Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf
Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III
, yang merasa betapa dingin tangan istrinya itu. Dia jadi ikut merasa dingin.
Harun bingung sesaat. Ia tak pernah berpikir ke sana. "Jenazahnya kan sudah diperiksa. Bener dia, kan?"
"Jenazah itu sudah hangus, Pak. Bagaimana mengenalinya?" tanya Henry dengan perasaan aneh.
Maria tersentak. "Jangan-jangan Sonny masih hidup, Pa!" ia berseru penuh semangat.
Henry dan Harun sama-sama terkejut. Gagasan itu mengerikan.
68
"Tapi kalau dia masih hidup, kenapa tidak muncul setelah begitu lama? Dia tentu tidak akan pergi begitu saja meninggalkan Non Susan."
"Betul, Ma," Henry membenarkan. "Jangan sembarangan menyangka, ah. Apalagi yang mengerikan seperti itu. Mungkin orang yang dilihat Pak Harun itu bukan Sonny, melainkan tamunya."
"Kalau memang begitu, tentunya Sonny ada di rumah dan tidak sedang tidur. Kenapa tidak menyahuti panggilan atau gedoran pintu?" bantah Maria.
Henry tak bisa menjawab.
"Saya pikir, Pak Sonny memang sempat pergi sebelum tahu apa yang akan terjadi. Lalu dia buru-buru kembali lagi karena situasi jalan tidak aman," Harun menyimpulkan.
Henry mengangguk. "Itu paling mungkin. Jadi dia kembali untuk menyelamatkan barang atau mungkin juga menengok kita, Ma. Tetapi para perusuh keburu datang sebelum dia sempat pergi."
Maria menutup muka dengan kedua tangannya karena ngeri. Ia membayangkan adegan seperti yang dikemukakan Henry itu. Kasihan Sonny. Setiap orang memang harus mati pada suatu saat. Tapi hendaknya jangan dengan cara yang mengerikan.
Pada saat Henry menghibur Maria, Harun pamitan. Ia merasa lega setelah keluar dari rumah itu. Rumah yang menyimpan kenangan duka dengan penghuni yang tabah tapi terluka. Kemunculannya telah menguak luka lama yang sulit sembuh.
Dulu dialah yang mendorong mereka semua pergi mengungsi meninggalkan harta benda yang mereka sayangi. Bahkan ada yang begitu panik hingga tak
69
sempat membawa apa-apa. Ternyata hal itu membuat para penjarah jadi leluasa mengambil apa saja dari rumah-rumah yang ditinggalkan tanpa perlawanan sama sekali. Semua yang bisa diambil mereka ambil. Yang tak bisa diambil mereka rusak. Maka warga yang tak sempat membawa milik mereka tak lagi memiliki apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuh.
Harun tahu, ada di antara warga yang menyesali dan menyalahkannya. Tetapi apa artinya harta dibanding nyawa? Mereka takkan mampu melawan para penjarah yang begitu beringas, bagaikan serigala yang sudah kelaparan dan sangat bernafsu. Buktinya adalah kematian Sonny.
Sesungguhnya kunjungan yang dilakukannya ini bukan semata-mata untuk promosi. Ia juga ingin tahu, bagaimana kabarnya warga Pantai Nyiur Melambai di era reformasi? Apakah mereka sudah bangkit kembali? Masih adakah orang-orang yang dikenalnya di sana?
Ia mengagumi beberapa di antara mereka yang ulet bertahan meskipun mengajukan alasan tak punya rumah lain dan tak punya uang lagi. Bagaimanapun terpaksanya, tinggal di pemukiman yang sebagian masih porak-poranda itu membuat luka hati sulit sembuh. Orang dipaksa hidup dengan kenangan mengerikan yang selalu segar karena setiap hari terpampang di hadapan mata Mana mungkin bisa melupakan?
Ia bisa memaklumi mereka yang terus terang mengakui bahwa mereka telah mengutuk habis-habisan para penjarah. "Pak Harun! Orang-orang
70
yang menjarah dan membakar rumah kami itu tidak akan selamat! Tidak ada orang yang bisa bahagia di atas kesedihan orang lain. Tidak ada "yang bisa menikmati harta jarahan dengan kedamaian di hati. Tidak ada! Hukum karma akan berlaku, Pak Harun!" Ia bergidik. Kutukan itu mengerikan.
Harun mengamati rumah Adam. Rumah yang bagus, pikirnya dengan kagum. Jauh lebih bagus daripada rumah sebelumnya ketika ditempati oleh keluarga Lie. Coraknya sama sekali tidak mengikuti pola rumah pada awalnya dibangun. Arsitekturnya unik. Rupanya Adam mewujudkan kemampuan dan angan-angannya pada rumah pribadinya. Ia bebas melakukannya tanpa kekangan atau hambatan karena itu miliknya. Ia memang pintar. Pasti dia sudah kaya sekarang.
Beberapa tahun yang lalu Harun mengenal Adam sebagai anak muda yang selalu mengeluh kekurangan uang. Menurut Adam, pihak proyek perumahan tidak me
http://cerita-silat.mywapblog.com
mberinya gaji memadai. Ia juga merasa dianggap sebagai arsitek yang masih hijau hingga cuma dipercaya sebagai asisten saja. Bahkan kadang-kadang cuma jadi mandor bangunan! Tetapi Harun sendiri menganggap keluhan Adam itu tidak pada tempatnya. Sebagai sarjana yang belum berpengalaman pantas saja kalau Adam diperlakukan begitu. Bukankah setiap orang seharusnya mulai dari bawah?
Tetapi pemikiran itu tentu saja tidak diungkapkannya kepada Adam. Hubungan mereka cukup dekat, hingga keterusterangan seperti itu bisa merusak hubungan yang sudah terbina. Adam sering membagi
71
rokok atau kue-kue. Dan cuma Adam satu-satunya arsitek yang memperlakukannya sebagai teman. Lainnya menjaga jarak. Ia toh cuma satpam.
Adam punya angan-angan. "Kalau aku punya uang, kubeli tanah di sini lalu kubangun sebuah rumah yang lain daripada yang lain!"
"Yang nyentrik? Bentuk bola atau kerucut?"
"Ah, nggak begitu dong, Pak. Nggak aneh sih. Tapi sesuatu yang spesial. Karyaku sendiri."
"Kudoakan suatu saat keinginan itu terkabul, Pak Adam!"
Ternyata keinginan itu memang terkabul.
"Cari siapa, Pak?"
Harun terlonjak kaget. Lalu tersipu malu. Teguran itu tertuju kepadanya. Datangnya dari seorang perempuan setengah baya yang berada di balik pintu gerbang sebelah pinggir, terlindung dan tak terlihat olehnya. Lagi pula pikirannya sedang mengembara ke mana-mana.
"Pak Adam Jaka, Bu. Ada di rumah?"
"Bapak mah lagi pergi. Kalau Ibu ada," sahut Bi Iyah.
"Lain kali saja saya mampir lagi, Bu."
Kembali Harun mengeluarkan kartu namanya lalu menyodorkannya pada Bi Iyah. "Ini kartu nama saya. Tolong berikan pada Pak Adam ya, Bu? Saya kenalan lamanya."
Baru beberapa meter berjalan, Harun mendengar klakson mobil di belakangnya. Sebuah mobil sedan berada di depan pintu gerbang rumah Adam, minta dibukakan pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka
72
lebar dan mobil itu meluncur masuk. Tak tampak pengendaranya karena kacanya gelap. Ia tahu Adam sudah pulang. Tetapi waktunya tidak ideal lagi untuk berkunjung. Masih ada hari esok. Ia toh sudah menyerahkan kartu namanya. Bila Adam berminat ia bisa menghubunginya. Maka ia meneruskan langkahnya. Jalan kaki menuju halte bus. Ia sudah mengenal betul daerah itu. Tadi Anwar menganjurkan untuk menggunakan mobil Kijang-nya daripada susah-susah menunggu bus. Tetapi ia merasa kurang enak. Di situ warga mengenalnya sebagai satpam yang hidupnya sederhana. Kalau sekarang ia datang bermobil, sepertinya mengejek orang-orang yang telah kehilangan harta secara mengenaskan, atau disangka mau pamer.
"Adam sudah mendapatkan mimpi-mimpinya," gumamnya.
Kalau saja orang bisa melihat ke depan tentu Adam tidak perlu terlalu banyak mengeluh, apalagi berputus asa. Ia bertanya-tanya sendiri. Apakah dalam keadaannya yang sekarang ini Adam masih ingat akan perilakunya dulu?
"Kau tahu apa yang terpikir olehku ketika melihat Harun? Apa yang terpikir itu membuat hatiku sakit," kata Maria kepada Henry. "Tidak."
"Dia kelihatan makmur, kan?" "Lantas kenapa?"
"Jangan-jangan dia dulu ikut menjarah!" Henry terkejut. Belum sempat berkomentar, Maria sudah menyambung dengan bersemangat, "Coba pikir!
73
Siapa yang tahu apa yang dilakukannya pada saat kita semua pergi meninggalkan rumah masing-masing?"
"Apa dia tidak takut di antara para penjarah ada yang mengenalinya?"
"Sudah tentu dia lepas dulu seragamnya. Dan kalau sudah menjarah beramai-ramai begitu, mana ada yang mau menuding yang lain? Nanti saling tuding dong. Maling teriak maling. Ya, sama-sama lah."
"Lalu?"
"Hasil jarahan dia jadikan modal. Tentu dia sangat memahami, siapa yang paling kaya di sini."
Henry merasa tergetar. Sulit baginya untuk mempercayai tuduhan itu. Apalagi kalau ia membayangkan sosok Harun yang riil barusan. Sepintar itukah Harun berpura-pura?
"Zaman sekarang ini kulit manusia sudah semakin tebal. Tak ada rasa malu. Tak ada rasa bersalah," kata Maria setelah Henry mengemukakan pendapatnya. "Mungkin juga dia mau mengecek apakah kita mencurigainya."
"Kalau begitu, kau pintar juga berpura-pura, Ma," gurau Henry.
Maria tersenyum. "Mungkin kulitku juga sudah menebal."
"Tapi sudahlah. Kita tinggalkan s
http://cerita-silat.mywapblog.com
Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III
, yang merasa betapa dingin tangan istrinya itu. Dia jadi ikut merasa dingin.
Harun bingung sesaat. Ia tak pernah berpikir ke sana. "Jenazahnya kan sudah diperiksa. Bener dia, kan?"
"Jenazah itu sudah hangus, Pak. Bagaimana mengenalinya?" tanya Henry dengan perasaan aneh.
Maria tersentak. "Jangan-jangan Sonny masih hidup, Pa!" ia berseru penuh semangat.
Henry dan Harun sama-sama terkejut. Gagasan itu mengerikan.
68
"Tapi kalau dia masih hidup, kenapa tidak muncul setelah begitu lama? Dia tentu tidak akan pergi begitu saja meninggalkan Non Susan."
"Betul, Ma," Henry membenarkan. "Jangan sembarangan menyangka, ah. Apalagi yang mengerikan seperti itu. Mungkin orang yang dilihat Pak Harun itu bukan Sonny, melainkan tamunya."
"Kalau memang begitu, tentunya Sonny ada di rumah dan tidak sedang tidur. Kenapa tidak menyahuti panggilan atau gedoran pintu?" bantah Maria.
Henry tak bisa menjawab.
"Saya pikir, Pak Sonny memang sempat pergi sebelum tahu apa yang akan terjadi. Lalu dia buru-buru kembali lagi karena situasi jalan tidak aman," Harun menyimpulkan.
Henry mengangguk. "Itu paling mungkin. Jadi dia kembali untuk menyelamatkan barang atau mungkin juga menengok kita, Ma. Tetapi para perusuh keburu datang sebelum dia sempat pergi."
Maria menutup muka dengan kedua tangannya karena ngeri. Ia membayangkan adegan seperti yang dikemukakan Henry itu. Kasihan Sonny. Setiap orang memang harus mati pada suatu saat. Tapi hendaknya jangan dengan cara yang mengerikan.
Pada saat Henry menghibur Maria, Harun pamitan. Ia merasa lega setelah keluar dari rumah itu. Rumah yang menyimpan kenangan duka dengan penghuni yang tabah tapi terluka. Kemunculannya telah menguak luka lama yang sulit sembuh.
Dulu dialah yang mendorong mereka semua pergi mengungsi meninggalkan harta benda yang mereka sayangi. Bahkan ada yang begitu panik hingga tak
69
sempat membawa apa-apa. Ternyata hal itu membuat para penjarah jadi leluasa mengambil apa saja dari rumah-rumah yang ditinggalkan tanpa perlawanan sama sekali. Semua yang bisa diambil mereka ambil. Yang tak bisa diambil mereka rusak. Maka warga yang tak sempat membawa milik mereka tak lagi memiliki apa-apa kecuali pakaian yang melekat di tubuh.
Harun tahu, ada di antara warga yang menyesali dan menyalahkannya. Tetapi apa artinya harta dibanding nyawa? Mereka takkan mampu melawan para penjarah yang begitu beringas, bagaikan serigala yang sudah kelaparan dan sangat bernafsu. Buktinya adalah kematian Sonny.
Sesungguhnya kunjungan yang dilakukannya ini bukan semata-mata untuk promosi. Ia juga ingin tahu, bagaimana kabarnya warga Pantai Nyiur Melambai di era reformasi? Apakah mereka sudah bangkit kembali? Masih adakah orang-orang yang dikenalnya di sana?
Ia mengagumi beberapa di antara mereka yang ulet bertahan meskipun mengajukan alasan tak punya rumah lain dan tak punya uang lagi. Bagaimanapun terpaksanya, tinggal di pemukiman yang sebagian masih porak-poranda itu membuat luka hati sulit sembuh. Orang dipaksa hidup dengan kenangan mengerikan yang selalu segar karena setiap hari terpampang di hadapan mata Mana mungkin bisa melupakan?
Ia bisa memaklumi mereka yang terus terang mengakui bahwa mereka telah mengutuk habis-habisan para penjarah. "Pak Harun! Orang-orang
70
yang menjarah dan membakar rumah kami itu tidak akan selamat! Tidak ada orang yang bisa bahagia di atas kesedihan orang lain. Tidak ada "yang bisa menikmati harta jarahan dengan kedamaian di hati. Tidak ada! Hukum karma akan berlaku, Pak Harun!" Ia bergidik. Kutukan itu mengerikan.
Harun mengamati rumah Adam. Rumah yang bagus, pikirnya dengan kagum. Jauh lebih bagus daripada rumah sebelumnya ketika ditempati oleh keluarga Lie. Coraknya sama sekali tidak mengikuti pola rumah pada awalnya dibangun. Arsitekturnya unik. Rupanya Adam mewujudkan kemampuan dan angan-angannya pada rumah pribadinya. Ia bebas melakukannya tanpa kekangan atau hambatan karena itu miliknya. Ia memang pintar. Pasti dia sudah kaya sekarang.
Beberapa tahun yang lalu Harun mengenal Adam sebagai anak muda yang selalu mengeluh kekurangan uang. Menurut Adam, pihak proyek perumahan tidak me
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari
mberinya gaji memadai. Ia juga merasa dianggap sebagai arsitek yang masih hijau hingga cuma dipercaya sebagai asisten saja. Bahkan kadang-kadang cuma jadi mandor bangunan! Tetapi Harun sendiri menganggap keluhan Adam itu tidak pada tempatnya. Sebagai sarjana yang belum berpengalaman pantas saja kalau Adam diperlakukan begitu. Bukankah setiap orang seharusnya mulai dari bawah?
Tetapi pemikiran itu tentu saja tidak diungkapkannya kepada Adam. Hubungan mereka cukup dekat, hingga keterusterangan seperti itu bisa merusak hubungan yang sudah terbina. Adam sering membagi
71
rokok atau kue-kue. Dan cuma Adam satu-satunya arsitek yang memperlakukannya sebagai teman. Lainnya menjaga jarak. Ia toh cuma satpam.
Adam punya angan-angan. "Kalau aku punya uang, kubeli tanah di sini lalu kubangun sebuah rumah yang lain daripada yang lain!"
"Yang nyentrik? Bentuk bola atau kerucut?"
"Ah, nggak begitu dong, Pak. Nggak aneh sih. Tapi sesuatu yang spesial. Karyaku sendiri."
"Kudoakan suatu saat keinginan itu terkabul, Pak Adam!"
Ternyata keinginan itu memang terkabul.
"Cari siapa, Pak?"
Harun terlonjak kaget. Lalu tersipu malu. Teguran itu tertuju kepadanya. Datangnya dari seorang perempuan setengah baya yang berada di balik pintu gerbang sebelah pinggir, terlindung dan tak terlihat olehnya. Lagi pula pikirannya sedang mengembara ke mana-mana.
"Pak Adam Jaka, Bu. Ada di rumah?"
"Bapak mah lagi pergi. Kalau Ibu ada," sahut Bi Iyah.
"Lain kali saja saya mampir lagi, Bu."
Kembali Harun mengeluarkan kartu namanya lalu menyodorkannya pada Bi Iyah. "Ini kartu nama saya. Tolong berikan pada Pak Adam ya, Bu? Saya kenalan lamanya."
Baru beberapa meter berjalan, Harun mendengar klakson mobil di belakangnya. Sebuah mobil sedan berada di depan pintu gerbang rumah Adam, minta dibukakan pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka
72
lebar dan mobil itu meluncur masuk. Tak tampak pengendaranya karena kacanya gelap. Ia tahu Adam sudah pulang. Tetapi waktunya tidak ideal lagi untuk berkunjung. Masih ada hari esok. Ia toh sudah menyerahkan kartu namanya. Bila Adam berminat ia bisa menghubunginya. Maka ia meneruskan langkahnya. Jalan kaki menuju halte bus. Ia sudah mengenal betul daerah itu. Tadi Anwar menganjurkan untuk menggunakan mobil Kijang-nya daripada susah-susah menunggu bus. Tetapi ia merasa kurang enak. Di situ warga mengenalnya sebagai satpam yang hidupnya sederhana. Kalau sekarang ia datang bermobil, sepertinya mengejek orang-orang yang telah kehilangan harta secara mengenaskan, atau disangka mau pamer.
"Adam sudah mendapatkan mimpi-mimpinya," gumamnya.
Kalau saja orang bisa melihat ke depan tentu Adam tidak perlu terlalu banyak mengeluh, apalagi berputus asa. Ia bertanya-tanya sendiri. Apakah dalam keadaannya yang sekarang ini Adam masih ingat akan perilakunya dulu?
"Kau tahu apa yang terpikir olehku ketika melihat Harun? Apa yang terpikir itu membuat hatiku sakit," kata Maria kepada Henry. "Tidak."
"Dia kelihatan makmur, kan?" "Lantas kenapa?"
"Jangan-jangan dia dulu ikut menjarah!" Henry terkejut. Belum sempat berkomentar, Maria sudah menyambung dengan bersemangat, "Coba pikir!
73
Siapa yang tahu apa yang dilakukannya pada saat kita semua pergi meninggalkan rumah masing-masing?"
"Apa dia tidak takut di antara para penjarah ada yang mengenalinya?"
"Sudah tentu dia lepas dulu seragamnya. Dan kalau sudah menjarah beramai-ramai begitu, mana ada yang mau menuding yang lain? Nanti saling tuding dong. Maling teriak maling. Ya, sama-sama lah."
"Lalu?"
"Hasil jarahan dia jadikan modal. Tentu dia sangat memahami, siapa yang paling kaya di sini."
Henry merasa tergetar. Sulit baginya untuk mempercayai tuduhan itu. Apalagi kalau ia membayangkan sosok Harun yang riil barusan. Sepintar itukah Harun berpura-pura?
"Zaman sekarang ini kulit manusia sudah semakin tebal. Tak ada rasa malu. Tak ada rasa bersalah," kata Maria setelah Henry mengemukakan pendapatnya. "Mungkin juga dia mau mengecek apakah kita mencurigainya."
"Kalau begitu, kau pintar juga berpura-pura, Ma," gurau Henry.
Maria tersenyum. "Mungkin kulitku juga sudah menebal."
"Tapi sudahlah. Kita tinggalkan s
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari