan
  Eropa. Merindukan lahan permainanku yang lama. Aku sudah kembali sekarang,
  siap berbisnis lagi." "Bisnis macam apa?"
  "Keahlianku, tentu saja. Itulah yang ingin kubicarakan denganmu."
  "Aku akan senang sekait. Tapi aku harus bertanya tentang pengampunan
  hukuman itu. Banyak desas-desus liar di sini."
  "Itu hal pertama yang akan kita bicarakan, Mr. Sandberg. Bagaimana kalau
  besok pagi pukul sembilan?"
  "Aku tidak akan ingkar janji. Di mana kita bertemu?"
  "Aku akan menyewa presidential suite di Hay-Adams. Bawa fotografer kalau
  kau mau. Sang broker kembali ke arena."
  Sandberg memutuskan sambungan dan menghubungi Rusty Lowell,
  sumbernya yang terbaik di CIA, dan seperti biasa, tak ada yang tahu di mana ia
  berada. Ia mencoba sumber lain di CIA, tapi tidak mendapatkan apa-apa.
  Whitaker duduk di kabin kelas satu penerbangan Alitalia dari Milano ke
  Dulles. Di bagian depan itu, minuman kerasnya gratis dan mengalir tanpa henti,
  dan Whitaker berusaha keras untuk mabuk. Telepon dari Julia Javier tadi
  sangat mengejutkan. Ia mulai dengan pertanyaan yang bernada cukup ramah,
  "Ada yang melihat Marco di sana, Whitaker?"
  "Tidak, tapi kami terus mencari."
  "Menurutmu kalian akan menemukannya?"
  "Ya, aku yakin ia akan muncul."
  "Dire
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Sang Broker - John Grisham

  ktur sedang sangat antusias, Whitaket. Ia ingin tahu apakah kau akan
  menemukan Marco."
  "Katakan, ya, kami akan menemukannya!"
  "Dan di mana kau mencarinya, Whitaker?"
  "Di antara Milano dan Zurich."
  "Well, kau menyia-nyiakan waktu saja, Whitaker, karena Marco sudah
  muncul di Washington. Menemui Pentagon tadi siang. Lepas dari geng-gamanmu, Whitaker, membuat kami semua tampak seperti orang goblok."
  "Apal"
  "Datanglah kemari, Whitaker, dan cepatlah." Dua puluh lima baris ke
  belakang, Luigi meringkuk rendah di kursi kelas ekonomi, bergesekan lutut
  dengan anak perempuan dua belas tahun yang mendengarkan musik rap paling
  jorok yang pernah didengarnya. Ia sendiri sudah menenggak minuman yang
  keempat. Tidak gratis, memang, tapi ia tidak peduli harganya.
  Ia tahu Whitaker ada di depan sana, membuat catatan tentang bagaimana
  menimpakan segala kesalahan pada Luigi. Seharusnya ia melakukan hal yang
  sama, tapi sekarang ini ia hanya ingin minum. Washington selama minggu
  depan bukanlah tempat yang menyenangkan.
  Pada pukul 18.02, Eastern Standard Time, telepon dari Tel Aviv
  memerintahkan pembunuhan atas Backman ditangguhkan. Berhenti. Batalkan.
  Berkemas-kemas dan mundur, tidak akan ada mayat kali uii.
  Bagi para agen, berita itu lebih disukai. Mereka
  dilatih untuk bergerak diam-diam, melakukan tugas, menghilang tanpa
  petunjuk, tanpa bukti, tanpa jejak. Bologna tempat yang lebih ideal daripada
  jalan-jalan padat di Washington, D.C.
  Satu jam kemudian, Joel check out dari Marriott dan menikmati udara sejuk
  sambil berjalan-jalan. Namun ia tetap menyusuri jalan-jalan yang sibuk, dan
  tidak bersantai-santai. Ini bukan Bologna. Kota ini jauh berbeda setelah jam
  sibuk. Begitu para pelaju pulang dan lalu lintas mereda, situasi menjadi
  berbahaya.
  Petugas di Hay-Adams lebih menyukai kredit, pembayaran dengan plastik,
  sesuatu yang tidak akan menyusahkan bagian akunting. Jarang sekali klien
  berkeras membayar runai, tapi klien yang satu ini amat bersikukuh. Pemesanan
  tempat telah dikonfirmasi, dan dengan senyum sepantasnya, ia menyerahkan
  kunci dan menyambut kedatangan Mr. Ferro di hotel mereka. "Ada bagasi, Sir?"
  "Tidak ada."
  Dan itulah akhir percakapan singkar mereka. Mr. Ferro berjalan menuju lift
  dengan hanya membawa koper kulit hitam murahan.
  17<>
  35
  Presidential suite di Hay-Adams berada di lantai delapan, dengan tiga
  jendela besar menghadap H Street, lalu Lafayette Park, kemudian White
  House. Di suite tersebut terdapat ranjang king-size, kamar mandi dengan
  kuningan mengilap dan marmer, dan ruang duduk berperabot antik dari periode
  tertentu, televisi dan telepon yang agak ketinggalan zaman, dan mesin faks
  yang amat jarang digunakan. Harga sewanya tiga ribu dolar semalam, tapi
  peduli apa sang broker dengan hal-hal semacam itu?
  Kerika Sandberg mengetuk pintu pada pukul sembilan, ia hanya menunggu
  beberapa detik sebelum daun pintu dibuka dan sapaan hangat, "Pagi, Dan!"
  menyambutnya. Backman menyurukkan tangan kanan, dan sambil
  mengguncang-guncang-kan tangan Sandberg penuh semangat, menve Sandberg ke wilayah
  kekuasaannya.
  -Gembira sekali kau datang kemari, katanya "Mau kopi?"
  "Yeah, tentu, hitam."
  Sandberg menjatuhkan tas sandangnya di kursi dan mengamati Backman
  menuangkan kopi dari teko perak. Lebih kurus, dengan rambut lebih pendek
  dan nyaris putih seluruhnya, wajahnya tirus. Ada sedikit kesamaan dengan
  Backman si terdakwa, tapi tak banyak.
  "Jangan sungkan-sungkan," kata Backman. "Aku sudah memesan sarapan.
  Mestinya akan tiba sebentar lagi."
  Dengan hati-hati ia meletakkan dua cangkir di atas cawan masing-masing di
  meja pendek depan sofa, lalu berkata, "Mari kita bekerja. Kau mau
  menggunakan alat perekam?" "Kalau tidak ada kebenaran." "Aku lebih suka
  demikian. Menghilangkan kesalahpahaman." Mereka mengambil posisHnasing-masing. Sandberg
  di. antara mereka, lalu ^JJ^ duduk bolpoin. Backman -^L^an dengan santai,
  di kursinya, rungkatnya disuang ^ ^ ^ aura percaya diri orang y merDCrhati-hadapi perranyaan apa ^g nyaris belum
  kan sepatunya, sol kare
  digunakan. Tak ada goresan atau setitik debu pun di atas kulit hitam.
  Seperti biasa, sang ahli hukum tampil
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Sang Broker - John Grisham

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>