Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ketika Barongsai Menari - 24

$
0
0
Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf

Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III

si ayah kandung, kenapa tak bisa? Bukankah anak itu miliknya? Dia yang paling berhak!
  Ada dorongan tak tertahankan. Ia menguak kelambu. Masih dengan perhatian terfokus kepada wajah Jason, ia memanggil dengan suara gemetar, pelan
  153
  tapi jelas, "Son! Sooon...!" Nada suaranya diiramakan. Lembut dan merayu.
  Jason membuka matanya. Tampak jernih dan bening.
  Adam tersenyum. "Son! Son! Ini Papa!" panggilnya dengan jantung berdebar. Apakah Jason ak an membuka mulutnya lebar-lebar lalu melancarkan ta ngisnya yang melengking? "Sekarang Papa memanggil mu Son! Dengar?" ia menegaskan dengan perasaan sep erti orang bodoh.
  Tiba-tiba Adam terkejut tak kepalang. Jason tidak menangis. Ia cuma balas menatap. Tetapi kemudian Adam melihat wajah Jason bukan wajah bayi lagi, melainkan wajah Sonny! Itu adalah ekspresi Sonny dengan mata terbelalak, seperti yang dilihatnya terakhir kali!
  Adam melompat ke belakang lalu jatuh terduduk ketika terdengar bunyi melengking. Itu bukanlah tangis Jason, melainkan jerit kesakitan Sonny! Jeritan itu begitu keras dan menyayat!
  Adam berlari ke luar lalu bertubrukan dengan Kristin. Wajah Kristin pucat dan matanya menampakkan ketakutan. "Kenapa, Mas? Ada apa dengan Jason?" Lalu tanpa memedulikan Adam atau menunggu jawaban, Kristin menghambur menuju boks Jason.
  Adam tak menjawab. Ia terus berlari ke kamarnya sendiri lalu melompat ke atas tempat tidur. Ia merebahkan tubuhnya dengan posisi miring, dan menutupi wajah dan telinganya dengan bantal. Biarpun telinganya sudah ditekan dengan bantal, ia masih bisa mendengar suara Kristin yang tengah membujuk Jason.
  154
  "Ceeep... ceeep... Sayang. Sudah, ya? Bobo lagi, ya?"
  Tangisan Jason sudah berubah menjadi isakan. Kedengaran sedih dan manja.
  Setelah kagetnya mereda, rasa marah melanda Adam. Ia marah kepada Kristin, kepada Jason, dan kepada dirinya sendiri. Kenapa ia mau saja mengikuti saran Kristin dan memperbodoh dirinya sendiri? Mulai saat ini ia tidak akan lagi memanggil anak itu dengan sebutan "Son". Ia akan mencari nama lain. Dan kalau masih juga tak mau, ya sudah, tak perlu dipanggil. Apa pedulinya? Ia tidak takut.
  Kristin masuk. "Jason sudah tidur, Mas," katanya pelan.
  Adam tidak menyahut. Kristin duduk di tepi tempat tidur, di sisi Adam.
  "Memangnya kau ngapain tadi, Mas?"
  Tiba-tiba Adam melempar bantalnya ke pinggir, lalu melompat duduk. Kristin tersentak kaget.
  "Kaupikir aku ngapain? Menganiaya dia?" bentaknya.
  Kristin terperangah, tak menyangka. "Bukan begitu, Mas. Tapi... nangisnya kok gitu, ya?" katanya pelan.
  "Kalau mau tahu kenapa, tanya dia dong! Jangan nanya aku!"
  "Ah, mana bisa dia ditanyai? Kau yang mendekatinya, kan? Ngapain kau di situ, Mas?" Kristin mulai jengkel.
  "Memangnya aku tidak boleh ke situ? Apa aku tidak boleh menjenguknya?"
  "Oh, kau menjenguknya?" Suara Kristin melembut. Simpati.
  155
  "Ya. Tapi aku tidak akan melakukannya lagi. Tidak akan!"
  Kristin terkejut. "Jangan begitu, Mas. Dia kan anakmu. Kau harus bersabar."
  "Gantilah namanya!" seru Adam. Seperti ultimatum.
  "Mana mungkin? Sudah terdaftar begitu." "Yang sudah terdaftar, ya sudah. Tapi ganti panggilannya. Apa saja. Asal jangan yang itu!" "Kenapa?"
  "Jangan tanya kenapa. Pendeknya aku tidak suka!" "Dulu kau terima saja."
  "Waktu itu lain. Nyatanya sekarang dia selalu menangis."
  "Besok panggillah dia 'Son', Mas. Kita lihat reaksinya, ya?" bujuk Kristin. "Pendeknya, ganti namanya!" "Tidak, Mas!"
  "Apa susahnya sih? Mumpung dia masih kecil." "Aku suka nama itu!" "Keras kepala!" "Biar!"
  Sesaat keduanya terdiam. Lalu Kristin bangkit, memutari tempat tidur untuk naik ke sisi yang satunya. Ia merebahkan diri dengan memunggungi Adam. Ia berusaha keras agar tidak menangis.
  Adam masih dalam posisi setengah duduk., Ia melonjorkan kakinya. Wajahnya masih menampakkan kemarahan. Tatapannya berpindah-pindah, dari Kristin di sebelahnya ke arah kamar bayi. Berganti-ganti beberapa kali. Lalu ia berkata dengan suara yang
  156
  dingin, "Anak itu tidak suka kepadaku, kan? Dia benci aku, kan?"
  Kristin tidak menjawab. Ia juga tidak menoleh.
  "Kira-kira aku tahu sebabnya!" Adam melanjutkan.
  Kristin berbalik. Sekarang t
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

  ubuhnya telentang dan matanya menatap Adam. "Apa?" tanyanya pelan.
  "Aku bukan ayahnya!" Adam meledakkan unek-uneknya.
  "Apa?!" teriak Kristin sambil melompat bangun. Wajahnya mengekspresikan kemarahan. "Kau menuduh aku?" serunya.
  Adam menatap Kristin. Tatapan dan ekspresinya dingin sekali hingga Kristin tak sanggup beradu pandang lama-lama. Ia merasa ngilu dan pedih. "Bagaimana mungkin kau menuduhku sekejam itu, Mas?"
  "Aku tidak menuduh. Tapi menyimpulkan."
  "Sama saja."
  "Kau bilang, anak itu mungkin punya kepekaan. Nah, cuma itu satu-satunya penyebab yang paling mungkin. Dia tahu aku bukan ayahnya!"
  "Jadi kau mengambil kesimpulan dari situ? Gampang amat!"
  "Itu yang paling masuk akal!"
  "Itu sih akal orang idiot!"
  "Apa? Kau menyebutku idiot?" Adam melotot. Mukanya merah. Napasnya sesak. Kedua tangannya dikepalkan.
  Kristin bersikap siaga. Ia sudah bertekad, kalau sampai dipukul, ia akan melawan. Orang yang berada di pihak yang benar tidak perlu merasa takut.
  Tetapi emosi Adam cepat surut. Ia merebahkan tubuhnya sambil membelakangi Kristin, lalu menarik
  157
  selimut sampai menutupi setengah mukanya. Sikapnya menandakan ia tak mau lagi memasalahkan hal itu.
  Kristin masih penasaran, tetapi sadar tak ada gunanya melanjutkan pertengkaran itu. Ia tak ingin berada di samping Adam. Maka ia ke kamar bayi. Di sana ada dipan yang biasa digunakannya untuk tidur-tiduran di siang hari, sebelum dan usai menyusui Jason.
  Kristin mengamati Jason yang tidur lelap. Matanya menjadi basah. Kasihan anakku. Apa jadinya kau bila tak diakui ayahmu sendiri? Tak disayang masih lebih baik daripada tak diakui!
  Ia merebahkan tubuhnya di atas dipan. Terasa lelah sekali. Tak berapa lama kemudian ia tertidur.
  Di dalam boksnya Jason membuka mata. Tampak bulat dan jernih. Sepasang mata di wajah mungil tak berdosa. Biji matanya bergerak-gerak pelan.
  ***
  Maria memeluk Kristin. Wajahnya penuh simpati. Ia juga mengusap kepala Jason yang terbaring di keretanya.
  "Jangan langsung menganggapnya serius, Kris," hibur Maria. "Ingat. Dia lagi stres. Bayangkan saja. Dia sangat ingin menggendong dan mencium anaknya, tapi tak bisa. Maka saking frustrasinya, dia ngomong macam-macam."
  "Tapi kok begitu ngomongnya, Tante? Itu kan kelewatan."
  "Orang stres memang suka begitu. Jangan pandang
  158
  enteng, Kris. Hati-hati. Ada yang sampai bunuh diri lho."
  Kristin tertegun dengan ekspresi cemas. Maria adalah orang yang paling dekat dan sudah memahami persoalannya, hingga ia bisa mengadu tanpa merasa risi. Ketakutan kalau kalau dirinya atau Jason sampai diapa apakan oleh Adam menimbulkan rasa kebutuhan akan bantuan orang lain. Padahal sebelum pergi tadi pagi Adam sudah mengingatkan, "Jangan ceritakan masalah kita kepada tetangga! Aku tak mau mereka ikut campur! Aku tak mau jadi bahan tertawaan orang!"
  "Mereka sudah banyak membantu kita, Mas! Ingat budi mereka dong!"
  "Tapi kau juga harus ingat aku, Kris! Aku tak mau terlihat tolol di mata mereka. Masalah kita harus kita selesaikan sendiri."
  "Dengan kesimpulanmu yang semalam itu?"
  "Jangan mulai lagi! Pendeknya aku tak suka dicampuri tetangga!"
  Tetapi peringatan Adam itu justru membuat kebutuhannya akan bantuan orang lain semakin besar. Kalau sampai terjadi sesuatu, entah apa, akan ada orang lain yang tahu.
  "Kalau begitu, tetaplah berhati-hati, Kris. Jangan datang ke sini atau mengobrol dengan kami bila Adam ada di rumah," Maria menasihati.
  "Ya. Saya pikir juga begitu."
  "Untuk sementara ini jauhkan Jason dari Adam, Kris."
  "Oh ya, pagi-pagi dia sudah bilang begitu, Tante.
  159
  Katanya kalau dia di rumah, Jason harus tetap di kamar bayi."
  "Mungkin untuk sementara itu yang terbaik. Biar stresnya mereda."
  Kristin merenung sedih. "Orang bilang, kehadiran anak bisa menambah kebahagiaan dan keharmonisan. Tapi kami kok malah jadi begini," keluhnya.
  "Apa kau sendiri tidak bahagia dengan kehadiran Jason?" tanya Maria sambil menarik kereta bayi lebih mendekat dan mengamati Jason dengan takjub. Ia saja jatuh hati kepada bayi manis itu. Apalagi ayahnya sendiri?! Susah juga menyalahkan Adam.
  "Tentu saja saya bahagia, Tante. Adam sendiri mendambakan anak."
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>