Cerita Silat | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat | by Hong San Khek | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat | Cersil Sakti | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat pdf
Petualangan Tom Sawyer - Mark Twain Pendekar Rajawali Sakti - 122. Sepasang Pendekar Bertopeng Suara Dari Alam Gaib - Abdullah Harahap Sang Broker - John Grisham Sumpah Berdarah - Abdullah Harahap
yang hendak ditujunya itu.
Namanya kelenteng itu ternyata dikenal cukup baik
oleh setiap orang, bahkan nama Kak Seng Siang-jin
pun tidak asing pula bagi penduduk kota itu. Maka
dengan adanya kegampangan-kegampangan ini,
tidaklah heran kalau dalam waktu yang singkat Poan
Thian telah dapat ketemukan kelenteng itu, dimana
ternyata banyak dikunjungi orang, yang keluar masuk
di situ buat memasang hio atau membaya r kaul. Oleh
sebab itu, keadaan di situ tidak berbeda dengan
sebuah pasar kecil, dan ketika Poan Thian
menanyakan pada salah seorang yang berjalan
berpapasan dengannya, dimana tempat kediaman
paderi kepala, orang itu lalu menunjuk ke sebuah
ruangan sambil berkata: „Tu, di sana. Apakah kau ini
ada seorang yang baru pernah berkunjung ke sini?”
Poan Thian mengangguk sambil mengucapkan terima
kasih, kemudian ia menuju ke ruangan yang ditunjuk
itu.
Di situ, karena melihat ada beberapa banyak orang
yang duduk di bangku panjang, maka iapun lalu maju
menghampiri, memberi hormat pada seorang yang
berdekatan dan numpang duduk di dekatnya.
Tatkala orang-orang itu seorang demi seorang telah
pada berlalu, tinggallah Poan Thian saja seorang diri
yang duduk di situ.
Matahari sudah mulai silam ke barat, tetapi tidak
tampak pula orang yang datang atau keluar
menanyakan kepadanya.
Oleh karena kesal duduk sekian lamanya di situ,
maka Poan Thian lalu letakkan pauw-hok yang
dibawanya ke atas meja yang terdekat, sedang ia
sendiri lalu berjalan mondar-mandir di halaman itu,
untuk menghilangkan sedikit rasa kesalnya.
Tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai hari petang,
ternyata tidak juga tampak bayangannya barang satu
manusia pun. Bahkan di luaran hanya terdengar suara
kutu-kutu saja yang memecah kesunyian di dalam
kelenteng itu.
Poan Thian jadi heran dan tidak mengerti, apa sebab
ia dijemur orang begitu rupa. Padahal kunjungannya
itu diketahui serta dilihat oleh setiap orang.
„Apakah barangkali aku disuruh menunggu dahulu
beberapa saat lagi lamanya?” pikirnya ketika
kemudian melihat beberapa orang paderi keluar
memasang api lentera di serambi depan kelenteng.
Salah seorang antara paderi-paderi itu yang melihat
Poan Thian berdiri di situ, lalu menghampiri sambil
bertanya: „Tuan, hari sudah hampir malam, tetapi
mengapakah tuan masih ada di sini?”
Poan Thian jadi kemekmek.
„Aku sedang menantikan paderi kepala,” sahutnya.
„Oh, kalau begitu,” kata sang paderi, „bolehlah tuan
menunggu saja dahulu.”
Poan Thian mengucap terima kasih, kemudian ia
duduk pula sambil menahan perutnya yang sudah
mulai keruyukan minta diisi.
Beberapa jam kembali telah lewat. Dan ketika paderi
tadi balik kembali dan masih saja melihat Poan Thian
menjublek di situ, ia segera menghampiri dan
bertanya, apakah guru mereka belum juga
memberikan perkenan akan ia masuk?
„Belum,” sahut Poan Thian. „Apakah Lo-suhu ada di
dalam?”
Paderi itu jadi heran.
,,Aku sungguh bisa mengerti apa maksudmu itu,”
katanya, „apakah barangkali kau belum memberi
tahukan kepada paderi pengawas pintu, bahwa kau
minta bertemu kepada guruku?”
Poan Thian menggelengkan kepalanya.
„Ti..... tidak,” sahutnya. „Barusan aku melihat orang
berkumpul di sini, dari itu, akupun lalu turut duduk di
sini. Seorang demi seorang mereka masuk ke pintu
sana,” (sambil menunjuk pintu dihadapannya). “tetapi
tidak tampak seorang pun yang keluar kembali.
Kukira aku mesti menunggu giliran di sini, maka aku
menunggu dan menunggu. Sehingga hari sudah
petang begini, belum juga ada orang memanggil
masuk kepadaku.”
Mendengar keterangan demikian sang paderi jadi
tertawa terbahak-bahak. Kemudian ia
memberitahukan bahwa di ruangan itu memang
banyak orang yang menunggu giliran buat.....
menanyakan peruntungan atau perjodohan dengan
jalan menarik ciam-sie, hingga Poan Thian jadi
mengurut dada dan sesalkan kebodohan dirinya yang
tidak mau menanyakan keterangan dari orang-orang
yang berkumpul sehingga kejadian ia „non
http://cerita-silat.mywapblog.com
gkrong” di
situ tanpa gawe dan dengan perut keruyukan!
„Tadinya kusangka bahwa orang-orang itu sedang
menunggukan panggilan dari paderi kepala,” kata
Poan Thian kebogehan.
„Tetapi lantaran sudah terlanjur menunggu sampai
seharian, sudikah kau memberitahukan kepada Lo-
suhu, bahwa aku, Lie Kok Ciang, orang dari Cee-lam,
mohon berjumpa kepadanya?”
Paderi itu mengabulkan sambil mengerendeng:
„Kasihan.” Tidak antara lama ia telah kembali dan
memberitahukan, bahwa guru mereka sedang
bersemadi.
„Kalau nanti ia sudah selesai bersemadi,” menjanjikan
paderi itu, „tentulah aku beritahukan kepadanya
tentang kunjunganmu ini. Harap kau suka bersabar
beberapa saat lagi lamanya.”
Poan Thian menurut.
Selama menunggu panggilan, ia terpaksa rebahan di
bangku panjang buat menghilangkan rasa pegalnya.
Tidak lama tampak seorang paderi yang berusia agak
lanjut, hingga Poan Thian yang menyangka bahwa
paderi itu akan memanggil dia masuk, buru-buru
berbangkit sambil bertanya: „Suhu apakah Lo-suhu
sudah selesai bersamedi?”
Paderi itu tersenyum.
„Ah,” katanya, „sekarang Lo-suhu sudah masuk tidur!
Kalau kau ingin berjumpa, baiklah kau kembali lagi
besok saja pagi-pagi.”
Poan Thian jadi menghela napas. Ia pikir, Kak Seng
Siang-jin sekarang justeru ada di kelenteng dan tidak
bepergian ke mana-mana, oleh sebab itu, tentu
mudah dijumpainya. Jikalau ia sampai keluar
bepergian sehingga bertahun-tahun lamanya (seperti
apa katanya Hoa In Liong), tentulah tidak ada
harapan lagi untuk ia bisa berguru. Oleh karena ia
berpikir begitu maka ia lantas menjawab: „Tidak apa.
Aku tunggu di sini sampai Lo-suhu bangun tidur di hari
esok.”
„Ya, kalau begitu sih tinggal sukamu sendiri,” kata
paderi itu sambil berlalu.
Selama rebahan di atas bangku panjang di halaman
itu, Poan Thian jadi tidak mengerti mengapa
pelayanan paderi-paderi di situ ada begitu buruk. Dari
pagi tadi ia belum makan atau minum, tetapi tiada
seorangpun antara paderi-paderi di situ yang
menawarkan ia makan atau minum. Dan setelah
sekarang ia menyatakan hendak melewati malam
(bukan bermalam) di situ, juga tidak tampak
seorangpun yang memberikan kamar buat ia tidur.
„Aku sungguh tidak mengerti, apakah maunya
mereka itu?” Poan Thian bertanya kepada diri sendiri,
sambil mendengari suara perutnya yang
berkeruyukan tidak henti-hentinya!
Lama-lama ia jadi kepulesan.
Kira-kira hampir fajar ia telah tersadar karena
mendengar suara berketupraknya sepatu di atas
jubin. Ia buka matanya sedikit, tetapi ia lantas
pejamkan lagi, karena orang yang mendatangi tidak
melalui halaman dimana ia rebah.
Sesaat kemudian barulah ia bangun dan pergi buang
air kecil. Di waktu kembali ke halaman itu, Poan Thian
berpapasan dengan seorang paderi yang ia baru lihat
romannya di seketika itu. Buru-buru ia memberi
hormat dan bertanya: „Suhu, apakah Lo-suhu sudah
bangun tidur?”
„Wah, nyatalah kau datang terlambat,” sahut paderi
tersebut. „Barusan saja ia keluar, tetapi tidak lama lagi
ia tentu kembali, karena ia tidak meninggalkan pesan
apa-apa kepadaku. Harap kau suka bersabar sedikit
akan menunggukan kepadanya di sini.”
Mau tak mau, Poan Thian terpaksa mesti menunggu
lagi, hanya tidak diketahui kapan Kak Se ng Siang-jin
akan kembali.
Mulutnya Poan Thian sudah dirasakan kering, karena
sehari semalam lamanya tidak minum, badannya letih
karena kelaparan. Tetapi ia tahan semua penderitaan
itu dengan tidak mengeluh barang sepatah katapun.
Kira-kira berselang seperempat jam lamanya, seorang
paderi telah keluar menghampirinya dengan paras
muka yang berseri-seri.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Petualangan Tom Sawyer - Mark Twain Pendekar Rajawali Sakti - 122. Sepasang Pendekar Bertopeng Suara Dari Alam Gaib - Abdullah Harahap Sang Broker - John Grisham Sumpah Berdarah - Abdullah Harahap
yang hendak ditujunya itu.
Namanya kelenteng itu ternyata dikenal cukup baik
oleh setiap orang, bahkan nama Kak Seng Siang-jin
pun tidak asing pula bagi penduduk kota itu. Maka
dengan adanya kegampangan-kegampangan ini,
tidaklah heran kalau dalam waktu yang singkat Poan
Thian telah dapat ketemukan kelenteng itu, dimana
ternyata banyak dikunjungi orang, yang keluar masuk
di situ buat memasang hio atau membaya r kaul. Oleh
sebab itu, keadaan di situ tidak berbeda dengan
sebuah pasar kecil, dan ketika Poan Thian
menanyakan pada salah seorang yang berjalan
berpapasan dengannya, dimana tempat kediaman
paderi kepala, orang itu lalu menunjuk ke sebuah
ruangan sambil berkata: „Tu, di sana. Apakah kau ini
ada seorang yang baru pernah berkunjung ke sini?”
Poan Thian mengangguk sambil mengucapkan terima
kasih, kemudian ia menuju ke ruangan yang ditunjuk
itu.
Di situ, karena melihat ada beberapa banyak orang
yang duduk di bangku panjang, maka iapun lalu maju
menghampiri, memberi hormat pada seorang yang
berdekatan dan numpang duduk di dekatnya.
Tatkala orang-orang itu seorang demi seorang telah
pada berlalu, tinggallah Poan Thian saja seorang diri
yang duduk di situ.
Matahari sudah mulai silam ke barat, tetapi tidak
tampak pula orang yang datang atau keluar
menanyakan kepadanya.
Oleh karena kesal duduk sekian lamanya di situ,
maka Poan Thian lalu letakkan pauw-hok yang
dibawanya ke atas meja yang terdekat, sedang ia
sendiri lalu berjalan mondar-mandir di halaman itu,
untuk menghilangkan sedikit rasa kesalnya.
Tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai hari petang,
ternyata tidak juga tampak bayangannya barang satu
manusia pun. Bahkan di luaran hanya terdengar suara
kutu-kutu saja yang memecah kesunyian di dalam
kelenteng itu.
Poan Thian jadi heran dan tidak mengerti, apa sebab
ia dijemur orang begitu rupa. Padahal kunjungannya
itu diketahui serta dilihat oleh setiap orang.
„Apakah barangkali aku disuruh menunggu dahulu
beberapa saat lagi lamanya?” pikirnya ketika
kemudian melihat beberapa orang paderi keluar
memasang api lentera di serambi depan kelenteng.
Salah seorang antara paderi-paderi itu yang melihat
Poan Thian berdiri di situ, lalu menghampiri sambil
bertanya: „Tuan, hari sudah hampir malam, tetapi
mengapakah tuan masih ada di sini?”
Poan Thian jadi kemekmek.
„Aku sedang menantikan paderi kepala,” sahutnya.
„Oh, kalau begitu,” kata sang paderi, „bolehlah tuan
menunggu saja dahulu.”
Poan Thian mengucap terima kasih, kemudian ia
duduk pula sambil menahan perutnya yang sudah
mulai keruyukan minta diisi.
Beberapa jam kembali telah lewat. Dan ketika paderi
tadi balik kembali dan masih saja melihat Poan Thian
menjublek di situ, ia segera menghampiri dan
bertanya, apakah guru mereka belum juga
memberikan perkenan akan ia masuk?
„Belum,” sahut Poan Thian. „Apakah Lo-suhu ada di
dalam?”
Paderi itu jadi heran.
,,Aku sungguh bisa mengerti apa maksudmu itu,”
katanya, „apakah barangkali kau belum memberi
tahukan kepada paderi pengawas pintu, bahwa kau
minta bertemu kepada guruku?”
Poan Thian menggelengkan kepalanya.
„Ti..... tidak,” sahutnya. „Barusan aku melihat orang
berkumpul di sini, dari itu, akupun lalu turut duduk di
sini. Seorang demi seorang mereka masuk ke pintu
sana,” (sambil menunjuk pintu dihadapannya). “tetapi
tidak tampak seorang pun yang keluar kembali.
Kukira aku mesti menunggu giliran di sini, maka aku
menunggu dan menunggu. Sehingga hari sudah
petang begini, belum juga ada orang memanggil
masuk kepadaku.”
Mendengar keterangan demikian sang paderi jadi
tertawa terbahak-bahak. Kemudian ia
memberitahukan bahwa di ruangan itu memang
banyak orang yang menunggu giliran buat.....
menanyakan peruntungan atau perjodohan dengan
jalan menarik ciam-sie, hingga Poan Thian jadi
mengurut dada dan sesalkan kebodohan dirinya yang
tidak mau menanyakan keterangan dari orang-orang
yang berkumpul sehingga kejadian ia „non
http://cerita-silat.mywapblog.com
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek
gkrong” di
situ tanpa gawe dan dengan perut keruyukan!
„Tadinya kusangka bahwa orang-orang itu sedang
menunggukan panggilan dari paderi kepala,” kata
Poan Thian kebogehan.
„Tetapi lantaran sudah terlanjur menunggu sampai
seharian, sudikah kau memberitahukan kepada Lo-
suhu, bahwa aku, Lie Kok Ciang, orang dari Cee-lam,
mohon berjumpa kepadanya?”
Paderi itu mengabulkan sambil mengerendeng:
„Kasihan.” Tidak antara lama ia telah kembali dan
memberitahukan, bahwa guru mereka sedang
bersemadi.
„Kalau nanti ia sudah selesai bersemadi,” menjanjikan
paderi itu, „tentulah aku beritahukan kepadanya
tentang kunjunganmu ini. Harap kau suka bersabar
beberapa saat lagi lamanya.”
Poan Thian menurut.
Selama menunggu panggilan, ia terpaksa rebahan di
bangku panjang buat menghilangkan rasa pegalnya.
Tidak lama tampak seorang paderi yang berusia agak
lanjut, hingga Poan Thian yang menyangka bahwa
paderi itu akan memanggil dia masuk, buru-buru
berbangkit sambil bertanya: „Suhu apakah Lo-suhu
sudah selesai bersamedi?”
Paderi itu tersenyum.
„Ah,” katanya, „sekarang Lo-suhu sudah masuk tidur!
Kalau kau ingin berjumpa, baiklah kau kembali lagi
besok saja pagi-pagi.”
Poan Thian jadi menghela napas. Ia pikir, Kak Seng
Siang-jin sekarang justeru ada di kelenteng dan tidak
bepergian ke mana-mana, oleh sebab itu, tentu
mudah dijumpainya. Jikalau ia sampai keluar
bepergian sehingga bertahun-tahun lamanya (seperti
apa katanya Hoa In Liong), tentulah tidak ada
harapan lagi untuk ia bisa berguru. Oleh karena ia
berpikir begitu maka ia lantas menjawab: „Tidak apa.
Aku tunggu di sini sampai Lo-suhu bangun tidur di hari
esok.”
„Ya, kalau begitu sih tinggal sukamu sendiri,” kata
paderi itu sambil berlalu.
Selama rebahan di atas bangku panjang di halaman
itu, Poan Thian jadi tidak mengerti mengapa
pelayanan paderi-paderi di situ ada begitu buruk. Dari
pagi tadi ia belum makan atau minum, tetapi tiada
seorangpun antara paderi-paderi di situ yang
menawarkan ia makan atau minum. Dan setelah
sekarang ia menyatakan hendak melewati malam
(bukan bermalam) di situ, juga tidak tampak
seorangpun yang memberikan kamar buat ia tidur.
„Aku sungguh tidak mengerti, apakah maunya
mereka itu?” Poan Thian bertanya kepada diri sendiri,
sambil mendengari suara perutnya yang
berkeruyukan tidak henti-hentinya!
Lama-lama ia jadi kepulesan.
Kira-kira hampir fajar ia telah tersadar karena
mendengar suara berketupraknya sepatu di atas
jubin. Ia buka matanya sedikit, tetapi ia lantas
pejamkan lagi, karena orang yang mendatangi tidak
melalui halaman dimana ia rebah.
Sesaat kemudian barulah ia bangun dan pergi buang
air kecil. Di waktu kembali ke halaman itu, Poan Thian
berpapasan dengan seorang paderi yang ia baru lihat
romannya di seketika itu. Buru-buru ia memberi
hormat dan bertanya: „Suhu, apakah Lo-suhu sudah
bangun tidur?”
„Wah, nyatalah kau datang terlambat,” sahut paderi
tersebut. „Barusan saja ia keluar, tetapi tidak lama lagi
ia tentu kembali, karena ia tidak meninggalkan pesan
apa-apa kepadaku. Harap kau suka bersabar sedikit
akan menunggukan kepadanya di sini.”
Mau tak mau, Poan Thian terpaksa mesti menunggu
lagi, hanya tidak diketahui kapan Kak Se ng Siang-jin
akan kembali.
Mulutnya Poan Thian sudah dirasakan kering, karena
sehari semalam lamanya tidak minum, badannya letih
karena kelaparan. Tetapi ia tahan semua penderitaan
itu dengan tidak mengeluh barang sepatah katapun.
Kira-kira berselang seperempat jam lamanya, seorang
paderi telah keluar menghampirinya dengan paras
muka yang berseri-seri.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek