Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf
Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III
aku mengambil uang, Dam. Deg-degan juga, takut dirampok. Habis lumayan gede jumlahnya. Setengah juta!" Ia menunjuk laci meja di sampingnya.
Adam tertawa. Apakah uang setengah juta itu bisa dibilang lumayan gede?
Tampaknya Sonny memahami tawa Adam. "Bukan rupiah lho, Dam! Tapi dolar!"
Adam tertegun. Tentu saja, kalau dolar itu lain lagi.
Sonny menarik laci meja yang tadi ditunjuknya. Mata Adam terbelalak. Tampak tumpukan uang kertas bergambar George Washington. Cuma sebentar saja. Sonny cepat-cepat mendorong lagi laci itu sambil tertawa bangga.
"Untuk apa uang sebanyak itu, Pak?" Adam heran tapi jantungnya berdebar. Ia juga bertanya-tanya kenapa Sonny membanggakan uang sebanyak itu kepadanya. Begitu percayakah Sonny kepadanya? Atau ingin menyombong saja?
"Untuk bisnis dong, Dam! Sekarang rupiah lagi merosot nilainya. Mending simpan dolar."
"Kok simpannya di rumah?"
"Sebagian mau kukirim untuk Susan. Aku mau investasi di sana. Jadi peternak domba!"
142
"Lho, katanya mau bisnis di sini."
"Yang di sana buat Susan. Jadi kalau di sini tidak jalan, masih ada yang lain."
Adam tertegun. Tiba-tiba saja rasa iri menguasainya. Tampaknya mudah saja bagi orang kaya untuk merencanakan ini-itu. Tidak seperti dirinya yang selalu susah. Bila dia yang memiliki uang sebanyak itu mungkin ia akan mendepositokannya saja lalu hidup dari bunga tanpa susah-payah bekerja. Dengan demikian uangnya akan aman tanpa risiko habis bila dia jatuh bangkrut. Enak amat si Sonny ini. Dari mana duitnya itu? Pasti dari orangtuanya. Ah, enak sekali punya orangtua kaya. Tidak seperti dirinya, sudah yatim-piatu dan tak pula mendapatkan warisan berharga.
Lalu tatapan Adam tertuju ke arah guci antik sebesar kepala orang dewasa yang terletak di atas meja kecil di sebelahnya. Guci itu berwarna kuning di sebelah luar, tapi dalamnya kehitaman. Beberapa sisinya dihiasi relief yang tak jelas bentuknya. Ia mengangkatnya. Ternyata berat.
"Itu kepunyaan Papa," Sonny menjelaskan. "Warisan turun-temurun. Entah dari abad keberapa. Tapi kalau tak salah dengar, dulu pernah digunakan sebagai tempat menyimpan abu jenazah nenek moyangku."
Adam cepat-cepat meletakkannya lagi. Ngeri. "Kok sekarang kosong? Ke mana abunya?" ia ingin tahu.
"Oh, katanya itu disebar di laut setelah keturunannya mendapat mimpi."
Kemudian Sonny berdiri. "Kita pelajari lagi gambar yang kaubuat itu, Dam," katanya, lalu membelakangi
143
Adam. Tangannya menarik laci yang bersebelahan dengan laci tempat tumpukan dolarnya. Tatapan Adam tertuju ke laci yang kedua itu. Ia membayangkan tumpukan uang yang sangat menggoda. Tiba-tiba ia tak bisa menguasai diri. Ia menyambar guci tadi, melompat ke belakang Sonny lalu memukulkan guci itu sekuat-kuatnya ke belakang kepala Sonny. Begitu cepat gerakannya dan begitu keras pukulannya hingga Sonny cuma berteriak sekali, lalu terkapar tanpa bergerak lagi. Kemudian guci yang dijadikan pemukul dilemparkannya ke sudut.
Sesudah itu ia bergegas mencari kantung plastik. Ke dalamnya ia masukkan bundelan uang dolar dari dalam laci tadi. Sesekali ia melirik Sonny yang terkapar. Sonny tetap diam.
Tiba-tiba telepon berdering mengejutkannya. Ia terpaku sejenak. Ragu-ragu apakah akan membiarkannya saja atau mengangkatnya. Akhirnya diangkatnya juga.
"Halo?"
"Sonny?" sapa suara lelaki.
"Ya. Ini Sonny," sahut Adam. "Dari mana?"
"Son, ini David. Kau sudah tahu tentang kerusuhan yang sedang terjadi di Jakarta? Toko-toko dijarah. Beberapa kantor cabang bank BCA dibakari. Mobil dan motor dibakari. Ada yang dibunuh juga."
"Oh, begitu?" Adam terkejut juga. Dia sama sekali tidak mengikuti perkembangan di luar. Sonny juga tidak menyinggung soal itu sebelumnya.
"Hati-hati saja. Waspada. Kabarnya, perusuh mengincar pemukiman mayoritas Tionghoa. Amankan barang-barang berharga!"
"Oke. Terima kasih!"
144
Adam mempercepat kerjanya. Ia tentu tak ingin harta yang barusan diperolehnya dirampas perusuh. Ia mengenakan jaket milik Sonny, menjejalkan kantung berisi uang dolar itu ke balik dadanya. Gembungnya tak begitu kentara. Sebelum pergi ia menatap Sonny lagi. Tak ada waktu untuk memeriksa apakah Sonny sudah ma
http://cerita-silat.mywapblog.com
ti atau belum.
Kemudian muncul ide dari informasi lewat telepon tadi. Ia bergerak cepat mengobrak-abrik ruangan itu. Beberapa barang dipecahkannya. Meja-kursi dibalikkan. Isi laci-laci ia tumpahkan ke lantai. Tumpukan kertas ia sebarkan di sekitar tubuh Sonny. Tapi ia tak punya waktu banyak untuk melakukan hal yang sama di ruangan lain.
Kemudian ia mendorong motor Sonny ke halaman dan mengenakan helm yang tergantung di setangnya. Pintu dikuncinya dari luar, lalu kuncinya ia lemparkan ke dalam lewat lubang angin. Pintu pagar ia rapatkan.
Begitu turun ke jalan ia tak lagi menengok kiri-kanan apalagi ke belakang. Ia tak berpapasan dengan siapa-siapa. Jalanan sepi. Ia meluncur dengan kencang. Dengan membawa motor Sonny, mengenakan jaket dan helmnya, orang akan mengira dia adalah Sonny, bila kebetulan orang tersebut mengenali nomor motornya.
Ia melihat kerusuhan-kerusuhan kecil di beberapa tempat yang dilaluinya. Asap hitam membubung di sana-sini. Ia sangat ketakutan. Ia juga bingung memilih jalan mana yang aman. Akhirnya ia terjebak di jalan yang dipenuhi massa. Ia dicegat dan disuruh berhenti.
"Buka helmnya! Bukaaa!" bentak orang-orang itu.
145
Ia terpaksa membuka helmnya. Orang-orang mengerumuninya. Mereka mengamatinya.
"Eh, kamu Cina atau bukan?"
"Bukan!" serunya dengan gemetar.
Ada suara-suara tidak percaya. Lalu seseorang menyeruak dari kerumunan dan mendekati Adam. Ia berkata, "Aku kenal Pak Adam Jaka! Dia bukan Cina!"
Adam mengenali Angga, remaja yang suka berkeliaran dekat proyek perumahan Pantai Nyiur Melambai. Untunglah ia selalu berlaku baik kepadanya. Angga suka minta uang rokok. Kadang-kadang ia berikan, kadang-kadang tidak. Sekarang ia menyesal karena dulu tidak memberinya uang lebih banyak.
"Kalau bukan, pergilah!" bentak seseorang.
"Pergilah, Pak!" tegas Angga.
"Tinggalkan motornya! Bakar!"
Tanpa disuruh dua kali Adam mematuhi perintah itu. Ada yang mendorong tubuhnya dari belakang. Ia berlari. Ketika merasa berada pada jarak yang cukup aman, ia berhenti lalu menoleh ke belakang. Ia melihat motor milik Sonny itu sudah dijilat api. Ia kembali berlari. Pada saat itu orang-orang berlarian di mana-mana. Takkan ada orang yang mencurigainya sebagai maling. Apalagi pembunuh.
Belakangan ia mendengar musibah yang menimpa kawasan Pantai Nyiur Melambai, dan apa yang terjadi pada rumah Sonny dan rumah-rumah lainnya. Sonny juga ditemukan telah hangus. Tetapi orang mengira Sonny dibunuh perusuh. Jejaknya di sana sudah lenyap sama sekali. Ia merasa bersyukur. Ia telah diselamatkan perusuh! Meskipun Angga punya andil
146
dalam menolongnya, tapi ia juga diselamatkan bentuk wajahnya yang tidak mewarisi gen keturunan Cina dari neneknya di pihak ibu! Seandainya ia punya kemiripan fisik dengan neneknya, pastilah nyawanya sudah melayang. Demikian pula dolarnya!
Dalam banyak situasi di masa lalu ia memang kerap mensyukuri hal itu. Untung ia punya wajah pribumi. Untung garis keturunan itu dari pihak ibu. Seandainya dari pihak ayah, pastilah ia punya kerepotan lain, yaitu masalah surat kewarganegaraan. Ia juga sering terselamatkan bila berada dalam situasi diskriminasi rasial. Dia selalu digolongkan sebagai asli atau pri. Karena itu kalau ia mendengar orang meributkan masalah ras dan etnis, terutama masalah asli dan tidak asli, atau pri dan nonpri, ia merasa geli dalam hati. Sesungguhnya, orang yang suka ribut atau menyatakan dirinya asli itu, benarkah asli tanpa ada campuran apa-apa di dalam darahnya? Apakah dia bisa menelusuri dengan pasti siapa saja nenek moyangnya?
Sebagian uang rampokan itu digunakannya untuk membeli rumah yang ditempatinya sekarang dan kemudian dibangunnya kembali. Jadi ia merasa berjasa pada rumah itu, hingga pantaslah jika ia menempatinya tanpa perasaan bersalah apalagi takut. Lihatlah rumah-rumah lain di seputar kawasan itu. Bagaikan peninggalan perang. Padahal ia bisa saja memilih rumah lain dan kemudian merenovasi atau membangunnya. Tetapi ia memilih yang itu!
Ia yakin, orang tak bisa pasif saja menjalani hidup seperti apa adanya bila menginginkan kemajuan. Nasib tak bisa mengubah orang kalau orang itu
147
http://cerita-silat.mywapblog.com
Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III
aku mengambil uang, Dam. Deg-degan juga, takut dirampok. Habis lumayan gede jumlahnya. Setengah juta!" Ia menunjuk laci meja di sampingnya.
Adam tertawa. Apakah uang setengah juta itu bisa dibilang lumayan gede?
Tampaknya Sonny memahami tawa Adam. "Bukan rupiah lho, Dam! Tapi dolar!"
Adam tertegun. Tentu saja, kalau dolar itu lain lagi.
Sonny menarik laci meja yang tadi ditunjuknya. Mata Adam terbelalak. Tampak tumpukan uang kertas bergambar George Washington. Cuma sebentar saja. Sonny cepat-cepat mendorong lagi laci itu sambil tertawa bangga.
"Untuk apa uang sebanyak itu, Pak?" Adam heran tapi jantungnya berdebar. Ia juga bertanya-tanya kenapa Sonny membanggakan uang sebanyak itu kepadanya. Begitu percayakah Sonny kepadanya? Atau ingin menyombong saja?
"Untuk bisnis dong, Dam! Sekarang rupiah lagi merosot nilainya. Mending simpan dolar."
"Kok simpannya di rumah?"
"Sebagian mau kukirim untuk Susan. Aku mau investasi di sana. Jadi peternak domba!"
142
"Lho, katanya mau bisnis di sini."
"Yang di sana buat Susan. Jadi kalau di sini tidak jalan, masih ada yang lain."
Adam tertegun. Tiba-tiba saja rasa iri menguasainya. Tampaknya mudah saja bagi orang kaya untuk merencanakan ini-itu. Tidak seperti dirinya yang selalu susah. Bila dia yang memiliki uang sebanyak itu mungkin ia akan mendepositokannya saja lalu hidup dari bunga tanpa susah-payah bekerja. Dengan demikian uangnya akan aman tanpa risiko habis bila dia jatuh bangkrut. Enak amat si Sonny ini. Dari mana duitnya itu? Pasti dari orangtuanya. Ah, enak sekali punya orangtua kaya. Tidak seperti dirinya, sudah yatim-piatu dan tak pula mendapatkan warisan berharga.
Lalu tatapan Adam tertuju ke arah guci antik sebesar kepala orang dewasa yang terletak di atas meja kecil di sebelahnya. Guci itu berwarna kuning di sebelah luar, tapi dalamnya kehitaman. Beberapa sisinya dihiasi relief yang tak jelas bentuknya. Ia mengangkatnya. Ternyata berat.
"Itu kepunyaan Papa," Sonny menjelaskan. "Warisan turun-temurun. Entah dari abad keberapa. Tapi kalau tak salah dengar, dulu pernah digunakan sebagai tempat menyimpan abu jenazah nenek moyangku."
Adam cepat-cepat meletakkannya lagi. Ngeri. "Kok sekarang kosong? Ke mana abunya?" ia ingin tahu.
"Oh, katanya itu disebar di laut setelah keturunannya mendapat mimpi."
Kemudian Sonny berdiri. "Kita pelajari lagi gambar yang kaubuat itu, Dam," katanya, lalu membelakangi
143
Adam. Tangannya menarik laci yang bersebelahan dengan laci tempat tumpukan dolarnya. Tatapan Adam tertuju ke laci yang kedua itu. Ia membayangkan tumpukan uang yang sangat menggoda. Tiba-tiba ia tak bisa menguasai diri. Ia menyambar guci tadi, melompat ke belakang Sonny lalu memukulkan guci itu sekuat-kuatnya ke belakang kepala Sonny. Begitu cepat gerakannya dan begitu keras pukulannya hingga Sonny cuma berteriak sekali, lalu terkapar tanpa bergerak lagi. Kemudian guci yang dijadikan pemukul dilemparkannya ke sudut.
Sesudah itu ia bergegas mencari kantung plastik. Ke dalamnya ia masukkan bundelan uang dolar dari dalam laci tadi. Sesekali ia melirik Sonny yang terkapar. Sonny tetap diam.
Tiba-tiba telepon berdering mengejutkannya. Ia terpaku sejenak. Ragu-ragu apakah akan membiarkannya saja atau mengangkatnya. Akhirnya diangkatnya juga.
"Halo?"
"Sonny?" sapa suara lelaki.
"Ya. Ini Sonny," sahut Adam. "Dari mana?"
"Son, ini David. Kau sudah tahu tentang kerusuhan yang sedang terjadi di Jakarta? Toko-toko dijarah. Beberapa kantor cabang bank BCA dibakari. Mobil dan motor dibakari. Ada yang dibunuh juga."
"Oh, begitu?" Adam terkejut juga. Dia sama sekali tidak mengikuti perkembangan di luar. Sonny juga tidak menyinggung soal itu sebelumnya.
"Hati-hati saja. Waspada. Kabarnya, perusuh mengincar pemukiman mayoritas Tionghoa. Amankan barang-barang berharga!"
"Oke. Terima kasih!"
144
Adam mempercepat kerjanya. Ia tentu tak ingin harta yang barusan diperolehnya dirampas perusuh. Ia mengenakan jaket milik Sonny, menjejalkan kantung berisi uang dolar itu ke balik dadanya. Gembungnya tak begitu kentara. Sebelum pergi ia menatap Sonny lagi. Tak ada waktu untuk memeriksa apakah Sonny sudah ma
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari
ti atau belum.
Kemudian muncul ide dari informasi lewat telepon tadi. Ia bergerak cepat mengobrak-abrik ruangan itu. Beberapa barang dipecahkannya. Meja-kursi dibalikkan. Isi laci-laci ia tumpahkan ke lantai. Tumpukan kertas ia sebarkan di sekitar tubuh Sonny. Tapi ia tak punya waktu banyak untuk melakukan hal yang sama di ruangan lain.
Kemudian ia mendorong motor Sonny ke halaman dan mengenakan helm yang tergantung di setangnya. Pintu dikuncinya dari luar, lalu kuncinya ia lemparkan ke dalam lewat lubang angin. Pintu pagar ia rapatkan.
Begitu turun ke jalan ia tak lagi menengok kiri-kanan apalagi ke belakang. Ia tak berpapasan dengan siapa-siapa. Jalanan sepi. Ia meluncur dengan kencang. Dengan membawa motor Sonny, mengenakan jaket dan helmnya, orang akan mengira dia adalah Sonny, bila kebetulan orang tersebut mengenali nomor motornya.
Ia melihat kerusuhan-kerusuhan kecil di beberapa tempat yang dilaluinya. Asap hitam membubung di sana-sini. Ia sangat ketakutan. Ia juga bingung memilih jalan mana yang aman. Akhirnya ia terjebak di jalan yang dipenuhi massa. Ia dicegat dan disuruh berhenti.
"Buka helmnya! Bukaaa!" bentak orang-orang itu.
145
Ia terpaksa membuka helmnya. Orang-orang mengerumuninya. Mereka mengamatinya.
"Eh, kamu Cina atau bukan?"
"Bukan!" serunya dengan gemetar.
Ada suara-suara tidak percaya. Lalu seseorang menyeruak dari kerumunan dan mendekati Adam. Ia berkata, "Aku kenal Pak Adam Jaka! Dia bukan Cina!"
Adam mengenali Angga, remaja yang suka berkeliaran dekat proyek perumahan Pantai Nyiur Melambai. Untunglah ia selalu berlaku baik kepadanya. Angga suka minta uang rokok. Kadang-kadang ia berikan, kadang-kadang tidak. Sekarang ia menyesal karena dulu tidak memberinya uang lebih banyak.
"Kalau bukan, pergilah!" bentak seseorang.
"Pergilah, Pak!" tegas Angga.
"Tinggalkan motornya! Bakar!"
Tanpa disuruh dua kali Adam mematuhi perintah itu. Ada yang mendorong tubuhnya dari belakang. Ia berlari. Ketika merasa berada pada jarak yang cukup aman, ia berhenti lalu menoleh ke belakang. Ia melihat motor milik Sonny itu sudah dijilat api. Ia kembali berlari. Pada saat itu orang-orang berlarian di mana-mana. Takkan ada orang yang mencurigainya sebagai maling. Apalagi pembunuh.
Belakangan ia mendengar musibah yang menimpa kawasan Pantai Nyiur Melambai, dan apa yang terjadi pada rumah Sonny dan rumah-rumah lainnya. Sonny juga ditemukan telah hangus. Tetapi orang mengira Sonny dibunuh perusuh. Jejaknya di sana sudah lenyap sama sekali. Ia merasa bersyukur. Ia telah diselamatkan perusuh! Meskipun Angga punya andil
146
dalam menolongnya, tapi ia juga diselamatkan bentuk wajahnya yang tidak mewarisi gen keturunan Cina dari neneknya di pihak ibu! Seandainya ia punya kemiripan fisik dengan neneknya, pastilah nyawanya sudah melayang. Demikian pula dolarnya!
Dalam banyak situasi di masa lalu ia memang kerap mensyukuri hal itu. Untung ia punya wajah pribumi. Untung garis keturunan itu dari pihak ibu. Seandainya dari pihak ayah, pastilah ia punya kerepotan lain, yaitu masalah surat kewarganegaraan. Ia juga sering terselamatkan bila berada dalam situasi diskriminasi rasial. Dia selalu digolongkan sebagai asli atau pri. Karena itu kalau ia mendengar orang meributkan masalah ras dan etnis, terutama masalah asli dan tidak asli, atau pri dan nonpri, ia merasa geli dalam hati. Sesungguhnya, orang yang suka ribut atau menyatakan dirinya asli itu, benarkah asli tanpa ada campuran apa-apa di dalam darahnya? Apakah dia bisa menelusuri dengan pasti siapa saja nenek moyangnya?
Sebagian uang rampokan itu digunakannya untuk membeli rumah yang ditempatinya sekarang dan kemudian dibangunnya kembali. Jadi ia merasa berjasa pada rumah itu, hingga pantaslah jika ia menempatinya tanpa perasaan bersalah apalagi takut. Lihatlah rumah-rumah lain di seputar kawasan itu. Bagaikan peninggalan perang. Padahal ia bisa saja memilih rumah lain dan kemudian merenovasi atau membangunnya. Tetapi ia memilih yang itu!
Ia yakin, orang tak bisa pasif saja menjalani hidup seperti apa adanya bila menginginkan kemajuan. Nasib tak bisa mengubah orang kalau orang itu
147
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari