Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ketika Barongsai Menari - 30

$
0
0
Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf

Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III

apa?" Tom heran. "Untuk semua ini."
  "Ah, ini kan belum apa-apa. Aku juga berterima kasih." "Untuk apa?"
  "Untuk kehadiranmu di sini. Kau telah memberiku kehangatan di sini." Tom menunjuk dadanya.
  Susan tertawa. "Betapa senangnya karena aku dianggap berarti!" Lalu ia melompat dari duduknya, mendekati Tom di kursinya. Ia membungkuk kemudian mencium Tom di kedua belah pipinya! Tom terperangah. Benar-benar kejutan untuknya. Pipinya bersemu merah. Lalu ia tersipu dan salah tingkah sejenak. Orang-orang yang melihat tersenyum. Di situ pemandangan romantis sudah biasa. Tapi setiap pasangan punya keunikan sendiri-sendiri.
  Tom memang belum sepenuhnya membaur dengan kebiasaan setempat. Dia tergolong orang Asia yang masih sedikit "kolot". Tetapi sesungguhnya ia senang. Ia tahu, kelakuan Susan itu adalah spontanitas.
  "Sori, Tom. Apakah kau tidak suka?" tanya Susan khawatir.
  Tom tersenyum lebar. "Oh, aku suka! Terima kasih, Sus! Cuma aku kaget saja."
  "Kau lucu tadi." Susan masih geli.
  "Oh ya? Belum pernah ada orang yang menyebutku lucu."
  191
  "Ah, masa? Ada kok."
  "Siapa?"
  "Sonny."
  Setelah kata itu terucap, Susan terdiam sejenak. Nama Sonny spontan saja keluar. Padahal sejak awal dia sudah berusaha menghindari perbincangan tentang Sonny dengan Tom. Padahal dengan orang lain, seperti Ron misalnya, ia bisa bercerita tanpa beban. Mungkin sebagai abang Sonny, Tom punya hubungan khusus dengannya. Sedang Ron tidak kenal Sonny.
  Tom mengamati wajah Susan, mencoba memperkirakan apa yang tengah dipikirkannya. Wajah Susan tiba-tiba berubah murung. Masihkah ia berduka perihal Sonny? Tom mengulurkan tangan yang segera disambut oleh Susan. Tom merasa, Susan tak memerlukan kata-kata penghiburan. Ia sendiri juga tidak tahu kata apa yang pantas untuk diucapkan. Padahal sebenarnya ia ingin membicarakan Sonny. Ia ingin tahu apa saja yang diceritakan Sonny tentang di rinya. Mungkin sekarang belum saatnya. Ia sudah meng alaminya sendiri waktu disakiti Viv. Cukup banyak wak tu yang dibutuhkannya untuk mereparasi diri. Setelah it u barulah ia bisa bicara lagi tentang Viv tanpa beban.
  "Kau sudah lapar, Sus? Kita cari restoran untuk makan malam, yuk? Kau suka makanan Italia?" Tom mengalihkan masalah.
  "Belum terlalu lapar, Tom. Barusan ngemil, kan?"
  "Kalau begitu kita jalan-jalan lagi. Sesudah lapar baru cari tempat untuk makan. Sebenarnya aku ingin mengajakmu makan di sebuah restoran yang letaknya
  192
  di lantai empat puluh lima. Dulu aku pernah makan di sana bersama Viv. Pemandangan dari sana hebat sekali, Sus! Kita bisa melihat patung Liberty dari sana. Tapi sayang, kita mesti berpakaian lengkap dulu."
  "Tapi aku punya ide lain, Tom."
  "Bilang saja. Aku pasti setuju."
  "Sekarang kita belanja bahan makanan. Di sini semuanya komplet tuh. Lalu kita pulang dan masak sendiri. Bagaimana?"
  Tom terlonjak senang. Itu adalah ide yang paling menyenangkan.
  Mereka tiba sekitar pukul delapan. Masih siang untuk ukuran orang New York. Tetapi jam makan malam sudah lewat. Untuk mereka tentu saja tak berlaku aturan seperti itu. Mau makan jam berapa pun terserah, tergantung tuntutan perut.
  Keduanya menggendong kantong kertas penuh berisi belanjaan. Tom sekalian mengisi lumbung makanannya. Mereka sangat gembira dan penuh semangat. Kegembiraan itu tidak sampai menyurut ketika mereka melihat Ron dan Danny mendekati. Kedua orang itu sepertinya sedang menunggu kepulangan mereka.
  Sepertinya dua orang itu, atau salah satu dari keduanya, selalu saja muncul bila ia bersama Susan, pikir Tom. Tapi ia tidak kesal lagi seperti yang dirasakan pada awalnya. Seperti dulu terhadap Viv, ia tidak berhak melarang Susan bergaul dengan siapa saja. Apalagi dengan teman-temannya sendiri.
  "Sini, kami bantu," Danny menawarkan jasanya. Tanpa menunggu komentar ia mengambil alih bawaan
  193
  Susan lalu menyorongkannya kepada Ron. Ia sendiri mengambil alih bawaan Tom. "Kalian kan sudah capek. Biar melenggang bebas."
  "Kok tumben kalian pulang sore," kata Ron sambil berjalan ke lift.
  "Kami bermaksud makan di rumah saja," sahut Susan.
  "Wah, pasti makannya enak sekali." Danny melongok ke dalam kantong bawaannya. "Mau bikin
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

  apa? Chinese food? Indonesian food?"
  Mereka masuk lift. Susan dan Tom di belakang kedua orang yang membawa kantong. Tom berbisik kepada Susan yang kemudian mengangguk.
  "Ikut makan yuk?" Susan mengundang. Ia menyuarakan bisikan Tom tadi.
  "Wow! Dengan senang hati!"
  Ron dan Danny bersorak. Mereka tertawa. Memang keterlaluan bila tidak mengundang orang yang sudah amat berharap. Apalagi bila sudah berada di depan pintu.
  Apartemen Tom menjadi riuh. Melihat Susan begitu gembira, Tom merasa harus ikut pula bergembira. Ada saatnya ia bisa berduaan saja dengan Susan di mana mereka bisa berbicara tanpa dicampuri orang yang tidak terlibat. Tetapi selalu ada saat lain di mana keadaan itu tak bisa dipertahankan betapapun waktu begitu terbatas. Ia membutuhkan teman, dan tak mungkin mencampakkan mereka kalau sedang tidak membutuhkan.
  ***
  194
  Pagi esoknya, mereka berempat sarapan bersama di apartemen Tom sesuai perjanjian semalam. Keempatnya sudah berpakaian rapi. Susan mengenakan setelan yang dipakainya kemarin. Semalam sudah ada konfirmasi dari New Jersey bahwa Barnas Topan bisa ditemui untuk wawancara pagi itu. Danny akan mengantarkannya. Sedang Tom dan Ron akan berangkat ke rumah sakit untuk pekerjaan rutin mereka.
  Mereka keluar bersama. Tom dan Ron melepas keberangkatan Susan dan Danny. Susan membawa serta travel bag-nya karena ia takkan kembali lagi ke situ seusai wawancara. Ia akan langsung terbang kembali ke Wellington setelah tugasnya selesai.
  Sebelum masuk ke mobil Danny, Susan memeluk Tom dan mencium pipinya kiri-kanan. Ia juga memperlakukan Ron dengan cara yang sama.
  "Terima kasih untuk semuanya," kata Susan terharu. "Kalian sudah memberiku kehangatan yang tulus."
  "Selamat jalan, Sus! Mudah-mudahan sukses wawancaranya, ya!" kata Tom.
  "Jangan lupa titipan dan pesanku untuk urusan Jakarta, Tom!" kata Susan untuk kesekian kalinya.
  "Selamat jalan, Sus! Ingat, kirimi aku e-mail, ya?" pesan Ron.
  "Jangan ngebut ya, Dan! Baik-baik menjaga Susan!" seru Tom.
  Danny tersenyum saja. Bagaimanapun ia mendapat kelebihan dibanding kedua orang itu. Dialah orang yang paling akhir berpisah dari Susan. Mobilnya melaju.
  "Bye-bye! Bye-bye!"
  195
  ***
  Danny melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Jembatan George Washington yang dilintasi sudah padat dengan kendaraan.
  "Sedih berpisah dari Tom, Sus?" tanya Danny sambil melirik mengamati wajah Susan.
  "Sedih?" Susan balas bertanya. "Apa aku kelihatan sedih?"
  "Soalnya kau diam saja."
  "Oh, itu. Aku nggak sedih. Aku terkesan dengan kebaikan kalian, teman-teman Tom. Apakah kalian selalu begitu kepada kerabat masing-masing?"
  "Ya."
  Susan menoleh, tak percaya. Danny tertawa. "Khususnya pada kerabat Tom dong. Dia sahabat khusus kami." "Khusus?"
  "Apa yang dialaminya itu sangat menyedihkan. Kasihan."
  Susan diam sejenak. Lalu diajukannya pertanyaan yang tidak atau belum diajukannya kepada Ron. "Apa kau punya perkiraan siapa yang menjadi ayah Debbie?"
  Danny tertegun, tak menyangka. "Wah, kalaupun aku punya perkiraan atau dugaan, itu takkan kukatakan, Sus. Sori saja. Itu tidak etis. Bagaimana kalau salah?"
  "Ya, ya. Aku mengerti." Susan sudah menduga jawaban itu. Bahkan Ron pun bisa dipastikan akan berkata seperti itu. Ia cuma ingin memancing saja. "Cuma Viv yang bisa mengatakannya, bukan?"
  196
  "Kau kenal Viv?" tanya Danny. "Tentu saja kenal. Tapi secara mendalam sih tidak. Habis jarang ketemu." "Aku mengerti."
  "Menurut pengamatanmu, apakah hubungan mereka berdua harmonis pada awalnya?"
  "Oh iya. Mereka kelihatan begitu saling memperhatikan dan mencintai hingga aku jadi iri. Rasanya jadi ingin kawin juga."
  Susan tertawa. "Lantas kenapa kau tidak kawin-kawin? Lelaki setampan kau pasti banyak disukai perempuan."
  Danny tertawa. "Jadi kau menganggapku tampan? Apakah itu pujian?"
  "Bukan. Aku cuma mengatakan sesuai adanya."
  "Aku bilang kau cantik dan menarik. Itu adalah pujian, bukan komentar sesuai apa adanya."
  "Itu tak bisa disamakan, Dan. Tergantung juga pada orang yang mengatakannya."
  "Maksudmu, kau pelit dengan pujian?"
  "Yang pasti aku tidak mengobral pujian. Apalagi dengan tujuan mendapatkan sesuatu demi kepent
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>