Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf
Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I
tanya baru Harun teringat bahwa Sonny adalah kekasih Susan atau calon menantu suami-istri Tan. Mestinya dia tidak mengungkit soal itu.
"Oh, dia tahu," sahut Henry.
"Kok dia berani tinggal di situ? Maksud saya, kan nggak enak rasanya." Harun merasa kelepasan ngo-mong.
Maria merasa tidak senang. Dia memang pernah
62
mempertanyakan masalah yang sama. Tapi bila Harun ikut-ikut mempertanyakan, dia menjadi jengkel. "Memangnya kenapa, Pak? Apakah Sonny menjadi hantu?"
Henry menepuk lengan Maria yang duduk di sisinya di sofa. Menenangkan.
Harun tersipu. "Maaf, Bu. Bukan begitu maksud saya. Tapi... tapi..."
"Nggak apa-apa, Pak. Sebenarnya kami juga heran. Apalagi istrinya nggak diberitahu," Henry tidak keberatan menceritakan masalahnya.
Harun terperangah keheranan.
"Jadi kalau Bapak bermaksud ke sana, ingatlah akan hal itu. Jangan sampai membicarakannya di depan istrinya. Dia sudah meminta kami semua berjanji untuk merahasiakan hal itu. Sulit memang. Tapi mereka adalah tetangga yang baik."
"Wah, kalau begitu sebaiknya saya tidak ke sana. Takut kelepasan ngomong. Tapi boleh saya tahu, apakah Bu Adam sendiri betah tinggal di situ?"
"Katanya sih betah. Dia akrab dengan kami."
"Masih banyak rumah kosong dan terbengkalai di kawasan ini. Waktu saya ke rumah Pak Gondo, saya juga ditawari untuk membeli salah satu. Katanya dijual murah. Tapi biar murah juga, mana sanggup saya beli?" Harun tertawa ringan. Dia juga teringat betapa geli perasaannya ketika berhadapan dengan Pak Gondo. Dulu Gondo suka melecehkannya. Sekarang dia dianggap bonafid hingga ditawari rumah. Kalau dulu, sewaktu dia masih menjadi satpam, siapa yang mau menawari kecuali bermaksud mengejek?
63
***
Maria lebih banyak diam mengamati dan mendengarkan pembicaraan suaminya dengan Harun. Tentu dia takkan lupa, bahwa pada hari celaka itu Harun lah yang tergopoh-gopoh menggedor pintu-pintu untuk memperingatkan penghuni mengenai bahaya serbuan perusuh. Dia juga yang menganjurkan dan membantu mengkoordinir pengungsian para warga ke lapangan golf. Lebih baik menyelamatkan jiwa daripada sia-sia berusaha mempertahankan harta dengan akibat cedera atau nyawa melayang. Para penjarah itu sudah kerasukan setan. Apalagi mereka pun didorong hasutan "Bunuh Cina!" Buktinya adalah apa yang telah dialami Sonny. Dia dan Henry tak pernah tahu kenapa Sonny tidak pergi mengungsi. Yang bisa menjawab pertanyaan itu cuma Sonny, padahal sudah jelas dia takkan mungkin bisa menjawab.
Ketika dia dan Henry, yang selamat pulang ke rumah meninggalkan toko yang sudah tak bisa dipertahankan lagi, tergopoh-gopoh memasukkan barang yang masih bisa dibawa ke dalam mobil, suasana sudah begitu menegangkan. Bagaikan dalam situasi perang. Mereka panik sekali. Sampai-sampai barang rongsokan yang justru mau dibawa. Tetapi dia sempat melongok ke halaman rumah Sonny yang tampak sepi. Ketika itu kedua orangtua Sonny, suami-istri Lie, kebetulan sedang berada di Amerika untuk mengunjungi Thomas, anak sulung mereka yang tinggal di sana. Sonny tinggal sendirian karena pembantunya juga sedang pulang kampung. Ketika itu Maria berteriak-teriak memanggil Sonny, tapi tak ada sahutan.
64
Dia juga menelepon, tapi tak ada yang mengangkat. Lalu Harun yang sempat membantu mereka memasukkan barang-barang ke dalam mobil mengatakan kemungkinan Sonny tak ada di rumah.
Belakangan, setelah suasana dianggap aman, mereka yang mengungsi berbondong-bondong kembali. Tentu saja mereka sangat syok melihat apa yang telah terjadi pada rumah-rumah mereka beserta isinya. Ada yang terbakar habis, ada yang terbakar tapi tak sampai habis, ada yang dirusak berat, ada yang cuma rusak ringan. Sedang harta di dalam rumah sudah tak ada lagi. Tetapi yang paling mengejutkan dan mengerikan adalah ditemukannya jenazah Sonny di dalam rumahnya yang sudah menjadi puing!
Maria jatuh pingsan melihat jasad Sonny yang mengenaskan. Tetapi Henry kuat bertahan meskipun sudah pucat pasi. Bagi mereka Sonny sudah seperti anak sendiri. Memang tak lama lagi dia akan jadi anak mereka juga bila sudah jadi menantu. Sonny akan menikah dengan Susan bila Susan sudah selesai sekolahnya
http://cerita-silat.mywapblog.com
. Itu memang kehendak mereka berdua.
Setelah kejutan dan guncangan teratasi, muncul kesulitan mahaberat. Bagaimana menyampaikan kabar itu kepada Susan? Betapa pun beratnya, kabar itu harus disampaikan. Sungguh menyiksa perasaan.
Lalu datang surat Susan yang menanyakan, kenapa dia dan Henry tidak mengajak Sonny ikut serta mengungsi? Kenapa begitu gampang menyimpulkan, bahwa Sonny sedang pergi hanya karena telepon tidak diangkat dan panggilan tidak disahuti? Siapa tahu ketika itu Sonny sedang tidur atau tidak enak badan hingga tidak mendengar berita kerusuhan itu.
65
Bukankah tidak masuk akal bila orang lain pergi mengungsi sementara dia sendiri tetap diam di rumah? Satu-satunya kemungkinan adalah dia terjebak dalam ketidaktahuan dan ketidaksiapan. Tahu-tahu sudah diserbu oleh massa yang haus darah.
Pertanyaan Susan itu menambah siksaan batinnya. Dia merasa bersalah. Dia dan Henry terlalu mementingkan diri sendiri. Cari selamat sendiri. Seharusnya mereka menggedor keras-keras pintu rumah Sonny, atau mendobraknya sekalian. Dengan demikian bisa diperoleh kepastian apakah Sonny ada di rumah atau tidak.
Kemudian surat Susan berikutnya menyusul. Isinya lebih tenang dan pasrah. Dia pun menyatakan penyesalan karena surat sebelumnya bernada emosional. Sesungguhnya dia. tidak bermaksud menyalahkan kedua orangtuanya. Tetapi Maria sudah telanjur merasa bersalah. Dia tahu, perasaan itu akan terus melekat padanya sepanjang hidupnya.
Maria mengangkat kepalanya yang tertunduk lalu menatap Harun. Yang dipandangi terkejut karena sorot mata Maria yang tajam menusuk seperti mau mengorek dan menembus sampai ke dalam benaknya.
"Ada apa, Bu?" tanya Harun waswas.
"Apakah Bapak menggedor pintunya dengan keras?"
Harun bingung. Ia tak memahami makna pertanyaan Maria. Sepanjang pembicaraannya dengan Henry, Maria tak ikut berkomentar. Tahu-tahu bertanya begitu.
"Pintu siapa, Bu?"
66
Henry segera memahami. "Maksudnya, pintu rumah Sonny waktu kerusuhan itu, Pak," katanya sebelum Maria keburu menjawab.
Harun tertegun sejenak. Ia sadar apa yang tengah dipikirkan oleh Maria dalam diamnya barusan. "Saya sudah menggedornya, Bu. Setiap rumah saya gedor sampai saya bicara dengan penghuninya. Tetapi Sonny tidak keluar atau menyahut. Maka saya memastikan perkiraan sebelumnya bahwa dia memang tak ada di rumah."
"Perkiraan sebelumnya apa, Pak?" sambar Maria. Henry pun ikut menatap Harun dengan ekspresi tegang.
Melihat tatapan kedua orang itu Harun menjadi ragu-ragu. Mungkin lebih bijaksana bila ia tidak mengatakannya. Apa yang sudah terjadi tak bisa diubah lagi. Yang mati tak mungkin bisa hidup kembali. Masa lalu biarlah berlalu. Tetapi di mata Maria terlihat desakan dan permohonan yang membangkitkan iba. Ia tahu hubungan Sonny dengan keluarga Tan. Ia juga mengenal Susan yang pernah dijumpainya beberapa kali saat pulang berlibur. Gadis itu selalu bersikap ramah kepadanya.
"Eh, Bapak kok diam saja?" desak Maria dengan tatapan curiga.
Harun memperbaiki duduknya. Ia merasa gerah. Dulu di rumah ini ada AC. Sekarang tidak ada.
"Begini, Bu. Waktu itu saya baru keluar dari rumah Pak A Hok di ujung sana itu." Tangan Harun menunjuk. "Dia sudah pindah sekarang. Saya melihat seseorang keluar dari rumah Pak Sonny sambil mendorong motor, merapatkan pintu pagar, lalu menaiki-
67
nya dan pergi. Saya cuma lihat punggungnya. Dia pakai jaket dan helm. Perginya ke arah yang menjauhi tempat saya berdiri, hingga tidak sempat berpapasan. Coba kalau ketemu, tentu saya bisa sekalian memberi-tahu."
"Ya. Dia memang suka naik motor. Apa itu motornya?" tanya Henry.
"Wah, nggak jelas. Saya nggak tahu persis motornya apa," sahut Harun.
"Apa karena itu Bapak tidak menggedor pintu rumahnya?" tanya Maria.
Harun tertegun. Pertanyaan itu menjebak. "Oh, saya kan sudah bilang bahwa saya telah menggedor pintunya. Sama seperti yang lain. Soalnya saya tidak begitu pasti apakah dia memang Sonny. Saya kan lihatnya dari belakang. Pakai helm lagi. Baru setelah tak ada sahutan saya tambah yakin bahwa dia memang pergi."
"Lantas kalau dia memang pergi, yang mati terbakar itu siapa?"
Maria meremas tangan Henry
http://cerita-silat.mywapblog.com
Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I
tanya baru Harun teringat bahwa Sonny adalah kekasih Susan atau calon menantu suami-istri Tan. Mestinya dia tidak mengungkit soal itu.
"Oh, dia tahu," sahut Henry.
"Kok dia berani tinggal di situ? Maksud saya, kan nggak enak rasanya." Harun merasa kelepasan ngo-mong.
Maria merasa tidak senang. Dia memang pernah
62
mempertanyakan masalah yang sama. Tapi bila Harun ikut-ikut mempertanyakan, dia menjadi jengkel. "Memangnya kenapa, Pak? Apakah Sonny menjadi hantu?"
Henry menepuk lengan Maria yang duduk di sisinya di sofa. Menenangkan.
Harun tersipu. "Maaf, Bu. Bukan begitu maksud saya. Tapi... tapi..."
"Nggak apa-apa, Pak. Sebenarnya kami juga heran. Apalagi istrinya nggak diberitahu," Henry tidak keberatan menceritakan masalahnya.
Harun terperangah keheranan.
"Jadi kalau Bapak bermaksud ke sana, ingatlah akan hal itu. Jangan sampai membicarakannya di depan istrinya. Dia sudah meminta kami semua berjanji untuk merahasiakan hal itu. Sulit memang. Tapi mereka adalah tetangga yang baik."
"Wah, kalau begitu sebaiknya saya tidak ke sana. Takut kelepasan ngomong. Tapi boleh saya tahu, apakah Bu Adam sendiri betah tinggal di situ?"
"Katanya sih betah. Dia akrab dengan kami."
"Masih banyak rumah kosong dan terbengkalai di kawasan ini. Waktu saya ke rumah Pak Gondo, saya juga ditawari untuk membeli salah satu. Katanya dijual murah. Tapi biar murah juga, mana sanggup saya beli?" Harun tertawa ringan. Dia juga teringat betapa geli perasaannya ketika berhadapan dengan Pak Gondo. Dulu Gondo suka melecehkannya. Sekarang dia dianggap bonafid hingga ditawari rumah. Kalau dulu, sewaktu dia masih menjadi satpam, siapa yang mau menawari kecuali bermaksud mengejek?
63
***
Maria lebih banyak diam mengamati dan mendengarkan pembicaraan suaminya dengan Harun. Tentu dia takkan lupa, bahwa pada hari celaka itu Harun lah yang tergopoh-gopoh menggedor pintu-pintu untuk memperingatkan penghuni mengenai bahaya serbuan perusuh. Dia juga yang menganjurkan dan membantu mengkoordinir pengungsian para warga ke lapangan golf. Lebih baik menyelamatkan jiwa daripada sia-sia berusaha mempertahankan harta dengan akibat cedera atau nyawa melayang. Para penjarah itu sudah kerasukan setan. Apalagi mereka pun didorong hasutan "Bunuh Cina!" Buktinya adalah apa yang telah dialami Sonny. Dia dan Henry tak pernah tahu kenapa Sonny tidak pergi mengungsi. Yang bisa menjawab pertanyaan itu cuma Sonny, padahal sudah jelas dia takkan mungkin bisa menjawab.
Ketika dia dan Henry, yang selamat pulang ke rumah meninggalkan toko yang sudah tak bisa dipertahankan lagi, tergopoh-gopoh memasukkan barang yang masih bisa dibawa ke dalam mobil, suasana sudah begitu menegangkan. Bagaikan dalam situasi perang. Mereka panik sekali. Sampai-sampai barang rongsokan yang justru mau dibawa. Tetapi dia sempat melongok ke halaman rumah Sonny yang tampak sepi. Ketika itu kedua orangtua Sonny, suami-istri Lie, kebetulan sedang berada di Amerika untuk mengunjungi Thomas, anak sulung mereka yang tinggal di sana. Sonny tinggal sendirian karena pembantunya juga sedang pulang kampung. Ketika itu Maria berteriak-teriak memanggil Sonny, tapi tak ada sahutan.
64
Dia juga menelepon, tapi tak ada yang mengangkat. Lalu Harun yang sempat membantu mereka memasukkan barang-barang ke dalam mobil mengatakan kemungkinan Sonny tak ada di rumah.
Belakangan, setelah suasana dianggap aman, mereka yang mengungsi berbondong-bondong kembali. Tentu saja mereka sangat syok melihat apa yang telah terjadi pada rumah-rumah mereka beserta isinya. Ada yang terbakar habis, ada yang terbakar tapi tak sampai habis, ada yang dirusak berat, ada yang cuma rusak ringan. Sedang harta di dalam rumah sudah tak ada lagi. Tetapi yang paling mengejutkan dan mengerikan adalah ditemukannya jenazah Sonny di dalam rumahnya yang sudah menjadi puing!
Maria jatuh pingsan melihat jasad Sonny yang mengenaskan. Tetapi Henry kuat bertahan meskipun sudah pucat pasi. Bagi mereka Sonny sudah seperti anak sendiri. Memang tak lama lagi dia akan jadi anak mereka juga bila sudah jadi menantu. Sonny akan menikah dengan Susan bila Susan sudah selesai sekolahnya
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari
. Itu memang kehendak mereka berdua.
Setelah kejutan dan guncangan teratasi, muncul kesulitan mahaberat. Bagaimana menyampaikan kabar itu kepada Susan? Betapa pun beratnya, kabar itu harus disampaikan. Sungguh menyiksa perasaan.
Lalu datang surat Susan yang menanyakan, kenapa dia dan Henry tidak mengajak Sonny ikut serta mengungsi? Kenapa begitu gampang menyimpulkan, bahwa Sonny sedang pergi hanya karena telepon tidak diangkat dan panggilan tidak disahuti? Siapa tahu ketika itu Sonny sedang tidur atau tidak enak badan hingga tidak mendengar berita kerusuhan itu.
65
Bukankah tidak masuk akal bila orang lain pergi mengungsi sementara dia sendiri tetap diam di rumah? Satu-satunya kemungkinan adalah dia terjebak dalam ketidaktahuan dan ketidaksiapan. Tahu-tahu sudah diserbu oleh massa yang haus darah.
Pertanyaan Susan itu menambah siksaan batinnya. Dia merasa bersalah. Dia dan Henry terlalu mementingkan diri sendiri. Cari selamat sendiri. Seharusnya mereka menggedor keras-keras pintu rumah Sonny, atau mendobraknya sekalian. Dengan demikian bisa diperoleh kepastian apakah Sonny ada di rumah atau tidak.
Kemudian surat Susan berikutnya menyusul. Isinya lebih tenang dan pasrah. Dia pun menyatakan penyesalan karena surat sebelumnya bernada emosional. Sesungguhnya dia. tidak bermaksud menyalahkan kedua orangtuanya. Tetapi Maria sudah telanjur merasa bersalah. Dia tahu, perasaan itu akan terus melekat padanya sepanjang hidupnya.
Maria mengangkat kepalanya yang tertunduk lalu menatap Harun. Yang dipandangi terkejut karena sorot mata Maria yang tajam menusuk seperti mau mengorek dan menembus sampai ke dalam benaknya.
"Ada apa, Bu?" tanya Harun waswas.
"Apakah Bapak menggedor pintunya dengan keras?"
Harun bingung. Ia tak memahami makna pertanyaan Maria. Sepanjang pembicaraannya dengan Henry, Maria tak ikut berkomentar. Tahu-tahu bertanya begitu.
"Pintu siapa, Bu?"
66
Henry segera memahami. "Maksudnya, pintu rumah Sonny waktu kerusuhan itu, Pak," katanya sebelum Maria keburu menjawab.
Harun tertegun sejenak. Ia sadar apa yang tengah dipikirkan oleh Maria dalam diamnya barusan. "Saya sudah menggedornya, Bu. Setiap rumah saya gedor sampai saya bicara dengan penghuninya. Tetapi Sonny tidak keluar atau menyahut. Maka saya memastikan perkiraan sebelumnya bahwa dia memang tak ada di rumah."
"Perkiraan sebelumnya apa, Pak?" sambar Maria. Henry pun ikut menatap Harun dengan ekspresi tegang.
Melihat tatapan kedua orang itu Harun menjadi ragu-ragu. Mungkin lebih bijaksana bila ia tidak mengatakannya. Apa yang sudah terjadi tak bisa diubah lagi. Yang mati tak mungkin bisa hidup kembali. Masa lalu biarlah berlalu. Tetapi di mata Maria terlihat desakan dan permohonan yang membangkitkan iba. Ia tahu hubungan Sonny dengan keluarga Tan. Ia juga mengenal Susan yang pernah dijumpainya beberapa kali saat pulang berlibur. Gadis itu selalu bersikap ramah kepadanya.
"Eh, Bapak kok diam saja?" desak Maria dengan tatapan curiga.
Harun memperbaiki duduknya. Ia merasa gerah. Dulu di rumah ini ada AC. Sekarang tidak ada.
"Begini, Bu. Waktu itu saya baru keluar dari rumah Pak A Hok di ujung sana itu." Tangan Harun menunjuk. "Dia sudah pindah sekarang. Saya melihat seseorang keluar dari rumah Pak Sonny sambil mendorong motor, merapatkan pintu pagar, lalu menaiki-
67
nya dan pergi. Saya cuma lihat punggungnya. Dia pakai jaket dan helm. Perginya ke arah yang menjauhi tempat saya berdiri, hingga tidak sempat berpapasan. Coba kalau ketemu, tentu saya bisa sekalian memberi-tahu."
"Ya. Dia memang suka naik motor. Apa itu motornya?" tanya Henry.
"Wah, nggak jelas. Saya nggak tahu persis motornya apa," sahut Harun.
"Apa karena itu Bapak tidak menggedor pintu rumahnya?" tanya Maria.
Harun tertegun. Pertanyaan itu menjebak. "Oh, saya kan sudah bilang bahwa saya telah menggedor pintunya. Sama seperti yang lain. Soalnya saya tidak begitu pasti apakah dia memang Sonny. Saya kan lihatnya dari belakang. Pakai helm lagi. Baru setelah tak ada sahutan saya tambah yakin bahwa dia memang pergi."
"Lantas kalau dia memang pergi, yang mati terbakar itu siapa?"
Maria meremas tangan Henry
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari